Ada yang baper?
Keesokan harinya, si Kembar antusias menyambut ide kado individu. Mereka tidak henti-hentinya berceloteh tentang segudang ide. Sesuai dugaan Kara, mereka memerlukan lebih dari lima jam untuk memilih kado. "Aku yakin, Nenek paling suka kado dariku," tutur Louis ketika ia sudah mantap dengan pilihannya. "Tidak! Nenek akan memilih kadoku!" Kara cepat-cepat menengahi si Kembar. "Malaikat Kecil, ingat! Ini hanya seru-seruan. Siapa pun yang dipilih Nenek nanti, kita harus menerimanya dengan lapang dada. Tidak ada yang boleh menangis." Louis terkekeh. "Aku tidak mungkin menangis, Ma. Yang cengeng itu Emily. Tapi sejujurnya, aku tidak terlalu peduli dengan hasilnya. Yang penting Nenek senang." "Aku juga!" sambung si gadis mungil. "Siapa pun yang dipilih Nenek, aku tidak apa-apa. Yang penting, kita memberikan usaha terbaik dan Nenek bahagia." Kara tersenyum kecil. Ia penasaran apakah si Kembar memang tidak menangis kalau mereka tidak dipilih. Ketika hari-H tiba, semua menyambutnya den
Selama makan malam, Melanie dan Barbara diam. Meskipun yang lain berbincang ria, mereka hanya fokus menikmati makanan. Mereka seperti terasing, sampai Louis tiba-tiba bertanya. "Bibi, kamu tenang sekali malam ini. Apakah perutmu sakit lagi?" Jeremy menaikkan alis. "Bibi kalian sempat sakit?" Barbara tersentak. Belum sempat ia menyela, si Kembar mengangguk dengan penuh semangat. "Ya, kemarin Bibi sampai dilarikan ke rumah sakit. Tapi kami tidak bisa menceritakan detailnya. Karena ini pesta ulang tahun Nenek." "Emily benar. Pesta bisa kacau kalau kita menceritakannya. Sekarang, karena kita sudah selesai makan malam, bagaimana kalau kita mempersembahkan kue ulang tahun buatan kita?" Susan terbelalak. "Kalian membuat kue?" "Ya, Philip dan Nora yang membantu kami. Selama ini, Nenek selalu membuatkan kami kue. Sekarang adalah waktunya kami membuatkan kue untuk Nenek," terang Emily dengan suara manisnya. Sedetik kemudian, ia menoleh ke pintu dapur dan mengangguk. Nora pun masu
"Selamat ulang tahun, Bu." Frank mengusap pundak sang mertua. Susan pun memeluk dan menepuk-nepuk punggung Frank. "Terima kasih, Menantuku." Barbara diam-diam melirik sang ibu. Melanie baru saja memutar bola matanya. Jelas, ia cemburu. “Acara ini membosankan,” gerutu Barbara tak jelas. Ia mulai mengeluarkan ponselnya di bawah meja. Sementara itu, Frank mengerutkan lengkung bibir. Ia mendadak canggung, seperti akan meminang Kara untuk yang kedua kalinya. "Aku juga menyiapkan kado, tapi tolong Ibu jangan lihat dari harganya." Susan menepuk-nepuk pipi Frank seolah ia masih kecil. "Kehadiranmu di tengah-tengah kami saja sudah cukup bagi Ibu. Kamu tidak perlu repot-repot menyiapkan hadiah juga." "Tapi aku juga mau menunjukkan betapa pentingnya Ibu bagiku." Frank mengisyaratkan Philip untuk membawakan hadiahnya. Sebuah kotak perhiasan berlapis beludru hitam langsung menarik perhatian Melanie dan Barbara. "Ibu telah menghadirkan permata yang paling berharga ke dunia." Frank meliri
"Kau mau ke mana? Bukankah acaranya belum selesai?" Suara Philip menebar ketegangan dalam diri Barbara. Gadis itu spontan mengatupkan mulut. Namun kemudian, sambil melipat tangan, ia mengangkat dagu. "Apa pedulimu?" Philip mengangkat bahu. "Hanya bertanya."Tanpa basa-basi lagi, ia melangkah menuju ruang makan. "Tunggu!" Philip menoleh ke sumber suara. "Apa?" "Dua tamu itu .... Mereka siapa?" Philip mengangkat alis. "Kau tidak tahu?" Barbara memutar bola mata dengan perlahan. "Untuk apa aku bertanya kalau sudah tahu?" gerutunya samar. Philip kembali berbalik menghadap Barbara."Nyonya Bell adalah mantan kekasih Norman Harper. Dia ditinggalkan saat sedang mengandung Tuan Jeremy karena mendiang dijodohkan dengan ibumu." Barbara bergeming. Raut wajahnya dijaga dingin, tetapi Philip tahu ia sedang menahan keterkejutan. "Apakah informasi tersebut
Otot wajah Melanie mengendur. Bola matanya diam-diam mengikuti arah gerak Frank menuju meja kerja. "Aku bahkan menyiapkan ini untuk Mama. Hanya saja, aku menunggu waktu yang tepat untuk memberikannya, berharap momen itu bisa menjadi titik balik kita." Dengan wajah sendu, Frank mengeluarkan sebuah kotak dan membawanya ke hadapan Melanie. "Kupikir hubungan kita bisa membaik saat aku menyerahkan hadiah ini. Tapi sepertinya, aku salah. Aku malah jadi semakin sadar bahwa Mama hanya menginginkan uang dariku, bukan kedekatan." Melanie bergeming sejenak. Matanya bergetar menatap kain beludru merah yang membungkus kotak di tangan sang putra. "Apakah itu untuk Mama?" Frank mengangguk. Namun, Melanie mendengus tak percaya. "Itu pasti bukan untuk Mama. Kau memberinya demi mengubah keadaan. Kau mau Mama merasa bersalah karena menuntut keadilan?" Sekali lagi, Frank mengembuskan napas panjang. "Terserah Mama mau mengambilnya atau tidak. Yang pasti, aku sudah mengutarakan perasaanku yang se
"Kau sekarang jadi asisten rumah tangga?" ledek seorang penonton diiringi emoticon tertawa. "Lihatlah kamarnya! Tampak seperti kamar pembantu!" Yang lain menimpali dengan emoticon terbahak. Barbara nyaris berubah manyun. "Kalian tidak tahu seberapa pentingnya pekerjaan itu? Dengar! Rumah ini berbeda dengan rumah orang kaya pada umumnya. Luasnya saja setara dengan sepuluh lapangan bola." Beberapa orang kompak bertanya, "Benarkah?" Barbara menyentak alis. "Kalau tidak, bagaimana mungkin bisa ada dua kolam renang, gym, salon and spa, bahkan rumah kaca berisi kebun bunga? Itu pun masih banyak lahan yang bisa dimanfaatkan di sini. Aku sedang berpikir bagaimana harus mengelolanya." Tiba-tiba, Hailey mengirim permintaan untuk ikut live. Tanpa ragu-ragu, Barbara menerimanya. Seorang gadis berambut pirang kini muncul di layar. "Hai, girl! Terima kasih sudah menerima permintaan live-ku. Aku yakin teman-teman lain juga penasaran dan i
"Kau ... apakah kau membuntutiku?" Barbara membelalakkan matanya. Philip berjalan menghampiri. "Aku sudah di sini sejak tadi. Bagaimana mungkin aku membuntutimu?" Saat pria itu berhenti di hadapannya, Barbara tanpa sadar menggenggam ponselnya lebih erat. "Apa yang kau sembunyikan itu?" Mata Philip menyipit. Barbara mengerucutkan bibir. "Ini bukan urusanmu." "Kau sedang live streaming? Kau menunjukkan isi mansion ini kepada orang-orang?" Barbara buru-buru menekan tombol home. "Tidak." Dengan satu gerakan cepat, Philip merebut ponsel Barbara. Alisnya berkerut saat mendapati layarnya. "Lihat? Tidak ada apa-apa, kan?" sambar Barbara. Dengan raut tegas, Philip mengangkat ponsel itu di samping wajahnya. "Apa kau sadar kalau informasi yang kau bocorkan tadi bisa dimanfaatkan oleh penjahat?" Barbara mencebik. "Aku tidak membocorkan apa-apa." "Kalau kau menyiarkan situasi detail tentang mansion ini, orang-orang bisa saja menemukan celah untuk masuk. Itu bisa mengancam keamanan."
"Apa yang Bibi lakukan di ruang kerjaku?" selidik Emily, galak. Barbara membeku. Bola matanya bergerak-gerak mengamati keponakannya dan siaran yang masih berlangsung. Saat akal sehatnya cair, ia cepat-cepat berbicara kepada yang lain. "Girls, maaf sekali. Keponakanku datang berkunjung. Nanti kita sambung lagi. Bye." "Barbara, tunggu. Siapa gadis kecil itu? Dia bilang kau masuk ke ruang kerjanya?" Tanpa menimpali Hailey ataupun komentar-komentar yang bergulir cepat, Barbara mengakhiri siaran dan menurunkan ponselnya. "Kenapa Bibi bilang kalau gaun itu adalah rancangan Bibi? Bibi mau mencuri karyaku?" oceh Emily sambil mengentakkan kaki. Barbara tanpa sadar tersentak seolah-olah jantungnya terinjak. "Kapan aku bilang begitu? Kau pasti salah dengar." Emily mendengus. "Sekarang juga, Bibi luruskan semuanya! Katakan kepada follower Bibi kalau sebenarnya gaun itu adalah hasil karyaku." Barbara mendesah canggung. Kedipan matanya tak terkontrol. "Kenapa kau jadi meracau begini? Sudah