Kira-kira, apa yang bakal dikasih sama Frank?
"Selamat ulang tahun, Bu." Frank mengusap pundak sang mertua. Susan pun memeluk dan menepuk-nepuk punggung Frank. "Terima kasih, Menantuku." Barbara diam-diam melirik sang ibu. Melanie baru saja memutar bola matanya. Jelas, ia cemburu. “Acara ini membosankan,” gerutu Barbara tak jelas. Ia mulai mengeluarkan ponselnya di bawah meja. Sementara itu, Frank mengerutkan lengkung bibir. Ia mendadak canggung, seperti akan meminang Kara untuk yang kedua kalinya. "Aku juga menyiapkan kado, tapi tolong Ibu jangan lihat dari harganya." Susan menepuk-nepuk pipi Frank seolah ia masih kecil. "Kehadiranmu di tengah-tengah kami saja sudah cukup bagi Ibu. Kamu tidak perlu repot-repot menyiapkan hadiah juga." "Tapi aku juga mau menunjukkan betapa pentingnya Ibu bagiku." Frank mengisyaratkan Philip untuk membawakan hadiahnya. Sebuah kotak perhiasan berlapis beludru hitam langsung menarik perhatian Melanie dan Barbara. "Ibu telah menghadirkan permata yang paling berharga ke dunia." Frank meliri
"Kau mau ke mana? Bukankah acaranya belum selesai?" Suara Philip menebar ketegangan dalam diri Barbara. Gadis itu spontan mengatupkan mulut. Namun kemudian, sambil melipat tangan, ia mengangkat dagu. "Apa pedulimu?" Philip mengangkat bahu. "Hanya bertanya."Tanpa basa-basi lagi, ia melangkah menuju ruang makan. "Tunggu!" Philip menoleh ke sumber suara. "Apa?" "Dua tamu itu .... Mereka siapa?" Philip mengangkat alis. "Kau tidak tahu?" Barbara memutar bola mata dengan perlahan. "Untuk apa aku bertanya kalau sudah tahu?" gerutunya samar. Philip kembali berbalik menghadap Barbara."Nyonya Bell adalah mantan kekasih Norman Harper. Dia ditinggalkan saat sedang mengandung Tuan Jeremy karena mendiang dijodohkan dengan ibumu." Barbara bergeming. Raut wajahnya dijaga dingin, tetapi Philip tahu ia sedang menahan keterkejutan. "Apakah informasi tersebut
Otot wajah Melanie mengendur. Bola matanya diam-diam mengikuti arah gerak Frank menuju meja kerja. "Aku bahkan menyiapkan ini untuk Mama. Hanya saja, aku menunggu waktu yang tepat untuk memberikannya, berharap momen itu bisa menjadi titik balik kita." Dengan wajah sendu, Frank mengeluarkan sebuah kotak dan membawanya ke hadapan Melanie. "Kupikir hubungan kita bisa membaik saat aku menyerahkan hadiah ini. Tapi sepertinya, aku salah. Aku malah jadi semakin sadar bahwa Mama hanya menginginkan uang dariku, bukan kedekatan." Melanie bergeming sejenak. Matanya bergetar menatap kain beludru merah yang membungkus kotak di tangan sang putra. "Apakah itu untuk Mama?" Frank mengangguk. Namun, Melanie mendengus tak percaya. "Itu pasti bukan untuk Mama. Kau memberinya demi mengubah keadaan. Kau mau Mama merasa bersalah karena menuntut keadilan?" Sekali lagi, Frank mengembuskan napas panjang. "Terserah Mama mau mengambilnya atau tidak. Yang pasti, aku sudah mengutarakan perasaanku yang se
"Kau sekarang jadi asisten rumah tangga?" ledek seorang penonton diiringi emoticon tertawa. "Lihatlah kamarnya! Tampak seperti kamar pembantu!" Yang lain menimpali dengan emoticon terbahak. Barbara nyaris berubah manyun. "Kalian tidak tahu seberapa pentingnya pekerjaan itu? Dengar! Rumah ini berbeda dengan rumah orang kaya pada umumnya. Luasnya saja setara dengan sepuluh lapangan bola." Beberapa orang kompak bertanya, "Benarkah?" Barbara menyentak alis. "Kalau tidak, bagaimana mungkin bisa ada dua kolam renang, gym, salon and spa, bahkan rumah kaca berisi kebun bunga? Itu pun masih banyak lahan yang bisa dimanfaatkan di sini. Aku sedang berpikir bagaimana harus mengelolanya." Tiba-tiba, Hailey mengirim permintaan untuk ikut live. Tanpa ragu-ragu, Barbara menerimanya. Seorang gadis berambut pirang kini muncul di layar. "Hai, girl! Terima kasih sudah menerima permintaan live-ku. Aku yakin teman-teman lain juga penasaran dan i
"Kau ... apakah kau membuntutiku?" Barbara membelalakkan matanya. Philip berjalan menghampiri. "Aku sudah di sini sejak tadi. Bagaimana mungkin aku membuntutimu?" Saat pria itu berhenti di hadapannya, Barbara tanpa sadar menggenggam ponselnya lebih erat. "Apa yang kau sembunyikan itu?" Mata Philip menyipit. Barbara mengerucutkan bibir. "Ini bukan urusanmu." "Kau sedang live streaming? Kau menunjukkan isi mansion ini kepada orang-orang?" Barbara buru-buru menekan tombol home. "Tidak." Dengan satu gerakan cepat, Philip merebut ponsel Barbara. Alisnya berkerut saat mendapati layarnya. "Lihat? Tidak ada apa-apa, kan?" sambar Barbara. Dengan raut tegas, Philip mengangkat ponsel itu di samping wajahnya. "Apa kau sadar kalau informasi yang kau bocorkan tadi bisa dimanfaatkan oleh penjahat?" Barbara mencebik. "Aku tidak membocorkan apa-apa." "Kalau kau menyiarkan situasi detail tentang mansion ini, orang-orang bisa saja menemukan celah untuk masuk. Itu bisa mengancam keamanan."
"Apa yang Bibi lakukan di ruang kerjaku?" selidik Emily, galak. Barbara membeku. Bola matanya bergerak-gerak mengamati keponakannya dan siaran yang masih berlangsung. Saat akal sehatnya cair, ia cepat-cepat berbicara kepada yang lain. "Girls, maaf sekali. Keponakanku datang berkunjung. Nanti kita sambung lagi. Bye." "Barbara, tunggu. Siapa gadis kecil itu? Dia bilang kau masuk ke ruang kerjanya?" Tanpa menimpali Hailey ataupun komentar-komentar yang bergulir cepat, Barbara mengakhiri siaran dan menurunkan ponselnya. "Kenapa Bibi bilang kalau gaun itu adalah rancangan Bibi? Bibi mau mencuri karyaku?" oceh Emily sambil mengentakkan kaki. Barbara tanpa sadar tersentak seolah-olah jantungnya terinjak. "Kapan aku bilang begitu? Kau pasti salah dengar." Emily mendengus. "Sekarang juga, Bibi luruskan semuanya! Katakan kepada follower Bibi kalau sebenarnya gaun itu adalah hasil karyaku." Barbara mendesah canggung. Kedipan matanya tak terkontrol. "Kenapa kau jadi meracau begini? Sudah
Kara pun mengusap pipi gembul Emily, membantu sang putri mengeringkan wajah. "Bibi butuh waktu untuk menyendiri. Hatinya sekarang sedang kacau. Tapi nanti, dia pasti bisa tersenyum lagi." Emily mengembuskan napas panjang. Setelah turun dari gendongan Kara, ia menatap Philip. "Terima kasih banyak, Philip. Kalau bukan karenamu, kita tidak akan tahu Bibi berniat mencuri karyaku." Philip mengangguk. "Sebenarnya, itu hanya kebetulan. Aku melihat dia melakukan live streaming. Jadi, aku diam-diam menontonnya. Semoga saja dari insiden ini, dia bisa belajar dan sadar." Louis mengangguk setuju. "Bibi sangat terpukul. Dia pasti kapok. Tapi Emily, aktingmu tadi benar-benar keren." Sementara Louis mengacungkan jempol, Emily mengerucutkan bibir. "Itu bukan akting. Aku memang kesal kepada Bibi. Coba kalau yang dicuri adalah desain gedung atau mobil punyamu, kamu juga pasti kesal." “Ya, kalau aku berada di posisimu dan Barbara bukan bibi kita, aku pasti sudah melaporkannya ke polisi.” Louis men
"Mama menamparku?" Suara Barbara lirih. Melanie menganga dan mendesah tak percaya. Ia melihat tangannya sendiri, lalu menggeleng cepat. "Maaf, Sayang. Mama tidak bermaksud menyakitimu." Barbara tertawa pedih. Sambil melangkah mundur, ia bergumam, "Aku benci Mama." Sedetik kemudian, ia berlari ke kamar. Melanie mendadak linglung. Kata-kata Barbara terus terngiang dalam benaknya. Ketika sadar, ia memekik kesal. "Aaargh! Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa jadi kacau begini?" Dengan napas yang bergemuruh, ia memeriksa akun Barbara. Begitu menemukan beragam hujatan, rahangnya berdenyut-denyut hebat. "Kurang ajar! Beraninya mereka menyerang putriku begini!" Dengan mata yang merah membara, Melanie menggeram. "Ini pasti ulah Frank dan bocah setan itu! Mereka menempatkan Barbara dalam posisi sulit. Tega sekali mereka." Sambil terpejam, Melanie berusaha menurunkan tekanan darahnya. Namun, pusingnya tak kunjung mereda. Ia terpaksa kembali ke kamar dan beristirahat. Ia tidak akan bisa
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
"Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma
"Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P
Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum