Kira-kira, itu obat apa hayo?
"Cukup, Barbara." Frank meruncingkan tatapannya. "Kau selalu bersikap seperti korban. Padahal, kau sendirilah yang membuat masalah." Barbara memasang tampang tersiksa. "Masalah apa? Aku sudah mengerahkan usaha terbaikku. Tapi mereka tidak menghargai karyaku!" "Philip!" Frank tiba-tiba berseru. "Bawakan hasil kerja Barbara kemari." Dalam waktu singkat, Philip datang membawa rumbai-rumbai yang tertata rapi di atas sebuah nampan beralas kain. "Ini, Tuan." "Perlihatkan kepada ibuku." Philip memutar tumpuan. Melanie mengernyitkan dahi menatap apa yang terpajang di sana. "Silakan Mama pilih mana yang terbaik." Melanie menaikkan dagu. "Semuanya bagus." "Pilih satu," tegas Frank. Barbara menahan napas melihat tangan Melanie yang terkepal erat. Ketika sang ibu membuat pilihan, dadanya memanas. "Itu buatan Emily!" seru Louis, seperti menjawab kuis. Melanie tersentak. Ia menggeser jarinya. "Maksudku yang ini." "Itu juga buatan Emily!" Melanie kembali mengepalkan tangan. Ia sadar
Frank tersenyum kecut. "Apa bedanya dengan Kara? Kenapa Mama tega menaburkan obat ke makanan Kara? Mama tega kalau Louis dan Emily tidak jadi punya adik?" Kara terkesiap. Matanya tertuju pada piring yang telah berganti menu di hadapannya. "Karena itukah spaghetti tadi terasa asam?" Emily mulai mencebik. "Papa, apakah Mama sudah memakan racun? Apakah Mama dalam bahaya?" "Bagaimana dengan calon adik kami? Apakah kami masih bisa bertemu dengannya?" Louis ikut mendramatisasi. Frank tersenyum manis. "Tenang, Anak-Anak. Papa sudah menukar obat Mama dengan vitamin." "Lalu bagaimana dengan Barbara? Kau memberinya obat yang asli?" Suara Melanie melengking. Bibit Frank mengerucut. "Maaf, Mama. Semua orang pasti akan menuai hasil dari perbuatannya." Melanie mendesah tak percaya. Matanya mulai berkaca-kaca. "Kau keterlaluan, Frank. Keterlaluan!" Dengan langkah tergesa-gesa, Melanie meninggalkan ruang makan. Louis dan Emily langsung mengangkat tangan ke udara. Mereka meneriakkan kemenang
"Philip!" Teriakan Melanie menyentak semua orang. "Aku tahu kau berdiri di luar sana. Cepat antarkan putriku ke rumah sakit!" Philip terbelalak dan menampakkan diri. "Saya, Nyonya?" "Siapa lagi?" Philip melirik si Kembar yang mengangkat bahu tanpa suara. Dengan raut terpaksa, ia menghubungi sopir agar bersiap. "Tunggu apa lagi? Cepat bawa putriku ke mobil!" Philip bergegas menyimpan ponsel. "Biar saya ambilkan kursi roda." "Untuk apa? Gendong saja Barbara ke mobil! Itu jauh lebih cepat." Barbara terbelalak. Ia baru saja buang air sebanyak lima kali. Baunya saja mungkin masih melekat di baju, dan sang ibu malah menyuruh seorang pria menggendongnya? “Tunggu ....” Belum sempat ia menolak, Philip sudah lebih dulu mengangkatnya. Pipi Barbara seketika memerah. Tak sanggup menahan malu, ia terpejam sembari menutupi muka dengan sebelah tangan. "Ugh, Bibi bau!" celetuk Louis ketika Philip membawa Barbara melewati mereka. Emily ikut menjepit hidung. Barbara hampir menangis. Samb
“Begitu sampai di IGD, ibumu langsung mengamuk. Dia meminta semua dokter untuk memeriksa keadaanmu. Banyak orang langsung berkumpul dan menutup hidung.” Melihat Philip mengernyit, Barbara mengepalkan tangan. “Kau bohong! Mama tidak mungkin membuatku malu.” Philip mengangkat pundaknya ringan. “Mau bagaimana lagi? Ibumu terlalu panik. Dan kau tahu?” Ia kembali tersenyum miring. “Ibumu mengumumkan kepada semua petugas medis kalau kau sedang dalam keadaan darurat karena salah minum obat. Lucunya ... ketika hasil pemeriksaan keluar, dokter menyimpulkan kalau kau terlalu banyak mengonsumsi obat pencahar. Semua orang sontak gagal menahan tawa.” Barbara ternganga tak percaya. Dari sudut pandangnya yang terbatas, ia melirik ke arah sofa. Hanya kaki Melanie yang terlihat. “Mama bisa tidur nyenyak setelah menimbulkan kehebohan semacam itu?” Barbara terpejam menahan kekesalan. Pelan-pelan, ia berbalik membelakangi Philip. Ia sudah kehilan
Tanpa menunggu respons dari siapa-siapa, Barbara berjalan menuju kamarnya. Melanie sampai tercengang dan Philip terheran-heran. Hanya si Kembar yang tetap bersemangat untuk membantunya berjalan. "Ayo, Bibi! Pegang tangan kami! Bibi masih lemas. Kalau jatuh bagaimana?" "Ya! Lagi pula, Bibi sudah wangi! Kami tidak keberatan membantu Bibi." "Aku bisa sendiri!" Barbara mengamankan tangannya dan melangkah lebih cepat. Ia seperti sedang bermain kejar-kejaran dengan si Kembar. Menyaksikan hal itu, Melanie mendesah samar. "Apa yang salah dengan Barbara?" Selang keheningan sejenak, ia melirik Philip. "Heh, apa kau sudah meracuni pikiran putriku?” Philip tersentak. "Saya, Nyonya? Meracuni? Meracuni bagaimana?" Melanie mendengus tak senang. “Mulai detik ini, kau tidak boleh dekat-dekat dengannya. Mengerti?" Lengkung alis Philip semakin tinggi. Belum sempat ia menjawab, Melanie sudah melangkah pergi. "Kenapa aku lagi yang disalahkan?" gerutu Philip sebelum menggeleng cepat. "Padahal, dia
Tiba-tiba, Melanie mencolek lengan Susan. "Omong-omong, di mana kamarmu? Aku jarang melihatmu di lantai atas." "Kamarku memang di lantai bawah." Susan tidak lagi ramah. Namun, Melanie bertindak seolah tidak terjadi apa-apa. Ia masih sok akrab. "Kenapa? Kau tahu kalau kamar di lantai atas lebih bagus, bukan? Barbara saja sempat kecewa ditempatkan di bawah." "Aku tidak butuh kamar yang luas. Yang penting rapi dan nyaman." "Begitukah?" Melanie melirik lutut Susan. Susan diam-diam merasa was-was. Ia merasa terancam jika sampai wanita itu mengetahui kelemahannya. "Kalau begitu, bolehkah aku berkunjung ke kamarmu? Aku penasaran bagaimana kamu menatanya." Alis Susan kembali berkerut. Firasatnya buruk. "Kamarku tentu tidak sebanding dengan kamarmu." "Tidak masalah. Aku hanya ingin melihat-lihat saja. Kenapa? Kau tidak mungkin berpikir kalau aku bisa mencuri sesuatu dari kamarmu, kan?" Susan menghela napas. Ia ingin sekali melarang. Namun, ia sadar bahwa Melanie adalah ibu si pemil
Kara masuk ke rumah kaca sambil celingak-celinguk. Ia mencoba menemukan yang tersisa, tetapi usahanya sia-sia. "Ibu, apa yang terjadi?" Melihat kehadiran sang putri, Susan bangkit berdiri. "Kara? Kau sudah pulang?" "Aku mendapat kabar kalau seseorang merusak kebun Ibu. Tentu saja aku langsung pulang. Mengapa bisa begini, Bu?" Susan ternganga sejenak. Matanya bergerak ke arah pelayan yang menemukan kekacauan bersamanya. "Tidak ada apa-apa, Kara. Mungkin ada tikus yang menyelinap ke sini." "Jujur saja, Bu. Ini tidak mungkin ulah tikus. Lihatlah bekas potongan itu." Kara menunjuk daun-daun yang belum dimasukkan ke karung. "Seseorang mengguntingnya." Susan tersenyum kecut. Kalau saja ia tidak sedang mengenakan sarung tangan, ia pasti sudah mengusap wajah sang putri. "Maaf sudah membuatmu panik. Kau sampai menunda pekerjaanmu demi memeriksa keadaan di sini, hmm?" "Jangan mengalihkan pembicaraan, Bu. Siapa yang melakukan ini? Apakah dua orang itu? Mereka berani mencari masalah
"Sebetulnya apa yang Mama inginkan dari kami?" sela Kara, lelah menghadapi pertengkaran yang berlarut-larut. "Sejak awal Mama tiba di sini, Mama sudah menunjukkan ketidaksukaan terhadap kami. Apakah Mama sengaja membuat kami tidak betah? Mama tidak diam-diam berharap kami pergi dari sini, kan?" Melanie mendengus. Ia ingin mengaku, tetapi pintu belum tertutup. Rencananya bisa berantakan jika ada yang merekamnya dari luar. "Apa salah kami, Ma? Kenapa Mama tidak menyukai kami? Bahkan si Kembar? Mereka begitu polos. Darah daging putramu sendiri. Kenapa Mama membenci mereka juga?" Suara Kara mulai serak. Wajahnya berkerut lelah. "Tidak bisakah kita berdamai saja? Jika Mama dan Barbara berhenti mengusik kami, tidak akan ada perdebatan semacam ini lagi. Kita bisa hidup damai di rumah ini." Barbara diam-diam melirik Melanie. Ia penasaran jawaban apa yang akan diberikan sang ibu. Bukannya menjawab, Melanie malah menyandarkan punggung pada pintu hingga tertutup sempurna. "Kau ingin be