Ada yang terhibur? Ada yang senang liat Barbara begitu? Atau malah kasihan? Hahaha .... Selamat pagi semuanyaaa! Pasti banyak yang lagi sibuk ngurusin ketupat lontong rendang opor nih, ya. Jangan lupa THR buat Louis Emily. Nanti mereka jadi grumpy gak kebagian THR.
“Begitu sampai di IGD, ibumu langsung mengamuk. Dia meminta semua dokter untuk memeriksa keadaanmu. Banyak orang langsung berkumpul dan menutup hidung.” Melihat Philip mengernyit, Barbara mengepalkan tangan. “Kau bohong! Mama tidak mungkin membuatku malu.” Philip mengangkat pundaknya ringan. “Mau bagaimana lagi? Ibumu terlalu panik. Dan kau tahu?” Ia kembali tersenyum miring. “Ibumu mengumumkan kepada semua petugas medis kalau kau sedang dalam keadaan darurat karena salah minum obat. Lucunya ... ketika hasil pemeriksaan keluar, dokter menyimpulkan kalau kau terlalu banyak mengonsumsi obat pencahar. Semua orang sontak gagal menahan tawa.” Barbara ternganga tak percaya. Dari sudut pandangnya yang terbatas, ia melirik ke arah sofa. Hanya kaki Melanie yang terlihat. “Mama bisa tidur nyenyak setelah menimbulkan kehebohan semacam itu?” Barbara terpejam menahan kekesalan. Pelan-pelan, ia berbalik membelakangi Philip. Ia sudah kehilan
Tanpa menunggu respons dari siapa-siapa, Barbara berjalan menuju kamarnya. Melanie sampai tercengang dan Philip terheran-heran. Hanya si Kembar yang tetap bersemangat untuk membantunya berjalan. "Ayo, Bibi! Pegang tangan kami! Bibi masih lemas. Kalau jatuh bagaimana?" "Ya! Lagi pula, Bibi sudah wangi! Kami tidak keberatan membantu Bibi." "Aku bisa sendiri!" Barbara mengamankan tangannya dan melangkah lebih cepat. Ia seperti sedang bermain kejar-kejaran dengan si Kembar. Menyaksikan hal itu, Melanie mendesah samar. "Apa yang salah dengan Barbara?" Selang keheningan sejenak, ia melirik Philip. "Heh, apa kau sudah meracuni pikiran putriku?” Philip tersentak. "Saya, Nyonya? Meracuni? Meracuni bagaimana?" Melanie mendengus tak senang. “Mulai detik ini, kau tidak boleh dekat-dekat dengannya. Mengerti?" Lengkung alis Philip semakin tinggi. Belum sempat ia menjawab, Melanie sudah melangkah pergi. "Kenapa aku lagi yang disalahkan?" gerutu Philip sebelum menggeleng cepat. "Padahal, dia
Tiba-tiba, Melanie mencolek lengan Susan. "Omong-omong, di mana kamarmu? Aku jarang melihatmu di lantai atas." "Kamarku memang di lantai bawah." Susan tidak lagi ramah. Namun, Melanie bertindak seolah tidak terjadi apa-apa. Ia masih sok akrab. "Kenapa? Kau tahu kalau kamar di lantai atas lebih bagus, bukan? Barbara saja sempat kecewa ditempatkan di bawah." "Aku tidak butuh kamar yang luas. Yang penting rapi dan nyaman." "Begitukah?" Melanie melirik lutut Susan. Susan diam-diam merasa was-was. Ia merasa terancam jika sampai wanita itu mengetahui kelemahannya. "Kalau begitu, bolehkah aku berkunjung ke kamarmu? Aku penasaran bagaimana kamu menatanya." Alis Susan kembali berkerut. Firasatnya buruk. "Kamarku tentu tidak sebanding dengan kamarmu." "Tidak masalah. Aku hanya ingin melihat-lihat saja. Kenapa? Kau tidak mungkin berpikir kalau aku bisa mencuri sesuatu dari kamarmu, kan?" Susan menghela napas. Ia ingin sekali melarang. Namun, ia sadar bahwa Melanie adalah ibu si pemil
Kara masuk ke rumah kaca sambil celingak-celinguk. Ia mencoba menemukan yang tersisa, tetapi usahanya sia-sia. "Ibu, apa yang terjadi?" Melihat kehadiran sang putri, Susan bangkit berdiri. "Kara? Kau sudah pulang?" "Aku mendapat kabar kalau seseorang merusak kebun Ibu. Tentu saja aku langsung pulang. Mengapa bisa begini, Bu?" Susan ternganga sejenak. Matanya bergerak ke arah pelayan yang menemukan kekacauan bersamanya. "Tidak ada apa-apa, Kara. Mungkin ada tikus yang menyelinap ke sini." "Jujur saja, Bu. Ini tidak mungkin ulah tikus. Lihatlah bekas potongan itu." Kara menunjuk daun-daun yang belum dimasukkan ke karung. "Seseorang mengguntingnya." Susan tersenyum kecut. Kalau saja ia tidak sedang mengenakan sarung tangan, ia pasti sudah mengusap wajah sang putri. "Maaf sudah membuatmu panik. Kau sampai menunda pekerjaanmu demi memeriksa keadaan di sini, hmm?" "Jangan mengalihkan pembicaraan, Bu. Siapa yang melakukan ini? Apakah dua orang itu? Mereka berani mencari masalah
"Sebetulnya apa yang Mama inginkan dari kami?" sela Kara, lelah menghadapi pertengkaran yang berlarut-larut. "Sejak awal Mama tiba di sini, Mama sudah menunjukkan ketidaksukaan terhadap kami. Apakah Mama sengaja membuat kami tidak betah? Mama tidak diam-diam berharap kami pergi dari sini, kan?" Melanie mendengus. Ia ingin mengaku, tetapi pintu belum tertutup. Rencananya bisa berantakan jika ada yang merekamnya dari luar. "Apa salah kami, Ma? Kenapa Mama tidak menyukai kami? Bahkan si Kembar? Mereka begitu polos. Darah daging putramu sendiri. Kenapa Mama membenci mereka juga?" Suara Kara mulai serak. Wajahnya berkerut lelah. "Tidak bisakah kita berdamai saja? Jika Mama dan Barbara berhenti mengusik kami, tidak akan ada perdebatan semacam ini lagi. Kita bisa hidup damai di rumah ini." Barbara diam-diam melirik Melanie. Ia penasaran jawaban apa yang akan diberikan sang ibu. Bukannya menjawab, Melanie malah menyandarkan punggung pada pintu hingga tertutup sempurna. "Kau ingin be
“Sesuatu?” Kara menatap Frank lewat pantulan cermin. Napasnya tertahan, menunggu reaksi. Frank mengangguk lembut. “Kamu banyak diam sejak sore tadi. Kamu bahkan belum menceritakan apa yang terjadi sampai-sampai kamu harus pulang lebih awal. Bahkan si Kembar mengkhawatirkanmu.” Ia mengambil sisir dari tangan Kara dan mulai merapikan rambutnya. “Apakah kamu sedang kesal?” Kara menelan ludah. Sebelum kecurigaan Frank bertambah, ia mendesahkan tawa. “Oh, itu .... Aku hanya kasihan kepada Ibu. Kebunnya diserang hama. Tanamannya mati semua.” Frank tersentak. “Semua? Termasuk pemberian kita dan anak-anak?” Melihat anggukan Kara, raut Frank menjadi agak redup. “Sayang sekali. Tanaman itu hanya berbunga satu kali, dan waktunya sebentar lagi. Louis dan Emily pasti akan menangis kalau sampai tahu.” “Mereka tidak akan tahu. Aku sudah memesan yang baru. Besok, tanaman itu akan datang bersama yang lain. Kami memesan satu truk.” Frank tersenyum mendengar tawa kecil Kara. Sembari menunduk, ia
Frank menjatuhkan wajahnya di pundak Kara. Semangatnya yang tadi melambung kini menukik menuju angka nol. “Kenapa harus malam-malam begini?” erangnya seperti anak kecil. Kara menarik napas berat. Ia diam-diam cemas memikirkan apa yang ingin disampaikan Melanie. Meski begitu, ia tetap tersenyum dan menepuk lengan suaminya. “Bangunlah, Frank. Kita bisa melanjutkannya nanti. Sekarang, temui ibumu.” Frank mencebik. Setelah mengecup pipi Kara berulang kali, ia bangkit. “Tunggu! Aku tidak akan lama.” Setelah Kara mengangguk, Frank pergi membuka pintu dan menjulurkan kepala. "Ada apa, Ma?" Melanie langsung memasang tampang memelas dan memukul-mukul pundaknya sendiri. "Kau tahu, Mama seharian mengurus Barbara. Sepertinya, Mama kelelahan. Badan Mama pegal semua." Bibir Frank mengerucut. Ia mengira Melanie akan mengatakan sesuatu yang jauh lebih penting. Ternyata hanya itu? "Lalu?" Sembari tersenyum, Melanie menunjukkan ponselnya. "Mama menemukan kursi pijat di situs belanja ini. Kual
Keesokan harinya, si Kembar antusias menyambut ide kado individu. Mereka tidak henti-hentinya berceloteh tentang segudang ide. Sesuai dugaan Kara, mereka memerlukan lebih dari lima jam untuk memilih kado. "Aku yakin, Nenek paling suka kado dariku," tutur Louis ketika ia sudah mantap dengan pilihannya. "Tidak! Nenek akan memilih kadoku!" Kara cepat-cepat menengahi si Kembar. "Malaikat Kecil, ingat! Ini hanya seru-seruan. Siapa pun yang dipilih Nenek nanti, kita harus menerimanya dengan lapang dada. Tidak ada yang boleh menangis." Louis terkekeh. "Aku tidak mungkin menangis, Ma. Yang cengeng itu Emily. Tapi sejujurnya, aku tidak terlalu peduli dengan hasilnya. Yang penting Nenek senang." "Aku juga!" sambung si gadis mungil. "Siapa pun yang dipilih Nenek, aku tidak apa-apa. Yang penting, kita memberikan usaha terbaik dan Nenek bahagia." Kara tersenyum kecil. Ia penasaran apakah si Kembar memang tidak menangis kalau mereka tidak dipilih. Ketika hari-H tiba, semua menyambutnya den