Mendengar itu, Sophia tidak bisa lagi diam. Ia sudah muak dengan keributan dalam acaranya.
"Security, bawa wanita ini kembali ke kamarnya! Kalau dia menolak, pulangkan dia!"
Dua orang petugas bergegas menyeret Isabela. Gadis itu memberontak, tetapi sia-sia. Ketika ia tidak lagi di dek itu perhatian kembali terpusat pada Kara. Bahkan Sophia kini menatapnya lekat-lekat.
“Nona Martin, saya turut bersimpati atas apa yang telah Anda alami. Anda sudah melewati masa-masa sulit seorang diri. Saya rasa, sudah sepantasnya Tuan Harper kembali pada Anda dan anak-anaknya. Kalian pantas bersama,” tutur Sophia sebelum diam-diam melirik calon suaminya.
“Terima kasih, Nona Moore. Anda sungguh baik hati. Finnic sangat beruntung bisa mendapatkan istri seperti Anda.” Kara tersenyum tulus.
Tanpa terduga, Melanie mendengus. Sophia mendengar penghinaan itu.
“Dan saya harap, Anda tidak dendam kepada calon mertua saya. Caranya memang tidak bisa dibenarka
"Ada alasan lain. Finnic ingin mengejekku," tutur Kara lirih. "Apakah kalian berencana menikah di kapal ini?"Frank menaikkan sebelah alis. Wajah Kara mendadak kecut. "Itu impianku dulu. Menikah di kapal pesiar sepertinya keren dan seru." "Sekarang?" Sambil memiringkan kepala, Kara kembali menarik sudut bibirnya. "Karena kamu mengajakku ke sini, aku jadi tahu. Pesta di kapal pesiar ternyata tidak seseru itu." "Lalu? Kamu mau kita menikah di mana?" Alis Kara turun sebelah.“Apa kamu punya ide? Atau mungkin, kamu punya impian ingin menikah di tempat tertentu?” Tanpa berpikir panjang, Frank mengangkat bahu. “Aku bahkan tidak berpikir untuk menikah sebelum mengenalmu. Tapi karena kau menanyakan soal ide, bagaimana kalau kita mencoba sesuatu yang berbeda? Kau suka hal baru, kan?” Kara spontan menyipitkan mata. “Apa?” “Bagaimana kalau kita menikah di bawah laut? Atau di ruang angkasa? Aku bisa me
Pertunjukan drone telah usai, tetapi Frank dan Kara masih di balkon atas. Tubuh mereka terus merapat. Di sela-sela perbincangan, mereka sesekali tertawa ringan. Banyak tamu tak bisa berhenti menyaksikan kemesraan mereka. Sebagian iri, sebagian turut berbahagia. Namun Finnic, hatinya gerah. "Ya, kami memang sudah merencanakan proyek kolaborasi antara perusahaan Miller dengan perusahaan Moore," ujar Sophia dengan senyum semringah. Ia masih belum sadar ke mana arah perhatian calon suaminya. "Rumah sakit kapal tentu akan memberi warna baru dalam dunia medis. Pasien-pasien tak perlu tertekan saat menjalani pengobatan. Itu malah akan terasa seperti liburan dan lebih efektif. Benar begitu, Finnic?" Begitu Sophia menoleh ke samping, lengkung bibirnya langsung goyah. Sang kekasih ternyata sedang melirik perempuan di balkon seberang. Namun, sebelum para tamu menyadari perubahan ekspresinya, ia mengencangkan senyum dan mengelus pipi Finnic mesra. "Sayang, apakah kamu lelah?" Pria itu
"Tidak usah berlama-lama, Fin. Apa yang mau kau bicarakan?"Kara berbalik dan melipat tangan.Mendapat tatapan sedingin itu, hati Finnic semakin berat. Ia tidak bisa memungkiri dirinya rindu senyum manis Kara."Aku tahu, kau pasti sangat marah kepadaku. Aku tidak berhak meminta maaf. Tapi, kau harus tahu bahwa aku melakukan itu karena aku terlalu mencintaimu. Bukankah besarnya rasa sakit sebanding dengan rasa cinta?"Kara tiba-tiba mendengus. Sambil mengulum senyum, ia melempar pandangan ke laut. "Percaya atau tidak, aku memaklumimu. Aku tidak benci atau marah kepadamu, tapi kecewa."Finnic mendesak dahinya naik. "Kau tidak dendam kepadaku?"Kara mengedikkan bahu. "Kalaupun aku dendam, aku bisa apa? Aku sungguh-sungguh tidak berdaya, apalagi ... ada dua anak yang harus kulindungi."Finnic menelan ludah pahit. Dadanya sesak oleh beragam emosi. "Aku memang keterlaluan.""Tidak apa-apa. Semua itu sudah berlalu. Mar
“Tidak ... tidak mungkin.” Kara mulai berdeham. Kerongkongannya terlalu sempit dan gersang. Dadanya sesak, entah karena udara yang terlalu berat atau serpihan hati yang terlampau tajam. “Frank ...” panggilnya lirih. Meskipun tidak ada seorang pun yang menjawab, Kara terus memandang ke luar pagar. Angin laut berulang kali menampar pipinya, menyadarkan kalau kapal sedang berlayar. Tidak mungkin sang kekasih masih berada di bawah sana. Namun, ia tetap berharap sang kekasih menyapanya. Sementara itu, pasangan di balik punggungnya masih terbelalak. Mulut mereka terbuka lebar, tetapi tidak mengeluarkan kata. Mereka tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka saksikan. “Hentikan kapal ....” Seruan itu menyentak kesadaran mereka. Namun, belum sempat mereka bertindak, Kara kembali berteriak, “Cepat hentikan kapal! Suruh kapten untuk berputar dan turunkan tim penyelamat!” “Baiklah, baiklah!” Sophia meraih ponselnya dengan tergesa-gesa
“Ada apa, Sean? Apa sudah ada laporan dari temanmu itu? Dia baru keluar dari sel. Tangannya pasti gatal sudah lama tidak menumpahkan darah. Jadi, perempuan itu sudah mati, kan?” tanya Rowan dengan nada santai. Sean menarik napas samar. “Maaf, Tuan. Ada kesalahan.” Seketika, raut pria tua itu menggelap. “Apa maksudmu? Perempuan itu masih hidup?” Kekakuan di leher Sean bertambah berat. “Sepertinya ... Tuan Muda berusaha melindungi perempuan itu saat penyerangan terjadi. Mereka berdua ... terjatuh dari kapal.” Rowan sontak menggebrak meja. Ia tidak lagi duduk di kursinya. “Mereka berdua? Siapa? Bicaralah yang jelas!” Matanya mulai bergurat merah dan bergetar hebat. Sean menggertakkan rahang. “Tuan Muda dan—” “Apa?” Pekikan Rowan bergema. Dalam sekejap, seluruh sarafnya menegang dan napasnya tersengal-sengal. Meski begitu, ia masih berusaha untuk bicara. “Di mana dia? Di mana cucuku sekarang?” “Dia belum ditemukan, Tuan. Tim penyelamat masih melakukan pencarian.” Pria tua itu sont
“Philip?” jawab Kara setelah menempelkan ponsel ke telinga. Selama beberapa saat, tidak ada suara yang terdengar. “Philip, apakah kau sudah mendapat kabar? Frank jatuh dari kapal. Sampai detik ini, aku masih menunggunya,” tuturnya serak. Air mata yang sempat membeku kembali berlinang. “Kara ....” Menangkap getaran samar itu, tangis sang wanita sontak tertahan. Alisnya berkerut dalam. “Frank?” desahnya tak percaya. “Ya, ini aku.” Punggung Kara sontak menegak dan matanya melebar. Kepalanya bergerak-gerak, bingung harus menangis atau tertawa. “Frank? Ini sungguh kamu? Kamu selamat?” “Ya. Philip menyelamatkanku. Sekarang, jangan menangis lagi, hmm?” Bukannya berhenti, air mata Kara malah semakin deras. Pundaknya naik turun mengimbangi desah napas yang bercampur dengan tawa. “Aku tidak bermimpi? Ini nyata? Kamu selamat?” Frank menghela napas samar. Getarannya cukup untuk menghangatkan hati Kara. “Bukankah aku sudah ber
Selang beberapa saat, sang dokter akhirnya mendesah, “Selesai!” Kara langsung menjatuhkan pipinya di atas dada Frank. Ia menangis sejadi-jadinya. “Maafkan aku, Frank. Aku seharusnya lebih berhati-hati. Kalau saja aku tidak pergi seorang diri, kau tidak akan mengalami semua ini.” Sambil membelai kepala Kara, sang pria tertawa samar, “Tidak apa-apa. Berkat kejadian ini, aku jadi mengerti kenapa Emily cengeng sekali. Dia mewarisi bakat itu dari ibunya.” Kara sontak mencebik dan menyurutkan tangis. Setelah membantu Frank bangkit, ia berbisik, “Jangan pernah menantang bahaya lagi. Aku tidak sanggup melihatmu kesakitan begini.” Frank menangkup pipi Kara dan menggeleng pelan. “Ini tidak seberapa jika dibandingkan penderitaanmu, Ratu Lebah. Melahirkan anak-anakku pasti jauh lebih sakit. Omong-omong, apakah kau sudah menelepon Louis dan Emily? Kita sudah lewat beberapa jam dari janji.” Tepat ketika Kara hendak menjawab, seorang kru kapal menghampiri. “
“Mama, kenapa berdiri saja?” panggil Emily tanpa terduga. Sambil menyedot kembali ingusnya, ia melambai. “Kemarilah! Ikut kami berpelukan.” Kara sontak tertawa. Setelah melangkah ke dalam lift, ia membungkuk, memeluk ketiga orang yang disayanginya. “Oh, sungguh pemandangan yang indah,” gumam Jeremy diiringi helaan napas lega. Mendengar suara sang asisten, Frank pun mendongak. Selang seulas senyuman, ia mengangguk penuh makna. “Terima kasih sudah menjaga anak-anakku dan membawa mereka kemari.” “Ini ide Tuan Muda Louis. Dia yang mendesakku untuk menyiapkan helikopter. Dia ingin bertemu ayahnya.” Frank menaikkan lagi sudut bibirnya. Setelah mengecup kepala Louis, ia menempelkan pipinya di sana. “Omong-omong, Tuan ... helikopter masih standby di luar. Apakah Anda ingin pulang atau ...?” Kara dan si Kembar sontak melonggarkan dekapan. Sambil meredam sisa isakan, mereka menanti jawaban Frank. “Kita datang ke kapal ini untuk menghadiri pernikahan Finnic dan Sophia. Kalau kita pulang s