Share

165. Ini Sungguh Tidak Adil

Penulis: Pixie
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Philip?” jawab Kara setelah menempelkan ponsel ke telinga. Selama beberapa saat, tidak ada suara yang terdengar.

“Philip, apakah kau sudah mendapat kabar? Frank jatuh dari kapal. Sampai detik ini, aku masih menunggunya,” tuturnya serak. Air mata yang sempat membeku kembali berlinang.

“Kara ....”

Menangkap getaran samar itu, tangis sang wanita sontak tertahan. Alisnya berkerut dalam. “Frank?” desahnya tak percaya.

“Ya, ini aku.” 

Punggung Kara sontak menegak dan matanya melebar. Kepalanya bergerak-gerak, bingung harus menangis atau tertawa. “Frank? Ini sungguh kamu? Kamu selamat?”

“Ya. Philip menyelamatkanku. Sekarang, jangan menangis lagi, hmm?”

Bukannya berhenti, air mata Kara malah semakin deras. Pundaknya naik turun mengimbangi desah napas yang bercampur dengan tawa. “Aku tidak bermimpi? Ini nyata? Kamu selamat?”

Frank menghela napas samar. Getarannya cukup untuk menghangatkan hati Kara. “Bukankah aku sudah ber

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (7)
goodnovel comment avatar
Asih Sukarsih
menegangkan
goodnovel comment avatar
Ais Uas
wow...bener2 kereen thor karyamu,,,
goodnovel comment avatar
Vivin Rista Moinggalo
so sweet lnjut thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   166. Tolong Jangan Menghilang Lagi

    Selang beberapa saat, sang dokter akhirnya mendesah, “Selesai!” Kara langsung menjatuhkan pipinya di atas dada Frank. Ia menangis sejadi-jadinya. “Maafkan aku, Frank. Aku seharusnya lebih berhati-hati. Kalau saja aku tidak pergi seorang diri, kau tidak akan mengalami semua ini.” Sambil membelai kepala Kara, sang pria tertawa samar, “Tidak apa-apa. Berkat kejadian ini, aku jadi mengerti kenapa Emily cengeng sekali. Dia mewarisi bakat itu dari ibunya.” Kara sontak mencebik dan menyurutkan tangis. Setelah membantu Frank bangkit, ia berbisik, “Jangan pernah menantang bahaya lagi. Aku tidak sanggup melihatmu kesakitan begini.” Frank menangkup pipi Kara dan menggeleng pelan. “Ini tidak seberapa jika dibandingkan penderitaanmu, Ratu Lebah. Melahirkan anak-anakku pasti jauh lebih sakit. Omong-omong, apakah kau sudah menelepon Louis dan Emily? Kita sudah lewat beberapa jam dari janji.” Tepat ketika Kara hendak menjawab, seorang kru kapal menghampiri. “

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   167. Kita Berempat Sekarang

    “Mama, kenapa berdiri saja?” panggil Emily tanpa terduga. Sambil menyedot kembali ingusnya, ia melambai. “Kemarilah! Ikut kami berpelukan.” Kara sontak tertawa. Setelah melangkah ke dalam lift, ia membungkuk, memeluk ketiga orang yang disayanginya. “Oh, sungguh pemandangan yang indah,” gumam Jeremy diiringi helaan napas lega. Mendengar suara sang asisten, Frank pun mendongak. Selang seulas senyuman, ia mengangguk penuh makna. “Terima kasih sudah menjaga anak-anakku dan membawa mereka kemari.” “Ini ide Tuan Muda Louis. Dia yang mendesakku untuk menyiapkan helikopter. Dia ingin bertemu ayahnya.” Frank menaikkan lagi sudut bibirnya. Setelah mengecup kepala Louis, ia menempelkan pipinya di sana. “Omong-omong, Tuan ... helikopter masih standby di luar. Apakah Anda ingin pulang atau ...?” Kara dan si Kembar sontak melonggarkan dekapan. Sambil meredam sisa isakan, mereka menanti jawaban Frank. “Kita datang ke kapal ini untuk menghadiri pernikahan Finnic dan Sophia. Kalau kita pulang s

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   168. Kecemburuan Finnic

    Sementara Finnic menahan gemuruh dalam dada, para tamu malah tersenyum dan berdecak kagum. “Apakah dua anak itu yang semalam muncul di video? Ya Tuhan .... Ternyata, mereka lebih lucu saat dilihat secara langsung!” “Dan perhatikan anak laki-laki itu! Dia mirip sekali dengan Frank Harper. Apalagi, tangan mereka sama-sama dibungkus.” “Oh, aku iri sekali pada Kara. Dia mempunyai anak-anak dan pasangan yang hebat!” Finnic tertunduk dan menghela napas. Telinganya tak sanggup lagi menangkap lebih banyak pujian. Dulu, ia selalu merasa bahwa dirinya adalah laki-laki terbaik untuk Kara. Sekarang, kenyataan menamparnya dengan kejam. Bukan Kara yang menyia-nyiakan kesetiaannya, ia sendiri yang menyia-nyiakan cintanya. Ia adalah pasangan terburuk untuk Kara. “Aku tidak bisa melanjutkan ini,” gumamnya tanpa sadar. Tanpa berpikir panjang, ia menderapkan langkah menuju toilet terdekat. Semua orang mendadak bergeming menatapnya, termasuk Frank

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   169. Kita Masih Satu Keluarga

    Kara sontak terbelalak. “Lalu? Bagaimana keadaannya?” tanyanya setengah berbisik. “Fase kritisnya sudah lewat. Tapi sekarang, kondisinya masih lemah.” Kara mengangguk. Setelah telepon dari Jeremy berakhir, ia menatap sang kekasih dengan raut serius. “Frank,” ia melirik si Kembar sebentar lalu berbisik, “Kakekmu masuk rumah sakit. Dia terkena serangan jantung.” Raut Frank seketika menegang. Bola matanya sedikit bergetar. “Bagaimana kondisinya sekarang?” Kara mengusap pundaknya. “Sudah membaik. Sekarang masih dalam masa pemulihan. Jeremy sudah mengirim helikopter untuk menjemput kita.” Frank tanpa sadar menghela napas. Sambil mengangguk-angguk, ia mendesah, “Baiklah. Masih ada cukup waktu untuk anak-anak menikmati pesta. Setelah helikopter tiba, kita langsung berangkat.” “Ya,” angguk Kara tanpa berpikir panjang. Ia tahu, sekalipun hubungan antara Frank dan Rowan tidak baik, mereka terhubung oleh darah. Sebagai keluarga, mereka ha

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   170. Sekarang Aku di Sini, Bersamamu

    Frank sontak mengulum senyum. Sambil mencondongkan badan ke depan, ia menyipitkan mata. “Jadi, Mama kalian ini berbakat dalam berbisnis?” “Eng!” Si Kembar kompak mengangguk. “Mama sering bercerita tentang ide-ide dalam kepalanya. Aku sering terispirasi dari situ.” “Terinspirasi, Louis,” koreksi Emily dengan suara manisnya yang memikat hati. Louis sontak memasang tampang lesu. “Ya, itulah maksudku.” Setelah tertawa singkat, Frank mengembalikan tatapannya kepada wanita yang mematung di samping. “Jadi, apa ide bisnismu, Ratuku?” Napas Kara berubah berat. Ia tahu, Frank pasti akan mewujudkan apa pun yang ia sebut. “Aku tidak yakin jika ini bisa mendatangkan keuntungan,” ringisnya. “Tidak masalah. Beberapa proyek Savior lebih mengedepankan manfaat.” Sudut bibir Kara perlahan kembali ringan. Sambil menarik napas dalam-dalam, ia mulai membayangkan idenya. "Sebenarnya, ada satu yang paling ingin kuwujudkan. Membuat aplikasi yang dapat mempermudah pekerjaan ibu-ibu di seluruh dunia."

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   171. Maukah Kakek Bermain Bersama Kami?

    “Apakah kita sudah boleh masuk?” bisik Louis. “Aku tidak tahu. Kita tunggu saja aba-aba dari Papa.” Mendengar percakapan kecil itu, kekakuan Frank luntur. Sambil menarik napas dalam-dalam, ia menepuk-nepuk punggung tangan Rowan. “Kakek, ada yang ingin bertemu denganmu.” “Siapa?” Mata Rowan melebar. Dalam hati, ada kekhawatiran jika orang itu adalah Kara. Jantungnya sedang harus dijaga ekstra. Frank pun berjalan menuju pintu. Begitu ia menarik kenopnya, dua balita terbelalak. “Apakah kami sudah boleh masuk?” bisik Louis dengan raut menggemaskan. Emily yang berdiri di depannya tanpa sadar mencengkeram buku dan menahan napas. Frank mempermanis wajahnya dan mengangguk. “Masuklah anak-anak. Sapa kakek buyut kalian.” Sambil berkedip-kedip, si Kembar melangkah masuk. “Halo, Kakek Rowan. Bagaimana kondisimu?” “Apakah kamu sudah membaik?” sambung Emily, masih dengan alis berkerut. Mendapati dua makhluk cilik itu,

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   172. Tinggalkan Ibu Kalian

    “Aku juga! Aku akan menjadi cicit yang baik,” Louis mengangguk-angguk, tak kalah semangat.Rowan tiba-tiba tertawa hangat. Setelah sekian lama, Frank akhirnya kembali mendengar suara itu. Getarannya meringankan banyak beban dari hatinya. Diam-diam, ia menghela napas lega. Pesona si Kembar memang terlalu memikat untuk diabaikan. Sekarang, ia tinggal mendekatkan sang kakek dengan Kara.“Aku senang sekali kalian mau berjanji seperti ini. Tapi, apakah kalian tahu bagaimana cara menjadi cicit yang baik?” Pria tua itu menaikkan alis.Louis dan Emily bertatapan. Mata mereka membulat, berkomunikasi lewat telepati.“Kami harus rajin belajar,” ujar Emily seraya menaikkan alis.“Menjadi anak yang pintar,” lanjut Louis dengan gestur yang sama.“Lalu kita akan menjadi pebisnis yang sukses seperti Papa!” Si Kembar kompak berseru dengan wajah ceria.Melihat semangat yang menggebu-gebu itu,

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   173. Apakah Kita Kurang Ajar?

    Mendengar pembelaan tersebut, napas Rowan mulai bergemuruh. "Berpikirlah lebih bijak, Anak-Anak. Kita sedang membicarakan masa depan, bukan masa lalu. Kalau kalian ingin mendapat kehidupan yang lebih baik, kalian harus lepas dari ibu kalian dan memilih bersama aku dan Frank." "Kakeklah yang seharusnya berpikir lebih bijak. Kami adalah anak yang baik. Anak yang baik tidak pernah meninggalkan orang tuanya." Emily mengangguk tipis. "Louis benar. Lagi pula, Papa juga sudah berjanji akan menikahi Mama. Kakek tidak boleh memisahkan kami dengan Mama!" Sementara Rowan menggertakkan rahang, Frank menurunkan si Kembar dari ranjang. "Anak-Anak, bagaimana kalau kita pergi sekarang? Biarkan kakek buyut kalian beristirahat dulu supaya pikirannya jernih." "Pikiran Kakek benar-benar butek, Papa. Entah bagaimana kita bisa membersihkannya," celetuk Louis seraya melirik sinis. "Sudahlah, Louis. Kita tidak usah memikirkan Kakek lagi. Aku sudah lelah. Kita sebaiknya memikirkan hal yang lebih bergun

Bab terbaru

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   Ungkapan Terima Kasih untuk Pembaca-Pembaca Hebat

    Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 212. From Zero to Infinity (TAMAT)

    Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 211. Bibi Mau Melahirkan!

    "Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 210. Kegugupan Barbara

    "Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 209. Perjuangan Ava

    Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 208. Kegembiraan Louis dan Emily

    "Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 207. Ulang Tahun Bersama Russell

    "Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 206. Russell Lucu Sekali!

    "Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 205. Keluarlah, Russell!

    Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum

DMCA.com Protection Status