Hai, hai! Terima kasih buat teman-teman yang selalu setia nungguin chapter terbaru dari cerita ini. Pixie doakan semoga kalian semua sehat-sehat selalu, yaa. Rejeki lancar dan kaki-kakinya bertambah kuat untuk menempuh lika-liku kehidupan, seperti Kara dan si Kembar.
Wela dan Rony saling menatap. Selang satu kedipan, mereka melebarkan senyuman. "Tentu." "Apakah Papa mau menjadikan Dokter Wela mitra untuk fitur konsultasi di aplikasi Mama?" Suara manis Emily menyita perhatian. Frank pun tersenyum. "Ya, Tuan Putri. Tepat sekali." "Wah, Anak Manis,” Wela terbelalak, “kau yakin umurmu empat tahun? Bicaramu sudah seperti pebisnis." "Ya, aku dan Emily memang jenius. Kami adalah calon pebisnis sukses," timpal Louis penuh percaya diri. Frank kembali tertawa ringan. Ia semakin bangga dengan si Kembar. "Bagaimana kalau kita melanjutkan obrolan ini di limo? Jangan sampai Mama khawatir karena kita pergi terlalu lama." Mata Louis membulat. "Benar! Mama bisa tidak fokus dengan proyeknya karena memikirkan kita." Sedetik kemudian, ia menarik tangan sang adik. "Ayo, Emily. Kita harus bergegas. Kaki kita pendek. Langkah kita tidak secepat orang besar. Jadi, kita harus gesit." "Tunggu dulu! Mahk
"Tentu saja. Kau terus mengabaikan teleponku." Vivian menaikkan nada bicaranya. Frank tertawa usil. "Baiklah, aku minta maaf. Aku tidak akan mengabaikan telepon Bibi lagi, tapi berjanjilah untuk tidak menceramahiku ataupun menentang hubunganku dengan Kara." Vivian sontak mencubit lengan Frank yang sehat. "Apa yang kau bicarakan? Tentu saja aku mendukung kalian. Apa kau sudah lupa siapa yang membawa Kara kepadamu?" "Tentu saja aku ingat. Bibi yang membawa Kara kembali kepadaku," sahut Frank diiringi anggukan dalam. Tiba-tiba, wanita anggun itu mencibir. Tangannya terlipat di depan dada. "Kara itu memang gadis pilihan. Kau beruntung dia mau menerimamu." Frank menoleh ke arah Kara. Senyumnya penuh makna.Memang hanya Kara yang tahan menghadapinya, sekaligus sanggup mengubahnya menjadi sebaik sekarang. “Ya, Bibi benar. Aku sangat beruntung. Sangat-sangat beruntung.” Sementara Kara tersipu, yang lain tersenyum simpul. Saat itu pu
Mata Louis terbuka maksimal saat melihat mobil yang terparkir di depan rumah sang ayah. Alisnya terdongkrak dan mulutnya membulat. Selang satu kedipan, barulah ia bersuara, “Bukankah itu mobil 4-seater tercepat di dunia?” Frank mengulum senyum dan mengacak rambut putranya. “Benar, Jagoan.” Masih dengan tampang melongo, ia mendongak. “Kita akan naik itu sekarang?” “Ya, Malaikat Kecil,” Kara meyakinkan. “Apakah kau senang?” Tawa Louis akhirnya mengudara. “Tentu saja! Itu mobil terkeren yang pernah ada!” Kemudian, sambil melompat-lompat, ia berputar mengelilingi orang tuanya. “Woohoo! Aku akan naik hypercar! Ini adalah kado ulang tahun terbaik yang pernah ada. Aku adalah anak laki-laki yang paling beruntung sedunia!” Sementara Louis berlari dan memeluk mobil impiannya, Emily menatap Frank lewat sudut atas matanya. “Papa, kita akan mengelilingi kota dan Louis duduk di depan?” “Benar, Tuan Putri. Setelah itu, baru kita pergi mewujudkan keinginanmu. Kamu tidak keberatan kalau kakakmu
Kara sontak mendengus. Sambil memakaikan kekasihnya bando, ia balas berbisik, “Jangan macam-macam. Ingat? Hukumanmu belum selesai. Kamu masih dalam masa percobaan. Louis bisa mengamuk dan berceramah seharian nanti.” “Mama!” Suara bocah laki-laki itu menyentak mereka berdua. “Ya, Sayang?” Kara menoleh. Emily ternyata sedang tergelak sambil menyeret kakaknya. Mereka sudah menjauh beberapa langkah. “Ayo, Mama, Papa! Jangan lama-lama. Nanti tuan putri di sana sudah bubar.” Frank dan Kara sontak mendesahkan tawa. Sambil bergandengan tangan, mereka mengiringi si Kembar. Sesampainya di kastil, senyum Emily tak sedetik pun pudar. Ia menghampiri satu per satu tuan putri dan mengajak mereka berfoto. Louis mau tidak mau ikut bergaya bersamanya. Ia sudah bertekad untuk tidak mendengar tangisan Emily hari ini. “Papa, itu Belle! Dia tuan putri favoritku. Aku mau berfoto bersamanya.” Emily mengangguk-angguk penuh semangat. Tangannya telah kemba
“Dunia ini tidak adil sekali. Aku sudah mati-matian menjaga penampilan, banting tulang agar uangku banyak. Tapi lihatlah laki-laki yang kudapat. Bahkan tidak ada sepersepuluh dari Frank Harper.” “Ya, memang tidak adil. Nasib perempuan itu terlalu baik. Dia hanya mengandalkan keberuntungan saja dan memanfaatkan kesalahan orang.” Kara memutar bola matanya. Tak ingin menggubris, ia memeriksa ponsel. Saat itulah, sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. "Siapa ini?" Alis Kara berkerut. Setelah sempat ragu, ia akhirnya mengklik link media sosial yang dibagikan oleh orang misterius itu. Dalam sekejap, deretan komentar negatif tentang dirinya terpampang. "Aku kasihan pada Frank Harper. Dia seharusnya fokus mengembangkan perusahaan, tapi sekarang malah sibuk mengurus anak-anak dan perempuan yang tidak jelas asal-usulnya." "Aku lebih kasihan pada anak-anak kembar itu. Mereka harus bersama orang tua yang tidak tulus saling me
"Sejak kapan kalian di sini?" desah Kara penuh keharuan. "Sejak kami selesai membeli es krim." Emily menunjukkan isi cup di tangannya. "Dan sejak Mama bilang kalau kekayaan dan kekuasaan bukan tolok ukur bla bla bla," lanjut Louis dengan mata bulat. Kara kembali tertawa. Setelah memutar posisi duduknya, ia merentangkan tangan. "Apakah kalian mau memeluk Mama? Mama sedang butuh kekuatan." Si Kembar cepat-cepat meletakkan es krim di atas meja lalu menyerbu sang ibu. Keceriaan mereka menggetarkan hati Frank. Sambil tersenyum simpul, pria itu ikut bergabung dalam pelukan. "O, aku terjepit," cicit Emily sambil membetulkan bandonya. Frank dan Kara kembali tertawa. Bersama-sama, mereka menghujani si Kembar dengan kecupan. Orang-orang yang menyaksikan tanpa sadar ikut melengkungkan bibir, termasuk para wanita yang sejenak lupa dengan tugas sandiwara mereka. "Permisi, Tuan dan Nyonya. Pesanan kalian datang." Mereka akhirnya melepas dekapan. Saat melihat troli yang dibawakan oleh p
“Papa punya banyak cita-cita.” Suara Frank tipis dan tatapannya menerawang. “Papa sempat ingin menjadi pilot. Papa juga ingin menjadi pembalap.” “Karena itukah Papa bisa mengendarai helikopter?” Mata Louis berbinar. Frank menatapnya dan mengangguk. “Ya, pada akhirnya, Papa hanya menjadikan itu hobi.” Si Kembar berdecak kegum. “Papa memang hebat. Hal sulit saja bisa dijadikan hobi.” “Aku kalau sudah besar nanti juga bisa mengendarai helikopter.” Louis menusuk dadanya sendiri dengan jempol. “Tunggu beberapa tahun lagi, Emily, aku akan membawamu berkeliling di udara.” Semangat Louis begitu menggebu-gebu. Namun, sang adik hanya mengangguk seadanya. Ia lebih tertarik oleh hal lain. “Lalu, apakah Papa bahagia selama menjadi CEO di Savior?” Gadis mungil itu tampak iba. Frank terdiam sejenak. “Menurut Papa, ada dua aturan penting dalam menyikapi pilihan. Pertama, buatlah pilihan terbaik sehingga kita tidak perlu menyesa
"Selamat siang, Tuan dan Nyonya Hall," sapa Frank sopan. Kara yang berdiri di sampingnya tersenyum. Dia sedikit menganggukkan kepala. Alih-alih membalas sambutan, dua tamu itu langsung masuk dan duduk di sofa. Sang pria tetap dengan raut tegasnya. Dia langsung mengepalkan tangan di atas lutut. Sementara itu, sang wanita tak bisa berhenti menyoroti Kara dari sudut matanya. "Kurasa kita tidak perlu berpanjang lebar. Kau pasti sudah mengerti maksud kedatangan kami," ujar Vincent Hall dengan nada rendah. Frank menarik napas berat. Sambil duduk dengan perlahan, ia bertanya, "Anda ingin minum apa? Kopi? Teh?" "Tidak usah," sambar Sara ketus. "Kami hanya butuh penjelasan. Berani sekali kau memutuskan pertunangan dengan putri kami secara sepihak?" Kara berkedip tegang. Namun, Frank tampak tak terusik sedikit pun. Dengan raut tenang, ia mengangguk-angguk pelan. "Sebetulnya, saya sudah berencana untuk menemui kalian. Hanya saja