“Papa punya banyak cita-cita.” Suara Frank tipis dan tatapannya menerawang. “Papa sempat ingin menjadi pilot. Papa juga ingin menjadi pembalap.” “Karena itukah Papa bisa mengendarai helikopter?” Mata Louis berbinar. Frank menatapnya dan mengangguk. “Ya, pada akhirnya, Papa hanya menjadikan itu hobi.” Si Kembar berdecak kegum. “Papa memang hebat. Hal sulit saja bisa dijadikan hobi.” “Aku kalau sudah besar nanti juga bisa mengendarai helikopter.” Louis menusuk dadanya sendiri dengan jempol. “Tunggu beberapa tahun lagi, Emily, aku akan membawamu berkeliling di udara.” Semangat Louis begitu menggebu-gebu. Namun, sang adik hanya mengangguk seadanya. Ia lebih tertarik oleh hal lain. “Lalu, apakah Papa bahagia selama menjadi CEO di Savior?” Gadis mungil itu tampak iba. Frank terdiam sejenak. “Menurut Papa, ada dua aturan penting dalam menyikapi pilihan. Pertama, buatlah pilihan terbaik sehingga kita tidak perlu menyesa
"Selamat siang, Tuan dan Nyonya Hall," sapa Frank sopan. Kara yang berdiri di sampingnya tersenyum. Dia sedikit menganggukkan kepala. Alih-alih membalas sambutan, dua tamu itu langsung masuk dan duduk di sofa. Sang pria tetap dengan raut tegasnya. Dia langsung mengepalkan tangan di atas lutut. Sementara itu, sang wanita tak bisa berhenti menyoroti Kara dari sudut matanya. "Kurasa kita tidak perlu berpanjang lebar. Kau pasti sudah mengerti maksud kedatangan kami," ujar Vincent Hall dengan nada rendah. Frank menarik napas berat. Sambil duduk dengan perlahan, ia bertanya, "Anda ingin minum apa? Kopi? Teh?" "Tidak usah," sambar Sara ketus. "Kami hanya butuh penjelasan. Berani sekali kau memutuskan pertunangan dengan putri kami secara sepihak?" Kara berkedip tegang. Namun, Frank tampak tak terusik sedikit pun. Dengan raut tenang, ia mengangguk-angguk pelan. "Sebetulnya, saya sudah berencana untuk menemui kalian. Hanya saja
"Jadi, maksud kalian, kami gagal mendidik anak kami?" simpul Sara dengan suara lirih. Si Kembar kompak mengangkat bahu. "Kami tidak bilang begitu. Kami cuma heran kenapa kalian memarahi Papa kami. Anak kalian itu Frank Harper atau Isabela?" Tiba-tiba, Vincent beranjak dari posisinya. Sambil meluruskan jas, ia berdeham. "Sara, ayo pulang." Sang istri terbelalak. "Tapi ...." "Kurasa tidak ada lagi yang perlu dibahas. Kesepakatan dengan keluarga Harper sudah usai." Frank diam-diam tersenyum miring. Lagi-lagi, si Kembar memberikan solusi untuk masalahnya. "Lini bisnis kita berbeda, Tuan Hall. Tapi kalau ada proyek yang bisa kita kerjakan bersama, mari berbincang lagi di lain waktu." Vincent menatap Frank tanpa emosi. Selang keheningan sejenak, ia menyodorkan tangan. "Selamat, Frank. Kalian memang masih muda. Tapi kurasa, kalian jauh lebih hebat dalam membesarkan anak-anak." Sara mendesah tak percaya. Sebelum ia sempat menyela, Frank telah menjabat tangan suaminya. "Apakah k
Bukannya balas menyapa, Ben malah mengacungkan telunjuk dan melanjutkan ceramah."Ada beberapa cara untuk melakukan manifestasi. Afirmasi—kalian ucapkan hal-hal positif yang ingin kalian raih. Visualisasi—kalian bayangkan apa yang ingin kalian raih. Meditasi—kalian pikir dan rasakan bagaimana perasaan saat keinginan kalian tercapai.""Lalu, yang mana yang kami lakukan ini, Tuan Wilson?" Emily berkedip lucu.Ben menekuk lutut, menyejajarkan pandangannya dengan para balita."Yang kalian lakukan adalah scripting. Kalian tulis semua kenyataan yang ingin diwujudkan.""Tapi, khusus untuk pesta ini, kami tidak menulisnya. Kami hanya menyebutnya berulang kali," celetuk Louis dengan raut serius."Aku juga membayangkannya, Louis. Aku memikirkan pesta yang meriah. Dekorasinya indah. Pakaian kita keren. Ada banyak tamu dan makanan enak. Aku selalu senang setiap membayangkannya sampai-sampai dadaku teras
“Kakek Rowan?” Si Kembar terbelalak dan mendesah tak percaya. Kesedihan mereka mendadak sirna. Diiringi tawa gembira, mereka pun berlari menghampiri si pria tua. “Aku tahu, Kakek pasti datang! Kakek tidak mungkin membuat kami sedih. Kakek menyayangi kami seperti kami menyayangi Kakek,” tutur Louis. “Ya, Kakek memang orang baik!” sambung Emily. Setibanya di hadapan Rowan, mereka langsung memeluk kakinya. “Terima kasih, sudah datang, Kek! Kami senang sekali! Kakek akhirnya mau berubah dan menerima kami.” Emily mendongak, memberikan senyum terbaiknya. Ia tampak sangat lucu dengan mata yang memantulkan cahaya keemasan. Akan tetapi, Rowan seperti tak terpengaruh. Ia hanya mengangkat alis dan memajukan bibir sedikit. “Aku tidak bawa kado,” ucapnya datar. “Tidak apa-apa. Kehadiran Kakek saja sudah sangat istimewa,” celetuk Emily sembari meraih jemari Rowan. “Kakek, ayo ikut kami tiup lilin.” “Ya,” Louis ikut menarik Ro
Selama beberapa detik, Rowan memandangi kue itu. Sorot matanya yang tidak fokus menyiratkan sesuatu. Selang satu tarikan napas panjang, ia bergumam, “Aku tidak suka makanan manis.” “Tapi ini kue ulang tahun kami, Kek. Makanlah sedikit. Ini tanda sayang kami kepada Kakek karena Kakek spesial bagi kami.” Louis menyodorkan sendok lebih dekat. Rowan mendengus samar. Matanya sedikit menyipit. “Kenapa kalian menganggapku spesial?” “Karena Kakek adalah kakek buyut kami, dan kita adalah keluarga,” sahut Emily dengan suara manis. “Ayo, Kakek. Makanlah! Seujung sendok juga tidak apa-apa.” Kara dan Frank mulai bergerak gusar. Penolakan Rowan terlalu jelas. Namun, tepat ketika mereka hendak menarik si Kembar mundur, pria tua itu mengambil sendok dari tangan Louis. Sang balita spontan mengulum bibir. Jari kaki mereka bergerak-gerak di dalam sepatu, saking senangnya. “Begitukah? Aku spesial karena kita adalah keluarga?” Rowan mendekatkan sendok ke piring. “Ya, Kakek! Kamu adalah kakek terbaik
Frank sontak mengerutkan alis, begitu pula Rowan. Kara juga bertanya-tanya. Mengapa Vivian datang sambil bertepuk tangan? “Hebat sekali!” ucap wanita paruh baya itu untuk kesekian kalinya. “Bertahun-tahun berlalu, ternyata Anda masih saja sama. Saya nyaris tidak bisa membedakan antara konsisten dan keras kepala.” Rowan sontak mengangkat tangan. Orang-orangnya pun membekukan langkah. “Apa maksudmu?” Turut merasakan perubahan suasana itu, tangis si Kembar terhenti. Sambil berusaha menahan sisa isakan, mereka menyaksikan Vivian berjalan mendekat. “Apakah kalian pikir ... malam itu adalah sebuah kesalahan?” tanyanya dengan senyum tipis yang berbeda dari biasanya. Ada kesan licik pada parasnya. Keheningan pun menggantung. Frank dan Kara saling lirik, sedangkan Rowan sibuk menata analisis. “Tidak. Bagiku, itu adalah sebuah keberhasilan. Bukankah sudah kubilang kalau Kara adalah gadis pilihanku?” Vivian meninggikan sebelah alis. “Apa
Rowan mendesah berat. Tangannya mencengkeram pegangan kursi lebih erat. “Tidak! Ini pasti hanya akal-akalanmu saja! Kau ingin merebut Savior dari tangan cucuku, hmm? Sampai kapan pun, aku tidak akan membiarkan perusahaanku jatuh ke dalam genggaman orang yang tidak jelas asal-usulnya.” “Anda pikir saya senang menjalankan misi ini?” bentak Vivian tanpa terduga. Semua orang tercengang melihatnya. Wanita anggun itu ternyata juga bisa menjadi mengerikan. “Berulang kali, aku mengingatkan diri sendiri untuk melupakan dendam. Tapi apa? Setiap melihat putraku, aku selalu teringat akan ayahnya yang pengecut. Setiap malam, aku tidak bisa tidur karena membendung kebencian yang tak mungkin bisa diungkapkan.” Tiba-tiba, isak tangis lolos di sela napasnya. “Hingga ketika aku sungguh tidak tahan, aku nekat menitipkan putraku ke panti asuhan. Tapi ternyata, aku semakin dibutakan oleh dendam. Aku terlalu fokus dengan kemalanganku, sampai-sampai putraku terabaikan.”