Beranda / CEO / Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan / 183. Pesta Ulang Tahun si Kembar

Share

183. Pesta Ulang Tahun si Kembar

Penulis: Pixie
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Bukannya balas menyapa, Ben malah mengacungkan telunjuk dan melanjutkan ceramah. 

"Ada beberapa cara untuk melakukan manifestasi. Afirmasi—kalian ucapkan hal-hal positif yang ingin kalian raih. Visualisasi—kalian bayangkan apa yang ingin kalian raih. Meditasi—kalian pikir dan rasakan bagaimana perasaan saat keinginan kalian tercapai."

"Lalu, yang mana yang kami lakukan ini, Tuan Wilson?" Emily berkedip lucu. 

Ben menekuk lutut, menyejajarkan pandangannya dengan para balita. 

"Yang kalian lakukan adalah scripting. Kalian tulis semua kenyataan yang ingin diwujudkan."

"Tapi, khusus untuk pesta ini, kami tidak menulisnya. Kami hanya menyebutnya berulang kali," celetuk Louis dengan raut serius. 

"Aku juga membayangkannya, Louis. Aku memikirkan pesta yang meriah. Dekorasinya indah. Pakaian kita keren. Ada banyak tamu dan makanan enak. Aku selalu senang setiap membayangkannya sampai-sampai dadaku teras

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   184. Kue Spesial untuk Rowan

    “Kakek Rowan?” Si Kembar terbelalak dan mendesah tak percaya. Kesedihan mereka mendadak sirna. Diiringi tawa gembira, mereka pun berlari menghampiri si pria tua. “Aku tahu, Kakek pasti datang! Kakek tidak mungkin membuat kami sedih. Kakek menyayangi kami seperti kami menyayangi Kakek,” tutur Louis. “Ya, Kakek memang orang baik!” sambung Emily. Setibanya di hadapan Rowan, mereka langsung memeluk kakinya. “Terima kasih, sudah datang, Kek! Kami senang sekali! Kakek akhirnya mau berubah dan menerima kami.” Emily mendongak, memberikan senyum terbaiknya. Ia tampak sangat lucu dengan mata yang memantulkan cahaya keemasan. Akan tetapi, Rowan seperti tak terpengaruh. Ia hanya mengangkat alis dan memajukan bibir sedikit. “Aku tidak bawa kado,” ucapnya datar. “Tidak apa-apa. Kehadiran Kakek saja sudah sangat istimewa,” celetuk Emily sembari meraih jemari Rowan. “Kakek, ayo ikut kami tiup lilin.” “Ya,” Louis ikut menarik Ro

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   185. Pisahkan Mereka!

    Selama beberapa detik, Rowan memandangi kue itu. Sorot matanya yang tidak fokus menyiratkan sesuatu. Selang satu tarikan napas panjang, ia bergumam, “Aku tidak suka makanan manis.” “Tapi ini kue ulang tahun kami, Kek. Makanlah sedikit. Ini tanda sayang kami kepada Kakek karena Kakek spesial bagi kami.” Louis menyodorkan sendok lebih dekat. Rowan mendengus samar. Matanya sedikit menyipit. “Kenapa kalian menganggapku spesial?” “Karena Kakek adalah kakek buyut kami, dan kita adalah keluarga,” sahut Emily dengan suara manis. “Ayo, Kakek. Makanlah! Seujung sendok juga tidak apa-apa.” Kara dan Frank mulai bergerak gusar. Penolakan Rowan terlalu jelas. Namun, tepat ketika mereka hendak menarik si Kembar mundur, pria tua itu mengambil sendok dari tangan Louis. Sang balita spontan mengulum bibir. Jari kaki mereka bergerak-gerak di dalam sepatu, saking senangnya. “Begitukah? Aku spesial karena kita adalah keluarga?” Rowan mendekatkan sendok ke piring. “Ya, Kakek! Kamu adalah kakek terbaik

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   186. Malam Itu Bukanlah Kesalahan

    Frank sontak mengerutkan alis, begitu pula Rowan. Kara juga bertanya-tanya. Mengapa Vivian datang sambil bertepuk tangan? “Hebat sekali!” ucap wanita paruh baya itu untuk kesekian kalinya. “Bertahun-tahun berlalu, ternyata Anda masih saja sama. Saya nyaris tidak bisa membedakan antara konsisten dan keras kepala.” Rowan sontak mengangkat tangan. Orang-orangnya pun membekukan langkah. “Apa maksudmu?” Turut merasakan perubahan suasana itu, tangis si Kembar terhenti. Sambil berusaha menahan sisa isakan, mereka menyaksikan Vivian berjalan mendekat. “Apakah kalian pikir ... malam itu adalah sebuah kesalahan?” tanyanya dengan senyum tipis yang berbeda dari biasanya. Ada kesan licik pada parasnya. Keheningan pun menggantung. Frank dan Kara saling lirik, sedangkan Rowan sibuk menata analisis. “Tidak. Bagiku, itu adalah sebuah keberhasilan. Bukankah sudah kubilang kalau Kara adalah gadis pilihanku?” Vivian meninggikan sebelah alis. “Apa

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   187. Pewaris Savior yang Sesungguhnya

    Rowan mendesah berat. Tangannya mencengkeram pegangan kursi lebih erat. “Tidak! Ini pasti hanya akal-akalanmu saja! Kau ingin merebut Savior dari tangan cucuku, hmm? Sampai kapan pun, aku tidak akan membiarkan perusahaanku jatuh ke dalam genggaman orang yang tidak jelas asal-usulnya.” “Anda pikir saya senang menjalankan misi ini?” bentak Vivian tanpa terduga. Semua orang tercengang melihatnya. Wanita anggun itu ternyata juga bisa menjadi mengerikan. “Berulang kali, aku mengingatkan diri sendiri untuk melupakan dendam. Tapi apa? Setiap melihat putraku, aku selalu teringat akan ayahnya yang pengecut. Setiap malam, aku tidak bisa tidur karena membendung kebencian yang tak mungkin bisa diungkapkan.” Tiba-tiba, isak tangis lolos di sela napasnya. “Hingga ketika aku sungguh tidak tahan, aku nekat menitipkan putraku ke panti asuhan. Tapi ternyata, aku semakin dibutakan oleh dendam. Aku terlalu fokus dengan kemalanganku, sampai-sampai putraku terabaikan.”

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   188. Aku Terlalu Jahat

    Tanpa melepas pandang dari Jeremy, Rowan menggeram. Matanya penuh guratan merah yang entah melukiskan kebencian atau kekecewaan. “Aku ingin beristirahat. Pulang sekarang.” Sean sontak mengangguk dan memberi kode kepada anak buahnya. Kemudian, tanpa menunggu perintah lebih lanjut, ia menuntun bosnya keluar dari ruangan. Melihat perubahan situasi yang terlalu drastis itu, Louis berkedip-kedip dan menggaruk pelipis. “Jadi, Jeremy ternyata adalah paman kami? Dia juga cucu Rowan Harper? Lalu, kenapa Kakek Buyut pergi begitu saja? Apakah dia terlalu marah dan takut jantungnya sakit lagi?” “Mungkin dia terlalu terkejut,” sahut Emily seraya mengelap hidung dengan sapu tangan. “Dia butuh waktu untuk berpikir.” Frank berkedip-kedip menatap si Kembar. Sambil tersenyum tipis, ia mengelus pipi mereka. “Kita beri Kakek Rowan waktu, hmm?” “Ya,” para balita kompak mengangguk. Setelah tersenyum kepada mereka dan juga Kara, barulah Frank berputar menghadap asistennya. “Sekarang kau mau bagaimana

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   189. Berhenti Memanggilku Tuan Muda

    Kara pun mencebik, menggerak-gerakkan kepala seolah itu bukan masalah besar. “Oke. Apa? Tanyakan saja.” “Menurutmu,” Frank menarik napas, “apakah Jeremy akan menerima tawaranku?" Bukannya bersimpati, Kara malah memiringkan kepala dengan mata sipit. "Tawaran apa? Maaf atau jabatan?" Nada suaranya lucu. Ia tidak mau ketegangan merasuki udara lagi. Menyadari itu, sudut bibir Frank naik. "Dua-duanya." Kara bergumam seolah berpikir keras. "Kalau tawaran maaf, dia pasti menerimanya. Tapi kalau tawaran jabatan, aku tidak tahu. Ada banyak faktor yang harus dipertimbangkan. Kesediaannya, dampaknya, dan reaksi kakek kalian. Tapi ...." Kara memberi penekanan lebih pada kata terakhir. "Kurasa kau tidak perlu memusingkan hasilnya. Yang dinilai itu adalah ketulusan." Ia menepuk dada sang kekasih ringan. Kemudian, dengan senyum simpul, ia berbisik, "Selamat malam, Frank." "Bolehkah aku tidur bersamamu lagi?" sambar pria itu sigap.

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   190. Pelajaran dari Seorang Kakak

    Setelah menjepit pelipis sejenak, Frank menyandarkan punggung pada sandaran. "Semalam aku sudah merenung. Kelakuanku selama ini kepadamu tidaklah wajar. Aku sudah memberimu banyak kesulitan. Aku berlagak seperti seorang bos hebat." Jeremy mengangkat bahunya sekilas. "Bukankah Anda memang bos yang hebat? Lagi pula, identitas saya belum terbongkar saat itu. Wajar jika Anda memberi saya tugas sulit." "Tetap saja, aku merasa bersalah." Frank tiba-tiba tampak lelah. Kantong matanya menebal, membuatnya tampak menua. "Kau adalah putra pertama dari ayahku, pewaris Savior yang sesungguhnya. Tapi aku malah memperlakukanmu ...." Melihat Frank tidak mampu menyelesaikan kalimat, Jeremy tersenyum tipis. "Aku senang kau sudah berubah, Adikku. Tapi, kau tidak perlu merasa begitu terhadapku. Begini saja .... Aku akan berbicara santai kepadamu kalau kau menghapus penyesalanmu itu." Sebelum Jeremy bisa menyanggah lebih lanjut, Frank memotong, "Berbicara santai saja tida

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   191. Surat dari Masa Lalu

    "Norman ...." Rowan mengelus wajah potret putra tunggalnya. Dagunya berkedut dan matanya berkaca-kaca. "Apakah yang dikatakan Vivian itu benar? Semasa hidup, kau selalu tertekan dan menderita?" Lewat desah panjang, pria tua itu berusaha melepas panas dari dalam paru-paru. Malangnya, ia malah bertambah sesak. Air mata pun mendesak keluar dari batas. "Kau selalu tersenyum dan terlihat bersemangat. Kau selalu memenuhi keinginanku terhadapmu dengan sempurna. Tidak seorang pun akan berpikir kalau kau menjalani semua itu dengan terpaksa." Tiba-tiba, Rowan mengangkat wajah. Tatapannya semakin jauh menerawang. "Tapi setelah kuingat-ingat lagi, kau memang tidak pernah menyuarakan keinginan ataupun perasaanmu. Kau selalu mengiyakan perintahku dan menjalaninya." Saat kembali tertunduk, setetes air mata jatuh pada bingkai fotonya. "Apakah perlakuanku telah merampas kebahagiaanmu? Tapi aku hanya menginginkan yang terbaik untukmu, sama seperti harapanku terhadap Frank, putramu." Bibir

Bab terbaru

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   Ungkapan Terima Kasih untuk Pembaca-Pembaca Hebat

    Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 212. From Zero to Infinity (TAMAT)

    Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 211. Bibi Mau Melahirkan!

    "Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 210. Kegugupan Barbara

    "Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 209. Perjuangan Ava

    Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 208. Kegembiraan Louis dan Emily

    "Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 207. Ulang Tahun Bersama Russell

    "Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 206. Russell Lucu Sekali!

    "Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 205. Keluarlah, Russell!

    Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum

DMCA.com Protection Status