Frank sontak mengerutkan alis, begitu pula Rowan. Kara juga bertanya-tanya. Mengapa Vivian datang sambil bertepuk tangan?
“Hebat sekali!” ucap wanita paruh baya itu untuk kesekian kalinya. “Bertahun-tahun berlalu, ternyata Anda masih saja sama. Saya nyaris tidak bisa membedakan antara konsisten dan keras kepala.”
Rowan sontak mengangkat tangan. Orang-orangnya pun membekukan langkah. “Apa maksudmu?”
Turut merasakan perubahan suasana itu, tangis si Kembar terhenti. Sambil berusaha menahan sisa isakan, mereka menyaksikan Vivian berjalan mendekat.
“Apakah kalian pikir ... malam itu adalah sebuah kesalahan?” tanyanya dengan senyum tipis yang berbeda dari biasanya. Ada kesan licik pada parasnya.
Keheningan pun menggantung. Frank dan Kara saling lirik, sedangkan Rowan sibuk menata analisis.
“Tidak. Bagiku, itu adalah sebuah keberhasilan. Bukankah sudah kubilang kalau Kara adalah gadis pilihanku?” Vivian meninggikan sebelah alis.
“Apa
Rowan mendesah berat. Tangannya mencengkeram pegangan kursi lebih erat. “Tidak! Ini pasti hanya akal-akalanmu saja! Kau ingin merebut Savior dari tangan cucuku, hmm? Sampai kapan pun, aku tidak akan membiarkan perusahaanku jatuh ke dalam genggaman orang yang tidak jelas asal-usulnya.” “Anda pikir saya senang menjalankan misi ini?” bentak Vivian tanpa terduga. Semua orang tercengang melihatnya. Wanita anggun itu ternyata juga bisa menjadi mengerikan. “Berulang kali, aku mengingatkan diri sendiri untuk melupakan dendam. Tapi apa? Setiap melihat putraku, aku selalu teringat akan ayahnya yang pengecut. Setiap malam, aku tidak bisa tidur karena membendung kebencian yang tak mungkin bisa diungkapkan.” Tiba-tiba, isak tangis lolos di sela napasnya. “Hingga ketika aku sungguh tidak tahan, aku nekat menitipkan putraku ke panti asuhan. Tapi ternyata, aku semakin dibutakan oleh dendam. Aku terlalu fokus dengan kemalanganku, sampai-sampai putraku terabaikan.”
Tanpa melepas pandang dari Jeremy, Rowan menggeram. Matanya penuh guratan merah yang entah melukiskan kebencian atau kekecewaan. “Aku ingin beristirahat. Pulang sekarang.” Sean sontak mengangguk dan memberi kode kepada anak buahnya. Kemudian, tanpa menunggu perintah lebih lanjut, ia menuntun bosnya keluar dari ruangan. Melihat perubahan situasi yang terlalu drastis itu, Louis berkedip-kedip dan menggaruk pelipis. “Jadi, Jeremy ternyata adalah paman kami? Dia juga cucu Rowan Harper? Lalu, kenapa Kakek Buyut pergi begitu saja? Apakah dia terlalu marah dan takut jantungnya sakit lagi?” “Mungkin dia terlalu terkejut,” sahut Emily seraya mengelap hidung dengan sapu tangan. “Dia butuh waktu untuk berpikir.” Frank berkedip-kedip menatap si Kembar. Sambil tersenyum tipis, ia mengelus pipi mereka. “Kita beri Kakek Rowan waktu, hmm?” “Ya,” para balita kompak mengangguk. Setelah tersenyum kepada mereka dan juga Kara, barulah Frank berputar menghadap asistennya. “Sekarang kau mau bagaimana
Kara pun mencebik, menggerak-gerakkan kepala seolah itu bukan masalah besar. “Oke. Apa? Tanyakan saja.” “Menurutmu,” Frank menarik napas, “apakah Jeremy akan menerima tawaranku?" Bukannya bersimpati, Kara malah memiringkan kepala dengan mata sipit. "Tawaran apa? Maaf atau jabatan?" Nada suaranya lucu. Ia tidak mau ketegangan merasuki udara lagi. Menyadari itu, sudut bibir Frank naik. "Dua-duanya." Kara bergumam seolah berpikir keras. "Kalau tawaran maaf, dia pasti menerimanya. Tapi kalau tawaran jabatan, aku tidak tahu. Ada banyak faktor yang harus dipertimbangkan. Kesediaannya, dampaknya, dan reaksi kakek kalian. Tapi ...." Kara memberi penekanan lebih pada kata terakhir. "Kurasa kau tidak perlu memusingkan hasilnya. Yang dinilai itu adalah ketulusan." Ia menepuk dada sang kekasih ringan. Kemudian, dengan senyum simpul, ia berbisik, "Selamat malam, Frank." "Bolehkah aku tidur bersamamu lagi?" sambar pria itu sigap.
Setelah menjepit pelipis sejenak, Frank menyandarkan punggung pada sandaran. "Semalam aku sudah merenung. Kelakuanku selama ini kepadamu tidaklah wajar. Aku sudah memberimu banyak kesulitan. Aku berlagak seperti seorang bos hebat." Jeremy mengangkat bahunya sekilas. "Bukankah Anda memang bos yang hebat? Lagi pula, identitas saya belum terbongkar saat itu. Wajar jika Anda memberi saya tugas sulit." "Tetap saja, aku merasa bersalah." Frank tiba-tiba tampak lelah. Kantong matanya menebal, membuatnya tampak menua. "Kau adalah putra pertama dari ayahku, pewaris Savior yang sesungguhnya. Tapi aku malah memperlakukanmu ...." Melihat Frank tidak mampu menyelesaikan kalimat, Jeremy tersenyum tipis. "Aku senang kau sudah berubah, Adikku. Tapi, kau tidak perlu merasa begitu terhadapku. Begini saja .... Aku akan berbicara santai kepadamu kalau kau menghapus penyesalanmu itu." Sebelum Jeremy bisa menyanggah lebih lanjut, Frank memotong, "Berbicara santai saja tida
"Norman ...." Rowan mengelus wajah potret putra tunggalnya. Dagunya berkedut dan matanya berkaca-kaca. "Apakah yang dikatakan Vivian itu benar? Semasa hidup, kau selalu tertekan dan menderita?" Lewat desah panjang, pria tua itu berusaha melepas panas dari dalam paru-paru. Malangnya, ia malah bertambah sesak. Air mata pun mendesak keluar dari batas. "Kau selalu tersenyum dan terlihat bersemangat. Kau selalu memenuhi keinginanku terhadapmu dengan sempurna. Tidak seorang pun akan berpikir kalau kau menjalani semua itu dengan terpaksa." Tiba-tiba, Rowan mengangkat wajah. Tatapannya semakin jauh menerawang. "Tapi setelah kuingat-ingat lagi, kau memang tidak pernah menyuarakan keinginan ataupun perasaanmu. Kau selalu mengiyakan perintahku dan menjalaninya." Saat kembali tertunduk, setetes air mata jatuh pada bingkai fotonya. "Apakah perlakuanku telah merampas kebahagiaanmu? Tapi aku hanya menginginkan yang terbaik untukmu, sama seperti harapanku terhadap Frank, putramu." Bibir
"Apa yang sudah kulakukan, Sean?" Air mata Rowan berjatuhan."Apakah aku sudah mendidik anak dan cucuku dengan cara yang salah? Aku hanya ingin mereka mendapat hidup yang sempurna. Tapi mengapa ... aku malah membuat mereka tersiksa?" Sementara Rowan terisak, Sean memungut surat dan mengembalikannya seperti semula. Tidak ada kata yang berani ia ucapkan. "Apa gunanya aku hidup selama ini kalau anak dan cucuku saja membenciku? Perhatianku terhadap mereka selama ini sama sekali tidak berarti, Sean. Tidak." "Maaf, Tuan. Menurut saya, mereka tidak membenci Anda. Bukankah Tuan Norman menyebutkan kalau berbakti kepada Anda adalah panggilan hidupnya? Beliau pasti sangat menyayangi Anda." "Tapi dia juga tidak suka caraku mendidiknya. Dia benci pada perlakuanku tapi berusaha menahannya." Rowan mulai mencengkeram dada. Napasnya terasa semakin berat. "Aku sungguh tidak layak hidup," sesalnya sambil terpejam. Punggungnya mulai membungkuk.&n
Sean mengangguk. Setelah sekian tahun, ia akhirnya bisa kembali menemui keluarganya, tanpa kekhawatiran."Terima kasih, Tuan. Terima kasih. Kalau Anda butuh bantuan, jangan sungkan untuk menghubungi saya lagi." "Tidak, Sean. Tidak akan ada misi lagi. Aku hanya mau menghabiskan sisa hidupku untuk memperbaiki hubungan yang rusak. Kurasa ...," tatapannya bergeser pada buku yang tergeletak di atas rak, "inilah saatnya aku memikirkan keinginan orang-orang." “Anda ingin mengabulkan keinginan yang mereka tulis di sini?” Sean mengambil buku panduan Louis dan menyerahkannya kepada Rowan. Mata pria tua itu seketika berbinar mengamati tulisan sang cicit yang berantakan. “Ya. Dia sudah bersusah payah membuat ini. Aku harus mewujudkannya.” Sembari tersenyum, Rowan mempelajari setiap halaman. Sesekali, ia tertawa melihat kesalahan eja atau gambar di samping tulisan. Ketika ia tiba pada daftar yang ditujukan kepadanya, matanya menajam. "Pergi ke toko ma
Frank menyipitkan mata. Ia tahu betul pernyataan itu tidak datang dari hati. "Apakah Kakek datang untuk meminta maaf?" Alis Rowan terdongkrak. Namun, sedetik kemudian, ia mendenguskan tawa. "Minta maaf? Untuk apa? Hanya pecundang yang meminta maaf. Aku bukan. Aku tidak pernah menyesali apa yang sudah kulakukan." "Menurutku tidak demikian," sanggah Frank pelan. "Minta maaf itu justru dilakukan oleh orang-orang yang pemberani. Mereka berani mengaku salah, berani meminta kesempatan kedua, dan berani menantang diri untuk tidak mengulangi kesalahan." Rowan termenung sesaat. Hatinya bergetar hebat, tetapi pengendalian ekspresinya jauh lebih kuat. Ia terlalu malu untuk mengaku dosa sekarang, di dekat karyawan yang berlalu-lalang. "Kau menyebutku pengecut?" sambarnya seraya menaikkan alis. Frank menggeleng lemah. "Aku sedang tidak mau berdebat, Kek. Bagaimana kalau kita makan siang bersama dengan damai?" Mata Rowan nyaris membulat. Ia bertanya-tanya. Apakah Frank sudah lama berdiri di