Hei, hei, buat teman-teman yang kasih komentar kemarin, terima kasih yaa! Dukungan ekstra dari kalian bikin Pixie happy dan tambah semangat. Semoga bab baru ini juga bikin kalian happy dan tetap semangat.
Sementara Finnic menahan gemuruh dalam dada, para tamu malah tersenyum dan berdecak kagum. “Apakah dua anak itu yang semalam muncul di video? Ya Tuhan .... Ternyata, mereka lebih lucu saat dilihat secara langsung!” “Dan perhatikan anak laki-laki itu! Dia mirip sekali dengan Frank Harper. Apalagi, tangan mereka sama-sama dibungkus.” “Oh, aku iri sekali pada Kara. Dia mempunyai anak-anak dan pasangan yang hebat!” Finnic tertunduk dan menghela napas. Telinganya tak sanggup lagi menangkap lebih banyak pujian. Dulu, ia selalu merasa bahwa dirinya adalah laki-laki terbaik untuk Kara. Sekarang, kenyataan menamparnya dengan kejam. Bukan Kara yang menyia-nyiakan kesetiaannya, ia sendiri yang menyia-nyiakan cintanya. Ia adalah pasangan terburuk untuk Kara. “Aku tidak bisa melanjutkan ini,” gumamnya tanpa sadar. Tanpa berpikir panjang, ia menderapkan langkah menuju toilet terdekat. Semua orang mendadak bergeming menatapnya, termasuk Frank
Kara sontak terbelalak. “Lalu? Bagaimana keadaannya?” tanyanya setengah berbisik. “Fase kritisnya sudah lewat. Tapi sekarang, kondisinya masih lemah.” Kara mengangguk. Setelah telepon dari Jeremy berakhir, ia menatap sang kekasih dengan raut serius. “Frank,” ia melirik si Kembar sebentar lalu berbisik, “Kakekmu masuk rumah sakit. Dia terkena serangan jantung.” Raut Frank seketika menegang. Bola matanya sedikit bergetar. “Bagaimana kondisinya sekarang?” Kara mengusap pundaknya. “Sudah membaik. Sekarang masih dalam masa pemulihan. Jeremy sudah mengirim helikopter untuk menjemput kita.” Frank tanpa sadar menghela napas. Sambil mengangguk-angguk, ia mendesah, “Baiklah. Masih ada cukup waktu untuk anak-anak menikmati pesta. Setelah helikopter tiba, kita langsung berangkat.” “Ya,” angguk Kara tanpa berpikir panjang. Ia tahu, sekalipun hubungan antara Frank dan Rowan tidak baik, mereka terhubung oleh darah. Sebagai keluarga, mereka ha
Frank sontak mengulum senyum. Sambil mencondongkan badan ke depan, ia menyipitkan mata. “Jadi, Mama kalian ini berbakat dalam berbisnis?” “Eng!” Si Kembar kompak mengangguk. “Mama sering bercerita tentang ide-ide dalam kepalanya. Aku sering terispirasi dari situ.” “Terinspirasi, Louis,” koreksi Emily dengan suara manisnya yang memikat hati. Louis sontak memasang tampang lesu. “Ya, itulah maksudku.” Setelah tertawa singkat, Frank mengembalikan tatapannya kepada wanita yang mematung di samping. “Jadi, apa ide bisnismu, Ratuku?” Napas Kara berubah berat. Ia tahu, Frank pasti akan mewujudkan apa pun yang ia sebut. “Aku tidak yakin jika ini bisa mendatangkan keuntungan,” ringisnya. “Tidak masalah. Beberapa proyek Savior lebih mengedepankan manfaat.” Sudut bibir Kara perlahan kembali ringan. Sambil menarik napas dalam-dalam, ia mulai membayangkan idenya. "Sebenarnya, ada satu yang paling ingin kuwujudkan. Membuat aplikasi yang dapat mempermudah pekerjaan ibu-ibu di seluruh dunia."
“Apakah kita sudah boleh masuk?” bisik Louis. “Aku tidak tahu. Kita tunggu saja aba-aba dari Papa.” Mendengar percakapan kecil itu, kekakuan Frank luntur. Sambil menarik napas dalam-dalam, ia menepuk-nepuk punggung tangan Rowan. “Kakek, ada yang ingin bertemu denganmu.” “Siapa?” Mata Rowan melebar. Dalam hati, ada kekhawatiran jika orang itu adalah Kara. Jantungnya sedang harus dijaga ekstra. Frank pun berjalan menuju pintu. Begitu ia menarik kenopnya, dua balita terbelalak. “Apakah kami sudah boleh masuk?” bisik Louis dengan raut menggemaskan. Emily yang berdiri di depannya tanpa sadar mencengkeram buku dan menahan napas. Frank mempermanis wajahnya dan mengangguk. “Masuklah anak-anak. Sapa kakek buyut kalian.” Sambil berkedip-kedip, si Kembar melangkah masuk. “Halo, Kakek Rowan. Bagaimana kondisimu?” “Apakah kamu sudah membaik?” sambung Emily, masih dengan alis berkerut. Mendapati dua makhluk cilik itu,
“Aku juga! Aku akan menjadi cicit yang baik,” Louis mengangguk-angguk, tak kalah semangat.Rowan tiba-tiba tertawa hangat. Setelah sekian lama, Frank akhirnya kembali mendengar suara itu. Getarannya meringankan banyak beban dari hatinya. Diam-diam, ia menghela napas lega. Pesona si Kembar memang terlalu memikat untuk diabaikan. Sekarang, ia tinggal mendekatkan sang kakek dengan Kara.“Aku senang sekali kalian mau berjanji seperti ini. Tapi, apakah kalian tahu bagaimana cara menjadi cicit yang baik?” Pria tua itu menaikkan alis.Louis dan Emily bertatapan. Mata mereka membulat, berkomunikasi lewat telepati.“Kami harus rajin belajar,” ujar Emily seraya menaikkan alis.“Menjadi anak yang pintar,” lanjut Louis dengan gestur yang sama.“Lalu kita akan menjadi pebisnis yang sukses seperti Papa!” Si Kembar kompak berseru dengan wajah ceria.Melihat semangat yang menggebu-gebu itu,
Mendengar pembelaan tersebut, napas Rowan mulai bergemuruh. "Berpikirlah lebih bijak, Anak-Anak. Kita sedang membicarakan masa depan, bukan masa lalu. Kalau kalian ingin mendapat kehidupan yang lebih baik, kalian harus lepas dari ibu kalian dan memilih bersama aku dan Frank." "Kakeklah yang seharusnya berpikir lebih bijak. Kami adalah anak yang baik. Anak yang baik tidak pernah meninggalkan orang tuanya." Emily mengangguk tipis. "Louis benar. Lagi pula, Papa juga sudah berjanji akan menikahi Mama. Kakek tidak boleh memisahkan kami dengan Mama!" Sementara Rowan menggertakkan rahang, Frank menurunkan si Kembar dari ranjang. "Anak-Anak, bagaimana kalau kita pergi sekarang? Biarkan kakek buyut kalian beristirahat dulu supaya pikirannya jernih." "Pikiran Kakek benar-benar butek, Papa. Entah bagaimana kita bisa membersihkannya," celetuk Louis seraya melirik sinis. "Sudahlah, Louis. Kita tidak usah memikirkan Kakek lagi. Aku sudah lelah. Kita sebaiknya memikirkan hal yang lebih bergun
Wela dan Rony saling menatap. Selang satu kedipan, mereka melebarkan senyuman. "Tentu." "Apakah Papa mau menjadikan Dokter Wela mitra untuk fitur konsultasi di aplikasi Mama?" Suara manis Emily menyita perhatian. Frank pun tersenyum. "Ya, Tuan Putri. Tepat sekali." "Wah, Anak Manis,” Wela terbelalak, “kau yakin umurmu empat tahun? Bicaramu sudah seperti pebisnis." "Ya, aku dan Emily memang jenius. Kami adalah calon pebisnis sukses," timpal Louis penuh percaya diri. Frank kembali tertawa ringan. Ia semakin bangga dengan si Kembar. "Bagaimana kalau kita melanjutkan obrolan ini di limo? Jangan sampai Mama khawatir karena kita pergi terlalu lama." Mata Louis membulat. "Benar! Mama bisa tidak fokus dengan proyeknya karena memikirkan kita." Sedetik kemudian, ia menarik tangan sang adik. "Ayo, Emily. Kita harus bergegas. Kaki kita pendek. Langkah kita tidak secepat orang besar. Jadi, kita harus gesit." "Tunggu dulu! Mahk
"Tentu saja. Kau terus mengabaikan teleponku." Vivian menaikkan nada bicaranya. Frank tertawa usil. "Baiklah, aku minta maaf. Aku tidak akan mengabaikan telepon Bibi lagi, tapi berjanjilah untuk tidak menceramahiku ataupun menentang hubunganku dengan Kara." Vivian sontak mencubit lengan Frank yang sehat. "Apa yang kau bicarakan? Tentu saja aku mendukung kalian. Apa kau sudah lupa siapa yang membawa Kara kepadamu?" "Tentu saja aku ingat. Bibi yang membawa Kara kembali kepadaku," sahut Frank diiringi anggukan dalam. Tiba-tiba, wanita anggun itu mencibir. Tangannya terlipat di depan dada. "Kara itu memang gadis pilihan. Kau beruntung dia mau menerimamu." Frank menoleh ke arah Kara. Senyumnya penuh makna.Memang hanya Kara yang tahan menghadapinya, sekaligus sanggup mengubahnya menjadi sebaik sekarang. “Ya, Bibi benar. Aku sangat beruntung. Sangat-sangat beruntung.” Sementara Kara tersipu, yang lain tersenyum simpul. Saat itu pu