Hai hai! Selamat beraktivitas! Semoga minggu ini semua yang direncanakan bisa terlaksana dengan lancar, ya. Aamiin
“Philip?” jawab Kara setelah menempelkan ponsel ke telinga. Selama beberapa saat, tidak ada suara yang terdengar. “Philip, apakah kau sudah mendapat kabar? Frank jatuh dari kapal. Sampai detik ini, aku masih menunggunya,” tuturnya serak. Air mata yang sempat membeku kembali berlinang. “Kara ....” Menangkap getaran samar itu, tangis sang wanita sontak tertahan. Alisnya berkerut dalam. “Frank?” desahnya tak percaya. “Ya, ini aku.” Punggung Kara sontak menegak dan matanya melebar. Kepalanya bergerak-gerak, bingung harus menangis atau tertawa. “Frank? Ini sungguh kamu? Kamu selamat?” “Ya. Philip menyelamatkanku. Sekarang, jangan menangis lagi, hmm?” Bukannya berhenti, air mata Kara malah semakin deras. Pundaknya naik turun mengimbangi desah napas yang bercampur dengan tawa. “Aku tidak bermimpi? Ini nyata? Kamu selamat?” Frank menghela napas samar. Getarannya cukup untuk menghangatkan hati Kara. “Bukankah aku sudah ber
Selang beberapa saat, sang dokter akhirnya mendesah, “Selesai!” Kara langsung menjatuhkan pipinya di atas dada Frank. Ia menangis sejadi-jadinya. “Maafkan aku, Frank. Aku seharusnya lebih berhati-hati. Kalau saja aku tidak pergi seorang diri, kau tidak akan mengalami semua ini.” Sambil membelai kepala Kara, sang pria tertawa samar, “Tidak apa-apa. Berkat kejadian ini, aku jadi mengerti kenapa Emily cengeng sekali. Dia mewarisi bakat itu dari ibunya.” Kara sontak mencebik dan menyurutkan tangis. Setelah membantu Frank bangkit, ia berbisik, “Jangan pernah menantang bahaya lagi. Aku tidak sanggup melihatmu kesakitan begini.” Frank menangkup pipi Kara dan menggeleng pelan. “Ini tidak seberapa jika dibandingkan penderitaanmu, Ratu Lebah. Melahirkan anak-anakku pasti jauh lebih sakit. Omong-omong, apakah kau sudah menelepon Louis dan Emily? Kita sudah lewat beberapa jam dari janji.” Tepat ketika Kara hendak menjawab, seorang kru kapal menghampiri. “
“Mama, kenapa berdiri saja?” panggil Emily tanpa terduga. Sambil menyedot kembali ingusnya, ia melambai. “Kemarilah! Ikut kami berpelukan.” Kara sontak tertawa. Setelah melangkah ke dalam lift, ia membungkuk, memeluk ketiga orang yang disayanginya. “Oh, sungguh pemandangan yang indah,” gumam Jeremy diiringi helaan napas lega. Mendengar suara sang asisten, Frank pun mendongak. Selang seulas senyuman, ia mengangguk penuh makna. “Terima kasih sudah menjaga anak-anakku dan membawa mereka kemari.” “Ini ide Tuan Muda Louis. Dia yang mendesakku untuk menyiapkan helikopter. Dia ingin bertemu ayahnya.” Frank menaikkan lagi sudut bibirnya. Setelah mengecup kepala Louis, ia menempelkan pipinya di sana. “Omong-omong, Tuan ... helikopter masih standby di luar. Apakah Anda ingin pulang atau ...?” Kara dan si Kembar sontak melonggarkan dekapan. Sambil meredam sisa isakan, mereka menanti jawaban Frank. “Kita datang ke kapal ini untuk menghadiri pernikahan Finnic dan Sophia. Kalau kita pulang s
Sementara Finnic menahan gemuruh dalam dada, para tamu malah tersenyum dan berdecak kagum. “Apakah dua anak itu yang semalam muncul di video? Ya Tuhan .... Ternyata, mereka lebih lucu saat dilihat secara langsung!” “Dan perhatikan anak laki-laki itu! Dia mirip sekali dengan Frank Harper. Apalagi, tangan mereka sama-sama dibungkus.” “Oh, aku iri sekali pada Kara. Dia mempunyai anak-anak dan pasangan yang hebat!” Finnic tertunduk dan menghela napas. Telinganya tak sanggup lagi menangkap lebih banyak pujian. Dulu, ia selalu merasa bahwa dirinya adalah laki-laki terbaik untuk Kara. Sekarang, kenyataan menamparnya dengan kejam. Bukan Kara yang menyia-nyiakan kesetiaannya, ia sendiri yang menyia-nyiakan cintanya. Ia adalah pasangan terburuk untuk Kara. “Aku tidak bisa melanjutkan ini,” gumamnya tanpa sadar. Tanpa berpikir panjang, ia menderapkan langkah menuju toilet terdekat. Semua orang mendadak bergeming menatapnya, termasuk Frank
Kara sontak terbelalak. “Lalu? Bagaimana keadaannya?” tanyanya setengah berbisik. “Fase kritisnya sudah lewat. Tapi sekarang, kondisinya masih lemah.” Kara mengangguk. Setelah telepon dari Jeremy berakhir, ia menatap sang kekasih dengan raut serius. “Frank,” ia melirik si Kembar sebentar lalu berbisik, “Kakekmu masuk rumah sakit. Dia terkena serangan jantung.” Raut Frank seketika menegang. Bola matanya sedikit bergetar. “Bagaimana kondisinya sekarang?” Kara mengusap pundaknya. “Sudah membaik. Sekarang masih dalam masa pemulihan. Jeremy sudah mengirim helikopter untuk menjemput kita.” Frank tanpa sadar menghela napas. Sambil mengangguk-angguk, ia mendesah, “Baiklah. Masih ada cukup waktu untuk anak-anak menikmati pesta. Setelah helikopter tiba, kita langsung berangkat.” “Ya,” angguk Kara tanpa berpikir panjang. Ia tahu, sekalipun hubungan antara Frank dan Rowan tidak baik, mereka terhubung oleh darah. Sebagai keluarga, mereka ha
Frank sontak mengulum senyum. Sambil mencondongkan badan ke depan, ia menyipitkan mata. “Jadi, Mama kalian ini berbakat dalam berbisnis?” “Eng!” Si Kembar kompak mengangguk. “Mama sering bercerita tentang ide-ide dalam kepalanya. Aku sering terispirasi dari situ.” “Terinspirasi, Louis,” koreksi Emily dengan suara manisnya yang memikat hati. Louis sontak memasang tampang lesu. “Ya, itulah maksudku.” Setelah tertawa singkat, Frank mengembalikan tatapannya kepada wanita yang mematung di samping. “Jadi, apa ide bisnismu, Ratuku?” Napas Kara berubah berat. Ia tahu, Frank pasti akan mewujudkan apa pun yang ia sebut. “Aku tidak yakin jika ini bisa mendatangkan keuntungan,” ringisnya. “Tidak masalah. Beberapa proyek Savior lebih mengedepankan manfaat.” Sudut bibir Kara perlahan kembali ringan. Sambil menarik napas dalam-dalam, ia mulai membayangkan idenya. "Sebenarnya, ada satu yang paling ingin kuwujudkan. Membuat aplikasi yang dapat mempermudah pekerjaan ibu-ibu di seluruh dunia."
“Apakah kita sudah boleh masuk?” bisik Louis. “Aku tidak tahu. Kita tunggu saja aba-aba dari Papa.” Mendengar percakapan kecil itu, kekakuan Frank luntur. Sambil menarik napas dalam-dalam, ia menepuk-nepuk punggung tangan Rowan. “Kakek, ada yang ingin bertemu denganmu.” “Siapa?” Mata Rowan melebar. Dalam hati, ada kekhawatiran jika orang itu adalah Kara. Jantungnya sedang harus dijaga ekstra. Frank pun berjalan menuju pintu. Begitu ia menarik kenopnya, dua balita terbelalak. “Apakah kami sudah boleh masuk?” bisik Louis dengan raut menggemaskan. Emily yang berdiri di depannya tanpa sadar mencengkeram buku dan menahan napas. Frank mempermanis wajahnya dan mengangguk. “Masuklah anak-anak. Sapa kakek buyut kalian.” Sambil berkedip-kedip, si Kembar melangkah masuk. “Halo, Kakek Rowan. Bagaimana kondisimu?” “Apakah kamu sudah membaik?” sambung Emily, masih dengan alis berkerut. Mendapati dua makhluk cilik itu,
“Aku juga! Aku akan menjadi cicit yang baik,” Louis mengangguk-angguk, tak kalah semangat.Rowan tiba-tiba tertawa hangat. Setelah sekian lama, Frank akhirnya kembali mendengar suara itu. Getarannya meringankan banyak beban dari hatinya. Diam-diam, ia menghela napas lega. Pesona si Kembar memang terlalu memikat untuk diabaikan. Sekarang, ia tinggal mendekatkan sang kakek dengan Kara.“Aku senang sekali kalian mau berjanji seperti ini. Tapi, apakah kalian tahu bagaimana cara menjadi cicit yang baik?” Pria tua itu menaikkan alis.Louis dan Emily bertatapan. Mata mereka membulat, berkomunikasi lewat telepati.“Kami harus rajin belajar,” ujar Emily seraya menaikkan alis.“Menjadi anak yang pintar,” lanjut Louis dengan gestur yang sama.“Lalu kita akan menjadi pebisnis yang sukses seperti Papa!” Si Kembar kompak berseru dengan wajah ceria.Melihat semangat yang menggebu-gebu itu,