Kara kembali menggeleng. “Tidak, Madu Kecil. Ingat, kita tidak boleh merepotkan orang lain. Pak Polisi bisa berjaga di luar kamar Louis. Penculik itu tidak akan berani balik lagi.” “Lalu bagaimana dengan Mama? Siapa yang menjaga Mama? Kalau penjahat itu menculik Mama, bagaimana?” Louis mendesak dahi dengan alis. Kara mendadak bungkam. Ia belum sempat memikirkan hal itu. “Kalian tidak perlu khawatir, Anak-Anak. Aku bisa melindungi ibu kalian,” tutur Frank sembari meninggikan sudut bibir. Pancaran matanya begitu hangat dan menenteramkan. “Benarkah? Berapa banyak anak buahmu yang akan menjaga Mama?” Sambil tertawa, ia mengacak rambut bocah laki-laki itu. “Aku akan menjaganya sendiri, secara langsung. Ibu kalian adalah sekretarisku. Sebagian besar waktunya terpakai bersamaku.” “Tapi, bagaimana kalau pekerjaan sudah selesai dan Mama harus pulang? Tidak ada yang menjaganya di jalan,” celetuk si gadis mungil. Kara hendak memberi
Tiba-tiba, tim medis dan kepolisan menghampiri. Sudah waktunya untuk membawa Louis ke rumah sakit. Ketegangan di antara mereka pun terjeda. Kara menemani si Kembar di Ambulance, sedangkan Frank menyusul dengan hypercar-nya bersama sang asisten. Sementara itu, di tempat lain, seorang pria berbadan tegap membungkuk ke telinga tuannya. “Tuan, anak-anak kembar itu telah ditemukan. Saat ini, mereka sedang menuju Garcia Hospital.” Rowan menaikkan alis mendengar laporan Sean. Bibir bawahnya perlahan bergerak maju. “Mereka selamat?” tanyanya, lebih menyerupai gumaman. “Selamat, Tuan. Anak perempuan hanya luka ringan, sedangkan anak laki-laki perlu mengganti gips. Ternyata sebelumnya, dia mengalami fraktur tulang.” Raut si pria tua bertambah redup. “Bagaimana dengan penculiknya?” “Dia berhasil kabur.” “Dan cucuku?” “Tuan Muda juga sedang menuju rumah sakit.” Rowan mengangguk-angguk. Matanya menyipit. “Beraninya gadis itu
Emily mengangguk kecil. Matanya mulai memantulkan lebih banyak cahaya. “Mama bilang Papa kami sudah meninggal, tapi kami tidak percaya. Kami tidak pernah pergi ke kuburannya. Jadi, aku dan Louis berpikir kalau Papa pasti pergi meninggalkan Mama. Dia membiarkan Mama bekerja keras membesarkan kami sendirian.” Pundak Frank pun turun. Beban dalam hatinya terlampau berat untuk ditanggung. “Kamu juga berpikir Papa kalian jahat? Bukankah kamu bilang selalu menantikannya?” Emily tertunduk lesu. “Kalau Papa orang baik, dia tidak mungkin hilang. Dia pasti ada di sini bersama kami. Jadi ..., aku setuju kalau Papa orang jahat.” Tiba-tiba, gadis mungil itu menatap Frank lewat sudut atas matanya. Bibir bawahnya yang maju mulai gemetar. “Tapi, aku juga mau seperti anak-anak lain yang punya Papa. Aku mau bermain dan tertawa bersama seseorang yang kami panggil Papa. Karena itu, aku berharap Papa datang.” Frank tak sanggup lagi menahan gejolak dalam dada. Sebelum ia mendengar lebih banyak, sebelu
Frank tertunduk dan mengepalkan tangan. Untuk pertama kalinya, dirinya terperosok ke dalam jurang kesedihan yang begitu dalam. Ia terus terjatuh dan terjatuh, tanpa menemukan dasar untuk berpijak. Ketika paru-parunya tidak kuat lagi menahan sesak, ia membanting tinju ke meja. "Sudah cukup!” Matanya penuh guratan merah. “Mereka sudah cukup menderita. Secepatnya, aku harus membawa mereka pulang. Harus! Kara tidak boleh lagi menolakku.” Tanpa membuang waktu, ia meraih kunci mobil dan pergi ke rumah sakit.Tim pengawal yang berjaga di mansion kebingungan melihat kepergian bos mereka, sama seperti tim pengawal yang berjaga di depan kamar Louis saat ia tiba di sana. "Tuan," sapa Philip berbisik. Pengawal lain ikut menundukkan kepala. Mereka tidak berani mengomentari mata si bos yang memerah. "Bagaimana?" Suara Frank serak. "Semua aman terkendali, Bos. Jeremy dan para pengawal baru sedang pergi mengantar Nyonya Martin. Si Kembar ta
Semua orang sontak menoleh. Saat itulah, Susan masuk sambil membawa beberapa tas."Kalau begitu, mari kita lihat apakah rencanamu itu hanya sekadar omongan atau tidak.""Nenek!" Emily berlari memeluk Susan.Bukannya ikut menyapa, Louis malah mengerucutkan bibir dan mempertegas gerak kepalanya. "Itu bukan hal yang sulit, Nek. Tunggu dan lihat saja nanti.”“Baiklah ....” Sambil terkekeh, Susan mengelus kepala cucu yang masih mendekap kakinya. "Tuan Putri, apakah kamu sudah lapar? Maaf Nenek agak terlambat."Emily menggeleng pelan seakan takut rambutnya berantakan."Perawat yang mengantarkan makanan untuk Louis tadi memberiku susu. Dia fan baruku. Aku harus menghargai pemberiannya. Jadi, aku langsung meminumnya sampai habis.""Fan baru?" Susan menaikkan alis dan melirik putrinya.Kara pun mendenguskan senyum. Kemudian, sembari menenteng tas yang berisi pakaian kotor, ia mengecup kepala si Kembar, satu p
"Bukalah!” Seruan Frank membuyarkan lamunan Susan. “Aku ingin tahu apakah pilihanku tepat atau tidak." Masih dalam gendongan sang pria, Emily mengulurkan kepala ke dalam tas. "Wah, boneka Barbie?" Tawa Emily seketika menggetarkan hati Frank. "Ya. Kamu suka? Ada banyak gaun dan perhiasan yang bisa kamu pilih untuk boneka itu." "Dan ada sepatu dan tasnya juga?" Saat Emily mendongak, matanya memantulkan cahaya hangat. Frank mengunci senyum dan mengangguk. Hatinya baru saja melayang melintasi awan. Tiba-tiba, Emily melepas tas dan mendekap erat leher Frank. Kalau saja sang pria tidak sigap, Barbie-nya pasti sudah terjatuh. "Terima kasih banyak, Tuan Baik Hati. Ini hadiah ulang tahun terbaik yang pernah kudapat dari seorang teman." Sebagian hati Frank teriris mendengarnya. Emily masih menganggapnya teman? "Ulang tahun kalian masih dua minggu lagi, Tuan Putri. Ini hadiah biasa. Aku berencana memberikan sesuatu yang lebih bagus untuk ulang tahun kalian nanti." "Benarkah?" Mata
"Kalau kau masih memaksaku untuk menikahinya juga ..., baiklah! Aku akan menikahi kalian berdua." Kara mengernyit. Matanya berkedip-kedip. "Kau pikir aku sudi menjadi istri keduamu? Bahkan menjadi satu-satunya istrimu pun, aku tidak mau." Mata Frank menggelap. Tangannya mulai mengunci pinggang Kara lebih erat. "Kau tidak akan menjadi istri kedua, Kara. Minggu depan, kita menikah." Kara ternganga. Bibirnya bergetar mengumpulkan kata."Kau tidak bisa memaksa orang yang tidak mencintaimu untuk menjadi istrimu." Para pengawal sontak menahan napas. Mereka heran mengapa Kara masih berani melawan. Padahal, peringatan sang CEO sudah sangat tegas. "Kau ... masih berani membantah?" Tubuh Frank bergetar menahan gejolak dalam paru-paru. Bukannya tunduk, Kara malah meninggikan dagu. "Aku bukan membantah, tapi menyatakan kebenaran. Aku memang tidak mencintaimu. Aku menolak diperistri olehmu." Napas Frank semakin berg
Jeremy tersenyum canggung. "Itu urusan orang dewasa, Nona Kecil. Kamu tidak seharusnya memusingkan hal itu." "Tuan Jeremy benar," timpal Louis tanpa melepas pandangan dari ponsel di tangannya. "Kau tidak perlu ikut campur masalah Mama." "Tapi itu menyangkut masa depan kita. Jadi, kita harus ikut memikirkannya." Tiba-tiba, Emily meninggikan leher dan mendongak menatap Jeremy. "Jadi bagaimana, Tuan Sopir? Apakah Mama dan Frank Harper dekat? Mungkinkah mereka menikah suatu hari nanti seperti Tuan Putri dan Pangeran dalam kisah dongeng?" Jeremy mengerutkan bibir. "Entahlah, itu sulit untuk dijawab." "Aku tahu kalau Tuan Baik Hati menyukai Mama dan Mama juga menyukainya. Hanya saja, Mama terlihat ragu dan malu-malu." Emily mulai mencebik. Kepalanya dimiringkan sehingga pipinya menggendut sebelah. "Mama selalu meminta Tuan Harper untuk menjauh. Itu membuatku khawatir kalau mereka tidak bisa terus bersama. Jika itu terjadi, Tuan
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
"Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma
"Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P
Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum