Tiba-tiba, tim medis dan kepolisan menghampiri. Sudah waktunya untuk membawa Louis ke rumah sakit.
Ketegangan di antara mereka pun terjeda. Kara menemani si Kembar di Ambulance, sedangkan Frank menyusul dengan hypercar-nya bersama sang asisten.
Sementara itu, di tempat lain, seorang pria berbadan tegap membungkuk ke telinga tuannya. “Tuan, anak-anak kembar itu telah ditemukan. Saat ini, mereka sedang menuju Garcia Hospital.”
Rowan menaikkan alis mendengar laporan Sean. Bibir bawahnya perlahan bergerak maju. “Mereka selamat?” tanyanya, lebih menyerupai gumaman.
“Selamat, Tuan. Anak perempuan hanya luka ringan, sedangkan anak laki-laki perlu mengganti gips. Ternyata sebelumnya, dia mengalami fraktur tulang.”
Raut si pria tua bertambah redup. “Bagaimana dengan penculiknya?”
“Dia berhasil kabur.”
“Dan cucuku?”
“Tuan Muda juga sedang menuju rumah sakit.”
Rowan mengangguk-angguk. Matanya menyipit. “Beraninya gadis itu
Emily mengangguk kecil. Matanya mulai memantulkan lebih banyak cahaya. “Mama bilang Papa kami sudah meninggal, tapi kami tidak percaya. Kami tidak pernah pergi ke kuburannya. Jadi, aku dan Louis berpikir kalau Papa pasti pergi meninggalkan Mama. Dia membiarkan Mama bekerja keras membesarkan kami sendirian.” Pundak Frank pun turun. Beban dalam hatinya terlampau berat untuk ditanggung. “Kamu juga berpikir Papa kalian jahat? Bukankah kamu bilang selalu menantikannya?” Emily tertunduk lesu. “Kalau Papa orang baik, dia tidak mungkin hilang. Dia pasti ada di sini bersama kami. Jadi ..., aku setuju kalau Papa orang jahat.” Tiba-tiba, gadis mungil itu menatap Frank lewat sudut atas matanya. Bibir bawahnya yang maju mulai gemetar. “Tapi, aku juga mau seperti anak-anak lain yang punya Papa. Aku mau bermain dan tertawa bersama seseorang yang kami panggil Papa. Karena itu, aku berharap Papa datang.” Frank tak sanggup lagi menahan gejolak dalam dada. Sebelum ia mendengar lebih banyak, sebelu
Frank tertunduk dan mengepalkan tangan. Untuk pertama kalinya, dirinya terperosok ke dalam jurang kesedihan yang begitu dalam. Ia terus terjatuh dan terjatuh, tanpa menemukan dasar untuk berpijak. Ketika paru-parunya tidak kuat lagi menahan sesak, ia membanting tinju ke meja. "Sudah cukup!” Matanya penuh guratan merah. “Mereka sudah cukup menderita. Secepatnya, aku harus membawa mereka pulang. Harus! Kara tidak boleh lagi menolakku.” Tanpa membuang waktu, ia meraih kunci mobil dan pergi ke rumah sakit.Tim pengawal yang berjaga di mansion kebingungan melihat kepergian bos mereka, sama seperti tim pengawal yang berjaga di depan kamar Louis saat ia tiba di sana. "Tuan," sapa Philip berbisik. Pengawal lain ikut menundukkan kepala. Mereka tidak berani mengomentari mata si bos yang memerah. "Bagaimana?" Suara Frank serak. "Semua aman terkendali, Bos. Jeremy dan para pengawal baru sedang pergi mengantar Nyonya Martin. Si Kembar ta
Semua orang sontak menoleh. Saat itulah, Susan masuk sambil membawa beberapa tas."Kalau begitu, mari kita lihat apakah rencanamu itu hanya sekadar omongan atau tidak.""Nenek!" Emily berlari memeluk Susan.Bukannya ikut menyapa, Louis malah mengerucutkan bibir dan mempertegas gerak kepalanya. "Itu bukan hal yang sulit, Nek. Tunggu dan lihat saja nanti.”“Baiklah ....” Sambil terkekeh, Susan mengelus kepala cucu yang masih mendekap kakinya. "Tuan Putri, apakah kamu sudah lapar? Maaf Nenek agak terlambat."Emily menggeleng pelan seakan takut rambutnya berantakan."Perawat yang mengantarkan makanan untuk Louis tadi memberiku susu. Dia fan baruku. Aku harus menghargai pemberiannya. Jadi, aku langsung meminumnya sampai habis.""Fan baru?" Susan menaikkan alis dan melirik putrinya.Kara pun mendenguskan senyum. Kemudian, sembari menenteng tas yang berisi pakaian kotor, ia mengecup kepala si Kembar, satu p
"Bukalah!” Seruan Frank membuyarkan lamunan Susan. “Aku ingin tahu apakah pilihanku tepat atau tidak." Masih dalam gendongan sang pria, Emily mengulurkan kepala ke dalam tas. "Wah, boneka Barbie?" Tawa Emily seketika menggetarkan hati Frank. "Ya. Kamu suka? Ada banyak gaun dan perhiasan yang bisa kamu pilih untuk boneka itu." "Dan ada sepatu dan tasnya juga?" Saat Emily mendongak, matanya memantulkan cahaya hangat. Frank mengunci senyum dan mengangguk. Hatinya baru saja melayang melintasi awan. Tiba-tiba, Emily melepas tas dan mendekap erat leher Frank. Kalau saja sang pria tidak sigap, Barbie-nya pasti sudah terjatuh. "Terima kasih banyak, Tuan Baik Hati. Ini hadiah ulang tahun terbaik yang pernah kudapat dari seorang teman." Sebagian hati Frank teriris mendengarnya. Emily masih menganggapnya teman? "Ulang tahun kalian masih dua minggu lagi, Tuan Putri. Ini hadiah biasa. Aku berencana memberikan sesuatu yang lebih bagus untuk ulang tahun kalian nanti." "Benarkah?" Mata
"Kalau kau masih memaksaku untuk menikahinya juga ..., baiklah! Aku akan menikahi kalian berdua." Kara mengernyit. Matanya berkedip-kedip. "Kau pikir aku sudi menjadi istri keduamu? Bahkan menjadi satu-satunya istrimu pun, aku tidak mau." Mata Frank menggelap. Tangannya mulai mengunci pinggang Kara lebih erat. "Kau tidak akan menjadi istri kedua, Kara. Minggu depan, kita menikah." Kara ternganga. Bibirnya bergetar mengumpulkan kata."Kau tidak bisa memaksa orang yang tidak mencintaimu untuk menjadi istrimu." Para pengawal sontak menahan napas. Mereka heran mengapa Kara masih berani melawan. Padahal, peringatan sang CEO sudah sangat tegas. "Kau ... masih berani membantah?" Tubuh Frank bergetar menahan gejolak dalam paru-paru. Bukannya tunduk, Kara malah meninggikan dagu. "Aku bukan membantah, tapi menyatakan kebenaran. Aku memang tidak mencintaimu. Aku menolak diperistri olehmu." Napas Frank semakin berg
Jeremy tersenyum canggung. "Itu urusan orang dewasa, Nona Kecil. Kamu tidak seharusnya memusingkan hal itu." "Tuan Jeremy benar," timpal Louis tanpa melepas pandangan dari ponsel di tangannya. "Kau tidak perlu ikut campur masalah Mama." "Tapi itu menyangkut masa depan kita. Jadi, kita harus ikut memikirkannya." Tiba-tiba, Emily meninggikan leher dan mendongak menatap Jeremy. "Jadi bagaimana, Tuan Sopir? Apakah Mama dan Frank Harper dekat? Mungkinkah mereka menikah suatu hari nanti seperti Tuan Putri dan Pangeran dalam kisah dongeng?" Jeremy mengerutkan bibir. "Entahlah, itu sulit untuk dijawab." "Aku tahu kalau Tuan Baik Hati menyukai Mama dan Mama juga menyukainya. Hanya saja, Mama terlihat ragu dan malu-malu." Emily mulai mencebik. Kepalanya dimiringkan sehingga pipinya menggendut sebelah. "Mama selalu meminta Tuan Harper untuk menjauh. Itu membuatku khawatir kalau mereka tidak bisa terus bersama. Jika itu terjadi, Tuan
Sambil berdiri di samping Rowan, Emily diam-diam mengamati Sean. Matanya berkedip-kedip menatap barang yang dibawah oleh pria berotot itu. "Tuan Badan Besar, apa yang kau bawa? Itu terlihat berat. Kalau kau lelah, letakkan saja di sofa," ucapnya tersendat. Rowan kembali mematung. Meskipun rautnya datar, hatinya tak karuan. Tujuan awalnya adalah untuk meletakkan alat itu di sana, diffuser yang akan menyemprotkan uap beracun saat tombol kendali jarak jauhnya ditekan. "Itu ...." Untuk pertama kalinya, Jeremy melihat Rowan menggantungkan kalimat tanpa sebab. Ia menjadi semakin waspada. "Itu proyek rahasia yang sangat penting. Karena itulah, aku meminta asistenku untuk terus membawanya." Mulut Emily membulat. Kepalanya mengangguk lugu. "O, kau takut proyek itu dicuri." "Ya, begitulah," sahut Rowan canggung. Dalam hati, ia mengutuk diri sendiri. Mengapa ia mendadak ragu untuk melancarkan rencana pemusnahannya? "Tuan Besar Harper, karena kamu adalah kakek dari Frank Harper, bu
"Tolong mengertilah, Frank Harper. Saat ini, aku bukan siapa-siapa bagimu. Setiap kali kau memberiku perhatian, aku merasa bersalah dan terbebani. Jadi, tolong ...." Kara mengacungkan telunjuk dan terpejam sejenak. "Sebelum kau bisa menyingkirkan semua penghalang itu, jangan terlalu dekat denganku. Anggaplah aku sebagai karyawanmu saja. Dengan keberadaanmu di sini saja, aku sudah sangat was-was." Frank menelan ludah pahit. Ia baru mengerti bahwa Kara bersedia diantar olehnya demi menghemat energi. Perempuan itu pasti sudah lelah menghadapinya. Sekarang saja, ia hanya bisa berbisik. "Baiklah," desah Frank sebelum mengangguk tipis. "Maaf kalau aku menyenggol batas." Sedetik kemudian, ia menoleh kepada para pengawal. "Kawal Kara ke apartemennya." "Tidak usah. Mereka cukup mengawasi dari mobil saja, seperti biasa. Aku tidak suka membawa orang ke rumahku." Lagi-lagi, Frank bungkam. Suara lirih Kara membuat hatinya