Suasana semakin Pilu dan terasa sangat mencekam saat Fic menandatangani surat itu.Tidak ada yang tidak mengeluarkan air mata. Pengorbanan Fic kali ini Sungguh tidak main-main. Fic akan menyerahkan jantungnya untuk kelangsungan hidup Ellena.Apakah ini karena cinta Fic begitu besar pada Ellena? Tentu saja.Fic menyodorkan kertas yang sudah selesai ia tanda tangani itu. "Bolehkah aku meminta Kertas kosong?"Dokter mengangguk, mengambil kertas kosong permintaan Fic dan menyodorkannya.Fic menarik kursi dan duduk.Fic mulai menulis di atas kertas itu, hingga butiran kristal bening miliknya jatuh membasahi kertas itu membuat tulisan tangannya sedikit luntur. Fic cepat mengusap air matanya. Melipat kertas itu dengan ulasan senyum manis dan nampak menusuk hati siapapun yang melihat."Aku sudah selesai. Bisakah Dokter memulainya?"Dokter mengangguk, "Ikutlah bersama kami." Dokter melangkah. Fic mengikutinya."Fic!" Daniah Memanggil dengan nada bergetar. Fic menoleh."Fic!" Daniah menggenggam
Ingin rasanya satu satunya orang berlari menyusul kemudian berteriak memanggil Fic. Namun mereka menahan keinginan itu dengan sekuatnya. Hanya bisa pasrah menghargai pengorbanan Fic.Sambil terus menekan dadanya, membayangkan apa yang sedang dilakukan para Ahli medis di dalam sana pada tubuh Fic. Membelah dada Fic dan mengeluarkan jantungnya hidup hidup? Atau Fic di bius dulu hingga mati kemudian diambil Jantungnya?Arg... Semua hanya bisa berteriak dalam hati dengan menahan ngilu.Hingga beberapa saat lamanya, di tengah tengah ketegangan yang meraja, seorang perawat berlari mendekati mereka. Semua berdiri."Tuan Glen! Dokter memanggil Anda. Mari silahkan ikut saya.""Aku ikut, Glen." Daniah cepat ikut bangun."Mohon maaf Nyonya. Hanya Tuan Glen saja. Yang lain tidak diperbolehkan."Glen menoleh pada Daniah. "Tunggu lah disini bersama mereka."Daniah mau tidak mau hanya bisa menurut.Glen melangkah mengikuti langkah kaki Perawat itu. Melewati beberapa ruangan, hingga Perawat itu berhe
Dari kejauhan, Daniah sudah dapat melihat gerak-gerik perawat yang terburu-buru menuju ruangan Ellena. Langkahnya menjadi semakin cepat untuk mendekati mereka. Namun belum sempat dia menghampiri untuk menanyakan apa yang terjadi, pintu ruangan Ellena tertutup dan beberapa saat kemudian terbuka kembali.Para perawat kini mendorong ranjang Ellena dengan sigap. Wajah Daniah menjadi tegang dan cemas. "Apa yang terjadi pada putriku?" desak Daniah saat berhasil menghampiri mereka."Nona Ellena akan kami pindahkan ke ruang operasi. Nona Ellena akan segera dioperasi," jawab salah satu perawat dengan suara serius.Tanpa memberi kesempatan bagi Daniah atau siapa pun untuk bertanya lebih jauh, para perawat itu kembali mendorong ranjang Ellena, meninggalkan Daniah yang tengah berusaha mengekspresikan kekhawatiran mendalamnya.Suasana kembali mengental, dipenuhi ketegangan yang terasa menyelimuti setiap jiwa di ruang tunggu itu. Tak lama kemudian, tampak Glen berjalan lesu mendekati mereka, mengepal
Dokter tersenyum lembut,"Operasi Nona Ellena berjalan lancar, Tuan." Mendengar jawaban itu, hembusan nafas lega terdengar dari mereka semua. Air mata Daniah menitik lagi, tapi kali ini adalah air mata kelegaan. "Terima kasih Dokter! Terima kasih. Bolehkah kami menemui putri kami?" tanyanya dengan suara bergetar.Dokter menggeleng perlahan, "Kalian tidak boleh melihatnya dulu. Nona Ellena sedang melewati masa kritisnya dan itu butuh waktu 48 jam. Selama itu, kami harus mengawasi Nona Ellena secara ketat demi menjaga adanya kemungkinan pendarahan atau infeksi yang terjadi pasca operasi. Setelah Nona Ellena berhasil melewati masa kritisnya, kami akan memindahkannya kembali ke ruangan semula. Kalian baru boleh melihat." jawab sang Dokter dengan penuh penjelasan."Baiklah, Dok. Terima kasih," sahut Glen sambil mengangguk. "Kalau begitu, saya permisi, Tuan. Semoga Nona Ellena bisa melewati masa kritisnya dengan baik." Dokter memutar tubuhnya dan melangkah pergi, meninggalkan mereka dengan k
Bus Antar kota yang melaju itu terlihat semakin cepat melintasi jalan beraspal hitam dan sudah melewati jalan Tol bebas hambatan.Beberapa kota sudah terlewati hingga kini menuju sebuah Pelabuhan Kapal.Hampir semua penumpang tertidur tanpa mempedulikan hawa panas di luar karena Bus ini memiliki AC khusus hingga mereka bisa tidur dengan leluasa tanpa kepanasan. Mungkin saja mereka kelelahan karena bus ini berasal dari kota S menuju Kota X.Hanya ada beberapa penumpang yang masih terjaga, termasuk pria yang masih setia menatap pria tampan di sampingnya itu sambil terus menjaga tas hitam yang ia pungut dari bawah kursi Bus tadi di balik punggungnya.Mungkin ia takut ada copet di dalam Bus itu. Ia yakin jika isi tas itu pasti berharga.Pria tampan yang tak lain adalah Fic itu masih sedikit terpengaruh efek obat bius yang sengaja di suntikkan seseorang padanya beberapa jam yang lalu. Bermaksud agar Fic tidak bisa melawan ketika mereka memaksa Fic untuk berbaring di ranjang jenazah dan sa
"Katakan kamu mau apa? Membunuh orang pun aku bersedia jika sudah seperti ini." jawab pria itu dengan serius."Sungguh?""Ya. Asal anakku bisa sembuh. Akan aku lakukan apapun!"Fic kembali tertegun, bayangan Nathan dan Ellena kembali memenuhi pikirannya.'Semua orang tua, ternyata sepemikiran.'"Mas? Jadi membantuku?" pria itu menepuk bahu Fic yang termenung."Ah iya. Bawa aku pulang ke rumahmu. Aku tidak tau harus kemana. Aku tidak punya tujuan.""Membawamu?" Pria itu melotot."Mana bisa!""Aku akan ditalak istri ku seketika!""Wanita tidak bisa menalak laki laki." sahut Fic."Ah bukan itu maksudnya. Aku akan ditendang oleh istriku.""Kehidupan kami sudah susah! Kami masih tinggal di rumah mertuaku. Pulang bukannya membawa uang malah membawa orang. Yang ada aku di usir dari Rumah! Terus di tinggal istri ku dan aku akan menjadi duda. Ya Allah, aku gak mau jadi duda!" sambung pria itu panjang lebar."Aku tidak akan menyusahkan. Aku berjanji. Bawa aku ke kota Mu. Ke daerah kota asalmu i
Bus sudah mulai memasuki Pelabuhan yang bertuliskan Kalimat Pelabuhan.Samar samar Fic bisa melihat debur ombak yang menghantam pinggiran dermaga dari balik kaca Bus.Fic memilih untuk menundukkan kepalanya. Berusaha menekan sejuta perasaan gundah yang mulai menggerogoti tubuhnya.Hingga akhirnya, bus itu mulai berhenti."Mas, kau mau turun tidak?"Fic mendongak. "Apa sudah sampai?"Pria itu terkekeh, "Ya Belum. Ini Bus berada di geladak Kapal. Kau akan tetap disini atau turun dari Bus ini untuk ke lantai atas?""Lantai atas?" pikiran Fic ternyata masih linglung."Ah iya." Fic cepat tersadar dan paham jika Bus ini ternyata sudah terparkir rapi di geladak kapal khusus untuk para Bus dan Mobil.Fic akhirnya mengikuti langkah semua penumpang.Mereka menaiki tangga untuk menuju bagian lantai atas di dalam Kapal Ferry tersebut."Kau mau kemana?" Fic bertanya pada Pria itu ketika melihat pria itu tetap hendak menaiki tangga lagi padahal para orang orang sudah memilih tempat duduk masing mas
Hampir Empat jam Kapal itu mengarungi Selat lautan. Dan pada akhirnya kini sudah mulai merapat pada dermaga.Para Awak berlari kecil dan dengan cekatan mereka melempar jangkar.Fic melihat para penumpang sudah berkemas ketika sejak pertama mendengar suara sirine tanda pemberitahuan jika Kapal akan segera merapat.Fic menyenggol punggung Ilham yang masih mendengkur halus. Ilham bangun, mengucek sedikit matanya."Kita sudah sampai ya?" bertanya."Sepertinya begitu. Orang orang sudah pada sibuk itu." jawab singkat Fic.Ilham menatap para penumpang yang sudah mulai menuruni tangga, kemudian melirik jam di hp jadul miliknya."Masih jam sebelas." Ilham kemudian bangun dan melangkah diikuti oleh Fic. Mereka kembali ke dalam Bus tadi.Para penumpang sudah masuk semua dan duduk di kursi masing masing.Tak lama kemudian, Pintu geladak bawah terbuka. Satu persatu kendaraan keluar dengan tertib.Bus yang tadi merambat kini mulai menambah lajunya.Fic menoleh kebelakang dari kaca, berharap bisa me