Seperti yang dijanjikan, Giel datang dengan mobil Maserati keluaran terbaru. Semua orang heboh kayak dapat kunjungan pangeran aja. Audrey malas keluar, bahkan setelah dipaksa sama semua orangpun, Audrey ogah ikut ke pantai. Ngapain coba, cuman buat makan seafood doang? Dengan alasan mau belanja dengan voucher-voucher dari Tante Ria, Audrey menolak ikut. Giel memaksa untuk ngedrop Audrey ke shopping center. Akhirnya, Audrey pun nurut pergi diantar sampai gerbang masuk Gelderlandplein. Setelah itu, Keira pergi berdua Giel aja ke Scheveningen.
Seharian itu Audrey belanja baju-baju hangat yang nyaman, yang tidak terlalu tebal agar masih bisa dikenakan di Indonesia juga. Setelah puas, dia menenteng tas-tas belanjaannya menuju toko kacamata, Pearle. Di toko itu, dia disambut dengan ramah oleh seorang pelayan yang rupanya adalah orang Indonesia juga, yang bernama Riny. Mereka berdua berbasa-basi sebentar, lalu mencari kacamata hitam yang Audrey inginkan.
“Ada Emporio Armani yang bagus, nggak, Mbak Riny?”
“Oh, ada yang modern, animal-print tapi gagangnya logam. Mau?” tawar Riny.
“Wah, mau banget, Mbak.”
Riny pergi ke lemari penyimpanan, sementara Audrey memilih kacamata dari Gucci untuk ibunya. Pelayan itu tak lama muncul dengan kacamata yang dimaksud. “Hier is ze... --- Ini dia… Wilt je zo aanpassen?--- Mau dicoba sekarang?”
“Ja, is goed… --- Iya, boleh. Aku juga mau beli Gucci yang ini, bisa minta dibungkus sebagai kado?”
“O, jazeker! --- Oh, ya tentu saja,” kata Riny dengan aksen Dutch yang menyenangkan. “Apakah semuanya ini untukmu?”
“Tidak, Gucci ini untuk Ibuku,” kata Audrey sambil mengenakan kacamata Armani dari atas meja kaca.
“Silakan dicoba dulu, saya bungkus dulu Gucci ini, ya. Sebentar,” kata Riny, ia lalu pergi ke meja kasir untuk membungkus Gucci itu sebagai kado.
Audrey mengangguk sopan, lalu pergi ke kaca pada dinding bersebelahan dengan rak untuk mengamati penampilannya. Cukup lama hingga ia menyadari, bahwa ia tidak sendiri di kaca itu. Seseorang dengan jas hitam berdiri dengan gagah di belakangnya.
“Bagus, kok,” kata pemuda itu dalam bahasa Indonesia.
Audrey menurunkan kacamatanya sedikit, sambil sedikit melemparkan senyuman. “Terima kasih,” kata Audrey sopan. Sekilas ia mengamati, kalau pemuda blasteran itu bertubuh tinggi seperti orang bule, tapi berkulit coklat seperti orang Indonesia.
Merasa diamati, cowok itu menekukkan gesture-nya yang coy dengan santai, seperti meminta izin untuk pergi dari tempat itu. Ia pergi ke meja customer untuk menunjukkan sporty sunglasses yang diambilnya dari rak kacamata pada seorang pelayan laki-laki yang datang.
Saat itu, Riny sudah kembali dengan bungkusan kado yang diminta Audrey. Audrey segera membuka tasnya untuk mengambil uang. Dari sudut matanya, sedikit saja, ia merasa cowok itu sedikit mencondongkan kepala memperhatikannya, mau tak mau Audrey menengadah.
Cowok itu tengah tersenyum padanya.
“Apakah kau berusaha mengenaliku?”
Audrey merenggut tak enak. “Kau yang menatapku!”
“Tidak, aku hanya mengamati bagaimana orang-orang mengenakan barang-barang bagus ini...,” kata cowok sambil mengerling tersenyum menggodanya. “Martin. Kau boleh panggil aku Mart.” Mart menyodorkan tangannya.
“Audrey…,” kata Audrey sambil tertawa malu.
“Aku tersenyum manis padamu, kamu membuka sunglasses-mu untuk mengamatiku lebih jelas.”
Audrey tertawa. “Sekarang kau menuduhku?”
“Ya, dan aku akan membayar pesananku. Kau punya tempat yang asyik untuk kita duduk bersama?” todong Martin langsung.
“Nah, sekarang kau juga ingin mengenalku?”
“Mengenal cewek secantik kamu, tentu saja,” kata Mart sambil mengeluarkan dompet.
“You're a pervert.”
Mart mengedipkan matanya nakal. Audrey tak urung dibuatnya tertawa.
“Sekarang katakan, siapa laki-laki yang mengantarmu turun dari Maserati itu?”
Hah? Bagaimana dia bisa tahu? Pikir Audrey. “Ah, sekarang ketahuan siapa yang memperhatikan siapa, huh?”
Mart tertawa. “Pacarmu, huh?”
Audrey menggeleng sambil merengut. “Enak aja.”
“Pantas saja kamu malu ketahuan, dia mirip gay,” kata Mart cuwek.
Untuk kali ini, Audrey setuju dengan pernyataan Mart.
000
Tante Ria langsung berhambur keluar ketika sebuah Mercy hitam tak dikenal datang dan Audrey keluar dari mobil itu bersama seorang laki-laki tampan.
“Audrey? Siapa temanmu ini?” tanya Tante Ria kaget menatap teman asing Audrey.
“Halo, Tante. Kenalkan, saya Mart. Saya hanya mengantar Audrey pulang,” kata Mart sopan.
“Audrey? Kalian kenal di mana? Kok, Audrey nggak pernah cerita punya teman di sini?”
“Kami baru saja bertemu, Tante,” kata Mart tak kurang sopan dari sebelumnya.
“Oh, begitu… Kalau begitu, mari, mari masuk, Nak…,” Tante Ria mempersilakan Mart untuk masuk ke dalam.
Audrey mengadukan dagunya ke leher, sambil menggeleng untuk menunjukkan ketidaksetujuannya. Mart tertawa melihatnya.
“Oh… Terima kasih. Tapi, sayang saya harus pergi lagi,” kata Mart dengan nada permisif.
“Kamu pasti dilarang masuk sama Audrey, ya? Tapi, ayo, masuklah untuk secangkir kopi. Kebetulan, kami semua sedang berada di rumah hari ini, anak saya Bjorn datang lebih awal dari kantornya, dan suami saya sudah di rumah sejak siang tadi. Akan menjadi sore yang baik bagi kami semua…”
“Saya fikir, Audrey akan lebih senang jika saya meneruskan perjalanan saya menemui seorang klien. Saya sangat mengharapkan pertemuan seperti itu dengan Anda sekeluarga lain kali, tapi sungguh, sekarang saya minta maaf karena harus pergi…”
“Owh...,” kata Tante Ria, mengepalkan sebelah tangannya itu di dada. “Lain kali, kamu datang dan minum-minum bersama kami. Ya?”
“Saya janji... Hanya jika Audrey mengizinkannya... Ya, Audrey?” jawab Mart sambil lalu tertawa. Audrey membelalakan matanya sambil mengangkat bahu.
“Kita lihat nanti, ya? Sekarang sebaiknya kamu pergi sebelum terlambat ketemu klien...,” kata Audrey sambil meraih tangan Mart, lalu saling beradu kedua pipi.
“Mart... Jangan dengarkan Audrey. Kamu boleh datang dan membuat janji dengan kami... Kapan saja kamu mau... Sekarang, pergilah kalau memang harus pergi,” kata Tante Ria.
“Terima kasih, Tante. Sampai jumpa,” kata Mart mohon diri.
Tante Ria dan Audrey berdiri saling memeluk melepaskan mobil itu pergi.
Di saat yang sama, Keira ngejogrok di bibir jendela, bersama Mas Boy yang meringkuk pesimis. “Kayaknya, nggak lama lagi, kamu bakal ditinggal kawin sama si Audrey, Kei,” kata Mas Boy.
“Siapa bilang, siapa yang bakal ninggalin siapa? Satu-satunya orang yang harus bertanggung jawab atas keadaan gue sekarang adalah si Ray... Kenapa dia membiarkan timnya kalah pada pertandingan melawan Rotterdam?” kata Keira sebal.
Mas Boy menghembuskan nafas sambil menggeleng, wajahnya terjatuh bersama pundaknya, dan ikut menghempaskan tubuh di sofa di mana Keira menghempaskan tubuhnya jatuh dari jendela. Mas Boy masih merunduk di tempat semula, tak bergerak sedikitpun.
“Tapi, kalau saja posisi Amsterdam waktu itu ada di kandang sendiri, tentu anak-anak latih Ray gak bakal grogi. Mereka masih anak-anak, lebih rentan dipengaruhi emosi penonton sampai tahu bagaimana menjadi pemain terbaik,” kata Mas Boy santai. “Tapi, kamu juga yang salah, kenapa berfoto bareng tim lawan?”
“Gue udah berusaha mengenali setiap anggota team! Tapi, saat mereka sudah ganti kostum, gue nggak bisa bedain lagi anak-anak bule itu!” kata Keira bertahan dengan argumennya yang dulu.
“Kei... Elo bukan cuman berfoto bareng tim lawan mereka, tapi juga memberikan hadiah bola yang kita persiapkan dengan tulisan ‘I love suckers!’!” kata Bjorn mengingatkan Keira. “Sudah tentu anak-anak itu nggak bisa melihat elo dengan sebelah mata lagi, karena di mata mereka elo gak punya perasaan sama sekali!”
“Nah… Mungkin aja cinta belum berpihak sama gue. Tapi, kalian liat suatu hari nanti, gue akan pada akhirnya menemukan arti cinta yang sebenarnya!” kata Keira ketus.
Pada saat itu, Audrey muncul dengan napas terengah-engah, dibuntuti oleh Tante Ria.
“Heh? Kalian lagi pada di sini?” kata Audrey kaget.
“Heh? Kalian liat teman barunya Audrey tadi?” kata Tante Ria.
Audrey tersipu-sipu sendiri sambil menutup mulut dengan tangannya.
“Orang mana, dia Drey?” kata Bjorn.
“Ada aja…” kata Audrey membuat teka-teki.
“Ayo, cerita aja… Nanti gue usut asal-usulnya sekalian, biar jelas,” kata Bjorn.
“Eh, jangan!” kata Audrey kaget, menyadari ucapan Bjorn bukan main-main. Bjorn bisa melacak siapapun dengan keahlian komputernya.
“In case, dia macam-macam, loe bilang langsung ke gue. Lo ngerti?” kata Bjorn sambil menepuk pipi Audrey.
“Iya… Makasih, lo udah concern,” kata Audrey sambil lalu melemparkan tubuhnya ke kasur, menutup wajahnya yang cekikikan.
“Doh, yang lagi jatuh cinta… Belum apa-apa udah demam, deh,” kata Keira usil.
“Enak aja!” kata Audrey sambil melemparkan bantal ke tubuh Keira yang masih ngejogrok di jendela sampai Keira jatuh.
Tapi, siapa yang tahu kalau besoknya, Audrey memang benar-benar demam?
“Ini pasti gara-gara cowok itu!” kata Keira berang. Rencananya shopping sama Giel hari ini gagal, gara-gara Tuan Putri sakit demam. “Udah gue bilang kemarin, kan? Pasti, si Audrey diapa-apain deh ama tuh cowok?”“Enak aja!” kata Audrey lemas. “Ini pasti dari cuaca yang buruk. Minum Paracetamol aja pasti besok baikan lagi.”“Apa Mart sudah meneleponmu hari ini, Audrey?” tanya Tante Ria.“Dari kemarin, itu cowok nelpon ada seratus kali!” kata Keira monyong. “Hari ini aja, kalau si Audrey nggak lupa ngecas tadi malam, pastinya udah videocall-an lagi. Nggak jelas apa yang mereka obrolin. Hih?”“Ah, lo
Sore itu, seorang stylist dikirim Tante Ria ke rumah. Audrey setuju kalau rambutnya dipasangi hair-extensions. Oom Nico muncul dengan wajah khawatir membacakan isi surat yang ditujukan untuk Audrey.Dari si Hitch!“Wah… Audrey kamu ternyata mengidap borderline disorder kata dokter?”"APA? Borderline disorder?"Bjorn mengambil kertas itu dari tangan ayahnya."Di sini ditulis, elo diduga menderita borderline disorder dengan memiliki gejala sebagai berikut, sex abuse, food abuse and violence
Viewpoint ruangan kaca kokpit boeing 737 Garuda Indonesia membuka angkasa Selat Sunda yang indah. Terbingkai di atas perangkat kendali pesawat, awan-awan tipis berhamburan kencang. Awak pilot yang sedang memantau kecepatan menunjuk rekannya ke arah jam 11, sebuah kota menghilang. Rekannya menunjuk ke spot lain, sebuah kota lain juga menghilang. Rupanya kota-kota itu sedang mengalami aliran listrik. Para pilot itu tergelak kecil.Seorang pramugari muncul menaruh minuman untuk para awak pilot, lalu keluar dari kamar kokpit melalui pintu yang terbuka. Ia terus berjalan sambil mengamati situasi, memastikan apabila para penumpang duduk nyaman atau ada yang ingin dilayani.Audrey Paras Giandra, si pramugari berusia 25 tahun yang berwajah bening seperti keramik itu dengan make up tipis itu menyorotkan matanya melintasi ruang kelas
Di bandara Schiphol,pada pukul 11 siang, di ruang tunggu kedatangan, telah menunggu dengan khawatir Tante Ria, Om Nico dan Bjorn. Mereka kelihatan sangat lega ketika melihat Keira datang berlari-lari membungkuk dengan gendongan ranselnya. Audrey melambaikan tangan pada mereka, berjalan mencari luggage bersama para penumpang lainnya untuk menyelamatkan waktu ke tempat pengambilan barang. Tapi, sepertinya mereka tidak bisa mengenali Audrey yang sudah berganti pakaian di dalam pesawat.Keira menjembabkan tubuhnya di kaca, kedua tangannya terentang dengan sebelah kaki terangkat naik, mereka menciumnya bertubi-tubi di balik kaca. Ketiganya ngetok-ngetok kaca pembatas ruangan itu, menanyakan Audrey, lalu melotot marah ketika Keira menutup mulutnya dengan mata terbelalak seperti orang lupa. Mereka melotot dan menghembuskan nafa
“Goedemorgen, Audrey!”Cahaya matahari menyorot lewat jendela yang dibukakan Bjorn.Bjorn tersenyum pada Audrey yang merengut ke arah jendela jendela. Anak blasteran itu makin kelihatan mirip bule saja, highlight di anak-anak rambut pirangnya makin jelas tertimpa cahaya matahari. Ia duduk merangkul Audrey yang terduduk di kasur, mengganjalkan sebuah bantal ke bawah kepala Audrey, hingga Audrey terduduk bersandar padanya.“Elo mau sarapan apa hari ini?”“Bubur ayam…”Bjorn mengusap poni A