Sore itu, seorang stylist dikirim Tante Ria ke rumah. Audrey setuju kalau rambutnya dipasangi hair-extensions. Oom Nico muncul dengan wajah khawatir membacakan isi surat yang ditujukan untuk Audrey.
Dari si Hitch!
“Wah… Audrey kamu ternyata mengidap borderline disorder kata dokter?”
"APA? Borderline disorder?"
Bjorn mengambil kertas itu dari tangan ayahnya.
"Di sini ditulis, elo diduga menderita borderline disorder dengan memiliki gejala sebagai berikut, sex abuse, food abuse and violence," Bjorn menjentikkan jarinya di kertas itu.
"Emang selama ini gue memiliki gejala-gejala kayak gitu, nggak, kan?" elak Audrey.
"Anak rekan Oom juga ada yang borderline, dia nyaris bunuh diri tanpa dikenali alasannya oleh orang awam. Penderita borderline rata-rata sangat intelijen dan pandai menutup fakta bahwa dia memang menderita gangguan."
"Aduhhh, kok jadi bunuh diri, sich?" Audrey makin kebingungan.
“Suicidal is like telling God, ‘You can't fire me! I'm quit’!” Oom Nico mengutip kata-kata itu dengan membuat gerakan tangan di udara, lalu tertawa diiringi oleh Bjorn.
Mas Boy ikut nimbrung, masuk menopang baki berisi cangkir-cangkir kopi. “Borderline, tuh kan ada hubungannya sama bord, nah, karena bord itu dalam Bahasa Belanda artinya piring, berarti artinya kamu, tuch honger terus…”
“Aduh... Mas Boy gak usah heboh, please, dech... Yang ada, gue tuh justru punya penyakit maag. Nih, kopi bikinan Mas Boy ini aja gulanya kurang, nih... Nanti maag gue kambuh, tanggung jawab, dech,” tegur Audrey galak.
“Audrey, toch... Mas Boy ini udah taruh satu sendok teh kopi, 6 glutuk gula, pleus diguyur krem setengah gelas. Minum aja, deh, nanti keburu jadi es Cappucino. Nanti-nanti minum cream teh aja kalo nggak kuat sama kopi," kata Mas Boy cuek, menuangkan kopi yang mengepul ke cangkir-cangkir di meja makan.
"Eh, Drey. Kalau lo punya penyakit maag, koq elo bisa jadi abusing food juga, sich?" Bjorn setelah lama menyeruput kopinya. Audrey sudah mengharapkan seseorang akan mengatakan hal itu dari tadi, ia menatap Bjorn dengan pandangan penuh harap.
“This is absurd, Bjorn! Selama ini gue kan gak pernah berlebih-lebihan dalam hal makanan, gak pernah melakukan tindak kekerasan, nggak punya hasrat gairah sex apapun?”
“Iya, juga sih? Menurut gue, elo normal-normal aja, sih,” kata Bjorn acuh tak acuh, memilihkan helaian rambut barunya Audrey yang berwarna coklat dan krul, memberikan nya pada si stylist. “Udah, lah lupain aja… Nggak usah lo balik lagi ke dokter itu. Entar yang ada elo dimasukin ke instelling--- RSJ lagi di sini?”
Semua orang tertawa, kecuali Audrey.
“Ini semua gara-gara pengaduan elo, Kei! Elo yang ngomong soal gue nggak mau ngadepin si Giel, lah, akhirnya gue ketemu ama cowok yang nggak bener, lah… Kalau mulut elo nggak ember kayak gitu, gue nggak akan divonis kayak gini, tauk?”
“Eh, elo sendiri yang ngaku naek berat badan dan berantem ama si Mart? Kok jadi gue yang disalahin?”
Audrey garuk-garuk kepala tak gatal.
“Eh, eh. Belom selesai, Jeng,” kata stylist itu melepas tangan Audrey dari kepala.
“Gue, kan cuman mau bilang kalau gue emang glowing dari si Mart!”
“Tapi, elo emang bener kan naek 6 kilo?” tuduh Keira lagi.
“Itu, kan dari dua bulan kemarin, Kei? Kita di sini, kan belum sampai seminggu? Kalau elo nggak ngadu macem-macem ke Tante Ria, gue nggak usah ke psikiater cuman gara-gara demam doang?”
“Udah, jangan berantem… Menurut temen Om, borderline disorder personality (BPD) itu terapinya disebut dengan Dialectical Behavior Therapy. Sesuatu dengan mengungkapkan perasaan kita terhadap seseorang yang kita percayai. Kalau emang Audrey udah punya gejala BPD, mungkin sebenarnya Audrey udah mencoba self-help gitu dengan berhubungan sama Mart. Makanya, kamu senang bikin dialog sama dia,” kata Om Nico berusaha bijak.
“Nah… Itu mungkin juga, Pah!” kata Bjorn setuju.
“Tapi, gue nggak punya gejala apapun kayak gitu, deh,” kata Audrey tetep keukeuh kalau dia sama sekali nggak sakit. “Lagipula, gue nggak yakin hubungan gue bakal lanjut ama Mart.”
“Loh, kenapa?” tanya Bjorn. “Bukannya dia cowok yang baik buat lo? Apakah dia lain kepercayaan sama lo?”
“Baik, sih baik, Bjorn... Dia juga sama kepercayaannya sama gue… Tapi, dia kayaknya emang bener kata Keira, udah punya gandengan di belakang gue… Cuman dia nggak ngaku aja.”
“Kok, lo bisa tahu?”
“Dia nerima telpon dari cewek di mobilnya sewaktu nganter gue pulang.”
“Kapan itu?”
“Hari itu juga, Bjorn! Hari pertama mereka kenalan,” kata Keira keqi sendiri.
“Kali aja teman biasa?”
“Masa teman biasa manggil sayang, sih?”
“Ya, kali aja ama sodaranya?”
“Nggak, deh… Gue nggak percaya.”
“Terus, kalau udah punya pacar, ngapain dia tiap malem videocall-an ama elo?” tanya Bjorn lagi.
“Ya, kali aja belom tinggal bareng?”
“Iyain aja, kenapa sih Bjorn? Si Audrey emang udah feelingnya kayak gitu, kenapa lo komporin lagi? Entar demam lagi, gawat, deh!” kata Keira bete. “Udah lo lupain aja soal BPD ini, entar bisa-bisa rambut lo keriting beneran lagi!”
Semuanya tertawa mendengar celotehan Keira.
Pemasangan hair-extensions itu sejauh ini sudah memberikan volume pada rambut Audrey, unik dengan helaian-helaian lempeng dan krul berwarna hitam, yang kontras untuk rambut asli kecoklatan dan halusnya Audrey. Stylist itu membubuhkan beberapa helai rambut warna coklat dengan ketebalan warna yang berbeda dan dua helai dreadlocks warna hitam. Ia menyesuaikan panjangnya sekalian dengan memotong sedikit rambut Audrey. Poni itu juga mendapat sentuhan trim. Hasilnya seru, Audrey tampil sangat cantik dengan 'rambut barunya'!
Selesai dengan rambut Audrey, stylist itu pun mengerjakan rambut Keira. Keira yang rambutnya cepak itu minta didandani ala Christina Aguilera dalam lagu Beautiful. Selain dicat pirang, Keira juga mendapat banyak hair extensions dengan warna senada dan beberapa dreadlocks warna hitam.
Hasilnya mencengangkan semua orang! Keira tampak cantik sekali, mirip banget sama si Aguilera!
000
Esok paginya, Audrey dan Keira tengah berdandan di kamar untuk pergi shopping bareng Giel. Mereka mendengar sebuah mobil diparkir di depan rumah. Audrey pikir, itu adalah Volvo hitamnya Bjorn. Tapi, ketika ditengok di jendela, ternyata itu adalah Mercy hitam dan orang yang keluar dari mobil itu sama sekali bukan Bjorn.
“Si Mart, ya Drey?”
“He-eh,” kata Audrey pendek, ia pun berhambur keluar.
“Hi!” sapa Mart sambil menegakkan badan, tersenyum melihat wajah Audrey yang kaget seperti itu. “Mengharapkan kedatanganku?”
“Hi!” Audrey menarik bibirnya tersenyum dengan kedua alis terangkat. “Tidak! Aku pikir kamu sepupuku.”
“Ah, okay. How are you? Nice hair!” Mart tak menyembunyikan kekagumannya akan rambut baru Audrey.
“I'm fine... Thank you. What brings you here...?” tanya Audrey menggendik, tak menyembunyikan keheranannya.
“I'm fine as well,” Mart menyunggingkan senyumnya pada Audrey yang tak balas menanyakan keadaannya. “Saya membuat banyak panggilan untuk memberitahumu kalau saya akan datang, tetapi kamu tidak mengangkatnya. Saya datang untuk membawakan ini kembali kepadamu. Maaf, saya tidak tahu sebelumnya bahwa itu tergeletak di bawah kursi selama beberapa hari,” Mart merogoh saku jasnya, lalu menyerahkan benda itu pada Audrey.
“It's my diary?” tanya Audrey kaget, mengendurkan urat wajahnya, bibirnya dibiarkan menggantung begitu saja.
Mart hanya menyunggingkan senyum.
“Apakah aku meninggalkannya di mobilmu waktu itu?”
“Yea, you're reckless...,— ya, kamu ceroboh,” sambar Mart cepat. Audrey menarik kedua ujung bibir bawahnya.
“Tadinya, saya mengharapkan secangkir kopi denganmu, tapi saya terlambat sekarang. Jadi, sampai jumpa akhir pekan ini? Mungkin?” katanya dengan mimik menggoda. Audrey masih bingung, bagaimana diary itu bisa ketinggalan di mobil Mart. Dan bagaimana ia bisa tidak tahu kalau ia telah kehilangan barang, apalagi diary-nya yang sangat berharga baginya itu. Ia merasa sebal melihat Mart yang masih tersenyum puas.
Mart membalikkan badan dan membuka pintu mobil. Sebelum ia masuk, tiba-tiba saja Audrey menarik tangan Mart lalu melepaskannya lagi dengan cepat, berdiri kebingungan. Mart mengangkat bahu, ia masuk dan membiarkan pintu mobil terkuak, cuek menyalakan radio.
Dengan gugup Audrey membuka-tutup tangannya lalu mencengkram diary yang telah kembali dengan selamat di tangannya. Ia berusaha mengembangkan senyuman. Mart melongokkan kepalanya keluar.
“Yes?”
"Gue minta maaf atas argumen kita kemaren-kemaren."
"Argumen yang mana?" Mart balik bertanya. "Apakah itu tentang kenapa aku belum sempat menemuimu? Kamu sendiri, kan yang berkali-kali mengansel meeting yang aku set setiap kali?"
"Ah, sudahlah... Kita tidak ingin ribut lagi di sini, bukan? Thank's for bringing this back,” Audrey menarik ujung bibir bawah sambil menepuk-nepuk diary-nya.
“In my opinion, it is so stupid to leave your diary in somebody else's car. You should be happy that it gets to the good hand…— Menurut pendapat saya, sangat bodoh untuk meninggalkan buku harianmu di mobil orang lain. Kamu harus senang bahwa itu sampai ke tangan yang baik...” kata Mart sambil tersenyum simpul. Mobil itu perlahan pergi meninggalkan tempat itu.
Audrey berlari masuk kembali ke dalam rumah, hendak menyimpan diary itu di kamarnya. Tanpa sengaja, diary itu terbuka pada halaman terakhirnya di meja.
Ya, ampun! Audrey terperanjat membuka diary-nya. Apa-apaan ini?
Mart bukan saja telah membaca tulisannya, tapi juga mengacak-acak diary-nya dengan nota-nota tulisan tak diundang!
Audrey melihat tulisan-tulisan baru dalam huruf besar.
I luv Bjorn! He supports my relationship with Mart. HM!
Shoot! pikir Audrey.
Giel's offer is not bad at all. But to open a gallery costs quite a money. And still I don't know if I would live here. Giel is sweet, but I would at least fall in love with someone. — Tawaran Giel tidak buruk sama sekali. Namun untuk membuka galeri membutuhkan biaya yang cukup besar. Dan aku masih tidak tahu apakah aku akan tinggal di sini. Giel itu manis, tapi setidaknya aku ingin jatuh cinta pada seseorang. IS GIEL A GUY OR A GAY?
Keira should learn to understand what I feel for Mart. And that being a lesbian has nothing to do with love! — Keira harus belajar memahami apa yang aku rasakan untuk Mart. Dan bahwa menjadi lesbian tidak ada hubungannya dengan cinta! AHA?
Mampus! Audrey membuka halaman berikutnya.
OMG! I woke up and found myself saying his name! — Ya Tuhan! Aku terbangun dan mendapati diriku menyebut namanya! WHO'S THAT LUCKY GUY???
Went to the beauty center with Tante Ria, she got botox injections. They suggested me for a salt-breast implantation, they said it has the least risk. But, nah, just hair-extension is okay! I'll get 200 euros from Keira if I do. — Pergi ke pusat kecantikan dengan Tante Ria, dia mendapat suntikan botox. Mereka menyarankan aku untuk implantasi payudara garam, mereka mengatakan itu memiliki risiko paling kecil. Tapi, nah, ekstensi rambut saja tidak apa-apa! Aku akan mendapatkan 200 euro dari Keira jika aku melakukannya. YOUR TITTIES ARE YUMMY! BUT, ARE YOU A DUMMY?
OMG... OMG... OMG! Ini sudah keterlaluan... Aku harus balas dendam! Geram Audrey. Ergh! Sesuatu yang tidak kekanak-kanakan. Sebuah kencan di restoran ternama, dia dan Mart makan malam berdua, lalu mereka berdebat, tiba-tiba Giel datang menjemputnya. Ini akan menjadi sebuah plot twist yang mencengangkan bagi Mart. Mudah-mudahan saja Giel mau diajak bekerja sama. Oh, Giel, please...Saat itu, sebuah mobil Lambo memarkir dengan mulus di halaman.
Viewpoint ruangan kaca kokpit boeing 737 Garuda Indonesia membuka angkasa Selat Sunda yang indah. Terbingkai di atas perangkat kendali pesawat, awan-awan tipis berhamburan kencang. Awak pilot yang sedang memantau kecepatan menunjuk rekannya ke arah jam 11, sebuah kota menghilang. Rekannya menunjuk ke spot lain, sebuah kota lain juga menghilang. Rupanya kota-kota itu sedang mengalami aliran listrik. Para pilot itu tergelak kecil.Seorang pramugari muncul menaruh minuman untuk para awak pilot, lalu keluar dari kamar kokpit melalui pintu yang terbuka. Ia terus berjalan sambil mengamati situasi, memastikan apabila para penumpang duduk nyaman atau ada yang ingin dilayani.Audrey Paras Giandra, si pramugari berusia 25 tahun yang berwajah bening seperti keramik itu dengan make up tipis itu menyorotkan matanya melintasi ruang kelas
Di bandara Schiphol,pada pukul 11 siang, di ruang tunggu kedatangan, telah menunggu dengan khawatir Tante Ria, Om Nico dan Bjorn. Mereka kelihatan sangat lega ketika melihat Keira datang berlari-lari membungkuk dengan gendongan ranselnya. Audrey melambaikan tangan pada mereka, berjalan mencari luggage bersama para penumpang lainnya untuk menyelamatkan waktu ke tempat pengambilan barang. Tapi, sepertinya mereka tidak bisa mengenali Audrey yang sudah berganti pakaian di dalam pesawat.Keira menjembabkan tubuhnya di kaca, kedua tangannya terentang dengan sebelah kaki terangkat naik, mereka menciumnya bertubi-tubi di balik kaca. Ketiganya ngetok-ngetok kaca pembatas ruangan itu, menanyakan Audrey, lalu melotot marah ketika Keira menutup mulutnya dengan mata terbelalak seperti orang lupa. Mereka melotot dan menghembuskan nafa
“Goedemorgen, Audrey!”Cahaya matahari menyorot lewat jendela yang dibukakan Bjorn.Bjorn tersenyum pada Audrey yang merengut ke arah jendela jendela. Anak blasteran itu makin kelihatan mirip bule saja, highlight di anak-anak rambut pirangnya makin jelas tertimpa cahaya matahari. Ia duduk merangkul Audrey yang terduduk di kasur, mengganjalkan sebuah bantal ke bawah kepala Audrey, hingga Audrey terduduk bersandar padanya.“Elo mau sarapan apa hari ini?”“Bubur ayam…”Bjorn mengusap poni A
Seperti yang dijanjikan, Giel datang dengan mobil Maserati keluaran terbaru. Semua orang heboh kayak dapat kunjungan pangeran aja. Audrey malas keluar, bahkan setelah dipaksa sama semua orangpun, Audrey ogah ikut ke pantai. Ngapain coba, cuman buat makan seafood doang? Dengan alasan mau belanja dengan voucher-voucher dari Tante Ria, Audrey menolak ikut. Giel memaksa untuk ngedrop Audrey ke shopping center. Akhirnya, Audrey pun nurut pergi diantar sampai gerbang masuk Gelderlandplein. Setelah itu, Keira pergi berdua Giel aja ke Scheveningen. Seharian itu Audrey belanja baju-baju hangat yang nyaman, yang tidak terlalu tebal agar masih bisa dikenakan di Indonesia juga. Setelah puas, dia menenteng tas-tas belanjaannya menuju toko kacamata, Pearle. Di toko itu, dia disambut dengan ramah oleh seorang pelayan yang rupanya adalah orang Indonesia juga, yang bernama Riny. Mereka berdua berbasa-basi sebentar,
“Ini pasti gara-gara cowok itu!” kata Keira berang. Rencananya shopping sama Giel hari ini gagal, gara-gara Tuan Putri sakit demam. “Udah gue bilang kemarin, kan? Pasti, si Audrey diapa-apain deh ama tuh cowok?”“Enak aja!” kata Audrey lemas. “Ini pasti dari cuaca yang buruk. Minum Paracetamol aja pasti besok baikan lagi.”“Apa Mart sudah meneleponmu hari ini, Audrey?” tanya Tante Ria.“Dari kemarin, itu cowok nelpon ada seratus kali!” kata Keira monyong. “Hari ini aja, kalau si Audrey nggak lupa ngecas tadi malam, pastinya udah videocall-an lagi. Nggak jelas apa yang mereka obrolin. Hih?”“Ah, lo