“Ini pasti gara-gara cowok itu!” kata Keira berang. Rencananya shopping sama Giel hari ini gagal, gara-gara Tuan Putri sakit demam. “Udah gue bilang kemarin, kan? Pasti, si Audrey diapa-apain deh ama tuh cowok?”
“Enak aja!” kata Audrey lemas. “Ini pasti dari cuaca yang buruk. Minum Paracetamol aja pasti besok baikan lagi.”
“Apa Mart sudah meneleponmu hari ini, Audrey?” tanya Tante Ria.
“Dari kemarin, itu cowok nelpon ada seratus kali!” kata Keira monyong. “Hari ini aja, kalau si Audrey nggak lupa ngecas tadi malam, pastinya udah videocall-an lagi. Nggak jelas apa yang mereka obrolin. Hih?”
“Ah, lo sirik aja kali? Atau lo keqi gara-gara nggak jadi dibelanjain ama si Giel?”
“Eh, gimana gue nggak keqi. Kalau elo nggak nolak si Giel, liburan musim panas kemaren gue udah kali dikasih jetski ama dia? Tapi, elo lagi bilang nggak mau jadi cewek simpenan, lah, bilang si Giel kayak gay, lah… Kekuping lagi ama dia? Terang aja, dia nggak jadi bikin galeri seni di Bali, semua gara-gara elo sok jual mahal begitu sama dia!”
“Eh, Keira?” bentak Tante Ria. “Jangan jahat begitu sama sodara sendiri, ya?! Itu mungkin bukan rejeki kamu aja. Koq jadi nyalahin Audrey?”
“Si Giel itu udah banyak ceweknya, emang gue nanti jadi cewek yang ke berapanya dia? Elo enak jadi anak emas, nggak usah ngapa-ngapain dapet galeri seni, lah elo tega gue dibikin jadi cewek simpanannya dia? Hih, mana emang tampangnya bener kayak gay lagi?”
“Udah, udah… Sekarang mendingan kita ke Zwaluwhoeve lagi, yok?” ajak Tante Ria pinter. “Kali aja, demammu jadi baekan kalau dipijat, Drey?”
Usul itu diterima dua keponakannya. Sore itu mereka pergi ke Zwaluwhoeve untuk spa treatment komplet.
000
“Cerita, dong ke Tante. Apa, sih kerjaannya Mart itu, Drey?” kata Tante Ria mengangkat wajahnya lalu terjembab lagi masuk ke bolongan bantal.
“Katanya sih dia bekerja di perusahaan biro tenaga kerja gitu. Gak jelas apa jabatannya.”
“Ahhh… Oke… Terus, kapan kalian akan ketemu lagi?”
“Dianya sibuk terus katanya, Tan. Jadi, cuman ada waktu pas wiken aja.”
“Ahh, kalian baru aja kemaren kenalan, masih banyak waktu liburan kamu di sini. Terus, kenapa nggak kamu undang aja dia untuk spa bareng? Tante baru dapat voucher lagi buat bulan ini. Keira gak usah diajak ikut kalo bikin bete."
“Heh?” Keira angkat wajahnya lagi, matanya juling. “Tante kok, malah memfasilitasi, sich? Audrey, kan setengah telanjang di sini? Biarin aja si Batman Kasarung itu yang ngajuin sendiri kalau mau! Biar keliatan kalau dia cuman mau ngisep hormonnya si Audrey aja! Heeh… Lain kali mungkin Tante mau beliin swimsuitnya sekalian buat dia!” rutuk Kei.
Audrey kehabisan nafas dari tertawa.
“Tante sich, nggak ada masalah kalau kamu serius sama Mart, Drey, asal positif… Kalau Tante liat dari kespontanan dia menyapa Tante, Mart itu orangnya agak-agak asertif gitu, deh… Berarti, pas buat kamu, yang kadang suka mentok gitu, suka nerawang nggak jelas kemana gitu, deh. Kalo lagi garingnya, lah buat type Kei. Jadi, dia bisa ngimbangin dan mencairkan suasana hati kamu.”
“Yee... Siapa yang garing? Gue nggak suka garing, kok?” Kei membela diri. “Kalo si Indro, dia emang udah pongo dari bayinya dulu juga. Dia kalau lagi pongo begitu, bukan berarti diem, Tan. Tapi, dia lagi menyusun seribu macam rencana gila, kayak gimana caranya biar tetep keliatan kayak anak manis, padahal dalem-dalemnya bad girl, tuh dia! Jadi, paling yang mau nemenin, ya orang yang lebih badass lagi dari dia!”
Audrey menarik handuk kecil di atas kepalanya, menjepretkannya ke punggung Keira dengan kesal. “He! Sejak kapan lo berubah jadi musuh gue?”
“Sejak elo nggak percaya kalau gue punya kelainan genetika! Gak ada yang ngertiin kondisi gue, semua orang khususnya elo, Drey, bisanya cuman ngetawain gue. Menurut elo, kan gue punya disorientasi seks, padahal elo yang makin gembrot ini yang sekarang lagi demam ngebakarin lemak, tapi kesenengan ditempelin si parasit, penyedot lemak elo itu.”
“Keira, kamu sirik, ya Audrey dapat pacar?” kata Tante Ria mengangkat wajahnya dari bolongan, tak percaya keponakannya bisa bicara seperti itu.
“Siapa yang gembrot?” bentak Audrey kesulitan ngomong, lehernya lagi dipijat.
“Ya, ampun... Sampai segitunya kamu tuch, Kei... Bagusan kalo Mart masih suka sama Audrey yang ngegendutin, berarti orientasinya nggak melulu ke soal seks?” kata Tante Ria lagi membela Audrey, ia bangun dan duduk untuk dipijat tangannya.
“Iya, tapi cuman dalam sebulan ini, dia udah naik lagi 2 kilo! Dari berapa, Drey?”
“43,” erang Audrey, lehernya enak banget dipijat kayak gitu, tapi agak-agak sakit. “Tapi, apa urusannya ama berat badan gue, huh?”
“Hah? 43 ke 49? Berarti elo ngebohong, dong? Elo naik 6 kilo dalam 2 bulan! Dua bulan, Tant! Bayangin, sebulan lagi elo bisa jadi model baju hamil, Dro!” seru Keira meyakinkan.
“Gue butuh sedikit lemak buat di pipi, kata orang gue jelek tirus banget! Tapi, larinya malah ke pinggang aja!”
“Dari dulu juga elo nggak punya pinggang! Lempeng kayak baterai! Tapi, itu mah masih mending bisa diakalin pake baju. Nah, pipi elo yang udah bagus kenceng, bertulang, keren, ngapain pake ditimbuni lemak kayak orang baru keluar rumah sakit?”
“Cerewet! Gue masih akan terus makan sampe gue punya lapisan tambahan buat pipi gue!”
“Wahahaha…”
“Masalah kamu apa sih, Kei?” tanya Tante Ria pusing dengan sikap aneh Keira.
“Masalahnya, gini Tan… Gue dari kemarin bertanya-tanya, ngapain si Audrey ngajak nyari lingerie. Padahal, lingerie kan stretch, yang lama-lama masih bisa dipake?”
“Itu karena Tante Ria bawain voucher 50% dari Hunkemoller!” bentak Audrey galak.
“Alah… Akal-akalan lo aja biar suatu saat lo bisa streaptease-an sama si Mart! Wah, kalau prediksi gue bener, Tan, dia mesti dikirim ke psikiater, tuh!”
“Lo sinis banget, sih, Koi? Kenapa elo masih pake piyama sampai sekarang? Kayak anak kindergarten banget! Coba lo belajar pake lingerie! Bukannya lesbo nggak musti tomboy aja?”
“Audrey… Keira nggak lesbo, deh!” kata Tante Ria kesal.
“Dich, amit-amit, deh... Biar tomboy, gue sexy kayak Ariana Grande! Tapi, keseksian gue gak bisa dirasakan oleh sembarang orang kecuali yang punya kecintaan akan seni yang tinggi!”
“Ya, ampun..,” keluh Audrey meringis. “Tante Ria bener, elo tuh, bukan gay, Koi… Elo tuh cuman nggak bisa move on aja dari si Ray. Gue berani taruhan, kalau elo nggak berubah sikap, elo bakal ngejomblo seumur hidup elo. Liat aja omongan gue nanti!”
“Udah... Cukup... Audrey minggu depan kamu ikut Tante ke psikiater,” kata Tante Ria menengahi. “Keira, kamu juga, siapa tahu kamu perlu resep baru.”
000
Si therapist berwajah mengkilap itu memutar-mutar pensil di hidung seperti tongkat ajaib. Penghapus itu menyulap hidung bulat badutnya jadi tomat. “Some girls are having problems with their hearts. And guys actually love girls with a good heart. Your problem is not laid on your heart, but your eyes which block you from seeing other guys. --- Beberapa cewek mengalami masalah dengan hati mereka. Dan cowok sebenarnya mencintai cewek dengan hati yang baik. Masalahmu bukan terletak di hatimu, tapi matamu yang menghalangimu untuk melihat pria lain.”
Audrey mencengkeram tangan Keira, yang mukanya memucat melihat muka therapist yang mirip badut itu. “Kei? Perasaan, koq dia jadi dokter mata, sih? Atau jangan-jangan gue emang sakit mata, ya?”
Keira mengangguk-angguk dengan wajah diliputi horor, keduanya saling berpegangan tangan mengucapkan kata yang sama. “Kita cabut.”
Keira menggaruk-garuk gigi dan menjentikkan kukunya pada si therapist. Sedetik kemudian keduanya lenyap dari ruang praktek.
Booz!!
000
Kunjungan kedua ini Tante Ria yang menemani. Untungnya beda therapist. Nah, actually, si therapist-lah yang mengunjungi Audrey ke rumah. Dia datang tergopoh-gopoh membawa tas kerjanya. Dia sudah tua, Audrey tidak berani menertawakannya.
Therapist satu ini lebih serius dan sangat-sangat menuntut perhatian, tak sekalipun dia pernah menengok pada Audrey. Wajahnya menunduk dengan mata tertuju pada kertas. Selain bicaranya yang mumbling, hanya sedikit yang bisa ditangkap oleh si therapist itu karena dia mengidap hearing-impaired. Tante Ria harus teriak-teriak menyampaikan keluhannya. Untuk bisa mengikuti pembicaraan, dia harus menangkap getaran suara dengan menelengkan kepala, atau mengubah posisi duduknya.
Tubuh therapist tua yang malang itu sesekali guncang, dan seketika itu juga ruangan itu rasanya ikut berguncang. Tante Ria yang pintar mengambil hati, akhirnya mengakhiri sesi itu dengan menunjukkan bebatuan koleksinya, dari mulai diamond, sapphire, ruby, emerald, pearl, cat eye peridot, aquamarine, dan lain-lain sebagainya, sampai ke batu-batu igneous, sedimen dan metamorphic.
000
“Blood rushing, heart flashing, shiver... You must have been in love. --- Darah mengalir deras, jantung berdebar, menggigil... Kamu pasti sedang jatuh cinta.”
Wajah mirip Richard Gere muda itu terangkat dari meja, tersenyum penuh simpatik. Keira mengangguk-angguk di depan wajahnya.
“Ini serius, Dok. Gue nggak pernah kayak gini sama mantan,” Audrey akhirnya mengaku.
Keira menunjuk wajah Audrey penuh dengan kepuasan. “Aha!”
“This could be because you guys have a strong sex appeal to each other. It’s difficult to handle when you both are not into certain commitments.— Ini bisa jadi karena kalian punya sex appeal yang kuat satu sama lain. Sulit untuk ditangani ketika kalian berdua tidak memiliki komitmen tertentu.”
Keira menunjuk si Gere tanda kalau ia setuju.
“Tapi, kita kalau chat biasa-biasa aja, koq Dok? Nggak ada, tuh topik yang sampe nyerempet soal seks?”
Gere itu memalingkan wajahnya. Audrey melirik Keira yang tengah cengar-cengir sendiri, tahu apa yang dipikirkannya.
“Well! Kita akan lihat apa yang bisa kita lakukan!” kata si Gere tiba-tiba riang lalu bangkit mengambil map dari brankas. Kursi Keira ikut berputar, ia menopang dagunya setengah melek memperhatikan Gere dari rambut sampai kaki.
“I want you to first tell me if you have been in any stress or physical experience that changed your life dramatically. Just write it down on this form, with it I will try to examine if you also need some medical treatment. --- Saya ingin kamu memberitahu saya terlebih dahulu apakah kamu pernah mengalami stres atau pengalaman fisik yang mengubah hidup kamu secara dramatis. Tulis saja di formulir ini, dengan itu saya akan mencoba memeriksa apakah kamu juga memerlukan perawatan medis,” kata Gere, ia telah kembali ke kursi.
Keira menarik kursi merapat ke meja, bahunya melorot dengan kedua tangan menopang dagu. Ia mulai bener-bener ngantuk gara-gara denger kata medical treatment.
“I don't have any of such experiences, so I don't think I need that treatment, Doc? --- Saya tidak punya pengalaman seperti itu, jadi saya rasa saya tidak perlu perawatan itu, Dok?”
“OK, then just tell me what kind of person you are or people which relate to you, --- Oke, kalau begitu beritahu saya orang seperti apa kamu atau orang-orang yang berhubungan denganmu,” katanya Gere cuek menunjuk ke formulir Audrey di meja, matanya malas-malasan menelusuri isi map itu.
Keira meniup jambulnya, matanya kelilipan di meja. “Dia ini orang yang punya prinsip kuat, Dok. Tapi, kalau ada sesuatu yang dia nggak mau hadapi, dia bisa jadi orang yang tidak merasa bersalah telah melanggar peraturan. Ngerti, nggak Dok? Dia ini tipe anak baik-baik, gue udah coba atur perjodohan antara dia ama si Giel, tapi dia malah ketemu sama cowok yang nggak jelas di mana rumahnya?”
“Hm. Saya paham maksud kamu,” kata si Gere sambil tersenyum manis pada Keira.
Audrey menuliskan beberapa kata dengan pulpen dicomot dari cangkir keramik kincir angin.
“Sementara kamu menulis, ceritakan siapa dan bagaimana cowok satu ini?”
“Mr. X.”
“OK, if you wanna keep it a secret,” mata Gere berkedip-kedip innocent ditatapi dengan lekat oleh Keira. “Tapi, paling tidak, kamu bisa menggambarkan pasangan kamu itu?”
“He seems to have that kind of self integrity, Doc? --- Dia tampaknya memiliki integritas diri gitu, Dok?”
“Apakah kamu glowing, dan merasakan beauty feeling setiap kamu memikirkannya?”
“Iya,” Audrey berani sumpah, kalo setiap kali dia ngaca, pasti ada yang beda. “Everyday I feel like I grow prettier and prettier. --- Setiap hari saya merasa seperti saya tumbuh lebih cantik dan lebih cantik.” Pipi Audrey jadi ikut memerah dari mengucapkannya.
“Have you gained weight lately? --- Apakah kamu mengalami kenaikan berat badan akhir-akhir ini?”
“Nope. Oh, well, yes... 6 kilos… --- Tidak. Oh, ya, ya... 6 kilo...”
Gere menarik nafas berat, Keira ikut-ikutan menghembuskan nafasnya.
“Now, what are you wondering about him? --- Sekarang, apa yang kamu ingin ungkap tentang dia?”
“Nah… I’m just wondering what kind of person he actually is… And why did he thinks Giel is my boyfriend? --- Nah… Gue hanya ingin tahu orang seperti apa dia sebenarnya… Dan kenapa dia mengira Giel adalah pacar gue?”
“Maybe because he himself has a girlfriend, --- Mungkin karena dia sendiri punya pacar,” kata Keira ketus.
“Have you argued with him? --- Apakah kamu pernah berdebat dengannya?”
“Yea, a couple of times? --- Ya, beberapa kali?”
“About? --- Tentang?”
“Why isn't he coming to see me sooner? --- Kenapa dia tidak datang menemuiku lebih cepat?”
“Then, what happened? Lalu, apa yang terjadi?"
“Then, I thought I have to make something up, to forget him? Lalu, gue fikir, gue mesti making up something, buat ngelupain dia?"
“So, you made up something, such as? --- Jadi kamu mengada-ngada, apa saja itu?”
“Whatever makes him rejected? --- Apa saja yang membuatnya merasa tertolak?”
Keira benar-benar ngantuk sekarang,
“You know what, you are a smart girl. You are just being honest! But you should have been more eager to express your own feelings without giving away yourself to him, and such behaviour is acceptable here in the West. You may have to engage with your Asian ethnicity, and show him that you do so. Everything is not always as bad as it seems, so you both can have a good time together. --- Kamu tahu, kamu adalah gadis yang cerdas. Kamu jujur! Tapi kamu seharusnya lebih bersemangat untuk mengungkapkan perasaanmu sendiri tanpa menyerahkan dirimu padanya, dan perilaku seperti itu dapat diterima di sini di Barat. Kamu mungkin harus melibatkan etnis Asia kamu, dan tunjukkan padanya bahwa kamu melakukan cara itu. Semuanya tidak selalu seburuk yang terlihat, jadi kamu berdua bisa bersenang-senang bersama.”
“Well, he is not a western, Doc? He’s Indonesian originally.— Dia bukan orang barat, kok Dok? Dia orang Indonesia aslinya.”
“Then, you should feel more comfortable with him. Instead of giving you fever, he should give you a favor. — Maka, kamu harus merasa lebih nyaman dengannya. Alih-alih memberimu demam, dia harus memberimu bantuan.”
“That's a load of truth, Richie! --- Itu bener banget, Richie!” wajah kelinci Keira terangkat di meja. Di kepalanya, dia ingin meminta nomor telepon Hitch ini. Tapi, diurungkannya, matanya kelilipan lagi di atas meja.
“We'll talk about it later. I want you to see me again next week. --- Kita bicara lagi nanti. Saya ingin kamu menemui saya lagi minggu depan.”
Sore itu, seorang stylist dikirim Tante Ria ke rumah. Audrey setuju kalau rambutnya dipasangi hair-extensions. Oom Nico muncul dengan wajah khawatir membacakan isi surat yang ditujukan untuk Audrey.Dari si Hitch!“Wah… Audrey kamu ternyata mengidap borderline disorder kata dokter?”"APA? Borderline disorder?"Bjorn mengambil kertas itu dari tangan ayahnya."Di sini ditulis, elo diduga menderita borderline disorder dengan memiliki gejala sebagai berikut, sex abuse, food abuse and violence
Viewpoint ruangan kaca kokpit boeing 737 Garuda Indonesia membuka angkasa Selat Sunda yang indah. Terbingkai di atas perangkat kendali pesawat, awan-awan tipis berhamburan kencang. Awak pilot yang sedang memantau kecepatan menunjuk rekannya ke arah jam 11, sebuah kota menghilang. Rekannya menunjuk ke spot lain, sebuah kota lain juga menghilang. Rupanya kota-kota itu sedang mengalami aliran listrik. Para pilot itu tergelak kecil.Seorang pramugari muncul menaruh minuman untuk para awak pilot, lalu keluar dari kamar kokpit melalui pintu yang terbuka. Ia terus berjalan sambil mengamati situasi, memastikan apabila para penumpang duduk nyaman atau ada yang ingin dilayani.Audrey Paras Giandra, si pramugari berusia 25 tahun yang berwajah bening seperti keramik itu dengan make up tipis itu menyorotkan matanya melintasi ruang kelas
Di bandara Schiphol,pada pukul 11 siang, di ruang tunggu kedatangan, telah menunggu dengan khawatir Tante Ria, Om Nico dan Bjorn. Mereka kelihatan sangat lega ketika melihat Keira datang berlari-lari membungkuk dengan gendongan ranselnya. Audrey melambaikan tangan pada mereka, berjalan mencari luggage bersama para penumpang lainnya untuk menyelamatkan waktu ke tempat pengambilan barang. Tapi, sepertinya mereka tidak bisa mengenali Audrey yang sudah berganti pakaian di dalam pesawat.Keira menjembabkan tubuhnya di kaca, kedua tangannya terentang dengan sebelah kaki terangkat naik, mereka menciumnya bertubi-tubi di balik kaca. Ketiganya ngetok-ngetok kaca pembatas ruangan itu, menanyakan Audrey, lalu melotot marah ketika Keira menutup mulutnya dengan mata terbelalak seperti orang lupa. Mereka melotot dan menghembuskan nafa
“Goedemorgen, Audrey!”Cahaya matahari menyorot lewat jendela yang dibukakan Bjorn.Bjorn tersenyum pada Audrey yang merengut ke arah jendela jendela. Anak blasteran itu makin kelihatan mirip bule saja, highlight di anak-anak rambut pirangnya makin jelas tertimpa cahaya matahari. Ia duduk merangkul Audrey yang terduduk di kasur, mengganjalkan sebuah bantal ke bawah kepala Audrey, hingga Audrey terduduk bersandar padanya.“Elo mau sarapan apa hari ini?”“Bubur ayam…”Bjorn mengusap poni A
Seperti yang dijanjikan, Giel datang dengan mobil Maserati keluaran terbaru. Semua orang heboh kayak dapat kunjungan pangeran aja. Audrey malas keluar, bahkan setelah dipaksa sama semua orangpun, Audrey ogah ikut ke pantai. Ngapain coba, cuman buat makan seafood doang? Dengan alasan mau belanja dengan voucher-voucher dari Tante Ria, Audrey menolak ikut. Giel memaksa untuk ngedrop Audrey ke shopping center. Akhirnya, Audrey pun nurut pergi diantar sampai gerbang masuk Gelderlandplein. Setelah itu, Keira pergi berdua Giel aja ke Scheveningen. Seharian itu Audrey belanja baju-baju hangat yang nyaman, yang tidak terlalu tebal agar masih bisa dikenakan di Indonesia juga. Setelah puas, dia menenteng tas-tas belanjaannya menuju toko kacamata, Pearle. Di toko itu, dia disambut dengan ramah oleh seorang pelayan yang rupanya adalah orang Indonesia juga, yang bernama Riny. Mereka berdua berbasa-basi sebentar,
Sore itu, seorang stylist dikirim Tante Ria ke rumah. Audrey setuju kalau rambutnya dipasangi hair-extensions. Oom Nico muncul dengan wajah khawatir membacakan isi surat yang ditujukan untuk Audrey.Dari si Hitch!“Wah… Audrey kamu ternyata mengidap borderline disorder kata dokter?”"APA? Borderline disorder?"Bjorn mengambil kertas itu dari tangan ayahnya."Di sini ditulis, elo diduga menderita borderline disorder dengan memiliki gejala sebagai berikut, sex abuse, food abuse and violence
“Ini pasti gara-gara cowok itu!” kata Keira berang. Rencananya shopping sama Giel hari ini gagal, gara-gara Tuan Putri sakit demam. “Udah gue bilang kemarin, kan? Pasti, si Audrey diapa-apain deh ama tuh cowok?”“Enak aja!” kata Audrey lemas. “Ini pasti dari cuaca yang buruk. Minum Paracetamol aja pasti besok baikan lagi.”“Apa Mart sudah meneleponmu hari ini, Audrey?” tanya Tante Ria.“Dari kemarin, itu cowok nelpon ada seratus kali!” kata Keira monyong. “Hari ini aja, kalau si Audrey nggak lupa ngecas tadi malam, pastinya udah videocall-an lagi. Nggak jelas apa yang mereka obrolin. Hih?”“Ah, lo
Seperti yang dijanjikan, Giel datang dengan mobil Maserati keluaran terbaru. Semua orang heboh kayak dapat kunjungan pangeran aja. Audrey malas keluar, bahkan setelah dipaksa sama semua orangpun, Audrey ogah ikut ke pantai. Ngapain coba, cuman buat makan seafood doang? Dengan alasan mau belanja dengan voucher-voucher dari Tante Ria, Audrey menolak ikut. Giel memaksa untuk ngedrop Audrey ke shopping center. Akhirnya, Audrey pun nurut pergi diantar sampai gerbang masuk Gelderlandplein. Setelah itu, Keira pergi berdua Giel aja ke Scheveningen. Seharian itu Audrey belanja baju-baju hangat yang nyaman, yang tidak terlalu tebal agar masih bisa dikenakan di Indonesia juga. Setelah puas, dia menenteng tas-tas belanjaannya menuju toko kacamata, Pearle. Di toko itu, dia disambut dengan ramah oleh seorang pelayan yang rupanya adalah orang Indonesia juga, yang bernama Riny. Mereka berdua berbasa-basi sebentar,
“Goedemorgen, Audrey!”Cahaya matahari menyorot lewat jendela yang dibukakan Bjorn.Bjorn tersenyum pada Audrey yang merengut ke arah jendela jendela. Anak blasteran itu makin kelihatan mirip bule saja, highlight di anak-anak rambut pirangnya makin jelas tertimpa cahaya matahari. Ia duduk merangkul Audrey yang terduduk di kasur, mengganjalkan sebuah bantal ke bawah kepala Audrey, hingga Audrey terduduk bersandar padanya.“Elo mau sarapan apa hari ini?”“Bubur ayam…”Bjorn mengusap poni A
Di bandara Schiphol,pada pukul 11 siang, di ruang tunggu kedatangan, telah menunggu dengan khawatir Tante Ria, Om Nico dan Bjorn. Mereka kelihatan sangat lega ketika melihat Keira datang berlari-lari membungkuk dengan gendongan ranselnya. Audrey melambaikan tangan pada mereka, berjalan mencari luggage bersama para penumpang lainnya untuk menyelamatkan waktu ke tempat pengambilan barang. Tapi, sepertinya mereka tidak bisa mengenali Audrey yang sudah berganti pakaian di dalam pesawat.Keira menjembabkan tubuhnya di kaca, kedua tangannya terentang dengan sebelah kaki terangkat naik, mereka menciumnya bertubi-tubi di balik kaca. Ketiganya ngetok-ngetok kaca pembatas ruangan itu, menanyakan Audrey, lalu melotot marah ketika Keira menutup mulutnya dengan mata terbelalak seperti orang lupa. Mereka melotot dan menghembuskan nafa
Viewpoint ruangan kaca kokpit boeing 737 Garuda Indonesia membuka angkasa Selat Sunda yang indah. Terbingkai di atas perangkat kendali pesawat, awan-awan tipis berhamburan kencang. Awak pilot yang sedang memantau kecepatan menunjuk rekannya ke arah jam 11, sebuah kota menghilang. Rekannya menunjuk ke spot lain, sebuah kota lain juga menghilang. Rupanya kota-kota itu sedang mengalami aliran listrik. Para pilot itu tergelak kecil.Seorang pramugari muncul menaruh minuman untuk para awak pilot, lalu keluar dari kamar kokpit melalui pintu yang terbuka. Ia terus berjalan sambil mengamati situasi, memastikan apabila para penumpang duduk nyaman atau ada yang ingin dilayani.Audrey Paras Giandra, si pramugari berusia 25 tahun yang berwajah bening seperti keramik itu dengan make up tipis itu menyorotkan matanya melintasi ruang kelas