Di bandara Schiphol,pada pukul 11 siang, di ruang tunggu kedatangan, telah menunggu dengan khawatir Tante Ria, Om Nico dan Bjorn. Mereka kelihatan sangat lega ketika melihat Keira datang berlari-lari membungkuk dengan gendongan ranselnya. Audrey melambaikan tangan pada mereka, berjalan mencari luggage bersama para penumpang lainnya untuk menyelamatkan waktu ke tempat pengambilan barang. Tapi, sepertinya mereka tidak bisa mengenali Audrey yang sudah berganti pakaian di dalam pesawat.
Keira menjembabkan tubuhnya di kaca, kedua tangannya terentang dengan sebelah kaki terangkat naik, mereka menciumnya bertubi-tubi di balik kaca. Ketiganya ngetok-ngetok kaca pembatas ruangan itu, menanyakan Audrey, lalu melotot marah ketika Keira menutup mulutnya dengan mata terbelalak seperti orang lupa. Mereka melotot dan menghembuskan nafas kesal saat anak itu tertawa dengan gesture tubuh doyong ke belakang, sebelah tangan terkepal di mulutnya dengan sebelah tangannya lagi memegangi perut. Sambil lalu buru-buru memberi kode tenang untuk menunggu, Keira mengadukan sebentar perutnya dengan perut Björn di kaca, lalu kembali terbungkuk-bungkuk berlari menggendong ransel gedenya.
Kerumunan khalayak menyeruak ketika anak itu menerobos berlari menghampiri Audrey, lalu kerumunan yang telah tertutup itu terbuka lagi karena Keira memutar arah berlari mengambil satu koper yang ditunjuk Audrey, datang dari tempat pengeluaran barang. Ia tersengal-sengal mengayuh sebuah trolly dengan sebelah kakinya menghalau kerumunan itu hingga terbuka lagi dan mendarat di samping trolly yang dipegang Audrey.
“Elo dipanggil Tante, tuh,” katanya, mukanya yang merah itu tersenyum lebar menunjuk pada keluarga kecil yang tengah melambaikan tangan.
Audrey menoleh dan membalas lambaian tangan mereka. Tapi, dua koper mereka telah datang, ia mengacungkan jarinya sebagai kode untuk menunggu. Keuntungan boarding pada saat-saat terakhir adalah, luggage dimasukkan paling akhir dan dikeluarkan paling awal. Sepuluh menit kemudian, mereka telah berjalan menuju pintu keluar.
Tangis dan sorak sorai para kerabat yang telah lama berpisah mewarnai keriuhan di luar. Tante Ria merentangkan kedua tangannya yang terkepal di dada saat melihat Audrey keluar. Keira melompat ke dalam pelukan Om Nico yang menganakemaskannya, rambutnya digasak Bjorn. Ia melompat-lompat memeluk sepupunya itu.
“Kamu imut sekali, Sayang...!” pekik Tante Ria kecil sambil memutar badan Audrey, Audrey hanya tertawa tanpa suara memperlihatkan gigi-giginya yang cantik. Ia dan Bjorn kemudian saling menjerit dan menunjuk satu sama lain, dua-duanya merentangkan tangan dan saling berpelukan erat
“So, dua tahun nggak ketemu, Say... Apa kabarnya dengan Audrey gendut?” kata Bjorn sambil tertawa memutar pundak Audrey.
“As you can see... Alive and kicking!” kata Audrey, kakinya menekuk cantik, tapi tangannya menepis sigap lengan Bjorn, Bjorn mengaduh.
“Ayo, kita pulang... Audrey, kamu tadi sudah melihat keluar...?” kata Om Nico.
“O, yaa! Tadi, di luar saljunya cukup banyak, Drey lihat…”
“Oooh, besok akan lebih banyak lagi!” kata Tante Ria menyemangati. Mereka melangkahkan kaki berpelukan keluar.
Bjorn menceritakan pengalaman mereka di jalan yang hampir menghadang mereka untuk datang tepat waktu. Keira mangggut-manggut, Tante Ria memeluk kedua keponakannya itu sambil sesekali menciumi kepala mereka. Om Nico terbahak dalam perbincangannya dengan orangtua Audrey di Jakarta lewat telepon.
Bjorn terus bercerita, “Papa maksa buat mundur kan... Tiba-tiba, ada mobil yang ngebut dari belakang... Elo tahu, jalanan masih agak licin... Waktu kita udah jauh ke depan, tapi kita lihat mobil itu masih berputar di lapangan salju…”
Keira menutup mulutnya dengan kedua tangan sambil tertawa menghentak-hentakkan kakinya. Suara mereka menghilang di balik lautan khalayak.
000
Tante Ria adalah adik bungsu dari Papanya Audrey dan Papanya Keira, yang tinggal di Eropa. Ia menikah dengan Om Nico, expat asal Belanda yang pernah ditugaskan di pertambangan minyak besar PT. Freeport Indonesia. Mereka hanya dikaruniai satu anak, yaitu Bjorn, yang cukup lama pernah tinggal sama keluarga Audrey di Jakarta sementara Om Nico dan Tante Ria tinggal di Irian Jaya. Mereka bertiga akhirnya pindah ke Amsterdam ketika Opanya Bjorn, ayahnya Om Nico meninggal dunia. Serta merta, Om Nico mengajukan pengalihtugasan ke salah satu perusahaan minyak terbesar dunia, Royal Dutch Shell, dan mengurus ibunya yang hidup sendiri tanpa sanak saudara.
Oma tinggal di sebuah rumah yang asri di Hilversum, tak jauh dari Amsterdam. Hari ini dia datang untuk menyambut kedatangan Audrey dan Keira. Bjorn yang menjemputnya dari Hilversum, dengan mengendarai mobil yang dirakit bersama dengan Papanya.
Bjorn memang punya bakat alam seperti itu! Sejak kecil, ia sudah gape mereparasi semua jenis mainan dari Atari, Nintendo sampai Playstation. Semua jenis mesin dan motor di rumah Keira tak habis dibikin percobaan. Kalau tidak berkutat dengan program-program baru rancangannya, sekarang Bjorn akan dijemput Om Nico ke garage-- bengkel mobil, melakukan hobby lama bersama mereka, yaitu benerin mobil orang.
Kediaman keluarga ini terletak di sebuah kompleks apartemen elite kota Amsterdam, yaitu Museumkwartier, salah satu lingkungan kota yang paling dicari orang, terletak di dekat pusat di distrik Amsterdam Zuid. Cukup jauh dari kantor pusat perusahaan Om Nico di Den Haag.
Bentuk rumahnya bisa dibilang klasik tapi minimalis. Dengan memasuki ruangan tamu berukuran kecil, mereka akan tiba di ruangan yang hangat berasal dari pengatur suhu ruangan yang berada di bawah lantai dan menyebar ke seluruh ruangan. Ada tungku pembakaran kayu tua yang besar merapat di salah satu dindingnya. Ini adalah ruang keluarga sekaligus ruang untuk menyambut tamu, karena ruang tamu yang kecil itu sudah dipakai untuk menyambut klien galeri dan pajangan berbagai perhiasan rancangan Tante Ria.
Di ruang keluarga itu terdapat Italian sofa yang rendah dan sebuah kursi besar empuk menghadap ke home theater berhiaskan lampu kristal di sudutnya. Pintu ruang istirahat Tante Ria dan Om Nico tak jauh dari lampu kristal tersebut. Sebuah tangga melingkar menuju kamar tidur Bjorn dan kamar tidur tamu yang akan diisi oleh Audrey dan Keira selama dua pekan ini. Rencananya, Audrey dan Keira akan tinggal di rumah Oma, selama dua pekan lainnya.
Untuk menyambut kedatangan kedua sepupunya, Björn telah mengambil cuti dua hari, dan akan melakukan perjalanan pulang-pergi Den Haag-Utrecht dengan mobilnya selama sebulan ini. Ia sudah punya rumah besar yang enak dari hasil kerjanya sebagai programmer di sebuah perusahaan entertainment juga freelance untuk beberapa perusahaan software di negeri ini. Malam Minggu kemarin, ia membawa tas besar. Selain baju salin, isinya macam-macam. Perangkat kerja yang terdiri dari dua buah laptop, printer, extra memory box, speaker, Pda, perangkat-perangkat elektronik aneh, beserta tetek-bengek kabel dan kotak CD. Ia juga membawa paket Xbox lama dan satu lagi wireless modem, PS2, serta tape recorder butut.
“Gue akan pasang wireless modem sekarang agar kalian bisa videocall-an sama keluarga di Jakarta di kamar!” kata Björn sambil mengangkat modem wireless baru.
Audrey menepuk kedua tangannya di dada, senang. Keira hanya melengos, ia lebih tertarik dengan PS2 di meja Bjorn itu. “Ada Arcade game, nggak?” katanya cempreng.
Tiba-tiba pintu kamar dibukakan Tante Ria yang masuk bersama Om Nico.
“Anak-anak... Kalian pastinya capek habis semalaman di kapal. Oma mengusulkan untuk ke sauna di Hilversum nanti malam. Bjorn, kamu ikut juga, kan?”
“Yach... Ke sauna, males banget... Audrey juga pasti udah bosen ke spa center di Jakarta... Kita mau jalan-jalan keliling kota bareng Bjorn aja, ya, Drey?” kata Keira ke Audrey. “Kita ke kafe aja?”
“Eh, nggak! Gue mau ikut Oma! Persendian gue pada sakit semua, gara-gara semalaman ngurusin ni anak satu!” kata Audrey sambil menoyor kepala Keira.
“Yeh, siapa lagi yang nyuruh lo dateng tiap kali. Kayak yang nggak ada attendant lain aja daripada yang jutek satu ini?” kata Keira membalas dongkol.
“Lihat, Pah, Mam... Björn nemu ini di pasar loak,” kata Björn memutar tape recorder butut itu pada orangtuanya. Papanya hanya terbelalak senang.
“Masih jalan nggak?” tanya Mamanya merengut melihat benda usang itu.
“Ya, nggak, lah... Justeru itu kan, Björn mau benerin…”
“Emang elo masih punya kaset pita?” tanya Audrey geli.
“Gue masih nyimpen koleksi Dewa 19, dong,” kata Björn membuat tampang kesulitan membuka paksa penutup kaset itu.
“Yach... Udah jelek banget juga...,” kata Keira malas. Tapi, Björn berhasil membukanya.
“Nah... Ada kasetnya,” katanya sambil menarik-narik
pita yang terkait di dalamnya.
Jam di pergelangan tangan Tante Ria menunjukkan pukul 18:00, yang berarti adalah pukul 24:00 Waktu Indonesia bagian Barat. “Oke… Kalau mau ikut ke spa, siap-siap dari sekarang. Terus, cepat turun. Kesian Oma sendirian nunggu di bawah.”
Setelah merangkul kedua keponakannya, Tante Ria pergi turun ke lantai bawah.
Om Nico masih berdiri saat mereka pergi, di tangannya ia memegang alat detektor yang biasa dipakai tim pengecekan di airport.
“Goedemorgen, Audrey!”Cahaya matahari menyorot lewat jendela yang dibukakan Bjorn.Bjorn tersenyum pada Audrey yang merengut ke arah jendela jendela. Anak blasteran itu makin kelihatan mirip bule saja, highlight di anak-anak rambut pirangnya makin jelas tertimpa cahaya matahari. Ia duduk merangkul Audrey yang terduduk di kasur, mengganjalkan sebuah bantal ke bawah kepala Audrey, hingga Audrey terduduk bersandar padanya.“Elo mau sarapan apa hari ini?”“Bubur ayam…”Bjorn mengusap poni A
Seperti yang dijanjikan, Giel datang dengan mobil Maserati keluaran terbaru. Semua orang heboh kayak dapat kunjungan pangeran aja. Audrey malas keluar, bahkan setelah dipaksa sama semua orangpun, Audrey ogah ikut ke pantai. Ngapain coba, cuman buat makan seafood doang? Dengan alasan mau belanja dengan voucher-voucher dari Tante Ria, Audrey menolak ikut. Giel memaksa untuk ngedrop Audrey ke shopping center. Akhirnya, Audrey pun nurut pergi diantar sampai gerbang masuk Gelderlandplein. Setelah itu, Keira pergi berdua Giel aja ke Scheveningen. Seharian itu Audrey belanja baju-baju hangat yang nyaman, yang tidak terlalu tebal agar masih bisa dikenakan di Indonesia juga. Setelah puas, dia menenteng tas-tas belanjaannya menuju toko kacamata, Pearle. Di toko itu, dia disambut dengan ramah oleh seorang pelayan yang rupanya adalah orang Indonesia juga, yang bernama Riny. Mereka berdua berbasa-basi sebentar,
“Ini pasti gara-gara cowok itu!” kata Keira berang. Rencananya shopping sama Giel hari ini gagal, gara-gara Tuan Putri sakit demam. “Udah gue bilang kemarin, kan? Pasti, si Audrey diapa-apain deh ama tuh cowok?”“Enak aja!” kata Audrey lemas. “Ini pasti dari cuaca yang buruk. Minum Paracetamol aja pasti besok baikan lagi.”“Apa Mart sudah meneleponmu hari ini, Audrey?” tanya Tante Ria.“Dari kemarin, itu cowok nelpon ada seratus kali!” kata Keira monyong. “Hari ini aja, kalau si Audrey nggak lupa ngecas tadi malam, pastinya udah videocall-an lagi. Nggak jelas apa yang mereka obrolin. Hih?”“Ah, lo
Sore itu, seorang stylist dikirim Tante Ria ke rumah. Audrey setuju kalau rambutnya dipasangi hair-extensions. Oom Nico muncul dengan wajah khawatir membacakan isi surat yang ditujukan untuk Audrey.Dari si Hitch!“Wah… Audrey kamu ternyata mengidap borderline disorder kata dokter?”"APA? Borderline disorder?"Bjorn mengambil kertas itu dari tangan ayahnya."Di sini ditulis, elo diduga menderita borderline disorder dengan memiliki gejala sebagai berikut, sex abuse, food abuse and violence
Viewpoint ruangan kaca kokpit boeing 737 Garuda Indonesia membuka angkasa Selat Sunda yang indah. Terbingkai di atas perangkat kendali pesawat, awan-awan tipis berhamburan kencang. Awak pilot yang sedang memantau kecepatan menunjuk rekannya ke arah jam 11, sebuah kota menghilang. Rekannya menunjuk ke spot lain, sebuah kota lain juga menghilang. Rupanya kota-kota itu sedang mengalami aliran listrik. Para pilot itu tergelak kecil.Seorang pramugari muncul menaruh minuman untuk para awak pilot, lalu keluar dari kamar kokpit melalui pintu yang terbuka. Ia terus berjalan sambil mengamati situasi, memastikan apabila para penumpang duduk nyaman atau ada yang ingin dilayani.Audrey Paras Giandra, si pramugari berusia 25 tahun yang berwajah bening seperti keramik itu dengan make up tipis itu menyorotkan matanya melintasi ruang kelas