Viewpoint ruangan kaca kokpit boeing 737 Garuda Indonesia membuka angkasa Selat Sunda yang indah. Terbingkai di atas perangkat kendali pesawat, awan-awan tipis berhamburan kencang. Awak pilot yang sedang memantau kecepatan menunjuk rekannya ke arah jam 11, sebuah kota menghilang. Rekannya menunjuk ke spot lain, sebuah kota lain juga menghilang. Rupanya kota-kota itu sedang mengalami aliran listrik. Para pilot itu tergelak kecil.
Seorang pramugari muncul menaruh minuman untuk para awak pilot, lalu keluar dari kamar kokpit melalui pintu yang terbuka. Ia terus berjalan sambil mengamati situasi, memastikan apabila para penumpang duduk nyaman atau ada yang ingin dilayani.
Audrey Paras Giandra, si pramugari berusia 25 tahun yang berwajah bening seperti keramik itu dengan make up tipis itu menyorotkan matanya melintasi ruang kelas executive. Ia berpapasan dengan seorang pramugari lain yang sedang melayani penumpang, dan juga seorang pramugara tegap yang menopang baki minuman. Audrey keluar dari ruang kelas executive itu sambil menutup hordeng. Ia lalu berbaur dalam kesibukan dua pramugari di dalam dapur, yang sedang mempersiapkan hidangan makan malam. Audrey melihat lampu panggilan dari kursi nomor 21A. Keningnya merengut kesal. Diambilnya baki handuk panas dan menghampiri nomor kursi tersebut di kelas ekonomi.
Pada kursi nomor 21A, seorang gadis manis berusia terpaut 2 tahun lebih muda dari Audrey sedang menghentak-hentak seperti ayam berkotek, di tangannya ia memegang joystick mengontrol permainan Arcade.
Keira Afia Giandra adalah sepupu perempuan Audrey. Cewek tomboy tapi cute, berkulit putih langsat, super langsing dan malah terkesan cungkring itu berambut cepak abis dengan jambul tinggi sejak 3 tahun yang lalu. Dia tinggal di Singapore untuk sekolah dan terapi pengobatan. Penerbangan ke Den Haag kali ini bukan yang pertama kali untuknya. Kali ini, ia dipaksa untuk menemami Audrey liburan ke Holland. Sejak cintanya ditolak oleh seorang pelatih tim sepakbola junior asal Den Haag, Keira memendam semuanya sendiri tapi secara tidak sadar telah merubah attitude dan penampilannya.
Audrey muncul dengan muka masam dan sorot mengancam.
Keira mencabut earphone dari telinganya dengan ekspresi ramah menyapa Audrey.
“Shoot… Baru sejam di kapal aja, mukaku udah kering begini?! So, hey? Can I get the hot towel dari sekarang, please?” Keira biasa bicara begitu, dengan Bahasa dan Inggris yang campur aduk. Dari sudut matanya, Keira bisa melihat tatapan Audrey yang menyipit kesal, tapi ia cuek terfokus pada layar game, tangannya mengambang sibuk mengarahkan permainan.
“Shoot... Shoot... Shoot....” Keira menggerutu pelan. Mengutuk armada musuh jelek yang hampir memusnahkan pesawat tempurnya. Audrey menghela napas kesal, sambil melengos ia membenamkan handuk hangat itu ke mulut Keira. Keira kelabakan, tapi sebelum ia tahu apa yang terjadi, Audrey sudah pergi lagi ke dapur. Keira celingukan ke kursi penumpang lain sambil menunjuk Audrey, menggeleng kepala dan membuat dumelan tanpa suara.
Di dapur pesawat. Lampu panggilan menyala. Dari kursi nomor 21A lagi.
Audrey mengangkat telunjuk pada seorang pramugari senior, disahuti koleganya itu dengan anggukan, lalu pergi melayani Keira.
“Apa lagi?” Audrey menarik bibirnya tersenyum. Manis sebenernya.
“Es jeruknya mana?” katanya pongo. Audrey menarik napas dari hidungnya perlahan untuk menunjukkan kekesalannya secara halus. Tapi, Keira seperti ingin membuatnya lebih kesal lagi. Ia mencekal lengan Audrey sambil menunjuk ke layar game. “Temenin gue main di sini, dong? Udah lama banget, nih gak maen game ginian?”
Audrey menepiskan tangannya, sembari berkata, “Keira, please?”
Audrey menatap Keira dengan tajam, lalu meninggalkannya ke dapur.
Sejak menonton film dokumenter jadul Fahrenheit 9/11, Keira jadi sangat fanatik dengan permainan pesawat tempur. Sebabnya ia menggandrungi tayangan TV tentang perbenturan pesawat ke gedung World Trade Center dan ngefans berat sama Michael Moore, seorang investigator kasus 9/11 berorasi dengan para ibu dari korban perang Afghanistan. Padahal, dulunya Keira paling anti sama permainan perang atau semacamnya. Tapi, itu bukan berarti dia jadi jago dalam permainan itu. Untuk mengarahkan mobil balap di Nintendo lamanya saja sampai sekarang Keira masih kewalahan. Dan sampai hari gini, Keira belum punya SIM. Kei kan, motorphobia... Diajak nonton balapan di Sentul sama Audrey aja, nggak pernah mau tuh, si Kei.
Ketika Audrey datang dengan segelas es jeruk, Keira tengah jongkok di kursinya dengan dua tangan mengambang di udara. Badannya doyong kanan kiri sekuat tenaga mengendalikan setirnya. Tanpa berkata apapun, Audrey menaruh es jeruk itu di meja Keira.
Mengenang tragedi naas 9/11 dalam perjalanan udara seperti ini bukan ide yang bagus.Jadi, Audrey membayangkan janggut bulukannya Bjorn. Dalam sepuluh tahun, Audrey memperkirakan, geeky face Bjorn bakal mirip sutradara film dokumenter itu, saking kebanyakan makan donut. Audrey yakin pasti, saat ini Bjorn sedang duduk di ruang kerjanya yang penuh dengan komputer. Memakai baju kotak-kotak warna hijau-hitam yang lusuh. Bjorn adalah sepupu Audrey yang akan dikunjunginya di Belanda.
Bjorn tak suka Moore.
Moore is fake, Bjorn bilang. Semangat awal Moore sudah tidak jernih lagi, pengagumnya sering dibuat Moore kebingungan dengan acara komersial TV yang tujuannya tidak jelas. Seperti halnya kisah nyata tragedi WTC itu, it's all business! Poor Moore!
Audrey sempat tak menerima Moore didiskreditkan seperti itu, dia masih berada dalam euforia perdamaian yang dikibarkan pengungkap konspirasi WTC saat itu. Kalau saja tak membayangkan Bjorn akan menertawakannya, Audrey pasti sudah berfantasi, Michael Moore diancam mati dalang-dalang di belakang layar aksi teroris.
Ada sesuatu yang Audrey rasa berkaitan dengan tragedi 9/11, sangat-sangat confidential! All sealed! Top Secret!
Tak lama sebelum tragedi gedung WTC, tepatnya pada awal masa SD, Audrey menguping diskusi beberapa guru yang membahas pengaduan seorang murid jenius. Murid jenius tersebut mengungkap artikel-artikel berita dan dokumen-dokumen rahasia penting CIA dari berbagai sumber terpercaya. Karena tertarik untuk tahu cerita jelasnya, Audrey berpura-pura menonton seorang petugas Tata Usaha yang lagi main Solitaire.
Hanya beberapa kata saja yang beruntung ditangkap Audrey seperti, konspirasi hari kiamat, fenomena-fenomena politik dan kebijakan ganjil politikus USA, pengeluaran bujet yang tak terkendali dan tak bisa dijelaskan, dan beberapa pesawat Pentagon yang tiba-tiba diterbangkan di atas landasan Bermuda. Masih bisa ditangkapnya bahwa anak jenius tersebut melontarkan pertanyaan sekaligus kesimpulan akhir tak dapat didebat lagi, bahwa hari kiamat sedang berlangsung.
Audrey kecil itu pun langsung menyampaikannya pada Keira. Tapi, Kei yang masih lebih bodoh lagi darinya no comment saja. Keira sama-sama tidak memiliki data-data politik yang cukup untuk memprosesnya menjadi wacana yang menarik. Sampai tragedi 9/11 itu terjadi.
Pada tayangan layar TV malam itu, seorang presenter berita stasiun TV membacakan laporan serangan udara pesawat terbang dan tayangan ng WTC yang dibentur pesawat. Keira dan Audrey menutup mulut masing-masing yang menganga. Berbulan-bulan lamanya, Keira masih belum mengerti apa-apa tentang...
“Bagaimana orang-orang Arab berjamterbang-rendah itu ditempatkan sampai berhasil menyabotase pesawat-pesawat di angkasa, hanya untuk menabrakkan nya ke gedung World Trade Center yang super tinggi itu!?”
Keira yang memang anaknya super kreatif itu, dengan segera membuka Kamus Oxford, Eng-Ind, mencari artian kata trade untuk menunjukkan argumennya. Menurutnya, karena trade adalah sebuah pertukaran atau perdagangan, dan merupakan kata dasar dari tradisi, maka Pusat Tradisi Dunia sama dengan reruntuhan Twin Tower bukanlah sebuah keajaiban dunia di mata Keira. Audrey bilang, Twin Tower memang bukan keajaiban dunia, tapi Keira kayaknya kurang ngeh. Selain Keira memang sering kurang tanggap, Keira juga punya masalah dengan konsentrasi. Jalannya juga lambat, dia sering keteteran mengejar langkah Audrey.
Tapi, sepertinya Keira tidak pernah pantang menyerah. Dia terus mengejar Audrey dengan teka-teki yang sangat sulit dijawab. Seperti, “Jadi sebenarnya, mana kendaraan paling mutakhir di dunia, pesawat terbang atau burung unta?”
Sebenarnya, Audrey tidak begitu menggubrisnya. Tapi, Keira selalu mencoba merebut perhatiannya. Seperti di gedung bioskop, Keira merampas popcorns dari tangan Audrey, karena punyanya sudah habis. Dia mengunyah popcorns itu dengan cepat, lalu menyedot orange juice punya Audrey sampai ludes. Sambil mengangkat telunjuknya pada Audrey, dia bertanya, “Siapakah kira-kira yang akan lebih tersinggung dengan co-mission impossible itu, Sean Connory, Pierce Brosnan atau Tom Cruise?”
Tanggapannya saja asal dan tak mengena pada subjek apapun. Bahkan setelah The Inconvenient Truth I dan II yang dikeluarkan binaries dikirim secara khusus oleh Bjorn.
Selama berjam-jam Keira menanyai Bjorn tentang hal yang sama. “Kalau gedung itu didenotasi oleh bom..., bagaimanakah menjelaskan kerangka pembangunan ulang dari arwah orang-orang yang hangus lebur dalam hitungan detik itu?!”
So, yeah... Di luar dugaan, Keira akhirnya muncul dengan sebuah PS game Arcade. Sejak itu, cita-cita Keira bertambah lagi satu, yaitu…
“Gue pengen menyaksikan hydraulic car diberlakukan di Indonesia! Sebelum gua mati!”
Ngomong sama Keira itu susah nyambungnya, tapi celotehan-celotehannya sering mengandung tantangan intellectual-shat seperti itu.
Dari kursi nomor 212A itu, Keira bangkit mengacungkan tangan, meraba-raba satu tombol bergambar attendant dari empat tombol tanpa melepaskan joystick dan matanya pada layar. Pada seorang pramugari yang lewat, Keira menowel bahunya.
“One more orange juice, please…”
Minum juice bukanlah kebiasaan favorit Keira. Keira pernah mengalami kerontokan rambut gara-gara kebanyakan minum soft drinks. Tapi Kei bilang, itu bisa diatasinya dengan tanaman lidah buaya yang kini menjadi hiasan aneh di kamar tidurnya, khusus dipakai kalau kepalanya sudah mulai gatal-gatal dan kepanasan gara-gara 'radiasi adrenalin' dan 'radang komputer'.
Seperti yang diharapkan Keira, Audrey muncul dengan gerobak makanan. Audrey menuangkan segelas es jeruk pesanannya dan pilihan menu rendang untuk makan malamnya.
Dalam sekejap, makanan dan minuman itu telah habis dilahapnya. Ia kini mengotak-atik kembali layar untuk mencari video dengan segmen film, kategori komedi. Keira sudah mulai cengar-cengir sendiri, padahal belum ada adegan film yang lucu saat itu.
Audrey muncul dari belakang, membereskan baki-baki.
“Boleh minta yang seger-seger?” pintanya sambil mendongak dengan manis.
“Beser, lo!” kata Audrey ketus. “Sana ke toilet cuci muka, kalau mau seger!”
Keira merenggut keqi.
Suasana pesawat sudah mulai tenang. Lampu di dapur menyala lagi. Audrey keluar dari dapur dengan wajah merah padam dengan segelas jus jeruk.
“Just chillin’, Drey... Elo nggak mau turun pesawat mupeng dengan mata melotot kayak orang paranoia…” kata Keira sambil monyong, diteguknya jus itu sekaligus habis. Begitulah cara Keira minum. “Aargh…”
“Boleh saya ambil kembali gelas-gelas kosongnya?” tanya Audrey dengan kesal dan sinikal. Nada suaranya rendah, tapi sedikit menggeram, mengisyaratkan agar Keira jangan pesan minuman terus. Keira tersenyum mengucapkan terima kasih dan memperhatikannya pergi dengan tumpukan gelasnya. Ia lalu mengangkat tangannya dengan siku tertekuk.
“Yess...” Ia menggumam puas telah mengerjai Audrey.
Di dapur pesawat, para pramugara dan pramugari sedang bergosip tentang kesiapan Audrey liburan.
“Ready for vacation, Drey?”
“Ha-hum…”
“Jadi, lo akan stay di Amsterdam?”
“Ha-hum…”
“Have fun, ya!” kata pramugari 2.
“Terus, bawaanmu mana? Wahhh, mau shopping-shopping, ya?”
“Di cabin 21A.”
“Oh…”
“Eh, itu sepupu loe... Emang bener agak-agak aneh, ya?”
“Unik!” Audrey meralat sambil masam.
Kedua pramugari itu langsung tertawa.
Keira di kursinya masam-mesem nggak enak, merasa ada sesuatu yang nggak beres.
“Ya, udah loe kalau mau chat, chat aja ama dia, gih... Kerjaan udah beres koq. You have 10 minutes.”
Audrey mengangguk sebagai kode terima kasih. Lalu keluar dari dapur menghampiri Keira. Keira tengah menghentakkan tali remote kembali agar tergulung ke dalam lengan kursi dan bersiap-siap untuk tidur. Tiba-tiba, ada lonjakan besar, Audrey menjembabkan tubuhnya di kursi sebelah Keira. Keira duduk merapat ke sandaran. Mukanya pucat. Maklum, dia masih agak-agak motorphobia.
“Kei... Waktu lo terbang ke Eropa sendiri, turbulence-nya lebih gede dari yang ini, kan?” kata Audrey kalem, setengah merem.
Keira juga, tapi ia menggeleng.
“Seinget gue, nggak tuch?”
Mata Audrey terbuka, ia menoleh pada Keira.
“Gue tuch hampir nggak pernah lupa omongan lo! Saking ketakutannya, elo bilang waktu itu sampai berdo'a segala dalam pesawat! Inget gak lo?”
“Emang apa salahnya berdo’a?” Keira merenggut ngotot.
“Elo tuch, nggak pernah berdo'a, makanya gue ingetin lagi ucapan lo sekarang!”
“Owh?! Ya...! Tapi....? Itu kenapa, ya?” Keira hampir berseru menjentikkan jarinya, alis matanya terangkat malas. Tapi, ia kembali lagi duduk setengah ngantuk. “Lupa lagi, dah…”
“Heuh…” Audrey melenguh kesal.
Seorang penumpang di belakang kursi Keira berdesis. “Shh…”
Beberapa lampu baca masih menyala dari penumpang yang terjaga asyik dengan bukunya, sedikit keremangannya menerangi mereka yang setengah melek ngemil-minum sambil menonton film pilihan. Penumpang lainnya terbenam tidur di kursi dalam posisi masing-masing. Tak ada yang mau tahu. Di luar jendela, cahaya kebiruan mulai membingkai angkasa malam menandakan pergantian waktu. Pesawat terus meluncur di angkasa menembus angkasa malam.
Keira tergolek lunglai di kursinya. Perlahan, Audrey meninggalkan kursi itu.
Di bandara Schiphol,pada pukul 11 siang, di ruang tunggu kedatangan, telah menunggu dengan khawatir Tante Ria, Om Nico dan Bjorn. Mereka kelihatan sangat lega ketika melihat Keira datang berlari-lari membungkuk dengan gendongan ranselnya. Audrey melambaikan tangan pada mereka, berjalan mencari luggage bersama para penumpang lainnya untuk menyelamatkan waktu ke tempat pengambilan barang. Tapi, sepertinya mereka tidak bisa mengenali Audrey yang sudah berganti pakaian di dalam pesawat.Keira menjembabkan tubuhnya di kaca, kedua tangannya terentang dengan sebelah kaki terangkat naik, mereka menciumnya bertubi-tubi di balik kaca. Ketiganya ngetok-ngetok kaca pembatas ruangan itu, menanyakan Audrey, lalu melotot marah ketika Keira menutup mulutnya dengan mata terbelalak seperti orang lupa. Mereka melotot dan menghembuskan nafa
“Goedemorgen, Audrey!”Cahaya matahari menyorot lewat jendela yang dibukakan Bjorn.Bjorn tersenyum pada Audrey yang merengut ke arah jendela jendela. Anak blasteran itu makin kelihatan mirip bule saja, highlight di anak-anak rambut pirangnya makin jelas tertimpa cahaya matahari. Ia duduk merangkul Audrey yang terduduk di kasur, mengganjalkan sebuah bantal ke bawah kepala Audrey, hingga Audrey terduduk bersandar padanya.“Elo mau sarapan apa hari ini?”“Bubur ayam…”Bjorn mengusap poni A
Seperti yang dijanjikan, Giel datang dengan mobil Maserati keluaran terbaru. Semua orang heboh kayak dapat kunjungan pangeran aja. Audrey malas keluar, bahkan setelah dipaksa sama semua orangpun, Audrey ogah ikut ke pantai. Ngapain coba, cuman buat makan seafood doang? Dengan alasan mau belanja dengan voucher-voucher dari Tante Ria, Audrey menolak ikut. Giel memaksa untuk ngedrop Audrey ke shopping center. Akhirnya, Audrey pun nurut pergi diantar sampai gerbang masuk Gelderlandplein. Setelah itu, Keira pergi berdua Giel aja ke Scheveningen. Seharian itu Audrey belanja baju-baju hangat yang nyaman, yang tidak terlalu tebal agar masih bisa dikenakan di Indonesia juga. Setelah puas, dia menenteng tas-tas belanjaannya menuju toko kacamata, Pearle. Di toko itu, dia disambut dengan ramah oleh seorang pelayan yang rupanya adalah orang Indonesia juga, yang bernama Riny. Mereka berdua berbasa-basi sebentar,
“Ini pasti gara-gara cowok itu!” kata Keira berang. Rencananya shopping sama Giel hari ini gagal, gara-gara Tuan Putri sakit demam. “Udah gue bilang kemarin, kan? Pasti, si Audrey diapa-apain deh ama tuh cowok?”“Enak aja!” kata Audrey lemas. “Ini pasti dari cuaca yang buruk. Minum Paracetamol aja pasti besok baikan lagi.”“Apa Mart sudah meneleponmu hari ini, Audrey?” tanya Tante Ria.“Dari kemarin, itu cowok nelpon ada seratus kali!” kata Keira monyong. “Hari ini aja, kalau si Audrey nggak lupa ngecas tadi malam, pastinya udah videocall-an lagi. Nggak jelas apa yang mereka obrolin. Hih?”“Ah, lo
Sore itu, seorang stylist dikirim Tante Ria ke rumah. Audrey setuju kalau rambutnya dipasangi hair-extensions. Oom Nico muncul dengan wajah khawatir membacakan isi surat yang ditujukan untuk Audrey.Dari si Hitch!“Wah… Audrey kamu ternyata mengidap borderline disorder kata dokter?”"APA? Borderline disorder?"Bjorn mengambil kertas itu dari tangan ayahnya."Di sini ditulis, elo diduga menderita borderline disorder dengan memiliki gejala sebagai berikut, sex abuse, food abuse and violence
Sore itu, seorang stylist dikirim Tante Ria ke rumah. Audrey setuju kalau rambutnya dipasangi hair-extensions. Oom Nico muncul dengan wajah khawatir membacakan isi surat yang ditujukan untuk Audrey.Dari si Hitch!“Wah… Audrey kamu ternyata mengidap borderline disorder kata dokter?”"APA? Borderline disorder?"Bjorn mengambil kertas itu dari tangan ayahnya."Di sini ditulis, elo diduga menderita borderline disorder dengan memiliki gejala sebagai berikut, sex abuse, food abuse and violence
“Ini pasti gara-gara cowok itu!” kata Keira berang. Rencananya shopping sama Giel hari ini gagal, gara-gara Tuan Putri sakit demam. “Udah gue bilang kemarin, kan? Pasti, si Audrey diapa-apain deh ama tuh cowok?”“Enak aja!” kata Audrey lemas. “Ini pasti dari cuaca yang buruk. Minum Paracetamol aja pasti besok baikan lagi.”“Apa Mart sudah meneleponmu hari ini, Audrey?” tanya Tante Ria.“Dari kemarin, itu cowok nelpon ada seratus kali!” kata Keira monyong. “Hari ini aja, kalau si Audrey nggak lupa ngecas tadi malam, pastinya udah videocall-an lagi. Nggak jelas apa yang mereka obrolin. Hih?”“Ah, lo
Seperti yang dijanjikan, Giel datang dengan mobil Maserati keluaran terbaru. Semua orang heboh kayak dapat kunjungan pangeran aja. Audrey malas keluar, bahkan setelah dipaksa sama semua orangpun, Audrey ogah ikut ke pantai. Ngapain coba, cuman buat makan seafood doang? Dengan alasan mau belanja dengan voucher-voucher dari Tante Ria, Audrey menolak ikut. Giel memaksa untuk ngedrop Audrey ke shopping center. Akhirnya, Audrey pun nurut pergi diantar sampai gerbang masuk Gelderlandplein. Setelah itu, Keira pergi berdua Giel aja ke Scheveningen. Seharian itu Audrey belanja baju-baju hangat yang nyaman, yang tidak terlalu tebal agar masih bisa dikenakan di Indonesia juga. Setelah puas, dia menenteng tas-tas belanjaannya menuju toko kacamata, Pearle. Di toko itu, dia disambut dengan ramah oleh seorang pelayan yang rupanya adalah orang Indonesia juga, yang bernama Riny. Mereka berdua berbasa-basi sebentar,
“Goedemorgen, Audrey!”Cahaya matahari menyorot lewat jendela yang dibukakan Bjorn.Bjorn tersenyum pada Audrey yang merengut ke arah jendela jendela. Anak blasteran itu makin kelihatan mirip bule saja, highlight di anak-anak rambut pirangnya makin jelas tertimpa cahaya matahari. Ia duduk merangkul Audrey yang terduduk di kasur, mengganjalkan sebuah bantal ke bawah kepala Audrey, hingga Audrey terduduk bersandar padanya.“Elo mau sarapan apa hari ini?”“Bubur ayam…”Bjorn mengusap poni A
Di bandara Schiphol,pada pukul 11 siang, di ruang tunggu kedatangan, telah menunggu dengan khawatir Tante Ria, Om Nico dan Bjorn. Mereka kelihatan sangat lega ketika melihat Keira datang berlari-lari membungkuk dengan gendongan ranselnya. Audrey melambaikan tangan pada mereka, berjalan mencari luggage bersama para penumpang lainnya untuk menyelamatkan waktu ke tempat pengambilan barang. Tapi, sepertinya mereka tidak bisa mengenali Audrey yang sudah berganti pakaian di dalam pesawat.Keira menjembabkan tubuhnya di kaca, kedua tangannya terentang dengan sebelah kaki terangkat naik, mereka menciumnya bertubi-tubi di balik kaca. Ketiganya ngetok-ngetok kaca pembatas ruangan itu, menanyakan Audrey, lalu melotot marah ketika Keira menutup mulutnya dengan mata terbelalak seperti orang lupa. Mereka melotot dan menghembuskan nafa
Viewpoint ruangan kaca kokpit boeing 737 Garuda Indonesia membuka angkasa Selat Sunda yang indah. Terbingkai di atas perangkat kendali pesawat, awan-awan tipis berhamburan kencang. Awak pilot yang sedang memantau kecepatan menunjuk rekannya ke arah jam 11, sebuah kota menghilang. Rekannya menunjuk ke spot lain, sebuah kota lain juga menghilang. Rupanya kota-kota itu sedang mengalami aliran listrik. Para pilot itu tergelak kecil.Seorang pramugari muncul menaruh minuman untuk para awak pilot, lalu keluar dari kamar kokpit melalui pintu yang terbuka. Ia terus berjalan sambil mengamati situasi, memastikan apabila para penumpang duduk nyaman atau ada yang ingin dilayani.Audrey Paras Giandra, si pramugari berusia 25 tahun yang berwajah bening seperti keramik itu dengan make up tipis itu menyorotkan matanya melintasi ruang kelas