Sekolah Elite High adalah tempat di mana hanya siswa-siswa terbaik dan terkaya yang bisa masuk. Gedung-gedungnya tinggi, dengan arsitektur modern yang berkilauan di bawah sinar matahari. Setiap pagi, deretan mobil mewah memenuhi area parkir, mengantar para siswa yang seolah hidup di dunia yang terpisah dari kebanyakan orang. Namun, meskipun setiap murid di sini memiliki latar belakang luar biasa, tak satu pun bisa menyaingi daya tarik Lima Wijaya—julukan bagi Aldo, Andre, Arga, Alan, dan Adrian Wijaya.
Mereka kembar identik yang menarik perhatian sejak hari pertama masuk sekolah. Penampilan mereka sempurna: wajah simetris dengan rahang tegas, kulit cerah, dan mata gelap yang selalu memancarkan rasa percaya diri. Namun, lebih dari sekadar wajah, aura mereka begitu kuat hingga setiap langkah mereka diikuti oleh tatapan kagum, iri, atau bahkan waspada. Pagi itu, koridor sekolah berubah riuh begitu kelima bersaudara itu berjalan masuk bersama. Meski mereka tampak identik secara fisik, kepribadian masing-masing segera terlihat dari cara mereka membawa diri. Aldo, yang selalu berjalan paling depan, mengenakan seragam dengan rapi sempurna. Dasi hitamnya diikat dengan presisi, dan langkahnya penuh wibawa. Aldo adalah sosok pemimpin yang alami, seseorang yang selalu menguasai situasi. Sebagai anak tertua di antara mereka, meskipun hanya berbeda beberapa menit, Aldo merasa bertanggung jawab untuk memastikan segalanya berjalan lancar, baik di rumah maupun di sekolah. Para guru dan kepala sekolah sering memuji kedewasaannya, tapi beberapa teman menganggapnya terlalu serius. Di sebelah Aldo, ada Andre, si pendiam yang selalu tampak menganalisis segalanya. Dia berjalan dengan postur yang santai, tetapi matanya yang tajam mengamati sekeliling dengan penuh perhitungan. Andre dikenal sebagai "otak" dari kelompok itu, dengan nilai yang selalu sempurna di setiap ujian. Sifatnya yang tenang dan rasional membuat dia jarang terlibat dalam drama sekolah, tetapi dia adalah orang pertama yang diminta pendapatnya ketika ada masalah. Di tangannya, selalu ada buku, entah itu novel klasik atau jurnal ilmiah. Di sisi lain, Arga mencuri perhatian dengan senyum lebar dan langkah riangnya. Rambutnya sedikit berantakan, dan dasinya sering tidak rapi, memberi kesan bahwa dia tidak terlalu peduli pada aturan. Arga adalah tipe orang yang bisa berteman dengan siapa saja. Suaranya yang lantang sering terdengar di lapangan olahraga atau ruang seni. Dia suka mencoba hal-hal baru dan sering menjadi pusat perhatian di acara sekolah. Tapi di balik keceriaannya, ada sisi ceroboh yang kadang membuat saudara-saudaranya pusing. Alan, di sisi lain, adalah kebalikan dari Arga. Dia selalu menjaga jarak dari keramaian, memilih untuk berjalan di belakang saudaranya. Dengan wajah tanpa ekspresi dan sikap dingin, Alan adalah teka-teki bagi banyak orang. Meskipun dia jarang berbicara, ada aura misterius yang membuat orang ingin mendekatinya. Namun, hanya sedikit yang benar-benar berani mencoba. Alan lebih suka mengamati daripada berinteraksi, menyimpan pemikiran dan rahasia yang hanya dia sendiri yang tahu. Dan terakhir, ada Adrian, si pemberontak. Dia berjalan dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celananya, dasinya dilepas, dan ekspresi wajahnya menunjukkan bahwa dia tidak peduli pada apapun. Adrian sering terlihat melanggar aturan kecil di sekolah—seperti datang terlambat atau membawa sepeda motor tanpa izin—tapi itulah yang membuatnya menarik. Banyak siswa lain yang mengaguminya karena keberaniannya melawan aturan, tetapi hanya saudara-saudaranya yang tahu bahwa pemberontakan itu adalah caranya mengekspresikan diri di tengah tekanan keluarga. Begitu mereka melewati kerumunan siswa, bisik-bisik mulai terdengar. "Kenapa mereka selalu terlihat seperti model iklan?" seorang siswi berbisik sambil mencuri pandang. "Aku dengar mereka punya helipad di rumah mereka," seorang siswa lain menimpali. "Tapi katanya, mereka juga sangat kompetitif satu sama lain," gumam siswa yang lain. Meskipun mereka sering dianggap sebagai kelompok yang sempurna, di balik penampilan itu, kelima saudara kembar ini membawa beban masing-masing. Mereka saling mencintai sebagai saudara, tetapi juga saling bersaing secara diam-diam. Setiap dari mereka memiliki impian dan pandangan hidup yang berbeda, namun mereka selalu diikat oleh satu hal: nama besar keluarga Wijaya, yang tak pernah membiarkan mereka gagal. Hari itu, di tengah keramaian koridor, Adrian tiba-tiba berhenti. Matanya menangkap sosok seseorang di kejauhan. Seorang gadis dengan rambut hitam panjang dan mata yang tajam berdiri di dekat jendela. Dia tidak seperti gadis-gadis lain yang sibuk membicarakan mereka. Gadis ini, Clara Mahendra, berdiri dengan sikap acuh, tetapi pandangannya sedikit lebih lama tertuju pada Adrian. Adrian mengerutkan alisnya, merasa ada sesuatu yang aneh pada gadis itu. Tapi sebelum dia sempat berpikir lebih jauh, Aldo menepuk pundaknya. "Adrian, jangan melamun," kata Aldo tegas. Adrian mendengus, memasukkan tangannya ke saku lagi, dan melanjutkan langkahnya. Tapi dalam hati, ia bertanya-tanya siapa gadis itu, dan mengapa tatapannya membuatnya merasa tidak nyaman sekaligus penasaran. Di sisi lain koridor, Clara tersenyum kecil, lalu berbisik pada dirinya sendiri, "Dia pasti tidak tahu siapa aku." Sementara itu, Alan, yang berjalan di belakang, memperhatikan interaksi singkat itu. Matanya menyipit curiga, tetapi dia memilih untuk tidak mengatakan apapun. Baginya, segala sesuatu yang terlihat biasa sering menyembunyikan rahasia yang berbahaya.Hari itu berlalu seperti biasanya di Elite High, namun suasana tidak pernah benar-benar tenang ketika lima bersaudara Wijaya ada di sekolah. Kelas mereka berbeda, tetapi setiap orang merasa kehadiran mereka seperti menguasai seluruh bangunan. Aldo sibuk dengan klub debat, Andre tenggelam dalam buku di perpustakaan, Arga memimpin tim olahraga, Alan hilang di sudut ruangan seni, dan Adrian berkeliaran di lapangan parkir, menghindari semua tanggung jawab akademik.Adrian memutuskan untuk melewatkan jam terakhir pelajaran hari itu. Dia duduk di atas kap mobilnya, mendengarkan musik dengan earphone, ketika sosok yang sama menarik perhatiannya lagi. Clara berjalan melewati area parkir dengan langkah cepat, seperti sedang mencoba tidak terlihat. Tapi bagi Adrian, gerak-geriknya terlalu mencolok untuk diabaikan.Tanpa berpikir panjang, Adrian memanggilnya. "Hei, kamu!"Clara berhenti sejenak, tetapi tidak langsung menoleh. Dia tahu siapa yang memanggilnya, tapi enggan untuk terlibat."Ya, kam
Malam itu, rumah keluarga Wijaya diselimuti kesunyian mewah. Ruang rapat pribadi di lantai atas dipenuhi kehadiran lima saudara kembar dan kedua orang tua mereka, Indra Wijaya dan Maya Wijaya. Keduanya adalah figur yang tak hanya dikenal karena kekayaan dan kekuasaan, tetapi juga kepribadian mereka yang penuh teka-teki. Indra, dengan sikap tegas dan wibawa yang tak terbantahkan, sering terlihat seperti seorang raja di istananya. Sedangkan Maya, dengan senyuman anggun yang selalu menghiasi wajahnya, memiliki mata yang tajam seolah bisa melihat ke dalam jiwa siapa pun.“Baiklah, kita mulai,” kata Indra sambil mengetuk meja panjang di depan mereka. "Kalian semua tahu bahwa kita sedang dalam proses ekspansi bisnis ke wilayah Timur. Ini akan menjadi langkah besar untuk perusahaan."Aldo langsung mengangguk. "Saya sudah mempelajari laporan yang Papa berikan. Lokasi baru itu memiliki potensi besar untuk pasar properti mewah.""Benar," sahut Indra, menatap anak sulungnya dengan bangga. "Tapi
Keesokan harinya, pagi di Elite High terasa lebih tegang dari biasanya. Matahari bersinar cerah, namun tidak ada yang bisa menghilangkan ketegangan yang membelit hati para siswa, terutama Adrian, yang masih teringat pesan misterius yang diterimanya malam sebelumnya. Sejak pagi itu, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya—perasaan seolah ia sedang terjebak dalam sebuah permainan yang tidak ia pahami.Di ruang kelas, Aldo, yang selalu tampil tegas, memperhatikan Adrian dengan cermat. “Kamu terlihat gelisah, Adrian. Ada apa?”Adrian mencoba tersenyum, namun itu tidak lebih dari sekadar bentuk penghindaran. "Ah, cuma sedikit masalah pribadi."Aldo mengerutkan dahi. “Jangan biarkan itu mengganggu fokusmu. Keluarga kita memiliki reputasi yang harus dipertahankan."Adrian mengangguk pelan, tetapi pikirannya masih jauh dari kelas yang sedang berlangsung. Ada hal yang lebih besar sedang berlangsung, dan meskipun ia tidak tahu sepenuhnya, ia merasakan bahwa bahaya sudah mulai mendekat.Di sisi l
Keesokan harinya, kabar tentang pertemuan misterius malam itu mulai tersebar di kalangan para siswa Elite High. Meskipun para saudara kembar Wijaya tidak tahu persis apa yang terjadi, mereka merasakan adanya pergeseran—suasana di sekolah terasa berbeda. Mereka tahu bahwa ada sesuatu yang mengintai mereka, meskipun mereka belum dapat mengungkapkan sepenuhnya apa itu.Adrian tidak bisa berhenti memikirkan pertemuannya dengan Clara sebelumnya, meskipun dia tidak mengakui itu kepada siapa pun. Setiap kali mereka bertemu di sekolah, ada ketegangan di udara. Tetapi kali ini, perasaan itu lebih kuat dari sebelumnya. Ada rasa khawatir, tetapi juga rasa penasaran yang membara. Apa yang sebenarnya dia cari? Kenapa dia begitu tertarik dengan gadis itu, meskipun dia tahu bahwa keluarga mereka adalah musuh?Pagi itu, Adrian berdiri di luar kelas saat bel tanda dimulainya pelajaran berbunyi. Dia melihat Clara lewat dari kejauhan, berjalan cepat, seolah menghindari pandangannya. Tidak seperti sebelu
Hari demi hari, ketegangan di sekitar keluarga Wijaya dan keluarga Mahendra semakin meningkat. Bagi Adrian, dunia yang sebelumnya terasa seperti tempat yang familiar, kini berubah menjadi labirin yang penuh dengan rahasia dan ancaman. Perasaan yang selalu ia abaikan—perasaan ketertarikan yang tak bisa ia kendalikan terhadap Clara—kian kuat. Namun, dia juga tahu bahwa itu adalah hubungan yang sangat berbahaya. Ia terjebak dalam dilema yang tak bisa dijelaskan, terutama setelah peringatan yang diberikan oleh Clara beberapa waktu lalu.Pagi itu, Adrian menemukan dirinya berdiri di depan cermin di kamarnya, berpikir. Dia tahu bahwa perasaan yang ia miliki terhadap Clara bukan hanya sekadar rasa penasaran. Clara adalah anak dari keluarga yang selama ini menjadi musuh besar keluarga mereka. Dan itu artinya, menjalin hubungan dengannya bisa menjadi awal dari keruntuhan segalanya. Namun, ada sesuatu yang mengganggunya—sesuatu yang tak bisa dia abaikan.Sementara itu, Aldo dan Alan duduk bersa
Hari-hari berikutnya berlalu dengan ketegangan yang semakin mencekam. Adrian dan Clara kini berada di persimpangan jalan yang tidak bisa mereka hindari. Meskipun mereka tahu bahwa hubungan mereka sangat berbahaya, keduanya merasa tidak ada pilihan lain selain terus menggali kebenaran, meskipun itu bisa menghancurkan keluarga mereka. Setiap pertemuan mereka semakin menguak lapisan-lapisan gelap dari masa lalu yang tersembunyi di balik permainan bisnis dan kekuasaan.Di sekolah, perubahan suasana semakin jelas. Para siswa Elite High merasa ada sesuatu yang berbeda dalam cara para saudara kembar Wijaya berinteraksi. Adrian, yang dulunya selalu menjadi pusat perhatian, kini lebih sering terlihat merenung, jarang berbicara dengan yang lainnya. Aldo dan Alan semakin fokus pada rencana mereka, sementara Andre dan Arga lebih memilih untuk menyendiri. Semua dari mereka tahu bahwa sesuatu yang besar sedang terjadi, tetapi mereka belum bisa menebak apa itu.Suatu pagi, saat Adrian dan Clara seca
Hari-hari setelah kejadian di gudang itu, perasaan gelisah semakin membebani Clara. Ia tahu bahwa ia telah melangkah terlalu jauh, tetapi tidak ada jalan mundur. Meskipun ia merasa takut, rasa ingin tahu dan rasa tanggung jawab untuk mengungkap kebenaran yang lebih besar membuatnya terus maju. Tetapi kini, ia merasakan ketakutan yang lebih dalam—bahwa dia bisa saja menjadi bagian dari permainan yang jauh lebih berbahaya dari yang pernah ia bayangkan.Setiap kali ia melihat Adrian, hatinya dipenuhi dengan kebingungan dan keraguan. Ia ingin memberi tahu Adrian semua yang ia temukan, namun ia tidak bisa—takut bahwa itu akan membahayakan mereka berdua. Dan lebih dari itu, ia tahu bahwa Adrian dan saudara-saudaranya tidak tahu apa-apa tentang hubungan kelam yang telah lama terpendam antara kedua keluarga mereka. Jika mereka mengetahui kenyataannya, semuanya akan hancur.Malam itu, Clara kembali mendapat panggilan misterius. Suara yang sama, terdengar gelap dan mengancam. "Jangan bermain-ma
Kehilangan Clara membuat Adrian dan Aldo semakin panik. Keadaan semakin rumit saat mereka menyadari bahwa kepergian Clara tidaklah biasa. Ini bukan hanya hilang tanpa jejak. Ada kekuatan yang lebih besar di balik itu—sebuah peringatan yang mereka abaikan. Mereka tidak bisa membiarkan ini terjadi, dan mereka harus mencari tahu siapa yang bertanggung jawab.Malam itu, setelah berjam-jam mencari informasi dan mencoba melacak keberadaan Clara, Adrian dan Aldo duduk di ruang kerja keluarga mereka, terperangkap dalam kebingungan. Indra—ayah mereka—masih tidak memberitahukan seluruh kebenaran. Aldo sudah merasakan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh keluarga mereka, tetapi ia belum tahu apa yang sebenarnya terjadi.Adrian menatap layar komputer di depannya dengan penuh konsentrasi. Ia sedang mencoba menemukan petunjuk tentang keberadaan Clara—melalui rekaman CCTV yang tersebar di seluruh kota, melalui pesan yang mungkin ia lewatkan, dan tentu saja, melalui informasi yang bisa ia gali d
Indra Wijaya duduk di ruang pertemuan mewah di kediamannya, ditemani oleh Aldo dan beberapa orang kepercayaannya. Di hadapannya, Gunawan Rahadian, kepala keluarga Rahadian, duduk dengan sikap tenang dan penuh wibawa. Di sebelahnya, Calvin Rahadian memasang senyum ramah yang sama sekali tidak mencerminkan niat busuknya."Indra," ucap Gunawan dengan nada hangat. "Aku turut berduka atas situasi yang terjadi. Sudah saatnya kita bergandengan tangan untuk menghancurkan keluarga Mahendra."Indra menatap pria itu dengan penuh pertimbangan. Seumur hidupnya, ia tahu bahwa keluarga Rahadian selalu berada di pihak Mahendra. Tapi melihat bagaimana Dimas menyerangnya tanpa ampun, ia mulai berpikir bahwa mungkin ada sesuatu yang berubah."Mengapa kau ingin bekerja sama denganku?" tanya Indra langsung, tidak ingin basa-basi.Gunawan tersenyum. "Dimas Mahendra sudah menjadi ancaman bagi semua orang. Dia menguasai bisnis dengan tangan besi dan menyingkirkan siapa saja yang menghalangi jalannya. Keluarg
Calvin Rahadian duduk di kursi kulit hitamnya, menyesap segelas anggur merah dengan senyum puas. Di depannya, seorang pria berlutut dengan tangan terikat ke belakang, wajahnya penuh luka lebam. Pria itu adalah Bima Santoso, orang kepercayaan Dimas Mahendra yang selama ini menjadi otaknya dalam operasi keuangan gelap."Kau tahu," ucap Calvin sambil meletakkan gelas anggurnya, "aku sebenarnya tidak punya masalah pribadi denganmu, Bima. Tapi kau terlalu setia pada Dimas Mahendra, dan itu membuatmu jadi ancaman."Bima mengangkat kepalanya dengan lemah, darah menetes dari pelipisnya. "Aku tidak akan pernah mengkhianati Dimas..."Calvin tertawa kecil. "Oh, aku tidak butuh pengkhianatanmu. Aku hanya butuh tubuhmu—lebih tepatnya, mayatmu."Dengan isyarat tangannya, dua anak buahnya mengangkat Bima dan menyeretnya ke tengah ruangan. Di depan mereka, sebuah bak baja berisi air es sudah disiapkan."Tidak!" Bima meronta, tetapi tangan-tangan kekar itu menekannya ke bawah.Calvin berdiri dari kurs
Dimas Mahendra duduk di ruang kerjanya yang luas, ditemani cahaya temaram dari lampu gantung kristal di langit-langit. Kepulan asap cerutunya melayang di udara sementara tatapan matanya terfokus pada layar monitor yang menampilkan data tentang keluarga Wijaya.Kemarahannya masih membara. Adrian Wijaya telah menculik putrinya, Clara. Itu kesimpulan yang sudah ia tanamkan dalam pikirannya, terutama setelah Calvin memberikan bukti rekaman dan laporan saksi mata yang memperkuat tuduhan tersebut.Bagi Dimas, tidak ada lagi ruang untuk negosiasi. Keluarga Wijaya harus dihancurkan.Dimas menoleh ke arah anak buahnya, Rayhan, tangan kanannya yang selama ini selalu setia."Apa yang sudah kau temukan?" tanyanya dengan suara dalam dan dingin.Rayhan, seorang pria berperawakan tegap dengan wajah penuh bekas luka, membuka sebuah map tebal dan meletakkannya di meja Dimas."Kami sudah memetakan semua bisnis utama keluarga Wijaya, termasuk investasi mereka di sektor properti, pertambangan, dan indust
Indra Wijaya berdiri di depan jendela ruangannya, menatap malam yang sunyi dengan sorot mata penuh dendam. Kabar bahwa Adrian telah diculik keluarga Mahendra telah menyulut amarahnya hingga puncak. Ia tidak bisa diam saja. Baginya, ini bukan sekadar penculikan, ini adalah penghinaan terhadap keluarganya.Aldo, Andre, Arga, dan Alan lebih impulsif dan menginginkan serangan langsung. Namun, Indra berbeda. Ia tidak hanya ingin membalas dendam, ia ingin memastikan keluarga Mahendra hancur tanpa bisa bangkit kembali.Dengan langkah cepat, ia menghampiri meja kerjanya dan menghubungi orang-orang kepercayaannya. "Siapkan semua informasi yang kita miliki tentang Mahendra. Aku ingin tahu titik terlemah mereka. Keuangan, bisnis, jaringan, bahkan orang-orang terdekat mereka. Aku ingin mereka bertekuk lutut sebelum mereka sadar apa yang terjadi."***Dalam waktu singkat, semua data yang diminta telah berada di tangannya. Indra melihat dengan saksama laporan yang dikumpulkan oleh anak buahnya. Mah
Calvin Rahardian duduk di kursi mewah di ruangannya, tersenyum puas melihat layar di depannya. Perang antara keluarga Mahendra dan Wijaya sudah semakin dekat, dan ia hanya perlu satu dorongan kecil lagi untuk memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.Ia mengambil ponselnya dan menekan nomor yang sudah ia hafal di luar kepala. Tak butuh waktu lama sebelum suara Dimas Mahendra terdengar di ujung telepon."Calvin? Kenapa kau meneleponku?" suara Dimas terdengar tajam, penuh kewaspadaan."Om Dimas," Calvin berusaha terdengar khawatir. "Aku tahu aku tidak seharusnya ikut campur dalam urusan keluarga kalian, tapi aku tidak bisa tinggal diam melihat apa yang terjadi.""Apa maksudmu?"Calvin menarik napas dramatis sebelum menjawab, "Aku menemukan sesuatu yang mengerikan. Clara… anakmu… dia ada di tangan keluarga Wijaya. Aku mendapat informasi bahwa mereka yang menculiknya."Hening di ujung telepon."Kau serius?" suara Dimas ny
Mobil hitam yang dikendarai Adrian Wijaya melaju kencang di jalanan sepi. Malam terasa begitu sunyi, seolah kota ini menahan napas, menunggu sesuatu yang besar akan terjadi.Di kursi penumpang, ponselnya bergetar. Tanpa mengalihkan pandangan dari jalan, Adrian mengaktifkan speaker."Apa yang kau pikirkan, Adrian?" Suara Aldo terdengar penuh kemarahan. "Kau gila kalau pergi sendirian! Ini jelas jebakan!""Aku tahu," jawab Adrian dengan suara tenang, meskipun di dalam dadanya, jantungnya berdetak keras. "Tapi aku tidak punya pilihan. Jika aku tidak datang sendirian, mereka mungkin akan menyakiti Clara.""Aku bisa mengirim orang untuk membantumu—""Jangan, Aldo," potong Adrian. "Orang itu ingin aku sendirian. Jika ada orang lain yang ikut, dia tidak akan ragu untuk membunuh Clara. Aku tidak bisa mengambil risiko itu."Di ujung telepon, Aldo terdiam. Namun, napasnya yang berat menandakan betapa marah dan cemasnya dia."Kalau
Di sebuah gedung pencakar langit yang tersembunyi dari sorotan publik, Calvin Rahardian duduk dengan santai di atas kursinya. Dari balik jendela kaca besar yang menghadap kota, ia dapat melihat lampu-lampu metropolitan yang bersinar seperti bintang-bintang di malam hari. Namun, bukan keindahan kota yang menarik perhatiannya—melainkan kekacauan yang mulai ia ciptakan.Di meja kerjanya, layar-layar monitor menampilkan berbagai rekaman CCTV, laporan pergerakan keluarga Mahendra dan Wijaya, serta data intelijen yang dikumpulkan oleh anak buahnya.Di sudut ruangan, Gunawan Rahardian, ayah Calvin, duduk sambil menghisap cerutunya. Tatapan pria itu penuh ketajaman, namun ada sedikit keraguan di dalamnya."Calvin," katanya perlahan. "Kau yakin ini adalah langkah yang benar?"Calvin tersenyum tipis. "Ayah, sudah berapa lama kita berada di bayang-bayang dua keluarga besar itu? Keluarga Mahendra dan Wijaya selalu bertarung seperti anjing dan serigala, tapi mereka tidak pernah menyadari bahwa kit
Clara berusaha menenangkan napasnya. Ruangan sempit yang gelap ini membuatnya sulit berpikir jernih. Tangannya masih terikat di belakang kursi, dan setiap gerakan kecil menyebabkan pergelangannya terasa perih karena gesekan tali.Di hadapannya, pria bertopeng yang baru saja berbicara menatapnya tajam. Namun, dari cara dia berdiri, dari cara dia berbicara, Clara bisa merasakan sesuatu yang aneh—seolah pria ini tidak sekadar ingin menahannya, tetapi lebih dari itu."Apa yang sebenarnya kalian inginkan?" suara Clara serak, tetapi penuh keberanian.Pria itu tertawa kecil, lalu menarik kursi dan duduk di hadapannya."Yang kami inginkan?" katanya, menyandarkan tubuhnya santai. "Kami hanya ingin menyaksikan dua keluarga paling berkuasa di kota ini saling menghancurkan."Mata Clara membelalak."Apa maksudmu?"Pria itu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, suaranya merendah seolah sedang membisikkan rahasia besar."Clara Mahendra… kau tidak sadar, bukan?" Ia tersenyum samar. "Selama ini, ka
Di tengah malam yang gelap dan sunyi, sebuah mobil hitam melaju dengan kecepatan tinggi di jalanan kota. Di dalamnya, Dimas Mahendra, pria berusia 45 tahun dengan wajah dingin dan sorot mata tajam, duduk di kursi belakang, kedua tangannya mengepal dengan kuat di atas lututnya.Di hadapannya, seorang pria bertubuh kekar dengan setelan jas hitam sedang melaporkan sesuatu melalui telepon."Tuan, kami telah menyisir beberapa lokasi yang mungkin menjadi tempat Clara dibawa, tetapi sejauh ini hasilnya nihil."Dimas menghembuskan napas panjang, menahan amarah yang berkecamuk di dadanya."Dia tidak mungkin hilang begitu saja. Cari lagi. Gunakan semua koneksi kita. Aku tidak peduli berapa pun biayanya, aku ingin putriku ditemukan malam ini juga," suaranya penuh ancaman."Tapi, Tuan..." pria itu tampak ragu. "Ada kemungkinan besar bahwa ini bukan hanya soal penculikan biasa. Kami menemukan indikasi bahwa keluarga Wijaya juga sedang mencari Clara."Mata Dimas menyipit tajam."Wijaya?" desisnya d