Alaistar takut hiu.
Memang wajar saat seorang anak kecil berkata bahwa dirinya takut pada ikan bergigi tajam dan runcing seperti ikan hiu. Menyeramkan, buas, dan ganas, alasannya.
Berawal dari kegemaran sang kakak menonton film dokumenter tentang hewan buas, Alaistar kecil sukses dibuat menjerit ketakutan saat ditampilkan adegan hiu yang sedang menyantap mangsanya. Warna merah darah memenuhi layar televisi dan Alaistar tidak pernah berani tidur sendirian lagi sejak saat itu.
Alaistar kecil tidak pernah menyangka kalau rasa takutnya itu akan terus menghantuinya hingga remaja, bahkan saat usianya 18 tahun.
Namun, semuanya berubah ketika Alaistar justru tidak sengaja menabrak hiu di perjalanan pulangnya dari sekolah.
Bukan, bukan hiu sungguhan.
Saat itu, Alaistar tidak memperhatikan jalan dan malah sibuk bermain game di ponsel. Alaistar tengah sibuk menangkis serangan musuh ketika tubuhnya berbenturan dengan seorang pejalan kaki lain dari arah berlawanan---yang juga tidak memperhatikan jalan dan tengah sibuk dengan ponselnya. Benturan itu sangat keras sampai-sampai membuat Alaistar dan si gadis terjungkal ke belakang. Ponsel Alaistar terpental jauh. Disusul suara gemerincing keychain yang terputus dari ransel sang gadis dan berhamburan ke tanah.
Alaistar ingin memaki karena rasa sakit di dahinya yang teramat sangat. Jangan lupakan rasa nyeri di bokongnya yang harus berbenturan dengan aspal keras. Namun, umpatan Alaistar tertahan di bibir ketika melihat hoodie hiu yang dikenakan si penabrak.
'Apa-apaan orang ini?' Batinnya.
Alaistar heran, model hoodie tersebut sangat kekanak-kanakan. Bahkan lebih cocok digunakan oleh bayi, padahal gadis di hadapannya tampak memiliki usia yang tidak terpaut jauh darinya. Sudah cukup terbilang dewasa, bukan?
Di bagian belakang hoodie yang dikenakan gadis itu, tertempel sirip punggung hiu. Jangan lupakan gigi-gigi runcing yang mengelilingi ujung sisi kupluk yang menutupi kepalanya, sehingga membuat seolah-olah sang gadis berada di dalam mulut si hiu. Di samping hoodie yang kekanak-kanakan tersebut, Alaistar harus mengakui bahwa gadis di hadapannya ini imut. Sangat imut dan gadis itu sangat cocok mengenakannya.
"Apa lo baik-baik saja?" Tanyanya. Ia menjadi merasa bersalah karena sang gadis terus menunduk dan tak henti memegang dahinya yang memerah. Alaistar mengakui benturan antara kedua dahi mereka sungguh keras dan terasa sangat sakit. Bahkan kepalanya mulai terasa pening.
Ketika kedua mata mereka bertemu, gadis itu mengangguk pelan seraya tersenyum tipis, seolah berusaha menunjukkan pada Alaistar bahwa dirinya baik-baik saja.
Akan tetapi, sepertinya tatapan itu justru memberikan dampak lain. Gadis itu sangat imut. Kulitnya putih bersih dengan bola mata cokelat cerah. Alaistar bisa menebak bahwa gadis itu memiliki sedikit darah campuran Eropa dari garis wajahnya. Tetapi yang jelas bukan keturunan campuran langsung karena tidak terlihat begitu dominan. Alaistar bisa melihat helaian rambut brunette milik gadis itu yang mencuat dari balik kupluk hoodie.
'Sangat cantik,' ucap Alaistar dalam hati. Alaistar tidak pernah menyangka jika wajahnya bisa se-panas ini hanya karena bertatapan dengan seorang gadis. Di nilai dari rasa panas yang ia rasakan, Alaistar yakin wajahnya pasti sudah se-merah kepiting rebus.
Alaistar mencoba mengalihkan pandangan ke arah lain, mencoba mengontrol jantungnya yang sekarang berdegup sangat kencang. Berulang kali, tangannya mengibaskan kerah seragamnya, berharap bisa memadamkan rasa panas di wajah yang mulai menjalar ke seluruh tubuhnya.
Bahkan, Alaistar memfokuskan pandangannya ke arah semak-semak di pinggir trotoar dan berusaha meyakinkan dirinya bahwa pemandangan itu jauh lebih menarik dibandingkan si gadis hiu. Namun tentu saja hasilnya nihil.
Sejak dulu, Alaistar tidak pernah percaya kalau cinta pada pandangan pertama itu benar-benar ada. Ia beranggapan bahwa perasaan itu bukanlah cinta, melainkan hanya sebatas ketertarikan sesaat di awal pertemuan.
Bagi Alaistar, cinta ada karena suatu proses dan butuh waktu lama agar cinta itu untuk tumbuh. Bukan secara tiba-tiba. Ia bahkan menganggap remeh dan mencela ketika David--sahabatnya sejak SMP-- bercerita padanya tentang cinta pada pandangan pertama yang ia alami.
Namun kini, insiden itu mengubah segalanya. Sejak saat itu, Alaistar berpikir bahwa hiu tidaklah lagi menyeramkan dan cinta pada pandangan pertama itu nyata adanya.
Gadis itu tidak akan pernah menyangka seberapa besar dampak senyumannya pada kehidupan Alaistar.
*****
"Keychain putus begitu, bukannya dibuang malah dipandangin melulu. Memangnya lo sedang memandangi cewek cantik? Serius banget," ledek David sembari sesekali melirik ke sahabatnya yang sedang melamun di atas ranjang. Sebuah kain kompres menempel pada dahi Alaistar yang kini benjol.
David terkejut bukan main saat berkunjung ke rumah Alaistar sepulangnya dari les privat. Cowok itu menyambutnya dengan benjol sebesar bola golf di dahinya. David langsung tertawa terbahak-bahak dan tak henti mengejek sahabatnya itu. Terlebih lagi saat David diberi tahu mengenai kisah di balik dahi benjol itu.
Alaistar menghela napas berat. "Gue benar-benar menyesal. Kenapa bisa-bisanya gue enggak terpikirkan untuk meminta nomor ponsel atau salah satu akun media sosial miliknya, sih? Ah, bahkan gue enggak menanyakan siapa namanya."
"Siapa? Oh, cewek yang enggak sengaja lo tabrak tadi?" Tanya David.
Alaistar mengangguk lesu. Iya, Alaistar terlalu terkesima sampai-sampai tidak bisa berkata apa-apa lagi. Alaistar masih terdiam kaku di tempatnya sampai gadis itu berjalan pergi dan berbaur dengan siswa-siswa yang baru pulang sekolah. Ia hanya bisa meratapi keychain berbentuk kartun hiu yang lupa dipungut oleh sang gadis. Gadis itu ternyata memiliki beraneka ragam jenis hewan laut dalam bentuk keychain yang tergantung di ranselnya.
"Apa lo sempat melirik ke nametag seragam miliknya?"
Alaistar menggeleng lesu. "Gue bahkan enggak bisa melihat seragam apa yang ia kenakan. Baju bagian atasnya tertutup rapat sama hoodie hiunya."
David menghela napas sambil menyeringai ke arah sahabatnya itu. "Oh ternyata begini kelakuan orang yang dulu mengejek gue karena gue mengalami yang namanya cinta pada pandangan pertama?"
Alaistar melempar kepala sahabatnya itu dengan botol kosong yang ia raih dari nakas.
David semakin tersenyum lebar setelah berhasil menangkis lemparan botol dari Alaistar. Ini adalah kali pertama baginya melihat Alaistar bersikap layaknya kekasih yang menjalani Long Distance Relationship alias LDR. Lemah, lesu, lunglai, galau, dan mellow. Jangankan LDR, Alaistar bahkan belum pernah pacaran atau pun menyukai seorang gadis. Menurut David, melihat Alaistar bisa bersikap seperti ini karena seorang gadis merupakan suatu kemajuan.
"Gue pikir selama ini lo gay karena belum pernah suka sama cewek. Lo bahkan menolak semua cewek yang mengajak lo berkenalan. Gue enggak pernah menyangka kalau saat-saat seperti ini akan tiba juga, gue sampai terharu,” ujar David. Tangannya bergerak seolah-olah menghapus derai air mata yang mengalir.
Alaistar tidak mengindahkan ucapan sahabatnya. "Kayaknya gue harus balik lagi ke tempat gue tabrakan tadi deh. Gue perlu ketemu sama dia," kata Alaistar penuh tekad.
"Serius? Dengan dahi benjol sebesar itu lo mau mencari dia? Apa lo enggak merasa malu?"
Alaistar hanya mengendikkan bahu acuh tak acuh.
******
"Sudah hampir dua jam, apa lo yakin kalau dia belum lewat juga?" Keluh David. Kakinya terasa kaku karena terlalu lama berjongkok di balik semak-semak yang ada di samping trotoar jalan. Trotoar tersebut merupakan lokasi Alaistar dan si gadis hiu bertabrakan beberapa waktu lalu.
Sudah dua minggu David menemani sahabatnya itu mencari si gadis hiu. Setiap pulang sekolah, mereka langsung buru-buru menuju lokasi tersebut, takut sewaktu-waktu gadis itu muncul dan mereka sama sekali tidak mau melewatkan momen itu.
Alaistar berdecak. “Kayaknya kita harus ganti rencana, Vid. Kalau hanya menunggu seperti ini, kemungkinan kita untuk menemukan si gadis hiu sangat kecil,” ujar cowok itu. Raut wajahnya menyiratkan kekesalan.
David menatap Alaistar dengan penasaran. “Lalu apa rencana lo?”
“Ikut gue,” ajak Alaistar dengan penuh keyakinan. Sepasang sahabat itu keluar dari balik semak-semak. Mereka bahkan tidak peduli pada helaian daun yang tersangkut di rambut mereka, lalu dengan percaya diri Alaistar menghampiri tiga orang siswa laki-laki yang sedang melewati trotoar tersebut. “Permisi, maaf mengganggu. Apa kalian pernah lihat seorang gadis memakai hoodie hiu yang lewat di sekitar trotoar ini? Kulitnya putih bersih, wajahnya tirus.”
Ketiga lelaki itu tampak berpikir sejenak dan melirik satu sama lain. “Maaf, kami enggak pernah lihat,” jawab mereka. Alaistar tersenyum tipis lalu mengucapkan terima kasih. Sepanjang hari itu, Alaistar tak henti menanyakan kepada setiap orang yang lewat di sana tentang gadis hiunya. Hal tersebut dilakukan Alaistar selama berhari-hari, bahkan berminggu-minggu dengan ditemani oleh sahabat setianya, David.
“Apa lo tahu? Sekarang, gue bahkan sudah sangat hafal dengan ciri-ciri fisik si gadis hiu karena selalu mendeskripsikannya ke setiap orang yang lewat trotoar ini. Gue enggak akan heran kalau gadis itu muncul di dalam mimpi gue,” ujar David.
Alaistar memukul belakang kepala David dengan botol minum. “Enak saja. Dia itu milik gue. Untuk apa dia muncul di mimpi lo?!” omel Alaistar.
“Ya ampun, belum jadi apa-apa saja sudah bersikap posesif begitu. Apalagi kalau sudah jadi pacar,” komentar David seraya mengelus bekas pukulan Alaistar. Alaistar tidak menanggapi ucapan sahabatnya itu. Alaistar menghampiri dua orang lelaki berseragam yang hendak lewat.
“Hai, permisi. Sorry, gue mau tanya. Apa kalian pernah melihat gadis berhoodie hiu yang lewat di sekitar trotoar ini?” Alaistar melontarkan pertanyaan yang sama. Kedua lelaki itu tampak lebih muda dari Alaistar dan David, sepertinya masih kelas 10. Terlihat dari baju seragam mereka yang masih cerah serta paras kedua lelaki itu yang terbilang mungil.
“Enggak pernah lihat. Memangnya ada apa, Kak? Kenapa mencari gadis hiu itu terus menerus?”
Alaistar tersenyum kikuk. “Oh, gue ada perlu.” Dalam hati, Alaistar bertanya-tanya kenapa orang ini bisa tahu kalau ia terus-menerus mencari si gadis hiu?
Lelaki asing itu menatap Alaistar dengan tatapan menyelidik. “Kakak bukan orang jahat, kan? Kakak enggak akan melakukan hal jahat apapun pada gadis berhoodie hiu itu, kan?”
Alaistar menjadi bingung karena perkataan tersebut. Ia melirik David bermaksud meminta bantuan. Namun, David justru balik menatapnya dengan ekspresi kebingungan yang sama. “Kami sama sekali enggak berniat jahat. Kami mencari gadis berhoodie hiu itu dengan maksud yang baik,” jawab Alaistar
“Dari mana kami bisa yakin kalau Kakak punya niat baik? Kak, sebenarnya Kakak sudah menanyakan pertanyaan itu ke kami lebih dari 10 kali. Setiap kami lewat jalan ini untuk pulang, pasti ada kalian berdua dan akan menanyakan pertanyaan yang sama. Teman-teman kami di sekolah pun sudah sangat hafal dengan kalian. Sebagian dari mereka bahkan memutuskan untuk berjalan memutar agar tidak bertemu Kakak. Sudahlah, menjadi seorang pedofil itu tidak baik. Lupakan saja anak kecil berhoodie hiu itu." Alaistar dan David semakin bingung.
Namun, lelaki asing itu melanjutkan penjelasannya. "Kak, sekarang kami bahkan punya akun media sosial untuk melindungi anak kecil itu. Kakak bisa ketik #savethegirltwiththesharkhoodie di media sosial, di sana Kakak bisa lihat ada berapa banyak orang yang melindungi gadis itu dan berdoa supaya Kakak enggak bertemu dengannya. Kalau Kakak sampai berbuat macam-macam, kami tidak segan-segan untuk melaporkannya ke polisi,” jelas lelaki itu panjang lebar diiringi dengan anggukan antusias temannya.
Alaistar dan David tidak bisa berkata apa-apa. Mereka sangat heran dengan pernyataan lelaki itu. “Apa? Pedofil? Anak kecil?” tanya Alaistar tak habis pikir.
“Iya, kami tahu bahwa orang yang Kakak cari itu adalah anak kecil yang masih di bawah umur kan? Teman kami pernah melihat seseorang berhoodie hiu yang lewat jalan ini. Itu adalah murid kelas 3 SD, Kak! Dia bahkan masih di antar-jemput orang tuanya ke sekolah!”
Refleks, Alaistar ingin menyerang cowok sok tahu itu dengan membabi buta, namun David dengan sigap langsung menahan tubuh Alaistar. “Al, sabar Al. Jangan mengamuk di sini. Sudahlah lebih baik kita pergi aja.” David berusaha sekuat tenaga untuk memboyong sahabatnya itu kembali ke rumah.
Alaistar dan David bisa mendengar samar-samar suara kedua lelaki itu yang berbicara dengan kompak. “Cepat sadar ya, Kak!”
'Hari ini sungguh hari yang gila!', ucap Alaistar dalam hati.
Tanpa Alaistar dan David sadari, ada sesosok pria yang mengamati mereka dari kejauhan dengan sorot mata tajam.
To Be Continued
Alaistar menahan kekesalannya sepanjang perjalanan pulang ke rumah. Ia benar-benar tidak habis pikir, bagaimana mungkin dirinya disebut sebagai seorang pedofil? Jelas-jelas usia Alaistar dan si hoodie hiu tampak tidak terpaut jauh."Sepanjang 18 tahun gue hidup di dunia, baru kali ini ada yang menyebut gue sebagai pedofil," kata Alaistar seraya mengacak rambutnya dengan frustasi.“Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Mereka hanya salah paham saja,” hibur David. Cowok itu sibuk mencari hashtag yang disebutkan oleh dua lelaki asing tadi di media sosial dan terkejut saat hasil pencariannya muncul.Ada satu akun utama berisi foto-foto Alaistar dan David yang sedang berbicara pada orang-orang yang melewati trotoar 'legendaris' itu. Banyak juga komentar-komentar yang menyuruh mereka untuk segera bertaubat. Selain itu, ada juga foto seorang anak kecil berhoodie hiu yang berada dalam gendongan sang ayah dengan wajah yang di blur. J
Setibanya di rumah, Ryan langsung berjalan menuju kamar adiknya. Ia baru saja mendapat laporan dari Kavin bahwa adiknya itu bolos sekolah. Benar saja, setelah membuka pintu kamar adiknya, Ryan langsung disuguhi dengan pemandangan sang adik yang sedang tertidur lelap di ranjang. Pantas saja gadis itu menghiraukan semua panggilan telfon darinya.Iseng, Ryan melemparkan ransel sekolahnya ke atas ranjang. Guncangan yang tiba-tiba itu sontak membuat adiknya terbangun.Gadis itu mendengus sebal. "Ah Kak Ryan, ganggu aja deh," ujar sang adik. Gadis itu masih tetap berbaring di sana, sama sekali tidak berniat untuk beranjak. Ia malah mencoba memejamkan matanya kembali.“Kenapa hari ini kamu bolos sekolah?” Tanya Ryan. Semalam ia menginap di rumah Yovan untuk bertanding game dan berangkat sekolah dari sana. Ia tidak sempat mengawasi apakah adiknya sudah berangkat sekolah atau belum. Adiknya ini cerdas, namun sangat malas untuk masuk sekolah. Lain hal
"Siapa sih yang mengajarkan Kak Ryan untuk menyelesaikan latihan soal seperti ini?!" Omel Ariana pada Ryan.Saat ini, mereka sedang berkumpul mengerjakan tugas sekolah bersama. Ini merupakan rutinitas mereka setiap hari, sebelum kemudian dilanjut dengan bermain game."Istirahat dulu aja yuk belajarnya. Yan, lebih baik kita main game dulu aja," ajak Yovan yang langsung diiringi dengan sorak gembira dari Ryan.Meskipun Ariana merasa jengkel karena Ryan terbebas dari latihan soal yang harus ia kerjakan, tetapi Ariana ikut senang karena Ryan dan Yovan bisa menghabiskan waktu berdua, meskipun itu hanya sebatas bermain game bersama.Sudah hampir dua jam, namun Yovan dan Ryan belum juga selesai bermain. Ariana yang bosan dan mengantuk pun sejak tadi hanya duduk di sofa sambil memeluk leher sang kakak dari belakang, dan menelusupkan wajahnya di sana. Sedangkan sang kakak nampak tidak terusik dan tetap asyik selonjoran di lantai sambil b
Semenjak pulang dari pencariannya akan si gadis berhoodie hiu, Alaistar lebih banyak diam dan berpikir. Tentunya berpikir apakah bisa hanya dalam waktu singkat, orientasi sex nya dapat berubah sedemikian rupa?Alaistar yakin belum sampai 24 jam yang lalu, ia masih menyukai perempuan--yang ternyata adalah seorang laki-laki. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya selama 18 tahun hidup Alaistar, bahwa dirinya adalah seorang gay. Insiden ini benar-benar membuat Alaistar terguncang. Ia seolah kehilangan arah. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya.Alaistar menimbang-nimbang dalam hati. ‘Apakah gue benar-benar seorang gay? Jika benar bahwa gue adalah seorang gay, apakah gue bisa menerima dengan lapang dada terkait orientasi seksual yang baru gue ketahui ini? Lalu, bagaimana respon keluarga dan teman-teman gue nanti? Apakah mereka semua dapat menerima jika gue adalah seorang gay?’ batin Alaistar.Hembusan napas berat keluar dari bibir Al
Alaistar kini duduk bersimpuh di lantai sambil terus menunduk. Ia sangat takut sekarang. Ia bahkan tidak berani menatap kedua orang tuanya yang duduk di sofa, melihatnya dengan rasa kecewa dan amarah yang sulit dibendung. Alasan lain adalah karena mamanya tidak berhenti menangis sejak tadi dan Alaistar sangat tidak tega melihatnya."Katakan pada kami, siapa pacar gay mu?!" bentak Papa Alaistar"Alaistar enggak berpacaran dengan cowok, Pa," jawab Alaistar takut-takut"Lalu apa maksudmu mengatakan kalau kamu itu gay?!"Terlalu banyak emosi yang ingin meluap, Alaistar bahkan tidak sadar ketika dirinya menangis. "Alaistar... Alaistar suka sama cowok, Pa." ujarnya sambil sesenggukan. Perasaan lelah, kesal, marah, sedih, dan bingung berkumpul menjadi satu. Selama ini, Alaistar tidak pernah berpikir bahwa dirinya adalah seorang penyuka sesama jenis. Bahkan saat ini pun, ia masih ragu dan terus menerka-nerka tentang perasaannya. Namun yang ia yakini sekarang adal
Layaknya rutinitas Ariana, Ryan, dan Yovan di hari sabtu, ketiganya kini sedang menikmati hari libur di ruang tamu rumah si kembar. Ariana bermain gitar sambil bersenandung, sedangkan Ryan dan Yovan asyik bermain game. Ketika ronde ketiga game mereka selesai, Ryan dan Yovan bermaksud istirahat sejenak dan membeli camilan saat suara notifikasi ponsel Ryan berbunyi.Yovan meraih ponsel kekasihnya itu dan mengernyit ketika membaca chat yang masuk dari nomor tidak dikenal. "Hai Ryan, gue Alaistar. Salam Kenal." Jarinya menekan layar, mencoba melihat foto profil orang asing tersebut lalu berdecak. Foto profil cowok itu hanya berupa siluet hitam saja. Akan tetapi, dilihat dari nama dan siluet tersebut, sudah jelas bahwa orang ini adalah laki-laki."Ryan! Siapa cowok ini? Untuk apa dia mengajak lo berkenalan?! Lo pernah bertemu dia sebelumnya?" bentak Yovan. Cowok itu sangat murka. Berani-beraninya ada orang asing yang mencoba mendekati kekasih tamp
Ryan memandang ke luar jendela kelas, kedua matanya menangkap sosok Kavin yang tengah berlari sekuat tenaga menuju gerbang sekolah yang sebentar lagi tertutup. Satu menit lagi bel masuk berbunyi. Tidak biasanya Kavin terlambat ke sekolah. Biasanya, Kavin akan selalu berangkat jauh lebih awal agar dapat mengantar Ariana ke sekolah, setelahnya baru cowok itu beralih menuju SMA Pelita Bangsa. Namun sayangnya, hari ini Kavin terlambat bangun tidur. Ia bahkan tidak sempat menjemput Ariana hingga akhirnya harus merelakan gadis itu berangkat sekolah tanpa dirinya.Kavin masuk ke kelas dalam keadaan keringat bercucuran, rambut lepek, dan napas yang terengah-engah. Tubuh Kavin memang tidak bugar, ia jarang berolahraga dan lebih suka menghabiskan waktunya untuk bermain game dan menonton film. Cowok itu melemparkan tubuhnya ke kursi dan menatap Ryan yang duduk di sebelahnya masih dengan napas terengah-engah.“Adik lo…. Udah.. berangkat?” tanya Kavin
Yovan, Ryan, dan Kavin lebih suka berangkat dan pulang sekolah menggunakan bus. Mereka memang terbiasa dengan gaya hidup sederhana dan mandiri, terlepas dari kekayaan orang tua mereka. Sepanjang perjalanan pulang, Ryan dan Yovan sibuk bertanding game, sedangkan Kavin berbincang dengan kekasihnya melalui telfon. Hari itu adalah hari Jumat dan mereka bermaksud mampir ke sekolah Ariana dan mengajaknya kuliner malam. Ariana ada ekskul musik hari itu, sehingga harus pulang terlambat.Hari mulai gelap, Ryan, Yovan, dan Kavin memilih menunggu Ariana di depan ruang latihan musik. Ketiganya duduk selonjoran di lantai dan masih tetap fokus dengan kegiatan mereka masing-masing. Volume suara panggilan di ponsel Kavin cukup keras walaupun cowok itu tidak menggunakan mode speaker, sehingga sejak tadi Ryan dan Yovan seolah menguping pembicaraan pasangan kekasih itu.“Memangn
Sudah dua minggu Yovan dan Kavin menemani Si Kembar di Singapura. Kedua cowok itu harus segera pulang ke Jakarta dan kembali menjalani rutinitas mereka seperti sedia kala. Yovan harus segera mengikuti kelas persiapan ujian kelulusan, sedangkan Kavin pun harus kembali berkutat dengan pelajaran sekolahnya yang selama dua minggu ini terbengkalai.Hari itu, Ryan dan Ariana memutuskan untuk mengantar kepergian Yovan dan Kavin hingga ke bandara. Beberapa menit sebelum keberangkatan, keempat sahabat itu berpamitan dengan suasana sendu. Perpisahan antara Ryan dan Yovan tergolong singkat jika dibandingkan dengan perpisahan Yovan dan Ariana. Hanya dengan pelukan singkat dan tepukan di punggung Ryan, lalu Yovan langsung beralih ke Ariana. Kavin sampai geleng-geleng kepala melihatnya. Yovan memang termasuk tipe tsundere. Cowok itu tidak begitu suka memperlihatkan kemesraan di depan umum. Akan tetapi ketika hanya berdua dengan sang kekasih, akan berbeda lagi ceritanya.Yov
Ryan memasuki ruang perawatan papanya dengan perasaan kesal. Hatinya masih menahan amarah karena perkataan Kavin di cafetaria tadi. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan sikap Kavin. Bagaimana bisa cowok itu mengatakan bahwa dirinya dapat membahagiakan Ariana di saat cowok itu masih berhubungan dengan Sisca? Ryan tahu dengan jelas apa maksud tersirat di balik perkataan Kavin tersebut. Dan Ryan tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Tidak di saat Kavin sendiri masih gamang terhadap perasaannya. Ia tidak ingin Ariana kembali terluka.Ryan menghempaskan tubuhnya di samping Ariana yang tengah sibuk dengan ponselnya. “Kenapa kamu belum makan?” tanya Ryan saat melihat kotak makanan yang ia bawa tadi masih terisi penuh tak tersentuh.Ariana mengalihkan pandangannya ke arah Ryan. “Aku menunggu Kak Ryan. Lebih enak kalau kita makan bersama.”Ryan tersenyum tipis. “Ayo kita makan,” kata Ryan. Cowok itu membantu sang adik membuka kotak
“Sebenarnya, apa yang telah terjadi antara lo dengan Ariana?” Satu kalimat yang keluar dari bibir Yovan itu cukup untuk membuat Kavin bungkam, tak tahu harus menjawab apa.Kavin merasa dilema. Ketika dirinya mengingat kejadian malam saat mereka berlibur ke Bandung, Ia tahu dengan jelas bahwa ia harus menuruti keinginan Ariana untuk tidak menceritakan kejadian malam itu kepada siapa pun. Akan tetapi, saat ini dirinya merasa tidak sanggup untuk memendam semuanya sendirian. Ia butuh meluapkan isi hatinya, tentunya ke orang yang dapat ia percaya. Dan menurut Kavin, Yovan pun tak masalah.Saat Kavin mengatakan ingin berbicara di tempat yang lebih privasi, cowok itu tidak tahu kalau Yovan akan turut mengajak Ryan. Cowok itu merasa salah langkah karena melupakan bahwa jika dianalogikan, maka Yovan dan Ryan adalah layaknya sendok dan garpu yang akan selalu berdampingan dan ikut serta ke mana pun salah satunya pergi. Kavin mengacak rambutnya dengan gusar saat meliha
Ariana, Ryan, Yovan, dan Kavin panik bukan main saat menerima kabar bahwa kedua orang tua Si Kembar mengalami kecelakaan lalu lintas dan langsung memesan penerbangan tercepat ke Singapura. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh keluarga Adhiatama itu jika acara liburan kedua orang tuanya akan berubah menjadi musibah, terlebih lagi di perayaan anniversary keduanya.Ariana dan Ryan sangat terguncang ketika mendapat kabar bahwa kedua orang tuanya mengalami kecelakaan. Terlebih lagi saat Si Kembar, Yovan, dan Kavin tiba di Singapura, mereka harus dikejutkan kembali dengan kabar bahwa nyawa sang mama tidak bisa diselamatkan.Ariana sangat terpukul. Gadis itu tak henti-hentinya menangis. Ryan yang sama terpukulnya dengan Ariana, harus berperan menjadi sosok yang lebih kuat untuk menjaga adiknya, meyakinkan Ariana bahwa semuanya akan baik-baik saja. Acara pemakaman sang Mama baru saja selesai, sedangkan Papa Si Kembar masih terbaring koma di rumah sakit.Se
"Sekarang gue tahu kenapa di lapangan tadi bisa ramai banget seperti itu. Penggemarnya Yovan pasti sudah tahu kalau Yovan mau ke sana. Tapi yang membuat gue terkejut adalah Yovan sama sekali enggak bermain futsal dan ke sana hanya untuk menjemput Ryan," jelas David.David melemparkan sekaleng minuman dingin ke arah Alaistar yang langsung dengan sigap di raih oleh cowok itu. Melihat itu, David mendesah kecewa. ‘Seharusnya minuman itu jatuh tepat di atas kepala sahabatnya,’ batin David iseng."Bukankah Adrian pernah mengatakan kalau mereka memang berteman dekat? Gue pikir enggak ada yang salah dari menjemput teman dekat seperti itu,” ujar Alaistar sambil mengendikkan bahu.David melirik Alaistar dengan sinis. "Kita berteman dekat, tetapi lo enggak pernah sekali pun menjemput gue," ucap David.Alaistar mendengus. "Ah sudah lah. Apa pentingnya sih mengurus itu sekarang?""Lalu kita harus mengurus apa sekarang?" tanya David.Ala
"Teman-teman mengajak kita bermain futsal jam 10 nanti. Ikut saja yuk," ajak David setelah membaca chat di ponselnya. Setiap akhir pekan, David rutin menginap di rumah Alaistar untuk bermain game seharian di sana. Sudah 5 ronde mereka selesaikan dan David mulai bosan. Ia butuh melakukan hal lain.Alaistar terlihat ragu. Ia merasa lelah dan ingin bergelung dalam selimut lalu tidur hingga esok hari. Namun di sisi lain, ia juga membutuhkan udara segar. Kepalanya terasa penat karena berada di ruangan tertutup terlalu lama."Ayo, daripada lo hanya berdiam di sini meratapi keychain hiu yang pemiliknya jelas-jelas sudah memblokir kontak Whatsapplo. Bukankah akan lebih baik kalau kitarefreshingterlebih dahulu? Setelah itu, kita cari cara untuk lo berkenalan dengan Ryan,” bujuk David. David sudah hafal betul apa yang akan dilakukan Alaistar saat sendirian dan cowok itu sudah muak melihat tingkah sahabatnya yan
Pagi itu, Kavin tidak muncul untuk mengantar Ariana ke sekolah seperti biasanya. Nampaknya, lelaki itu sedang berusaha menuruti permintaan Ariana. Berangkat ke sekolah tanpa Kavin memang terasa lebih sepi, tidak ada lagi yang mengganggunya dengan jokes ala bapak-bapak, menjahilinya, atau pun menertawakan kecerobohannya. Ya, ia harus mulai terbiasa tanpa kehadiran Kavin di sisinya.Ariana kehilangan semangatnya untuk berangkat ke sekolah. Derap langkahnya nampak lesu dan tidak bertenaga. Yang Ariana inginkan sekarang adalah bergelung dalam selimutnya dan kembali ke alam mimpi. Setidaknya, di sana ia dapat memperoleh semua yang ia inginkan, berbeda 180 derajat dibandingkan dengan kenyataan yang ia alami.Kaki Ariana menendang setiap batu kerikil yang ia temui di jalan dan beberapa kali hampir terjatuh karenanya. Ariana tentu tidak menyadari ada sosok Kavin yang begitu was-was memperhatikan setiap gerak-geriknya dan menahan napas setiap kali gadis itu hampir terj
Sepulangnya Ryan, Ariana, dan Yovan dari Bandung, mereka kembali bersantai menikmati hari minggu yang tersisa di rumah si kembar. Sedangkan Kavin langsung mengantarkan Sisca pulang. Ryan dan Yovan tidak berniat menanyakan lebih jauh tentang permasalahan antara adik kesayangan mereka itu dengan Kavin. Raut wajah Ariana memancarkan perasaan sedih yang ditutupi dengan ekspresi dingin dari gadis itu. Ryan tidak ingin membuat adiknya lebih sedih lagi dengan kembali membahas apa yang sudah terjadi. Akan ada waktu di mana Ariana dapat bercerita padanya, yaitu saat gadis itu sudah bisa berdamai dengan suasana hatinya kini. Cowok itu memilih untuk membelikan Ariana berbagai jenis camilan yang disukai gadis itu, berharap bisa sedikit menghibur hati Ariana. Yovan yang dari awal memang tidak mengetahui perihal perasaan Ariana pada Kavin pun tidak memiliki petunjuk sedikit pun mengenai apa yang terjadi. Ia hanya menduga bahwa Ariana dan Kavin bertengkar hebat dan Ariana m
Keesokkan harinya, Ryan, Ariana, Yovan, Kavin, dan Sisca bersiap-siap untuk kembali ke Jakarta. Ryan dan Yovan sibuk memasukkan barang bawaan mereka ke bagasi, sedangkan Ariana masih mengemas barang-barangnya di kamar. Gadis itu terlambat bangun, padahal Ryan sudah berkali-kali mengguncang tubuh sang adik, tetapi tak ada respon. Ariana tidur layaknya orang pingsan. Hampir saja Ryan memanggil ambulance kalau saja adik kesayangannya itu tak kunjung bangun. Sebelum pergi ke parkiran depan, Ryan berpesan pada Ariana untuk menelfonnya jika gadis itu sudah selesai mengemas barang-barang agar Ryan bisa membawakan ransel gadis itu ke mobil. Akan tetapi, Ariana berinisiatif untuk membawa ransel itu sendiri, berikut dengan sebuah kotak berukuran besar berisi camilannya untuk ia konsumsi selama perjalanan pulang. Gadis itu melangkahkan kakinya dengan hati-hati saat menuruni tangga. Akan tetapi, Kavin yang kebetulan baru keluar dari toilet pun buru-buru menahan tangan A