"Siapa sih yang mengajarkan Kak Ryan untuk menyelesaikan latihan soal seperti ini?!" Omel Ariana pada Ryan.
Saat ini, mereka sedang berkumpul mengerjakan tugas sekolah bersama. Ini merupakan rutinitas mereka setiap hari, sebelum kemudian dilanjut dengan bermain game.
"Istirahat dulu aja yuk belajarnya. Yan, lebih baik kita main game dulu aja," ajak Yovan yang langsung diiringi dengan sorak gembira dari Ryan.
Meskipun Ariana merasa jengkel karena Ryan terbebas dari latihan soal yang harus ia kerjakan, tetapi Ariana ikut senang karena Ryan dan Yovan bisa menghabiskan waktu berdua, meskipun itu hanya sebatas bermain game bersama.
Sudah hampir dua jam, namun Yovan dan Ryan belum juga selesai bermain. Ariana yang bosan dan mengantuk pun sejak tadi hanya duduk di sofa sambil memeluk leher sang kakak dari belakang, dan menelusupkan wajahnya di sana. Sedangkan sang kakak nampak tidak terusik dan tetap asyik selonjoran di lantai sambil bermain game.
"Kak, tadi siang Kak Ryan beli kopi di mana? Besok aku mau titip dong," pinta Ariana random
"Kopi? Enggak, Kakak enggak beli kopi. Memangnya kenapa?"
"Noda di seragam Kak Ryan tadi itu kan noda bekas kopi."
Ryan berpikir sejenak, mengingat-ingat dari mana asal tumpahan kopi tersebut. "Oh, tadi siang Kakak enggak sengaja menabrak orang di jalan. Kebetuan dia sedang minum kopi, noda itu dari tumpahan kopi dia."
Yovan terkekeh pelan. "Kenapa sih kalian akhir-akhir ini suka banget nabrak orang. Sebelumnya Ariana nabrak orang sampai dahinya benjol, terus enggak masuk sekolah selama dua hari, sekarang giliran Ryan yang nabrak," ujarnya.
Ryan tertawa mendengarnya. "Bisa-bisanya nabrak orang sampai benjol sebesar bola golf."
Ariana menjitak kepala kakaknya dengan pelan. "Aduh sakit," keluh Ryan.
"Tapi Kak Yovan penasaran. Kamu ini kan galak banget nih, Ri. Bagaimana ya nasib orang yang menabrak kamu sampai kamu benjol begitu, Ri?" Tanya Yovan.
Ariana mengangkat bahunya cuek. "Ari enggak melakukan apa-apa padanya kok, Kak."
Ryan dan Yovan menatap Ariana sangsi. "Serius?"
Ariana mengangguk. "Ari senyumin aja."
"Kenapa?" Tanya Ryan
"Habisnya dia ganteng banget, sih," jawab Ariana asal dan langsung dihadiahi lemparan bantal dari sang kakak.
****
Ariana tidak pernah bisa tidur terlalu malam. Ketika jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam, Ariana beranjak dari sofa meninggalkan Ryan dan Yovan yang masih asyik bermain game. Ia sudah bergelung dalam selimut dan memeluk Cloudy dengan penuh rasa sayang. Cloudy adalah boneka beruang dengan ekspresi menangis, hadiah ulang tahunnya dari Kavin. Boneka itu sangat lembut dan fluffy, serta selalu menemani Ariana tidur. Ia tidak pernah bisa tidur tanpa boneka kesayangannya tersebut. Tak lama kemudian, ponselnya berbunyi. Nama Kavin terpampang di layar ponselnya. “Kenapa Vin?” tanyanya.
“Ari, gue salah reservasi restoran. Seharusnya tanggal 18, tapi gue dengan bodohnya malah salah sebut tanggal dan menyebut tanggal 19,” ujar Kavin. Kavin memang sering menelfon Ariana pada malam hari dan menceritakan seperti apa hari yang ia alami.
“Oh, lalu bagaimana dong?”
“Untung Sisca mengerti, dia enggak masalah sewaktu gue ajak pindah ke restoran lain. Tapi surprise gue jadi gagal dong. Padahal ini kan hari anniversary kami yang ke dua tahun.”
“Lain kali lo harus lebih hati-hati dong. Masa lo mau surprise lo gagal hanya karena alasan sepele kayak gitu.” Dan begitulah Ariana menghabiskan malamnya, mendengarkan keluh-kesah Kavin hingga dini hari.
Ketika Ariana mengakhiri perbincangan mereka di telfon, Ariana tidak menyadari bahwa sejak tadi Ryan sudah berdiri di sisi kamarnya. Melihat sang kakak yang memandangnya dengan sendu, tanpa sadar air mata Ariana pun mengalir dan tak lama kemudian berubah menjadi tangis sesenggukkan. “Sakit banget rasanya, Kak.”
Ryan memeluk adiknya dalam diam. Tangannya mengelus punggung sang adik, berharap tindakannya itu dapat sedikit menenangkan. “Kalau selalu terasa sakit seperti ini, mau mengakhirinya saja?”
Ariana melepaskan pelukan Ryan dan memandang kakaknya itu lekat-lekat. “Sampaikan perasaan kamu ke Kavin, supaya kamu lega. Setelah itu, kamu harus bisa melupakan dia.”
Ariana tampak ragu. Ia terdiam cukup lama. Apakah ia sudah siap untuk merelakan Kavin? "Enggak perlu buru-buru. Santai aja. Kakak akan mendukung apapun keputusan kamu," ujar Ryan.
****
“Kenapa mata lo bisa sampai bengkak begitu?” tanya Kavin saat melihat Ariana yang sedang menuruni tangga rumahnya. Sejak dulu, Kavin memiliki kebiasaan untuk mengantar jemput Ariana ke sekolah meskipun sekolahnya dan sekolah Ariana itu berlawanan arah.
“Gue habis nonton drama korea, sad ending,” jawab Ariana asal. Sebenarnya bukan drama korea, melainkan drama hidupnya dengan Kavin.
“Dasar cengeng,” ejek Kavin. Cowok itu meraih tas jinjing Ariana yang berisi berbagai jenis makanan ringan, bermaksud membawakannya sepanjang perjalanannya nanti. Sekolah Ariana bisa ditempuh dengan 15 menit berjalan kaki.
Ariana memang sangat suka memakan camilan di sela-sela pelajaran sekolahnya, sehingga Ryan selalu menyiapkan stok camilan yang banyak untuk sang adik bawa ke sekolah.
Sepanjang perjalanan, Ariana lebih banyak diam. Jelas itu tidak seperti Ariana yang biasanya karena cewek itu terkenal cerewet. Kavin dibuat heran akan sikapnya itu. “Kenapa dari tadi lo enggak banyak bicara? Apa lo lagi sembelit?”
“Enggak,” jawab Ariana singkat. Ia sedang tidak mood untuk bercanda gurau. Perkataan Ryan terngiang-ngiang dalam benaknya. Haruskah ia mengutarakan perasaannya pada Kavin hanya agar merasa lega dan bisa melupakan cowok itu? Cowok yang sudah mengisi hari-harinya selama belasan tahun.
"Ri, gue punya tebak-tebakkan," celetuk Kavin.
Ariana hanya tersenyum tipis, ia sudah tahu apa yang akan terjadi. Cowok di sampingnya ini selalu menyampaikan tebak-tebakan aneh atau candaan receh tiap kali ada kesempatan. "Apa?" tanya Ariana
"Tebak ya, ini soal gajah. Gajah, gajah apa yang baik hati?"
Alis Ariana berkerut, memikirkan apa jawabannya. "Enggak tahu. Memangnya apa?"
"Gajahat," jawab Kavin. Cowok itu langsung tertawa terbahak-bahak mendengar jawabannya sendiri, sedangkan Ariana menatap Kavin dengan tatapan malas. Ia tahu maksud dari jawaban Kavin. Gajahat itu maksudnya enggak jahat alias baik.
"Enggak lucu banget tebak-tebakkannya," jawab Ariana sambil geleng-geleng kepala. Namun, seulas senyum tipis tetap terbit di bibir gadis itu.
Dering ponsel Kavin menghentikan tawa Kavin dan senyuman Ariana. Mereka sudah hafal siapa orang yang selalu menelfon Kavin pada jam ini, saat cowok itu mengantarkan Ariana ke sekolah.
“Halo, Yang?” sapa Kavin. Siapa lagi kalau bukan Sisca.
“Aku? Aku lagi antar Ariana ke sekolah.”
“Kenapa sih kamu masih antar jemput Ariana terus?! Dia tuh sudah besar, dia bisa ke sekolah sendiri tanpa perlu kamu antar!” ucap Sisca marah. Suara Sisca terlalu kencang sampai-sampai Kavin harus menjauhkan telinganya dari ponsel. Tentu saja dengan suara sekecang itu, Ariana dapat mendengarnya dengan jelas. Kata demi kata.
“Aku khawatir kalau Ariana berangkat sekolah sendiri, memangnya salah?” tanya Kavin
“Jelas salah! Kamu punya pacar! Kamu enggak menghargai aku sebagai pacar kamu? Terus untuk apa kamu khawatir? Aku yakin Ryan juga enggak khawatir berlebihan sama Ariana, enggak seperti kamu sekarang! Cepat ke sekolah, enggak usah antar Ariana!”
“Enggak bisa,” ujar Kavin
“Kenapa enggak bisa? Kamu mau terus-menerus menempel sama cewek itu? Ariana itu suka sama kamu. Apa kamu buta?! Atau jangan-jangan kamu juga suka sama dia?!”
Kavin berdecak kesal. “Apa-apaan sih kamu? Aku sama Ariana enggak ada apa-apa. Hubungan aku sama Ariana benar-benar pure sahabat. Enggak lebih.”
“Terserah kamu. Aku capek berdebat tentang hal ini terus sama kamu.” bentak Sisca dan langsung mengakhiri panggilan telfonnya.
Ariana menghela napas pelan. Tangannya meraih tas jinjing miliknya yang dibawa Kavin. “Sudah lah, lo berangkat sekolah aja. Gue sudah besar dan bisa berangkat ke sekolah sendiri,” ujar Ariana pelan.
“Enggak, gue mau antar lo ke sekolah. Lo lupa dengan apa yang terjadi saat gue enggak bareng sama lo? Lo jatuh dan terluka. Dahi lo benjol sebesar bola golf.”
“Gua enggak apa-apa, Kavin. Please, sekali ini aja. Lagi pula apa lo mau bertengkar terus sama pacar lo kayak gitu?” tanya Ariana
Kavin terdiam menatap sahabatnya itu. “Sorry, gue enggak bermaksud buat lo mendengar omongan Sisca tadi.”
Ariana menepuk bahu Kavin. “Gua enggak apa-apa. Sekolah gue udah di depan mata. Lo pergi aja. Nanti lo terlambat.”
Kavin terlihat ragu sejenak, namun akhirnya mengangguk dan meninggalkan Ariana di sana. Tanpa sadar, Ariana meneteskan air mata ketika menatap punggung Kavin yang kini semakin menjauh. Ia tidak pernah mengira jika menyukai seseorang bisa sesakit ini.
To Be Continued
Semenjak pulang dari pencariannya akan si gadis berhoodie hiu, Alaistar lebih banyak diam dan berpikir. Tentunya berpikir apakah bisa hanya dalam waktu singkat, orientasi sex nya dapat berubah sedemikian rupa?Alaistar yakin belum sampai 24 jam yang lalu, ia masih menyukai perempuan--yang ternyata adalah seorang laki-laki. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya selama 18 tahun hidup Alaistar, bahwa dirinya adalah seorang gay. Insiden ini benar-benar membuat Alaistar terguncang. Ia seolah kehilangan arah. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya.Alaistar menimbang-nimbang dalam hati. ‘Apakah gue benar-benar seorang gay? Jika benar bahwa gue adalah seorang gay, apakah gue bisa menerima dengan lapang dada terkait orientasi seksual yang baru gue ketahui ini? Lalu, bagaimana respon keluarga dan teman-teman gue nanti? Apakah mereka semua dapat menerima jika gue adalah seorang gay?’ batin Alaistar.Hembusan napas berat keluar dari bibir Al
Alaistar kini duduk bersimpuh di lantai sambil terus menunduk. Ia sangat takut sekarang. Ia bahkan tidak berani menatap kedua orang tuanya yang duduk di sofa, melihatnya dengan rasa kecewa dan amarah yang sulit dibendung. Alasan lain adalah karena mamanya tidak berhenti menangis sejak tadi dan Alaistar sangat tidak tega melihatnya."Katakan pada kami, siapa pacar gay mu?!" bentak Papa Alaistar"Alaistar enggak berpacaran dengan cowok, Pa," jawab Alaistar takut-takut"Lalu apa maksudmu mengatakan kalau kamu itu gay?!"Terlalu banyak emosi yang ingin meluap, Alaistar bahkan tidak sadar ketika dirinya menangis. "Alaistar... Alaistar suka sama cowok, Pa." ujarnya sambil sesenggukan. Perasaan lelah, kesal, marah, sedih, dan bingung berkumpul menjadi satu. Selama ini, Alaistar tidak pernah berpikir bahwa dirinya adalah seorang penyuka sesama jenis. Bahkan saat ini pun, ia masih ragu dan terus menerka-nerka tentang perasaannya. Namun yang ia yakini sekarang adal
Layaknya rutinitas Ariana, Ryan, dan Yovan di hari sabtu, ketiganya kini sedang menikmati hari libur di ruang tamu rumah si kembar. Ariana bermain gitar sambil bersenandung, sedangkan Ryan dan Yovan asyik bermain game. Ketika ronde ketiga game mereka selesai, Ryan dan Yovan bermaksud istirahat sejenak dan membeli camilan saat suara notifikasi ponsel Ryan berbunyi.Yovan meraih ponsel kekasihnya itu dan mengernyit ketika membaca chat yang masuk dari nomor tidak dikenal. "Hai Ryan, gue Alaistar. Salam Kenal." Jarinya menekan layar, mencoba melihat foto profil orang asing tersebut lalu berdecak. Foto profil cowok itu hanya berupa siluet hitam saja. Akan tetapi, dilihat dari nama dan siluet tersebut, sudah jelas bahwa orang ini adalah laki-laki."Ryan! Siapa cowok ini? Untuk apa dia mengajak lo berkenalan?! Lo pernah bertemu dia sebelumnya?" bentak Yovan. Cowok itu sangat murka. Berani-beraninya ada orang asing yang mencoba mendekati kekasih tamp
Ryan memandang ke luar jendela kelas, kedua matanya menangkap sosok Kavin yang tengah berlari sekuat tenaga menuju gerbang sekolah yang sebentar lagi tertutup. Satu menit lagi bel masuk berbunyi. Tidak biasanya Kavin terlambat ke sekolah. Biasanya, Kavin akan selalu berangkat jauh lebih awal agar dapat mengantar Ariana ke sekolah, setelahnya baru cowok itu beralih menuju SMA Pelita Bangsa. Namun sayangnya, hari ini Kavin terlambat bangun tidur. Ia bahkan tidak sempat menjemput Ariana hingga akhirnya harus merelakan gadis itu berangkat sekolah tanpa dirinya.Kavin masuk ke kelas dalam keadaan keringat bercucuran, rambut lepek, dan napas yang terengah-engah. Tubuh Kavin memang tidak bugar, ia jarang berolahraga dan lebih suka menghabiskan waktunya untuk bermain game dan menonton film. Cowok itu melemparkan tubuhnya ke kursi dan menatap Ryan yang duduk di sebelahnya masih dengan napas terengah-engah.“Adik lo…. Udah.. berangkat?” tanya Kavin
Yovan, Ryan, dan Kavin lebih suka berangkat dan pulang sekolah menggunakan bus. Mereka memang terbiasa dengan gaya hidup sederhana dan mandiri, terlepas dari kekayaan orang tua mereka. Sepanjang perjalanan pulang, Ryan dan Yovan sibuk bertanding game, sedangkan Kavin berbincang dengan kekasihnya melalui telfon. Hari itu adalah hari Jumat dan mereka bermaksud mampir ke sekolah Ariana dan mengajaknya kuliner malam. Ariana ada ekskul musik hari itu, sehingga harus pulang terlambat.Hari mulai gelap, Ryan, Yovan, dan Kavin memilih menunggu Ariana di depan ruang latihan musik. Ketiganya duduk selonjoran di lantai dan masih tetap fokus dengan kegiatan mereka masing-masing. Volume suara panggilan di ponsel Kavin cukup keras walaupun cowok itu tidak menggunakan mode speaker, sehingga sejak tadi Ryan dan Yovan seolah menguping pembicaraan pasangan kekasih itu.“Memangn
“Lain kali kita order makanan via online aja deh. Gue enggak suka banget kalau ada paparazi kayak tadi,” keluh Yovan ketika mengingat insiden yang ia alami saat di restoran tadi. Cowok itu menghempaskan tubuhnya ke sofa besar di ruang tamu Si Kembar. Mereka baru saja pulang dari acara kuliner malam mereka yang melelahkan sekaligus mengenyangkan.Ariana menatap Yovan dengan bingung. “Paparazi? Kapan ada Paparazi?” Gadis itu kini berbaring di sofa panjang, dan meletakkan kedua kakinya di atas paha Ryan.“Sewaktu kamu pergi ke toilet,” jawabnya.Ariana terkekeh pelan. “Namanya juga makan bareng sama selebgram. Pasti ada aja yang begitu.”Yovan mendengus. Cowok itu senang atas kepopulerannya di media sosial, ia juga senang karena banyak orang yang menyukai permainan gitarnya yang ia posting di sana. Namun, ia merasa risih jika ada orang asing yang mengusik kehidupan pribadinya.Jauh sebe
Yovan dan Ryan yang duduk di kursi depan tak henti-hentinya menghela napas berat, mencoba menenangkan diri mereka dan menahan amarah yang sejak tadi ingin membuncah keluar. Tak lama dari itu, Ariana muncul dan bermaksud untuk duduk di kursi tengah seperti semula, namun dibuat terkejut ketika menemukan sosok Sisca yang sedang duduk anteng di sana sembari memeluk erat lengan Kavin.“Hai Ari. Lo mau duduk di sini? Kayaknya enggak akan muat deh, bagaimana kalau lo duduk di kursi belakang aja?” tanya Sisca.Ariana dibuat speechless dengan perkataan Sisca barusan. Ia refleks melirik ke arah kursi belakang yang setengah bagiannya sudah penuh dengan barang bawaan mereka yang tak muat di bagasi. Ia memang akan muat untuk duduk di sana, tapi… apa gadis ini sudah gila?‘Cewek ini benar-benar,’ batinnya. Ia sangat ingin meneriaki Sisca, namun masih merasa tak enak dengan Kavin. Ia takut akan menyakiti perasaan Kavin jika ia melakukan
Ariana terbangun di tengah malam. Gadis itu susah tidur. Ia menyesal karena tertidur sepanjang perjalanannya tadi. Alhasil ia jadi tidak mengantuk sekarang. Ariana melirik ke arah Ryan, cowok itu sudah tertidur lelap. Bahkan Ariana bisa mendengar samar-samar dengkuran Ryan. Tak ingin mengganggu sang kakak, gadis itu pun meraih gitarnya dan beranjak menuju halaman belakang. Tak lupa ia membawa Cloudy untuk menemaninya. Ariana sangat menyukai bermain gitar di bawah bintang-bintang seperti ini. Menenangkan, menurutnya.Malam sudah menunjukkan pukul 3 pagi dan udara kini menjadi sangat dingin. Ariana mengeratkan sweater yang ia kenakan dan duduk di sebuah bangku panjang. Ariana mendongak ke langit. Malam ini, langit begitu cerah sehingga gadis itu bisa melihat kilauan bintang-bintang dengan sangat jelas. Ariana sangat menyukai bermain gitar di bawah bintang-bintang seperti ini. Menenangkan, menurutnya.Ariana masih asyik bersenandung dan tidak sadar ketika k
Sudah dua minggu Yovan dan Kavin menemani Si Kembar di Singapura. Kedua cowok itu harus segera pulang ke Jakarta dan kembali menjalani rutinitas mereka seperti sedia kala. Yovan harus segera mengikuti kelas persiapan ujian kelulusan, sedangkan Kavin pun harus kembali berkutat dengan pelajaran sekolahnya yang selama dua minggu ini terbengkalai.Hari itu, Ryan dan Ariana memutuskan untuk mengantar kepergian Yovan dan Kavin hingga ke bandara. Beberapa menit sebelum keberangkatan, keempat sahabat itu berpamitan dengan suasana sendu. Perpisahan antara Ryan dan Yovan tergolong singkat jika dibandingkan dengan perpisahan Yovan dan Ariana. Hanya dengan pelukan singkat dan tepukan di punggung Ryan, lalu Yovan langsung beralih ke Ariana. Kavin sampai geleng-geleng kepala melihatnya. Yovan memang termasuk tipe tsundere. Cowok itu tidak begitu suka memperlihatkan kemesraan di depan umum. Akan tetapi ketika hanya berdua dengan sang kekasih, akan berbeda lagi ceritanya.Yov
Ryan memasuki ruang perawatan papanya dengan perasaan kesal. Hatinya masih menahan amarah karena perkataan Kavin di cafetaria tadi. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan sikap Kavin. Bagaimana bisa cowok itu mengatakan bahwa dirinya dapat membahagiakan Ariana di saat cowok itu masih berhubungan dengan Sisca? Ryan tahu dengan jelas apa maksud tersirat di balik perkataan Kavin tersebut. Dan Ryan tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Tidak di saat Kavin sendiri masih gamang terhadap perasaannya. Ia tidak ingin Ariana kembali terluka.Ryan menghempaskan tubuhnya di samping Ariana yang tengah sibuk dengan ponselnya. “Kenapa kamu belum makan?” tanya Ryan saat melihat kotak makanan yang ia bawa tadi masih terisi penuh tak tersentuh.Ariana mengalihkan pandangannya ke arah Ryan. “Aku menunggu Kak Ryan. Lebih enak kalau kita makan bersama.”Ryan tersenyum tipis. “Ayo kita makan,” kata Ryan. Cowok itu membantu sang adik membuka kotak
“Sebenarnya, apa yang telah terjadi antara lo dengan Ariana?” Satu kalimat yang keluar dari bibir Yovan itu cukup untuk membuat Kavin bungkam, tak tahu harus menjawab apa.Kavin merasa dilema. Ketika dirinya mengingat kejadian malam saat mereka berlibur ke Bandung, Ia tahu dengan jelas bahwa ia harus menuruti keinginan Ariana untuk tidak menceritakan kejadian malam itu kepada siapa pun. Akan tetapi, saat ini dirinya merasa tidak sanggup untuk memendam semuanya sendirian. Ia butuh meluapkan isi hatinya, tentunya ke orang yang dapat ia percaya. Dan menurut Kavin, Yovan pun tak masalah.Saat Kavin mengatakan ingin berbicara di tempat yang lebih privasi, cowok itu tidak tahu kalau Yovan akan turut mengajak Ryan. Cowok itu merasa salah langkah karena melupakan bahwa jika dianalogikan, maka Yovan dan Ryan adalah layaknya sendok dan garpu yang akan selalu berdampingan dan ikut serta ke mana pun salah satunya pergi. Kavin mengacak rambutnya dengan gusar saat meliha
Ariana, Ryan, Yovan, dan Kavin panik bukan main saat menerima kabar bahwa kedua orang tua Si Kembar mengalami kecelakaan lalu lintas dan langsung memesan penerbangan tercepat ke Singapura. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh keluarga Adhiatama itu jika acara liburan kedua orang tuanya akan berubah menjadi musibah, terlebih lagi di perayaan anniversary keduanya.Ariana dan Ryan sangat terguncang ketika mendapat kabar bahwa kedua orang tuanya mengalami kecelakaan. Terlebih lagi saat Si Kembar, Yovan, dan Kavin tiba di Singapura, mereka harus dikejutkan kembali dengan kabar bahwa nyawa sang mama tidak bisa diselamatkan.Ariana sangat terpukul. Gadis itu tak henti-hentinya menangis. Ryan yang sama terpukulnya dengan Ariana, harus berperan menjadi sosok yang lebih kuat untuk menjaga adiknya, meyakinkan Ariana bahwa semuanya akan baik-baik saja. Acara pemakaman sang Mama baru saja selesai, sedangkan Papa Si Kembar masih terbaring koma di rumah sakit.Se
"Sekarang gue tahu kenapa di lapangan tadi bisa ramai banget seperti itu. Penggemarnya Yovan pasti sudah tahu kalau Yovan mau ke sana. Tapi yang membuat gue terkejut adalah Yovan sama sekali enggak bermain futsal dan ke sana hanya untuk menjemput Ryan," jelas David.David melemparkan sekaleng minuman dingin ke arah Alaistar yang langsung dengan sigap di raih oleh cowok itu. Melihat itu, David mendesah kecewa. ‘Seharusnya minuman itu jatuh tepat di atas kepala sahabatnya,’ batin David iseng."Bukankah Adrian pernah mengatakan kalau mereka memang berteman dekat? Gue pikir enggak ada yang salah dari menjemput teman dekat seperti itu,” ujar Alaistar sambil mengendikkan bahu.David melirik Alaistar dengan sinis. "Kita berteman dekat, tetapi lo enggak pernah sekali pun menjemput gue," ucap David.Alaistar mendengus. "Ah sudah lah. Apa pentingnya sih mengurus itu sekarang?""Lalu kita harus mengurus apa sekarang?" tanya David.Ala
"Teman-teman mengajak kita bermain futsal jam 10 nanti. Ikut saja yuk," ajak David setelah membaca chat di ponselnya. Setiap akhir pekan, David rutin menginap di rumah Alaistar untuk bermain game seharian di sana. Sudah 5 ronde mereka selesaikan dan David mulai bosan. Ia butuh melakukan hal lain.Alaistar terlihat ragu. Ia merasa lelah dan ingin bergelung dalam selimut lalu tidur hingga esok hari. Namun di sisi lain, ia juga membutuhkan udara segar. Kepalanya terasa penat karena berada di ruangan tertutup terlalu lama."Ayo, daripada lo hanya berdiam di sini meratapi keychain hiu yang pemiliknya jelas-jelas sudah memblokir kontak Whatsapplo. Bukankah akan lebih baik kalau kitarefreshingterlebih dahulu? Setelah itu, kita cari cara untuk lo berkenalan dengan Ryan,” bujuk David. David sudah hafal betul apa yang akan dilakukan Alaistar saat sendirian dan cowok itu sudah muak melihat tingkah sahabatnya yan
Pagi itu, Kavin tidak muncul untuk mengantar Ariana ke sekolah seperti biasanya. Nampaknya, lelaki itu sedang berusaha menuruti permintaan Ariana. Berangkat ke sekolah tanpa Kavin memang terasa lebih sepi, tidak ada lagi yang mengganggunya dengan jokes ala bapak-bapak, menjahilinya, atau pun menertawakan kecerobohannya. Ya, ia harus mulai terbiasa tanpa kehadiran Kavin di sisinya.Ariana kehilangan semangatnya untuk berangkat ke sekolah. Derap langkahnya nampak lesu dan tidak bertenaga. Yang Ariana inginkan sekarang adalah bergelung dalam selimutnya dan kembali ke alam mimpi. Setidaknya, di sana ia dapat memperoleh semua yang ia inginkan, berbeda 180 derajat dibandingkan dengan kenyataan yang ia alami.Kaki Ariana menendang setiap batu kerikil yang ia temui di jalan dan beberapa kali hampir terjatuh karenanya. Ariana tentu tidak menyadari ada sosok Kavin yang begitu was-was memperhatikan setiap gerak-geriknya dan menahan napas setiap kali gadis itu hampir terj
Sepulangnya Ryan, Ariana, dan Yovan dari Bandung, mereka kembali bersantai menikmati hari minggu yang tersisa di rumah si kembar. Sedangkan Kavin langsung mengantarkan Sisca pulang. Ryan dan Yovan tidak berniat menanyakan lebih jauh tentang permasalahan antara adik kesayangan mereka itu dengan Kavin. Raut wajah Ariana memancarkan perasaan sedih yang ditutupi dengan ekspresi dingin dari gadis itu. Ryan tidak ingin membuat adiknya lebih sedih lagi dengan kembali membahas apa yang sudah terjadi. Akan ada waktu di mana Ariana dapat bercerita padanya, yaitu saat gadis itu sudah bisa berdamai dengan suasana hatinya kini. Cowok itu memilih untuk membelikan Ariana berbagai jenis camilan yang disukai gadis itu, berharap bisa sedikit menghibur hati Ariana. Yovan yang dari awal memang tidak mengetahui perihal perasaan Ariana pada Kavin pun tidak memiliki petunjuk sedikit pun mengenai apa yang terjadi. Ia hanya menduga bahwa Ariana dan Kavin bertengkar hebat dan Ariana m
Keesokkan harinya, Ryan, Ariana, Yovan, Kavin, dan Sisca bersiap-siap untuk kembali ke Jakarta. Ryan dan Yovan sibuk memasukkan barang bawaan mereka ke bagasi, sedangkan Ariana masih mengemas barang-barangnya di kamar. Gadis itu terlambat bangun, padahal Ryan sudah berkali-kali mengguncang tubuh sang adik, tetapi tak ada respon. Ariana tidur layaknya orang pingsan. Hampir saja Ryan memanggil ambulance kalau saja adik kesayangannya itu tak kunjung bangun. Sebelum pergi ke parkiran depan, Ryan berpesan pada Ariana untuk menelfonnya jika gadis itu sudah selesai mengemas barang-barang agar Ryan bisa membawakan ransel gadis itu ke mobil. Akan tetapi, Ariana berinisiatif untuk membawa ransel itu sendiri, berikut dengan sebuah kotak berukuran besar berisi camilannya untuk ia konsumsi selama perjalanan pulang. Gadis itu melangkahkan kakinya dengan hati-hati saat menuruni tangga. Akan tetapi, Kavin yang kebetulan baru keluar dari toilet pun buru-buru menahan tangan A