Aku merasa harus menanggung beban Karma yang diwariskan oleh ibuku...
Namaku Salamah, dan saat ini usiaku 25 tahun. Aku sudah memiliki dua orang anak laki-laki, yang pertama berusia 3 tahun dan yang kedua 4,5 tahun. Sebagai anak tunggal, tentu saja aku menerima kasih sayang yang tak terbagi dari kedua orang tuaku. Namun, ada satu hal yang sangat menyakitkan hatiku: sampai detik ini, pernikahanku dengan suamiku belum juga mendapat restu dari orangtua suamiku. "Kenapa mereka masih belum bisa menerima aku?" tanyaku dalam hati. Apakah latar belakang keluarga kami yang sama-sama berasal dari keluarga berada jadi penyebabnya? Atau, mungkin, karena aku belum bisa memberikan mereka cucu perempuan? Pikiran itu terus mengusik benakku. Padahal kedua anak lelakiku ini adalah darah daging keluarga suamiku. Dalam hati aku berpikir, "Apa yang harus aku lakukan untuk mendapatkan hati mereka? Aku sudah berusaha sekuat tenaga, tapi tetap saja tidak membuahkan hasil." Kesedihan ini menghantui pikiranku setiap hari, bagai Karma yang kini harus aku tanggung sebagai akibat dari ketidakrestuan orang tua suamiku. Aku terus bertanya-tanya, apakah suatu saat nanti mereka akan luluh dan memberikan restu mereka? Saat itulah rasa sakit di hatiku mulai muncul kembali, saat melihat mantan tunanganku yang dulu pernah ada di hidupku. Aku melihat mereka lewat di depan rumahku, dia dan istrinya tampak begitu bahagia, becanda tawa bersama, seolah tak ada rasa bersalah pada dirinya. Sesak mendalam kurasakan saat dia melirikku dengan senyum puas, seakan ingin mengatakan bahwa dia sudah melupakan apa yang terjadi di masa lalu dan kini mengejek keadaanku saat ini. Bukankah dulu orang tuaku yang tidak menyetujuinya? Ya, mereka menilai dia bukan pilihan yang baik bagiku, karena dia berasal dari keluarga yang tidak mampu dan tidak bisa memenuhi tuntutan uang hantaran yang diinginkan oleh ayah dan ibu. Ironis memang, tapi saat Mas Surya melamarku, orang tuaku begitu gembira dan menerimanya meskipun sebenarnya melamarku bukan oleh orang tuanya. "Kenapa memangnya orang tuaku begitu cepat menerima Mas Surya?" Aku tak habis pikir, namun ibuku berkata bahwa nantinya setelah anak kami lahir, orang tua Mas Surya pasti akan menyayangi kami dan sikap mereka akan berubah. Namun, kenyataannya hampir lima tahun pernikahan kami, sikap orang tua Mas Surya terhadapku tak pernah berubah. Dingin, seolah tak pernah menganggapku sebagai menantu mereka. Aku merasa hatiku selalu dihantui perasaan sesak, menyesal, dan ingin mengungkapkan perasaan ini. Tapi aku tak mampu, kuatkan diri dengan mengusir kenangan pahit tersebut dan terus melangkah. Membangun kebahagiaan bersama Mas Surya, meski tak mudah melupakan mantan tunanganku yang kini bahagia di depan mataku. Aku segera berlari masuk ke dalam rumah, bayangan mantan tunanganku yang seakan mencibir kehidupanku kini tak bisa ku hindari. Aku tahu, kehidupanku yang tidak harmonis dengan keluarga Mas Surya sudah menjadi rahasia umum. Rasa penyesalan itu memang ada, sebagai manusia biasa bagaimana tidak, apalagi melihat kehidupannya yang kini lebih bahagia dari pada diriku. "Tidak apa-apa, aku yakin semua orang akan menemukan kebahagiaannya. Mungkin belum saat ini, tapi aku anggap saja ini sebagai ujian dari Tuhan," gumamku dalam hati, berusaha menguatkan diri sendiri. Meskipun air mata yang mengalir tak mampu menutupi perasaan yang ada di dalam hati. "Mama kenapa?" si sulung menghampiri ku, dengan tatapan polosnya yang sangat lucu. "Tidak apa-apa Nak, tadi mama kelilipan debu, ayo main sana," jawabku sambil berusaha menyembunyikan air mata yang masih tertahan di pelupuk mata. Buru-buru aku menghapus air mataku. Aku tidak ingin nanti suamiku Mas Surya tahu bahwa aku sedang sedih, itu akan menimbulkan masalah baru lagi nanti. Meski jujur saja, aku merasa kecewa dengan alur hidupku. Kadang aku bertanya, apa dosa yang sudah kuperbuat hingga ujian hidupku terasa tiada henti. Rasa sakit hatiku karena melihat mantan tunanganku pun belum usai, lalu tiba-tiba handphone suamiku berdering. "Lho, kok ini handphone dia ada di sini?" Gumamku. Biasanya, handphone itu tidak pernah terpisah dari tangannya. Aku mengambil handphone itu dan berencana mengantarkannya ke suamiku. Namun, setelah mencari-cari, rupanya dia tidak ada di rumah. Rasa penasaran pun mulai menggerogoti hatiku. Beberapa kali, notifikasi pesan muncul di layar, dengan nama 'Kang Bakso' yang tertera. "Kenapa Kang Bakso mengirim pesan?" Tanyaku dalam hati. Aku tak pernah merasa curiga selama ini dan sama sekali bukan tipe istri yang suka memeriksa handphone suami. Aku memberikan kepercayaan penuh kepadanya. Namun, kali ini rasa penasaran membuatku iseng membuka pesan tersebut. "Maafkan aku, Tuhan. Maafkan aku, suamiku. Mungkin ini akan menjadi batu sandungan dalam kehidupan kita, tapi aku benar-benar tak bisa mengendalikan rasa ingin tahu ini," lirihku, merasa menyesal namun tetap penasaran. Betapa terkejutnya aku saat menemukan foto suamiku bersama perempuan yang tak asing bagiku. Dia adalah Nayla, adik kandung dari mantan tunanganku. Tidak ingin percaya, aku membaca seluruh percakapan mereka, dan benar saja, aku menemukan bukti perselingkuhan mereka. Rupanya mereka sudah menjalin hubungan selama tiga tahun yang lalu, saat anak pertamaku baru berusia dua tahun. Ini berarti suamiku sangat pintar menyembunyikan perselingkuhan ini, padahal Nayla selalu berada di depan mataku. "Sudah lama juga kita tidak bertemu, siapa yang menyangka akan begini? Apakah Mas Surya ingin aku terluka? Oh, kenapa Tuhan membiarkan ini terjadi padaku?" keluhku dalam hati. Terdengar langkah kaki bergegas masuk ke dalam rumah, dan kuakui itu langkah kaki Mas Surya. Aku buru-buru meletakkan ponselnya ke tempat semula agar dia tidak curiga. "Sudah pulang Mas?" ucapku dengan lembut, berusaha keras agar ia tidak mengetahui bahwa aku telah menemukan rahasia tersembunyi mereka. "Sakitnya hati ini tidak tahu harus bagaimana lagi. Sungguh ingin aku berteriak, menangis, melampiaskan kemarahan, dan menuntaskan rasa sakit yang menyesakkan ini." Namun, aku harus tetap kuat demi anak-anakku dan menghadapi realita hidup ini. "Iya, ini ada uang belanja, nanti cukuplah ya untuk kamu beli beras sama anak-anak," ujar suamiku tiba-tiba. "Uang dari mana, Mas?" tanyaku dengan rasa heran dan ingin tahu. Aku berusaha keras untuk menahan rasa gugup yang kian mendalam, bahkan keringat dingin pun mulai mengalir di dahiku. "Aku tadi bantu Bapak di toko, kebetulan toko lagi rame," jawabnya. Ketika aku mendengar itu, rasa penasaran mulai menyelimuti pikiranku. "Apakah dia benar-benar hanya membantu Bapak di toko, atau ada hal lain yang tersembunyi? Tidak mungkin toko tiba-tiba ramai tanpa alasan yang jelas. Apakah ini hanya alasan untuk menutupi sesuatu yang selama ini dia sembunyikan dariku?. Kuberanikan diri untuk menenangkan perasaan yang kian resah, berusaha untuk lebih percaya pada suamiku. Namun, tetap saja aku takut, bahwa sesuatu dia sembunyikan selama ini, sudah aku ketahui Namun, daripada terus mencemaskannya, lebih baik aku menenangkan diri dulu dan berpikir untuk mencari kebenarannya. aku memutuskan untuk fokus pada kebutuhan anak-anak dan menerima uang ini dahulu.Tanpa rasa berdosa, Mas Surya langsung pergi ke dapur untuk mandi dan memanggilku untuk menyiapkan makanan. "Sebentar Mas," kataku sambil berusaha menahan air mata yang hendak tumpah. Rasa sesak di dada sudah tak bisa tertahankan, seperti bara yang tak kunjung padam. Aku ingin sekali berteriak dan melawan, tapi aku tahu bahwa semua ini belum cukup. Aku harus mengumpulkan bukti lebih banyak lagi, agar Mas Surya tak bisa mengelak dari perselingkuhan yang telah dia perbuat. Aku mencoba menenangkan pikiranku, memfokuskan perhatian pada segala sesuatu di sekitarku. Namun, rasa sakit dan marah begitu besar, hingga sulit sekali untuk memikirkan apapun. Aku tak menyalahkan wanita itu, karena aku sadar betul bahwa Mas Surya-lah yang seharusnya bisa mengendalikan dirinya. Mengapa dia tidak bisa menahan diri untuk tidak bermain hati di belakangku? Apakah cinta kami sudah tidak ada lagi? "Salamah, mana piringnya?" teriak Mas Surya saat keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk.
Mataku terasa begitu berat, saat aku terjaga ternyata anak-anakku sudah tidur di sampingku. "Ya Tuhan, sakit sekali," gumamku seraya memegang pipiku yang begitu sakit. Aku berusaha untuk berdiri, ingin mendekati cermin untuk melihat keadaan wajahku. Benar saja, wajahku merah dan mataku terlihat berwarna biru akibat memar. "Kejam sekali dia, aku sedang hamil, tapi dia melakukan ini padaku," geram ku dalam hati sambil air mata kembali mengalir di pipiku. Kedua anakku yang sedang terlelap di sampingku begitu menarik perhatianku, masih mengenakan baju yang sama seperti sebelumnya. "Maafkan Mama, Nak, maafkan Mama karena sudah membuat kalian terlelap sendiri," ucapku lembut dengan suara yang hampir tak terdengar, saat mengecup kening mereka. Aku melirik jam dinding dan baru sadar sudah malam. Ternyata waktu berlalu begitu cepat semenjak aku pingsan. Namun, apa yang membuatku kaget adalah tidak menemukan keberadaan suamiku, Mas Surya. "Sungguh jahat sekali Mas Surya padaku, kenapa dia
Aku terdiam, tak sanggup berkata apa-apa. Rasanya aku salah besar datang mengadukan masalahku ke sini. Aku hanya butuh dukungan, tapi mengapa dia begitu keras hati, bahkan tak peduli dengan perasaanku? Bukankah aku sudah melahirkan cucu untuknya? "Kalau kau butuh uang untuk berobat, nanti aku akan memberikan pada Surya, aku sedang terburu-buru, toko tidak ada yang menjaga," katanya sambil berdiri. "Bu, tapi Mas Surya berselingkuh," bisikku lemah, masih berusaha untuk mendapatkan simpatinya. Aku merasa seperti pengemis yang membutuhkan dukungannya, karena di sisi lain, aku masih mencintai suamiku dan ingin mempertahankan rumah tangga ini. "Seperti yang aku katakan tadi, jika sudah tak sanggup, lebih baik kalian berpisah saja. Sejak awal pernikahan kalian, aku sudah diperingatkan oleh ibumu untuk tidak mencampuri urusan rumah tangga kalian," tegasnya. Aku merasakan hati yang hancur, bingung dan putus asa. Apa lagi yang bisa aku lakukan untuk menyelamatkan pernikahan ini? Mengapa aku
Sudah hampir dua minggu sejak kejadian itu terjadi, dan aku mulai merasakan kebahagiaan baru seolah seperti pengantin baru lagi. Apalagi Mas Surya kini kembali menunjukkan sisi manisnya, persis seperti saat pertama kali kami bertemu dulu. Lagi pula, bekas memar di wajahku juga sudah mulai pudar, sehingga aku tak perlu khawatir untuk keluar rumah lagi.Syukurlah selama dua minggu ini kedua orang tuaku tidak datang mengunjungi ku karena kesibukan mereka di kebun. Kebetulan kedua orang tuaku adalah petani sayur-sayuran dan hampir semua kebutuhan sayuran di desa ini dihasilkan dari kebun milik orang tuaku. Meskipun mereka tidak terjun langsung ke ladang, mereka memiliki beberapa orang anak buah yang membantu mengelola kebunnya. Permintaan sayuran yang sedang meningkat membuat kedua orang tuaku sangat sibuk hingga mereka tidak sempat mengunjungi ku dalam dua minggu terakhir. Aku merenung, "Mungkin ini cara Tuhan untuk melindungi ku agar orang tuaku tidak mengetahui apa yang terjadi dal
Salamah merasa emosinya sulit dikendalikan. Dia merasa jengah dengan tatapan sejumlah orang di sekitar mereka, namun tidak peduli. "Kenapa dia berani macam-macam denganku?" batin Salamah dengan penuh amarah. Sementara itu, kedua putra Salamah asyik bermain pasir di samping mereka, sama sekali tidak menyadari perasaan sang ibu. "Kau ini perempuan iblis, kau tega menjadi selir suamiku! Kau lihat aku ini sedang hamil anak ketiga!" Salamah berbicara pada Nayla dengan suara berbisik namun penuh penekanan. Nayla, bagaimanapun, tetap membantah, seolah menantang kemarahan Salamah. "Mbak, jangan suka menuduh tanpa bukti. Mbak bisa aku laporkan ke kantor polisi, karena sudah memfitnahku. Mbak tau kan negara ini punya aturan, jadi jangan macam-macam denganku," ancam Nayla. "Kau mau melaporkan aku? Silahkan saja, aku tidak takut! Biar saja sekalian orang-orang tahu bagaimana kelakuanmu," balas Salamah. Nayla tertawa mengejek, membuat Salamah semakin kesal. Aku harus menegakkan keadilan untu
"Apa yang terjadi, Mas?" Aku langsung menghampiri suamiku yang terlihat marah. Tidak tahu apa yang membuatnya marah seperti ini, membuat hatiku resah dan cemasPlak! Satu tamparan keras mendarat di pipiku, membuatku terkejut dan kesakitan. Bekas luka di pipi pun baru saja pudar, namun kini telah digantikan oleh tamparan yang baru. "Aww, sakit sekali. Apa salahku, Mas?" Keluhku ketika sudut bibirku mulai mengeluarkan darah. Dia memukulku tanpa belas kasihan. "Kau bertanya apa salahmu!" tatapan matanya menusuk, seakan ingin menerkam. Aku merasa seperti tak berdaya, hati ini semakin dilanda ketakutan dan bingung. "Apa yang kau lakukan pada Nayla?, kenapa kau menamparnya hah?" tanyanya penuh amarah. Aku merenung sejenak, mencoba merangkai kejadian yang sebenarnya terjadi. "Untuk apa kau menemuinya!," lanjutnya sambil berteriak. Dalam hatiku, aku bertanya-tanya mengapa dia marah besar seperti ini. Apakah ini hanya karena Nayla? Apakah aku telah melampaui batas dengan menampar peremp
Aku mengusap air mataku, lalu tersenyum seindah mungkin agar kedua putraku berhenti menangis. "Ayo kita masuk dulu sebentar sayang, nanti setelah ini kita akan ke rumah nenek, ya?" kataku menenangkan. "Mama, Papa jahat sama Mama, Nabil nggak suka, Ma," ucap Nabil dengan matanya yang berkaca-kaca. Hatiku semakin teriris mendengarnya. "Tunggu sebentar ya, Mama ganti baju dulu," ucapku pelan. Di depan cermin, aku menatap diriku sendiri. Nayla pernah mengatakan bahwa aku adalah perempuan yang selalu memakai daster, dan memang benar, karena sejak menjadi ibu, aku harus mengurus anak-anak dan suamiku dengan tanganku sendiri. Bahkan, sesekali aku juga membantu ibu di kebun, meski mereka tak pernah memintaku, tapi rasa bersalah selalu menyelimuti hatiku. Orangtuaku terus menerus membantu membeli susu untuk anak-anakku. "Mama, kita mau kemana? Kenapa Yahya dan Nabil nggak ikut Mama aja?" tanya Nabil lirih, mengejutkanku dari lamunanku. Semoga ke depannya aku bisa menjadi lebih kuat untuk
Wajah Mas Surya mulai berubah, sepertinya ia merasa tidak nyaman dengan pertanyaan ibuku. Hal itu membuatku semakin cemas, karena aku tahu, akibatnya nanti akan kembali menimpa diriku. Aku merasa takut, apa jadinya jika Mas Surya melampiaskan kekesalannya padaku? "Lalu kenapa wajahmu itu memar Salamah?" tanya ibuku, saat ia mendekat dan melihat bekas memar yang masih terlihat di wajahku, meski hanya sedikit. Bahkan, tampak pula bekas pukulan baru di dekat bibirku. "Tidak apa-apa Bu, tadi aku jatuh di kamar mandi," jawabku, berusaha mengalihkan perhatian ibuku. Aku lalu memanggil Nabil dan Yahya yang masih bermain di kejauhan. "Ayo Nabil, Yahya, kita pulang. Lihat, Papa juga sudah di sini." Namun, Nabil menjawab dengan tegas, "Tidak mau pulang, nanti Papa jahat lagi sama Mama. Papa jahat, Nek. Nabil nggak mau pulang, mau tinggal di sini saja." Perasaan campur aduk merasuki hatiku. Apakah aku seorang istri yang buruk, sehingga membuat Mas Surya melampiaskan kemarahannya padaku? A