Share

Aku menanggung karma Ibuku
Aku menanggung karma Ibuku
Penulis: Sandi Hasan

Bukti Foto

Penulis: Sandi Hasan
last update Terakhir Diperbarui: 2023-12-05 15:59:46

Aku merasa harus menanggung beban Karma yang diwariskan oleh ibuku... 

Namaku Salamah, dan saat ini usiaku 25 tahun. Aku sudah memiliki dua orang anak laki-laki, yang pertama berusia 3 tahun dan yang kedua 4,5 tahun.

 Sebagai anak tunggal, tentu saja aku menerima kasih sayang yang tak terbagi dari kedua orang tuaku. Namun, ada satu hal yang sangat menyakitkan hatiku: sampai detik ini, pernikahanku dengan suamiku belum juga mendapat restu dari orangtua suamiku.

 "Kenapa mereka masih belum bisa menerima aku?" tanyaku dalam hati. Apakah latar belakang keluarga kami yang sama-sama berasal dari keluarga berada jadi penyebabnya? Atau, mungkin, karena aku belum bisa memberikan mereka cucu perempuan? Pikiran itu terus mengusik benakku. Padahal kedua anak lelakiku ini adalah darah daging keluarga suamiku.

 Dalam hati aku berpikir, "Apa yang harus aku lakukan untuk mendapatkan hati mereka? Aku sudah berusaha sekuat tenaga, tapi tetap saja tidak membuahkan hasil." Kesedihan ini menghantui pikiranku setiap hari, bagai Karma yang kini harus aku tanggung sebagai akibat dari ketidakrestuan orang tua suamiku. Aku terus bertanya-tanya, apakah suatu saat nanti mereka akan luluh dan memberikan restu mereka?

Saat itulah rasa sakit di hatiku mulai muncul kembali, saat melihat mantan tunanganku yang dulu pernah ada di hidupku.

 Aku melihat mereka lewat di depan rumahku, dia dan istrinya tampak begitu bahagia, becanda tawa bersama, seolah tak ada rasa bersalah pada dirinya. 

Sesak mendalam kurasakan saat dia melirikku dengan senyum puas, seakan ingin mengatakan bahwa dia sudah melupakan apa yang terjadi di masa lalu dan kini mengejek keadaanku saat ini.

 Bukankah dulu orang tuaku yang tidak menyetujuinya? Ya, mereka menilai dia bukan pilihan yang baik bagiku, karena dia berasal dari keluarga yang tidak mampu dan tidak bisa memenuhi tuntutan uang hantaran yang diinginkan oleh ayah dan ibu. Ironis memang, tapi saat Mas Surya melamarku, orang tuaku begitu gembira dan menerimanya meskipun sebenarnya melamarku bukan oleh orang tuanya.

 "Kenapa memangnya orang tuaku begitu cepat menerima Mas Surya?" Aku tak habis pikir, namun ibuku berkata bahwa nantinya setelah anak kami lahir, orang tua Mas Surya pasti akan menyayangi kami dan sikap mereka akan berubah. Namun, kenyataannya hampir lima tahun pernikahan kami, sikap orang tua Mas Surya terhadapku tak pernah berubah. Dingin, seolah tak pernah menganggapku sebagai menantu mereka. Aku merasa hatiku selalu dihantui perasaan sesak, menyesal, dan ingin mengungkapkan perasaan ini. 

Tapi aku tak mampu, kuatkan diri dengan mengusir kenangan pahit tersebut dan terus melangkah. Membangun kebahagiaan bersama Mas Surya, meski tak mudah melupakan mantan tunanganku yang kini bahagia di depan mataku.

Aku segera berlari masuk ke dalam rumah, bayangan mantan tunanganku yang seakan mencibir kehidupanku kini tak bisa ku hindari. Aku tahu, kehidupanku yang tidak harmonis dengan keluarga Mas Surya sudah menjadi rahasia umum.

 Rasa penyesalan itu memang ada, sebagai manusia biasa bagaimana tidak, apalagi melihat kehidupannya yang kini lebih bahagia dari pada diriku.

 "Tidak apa-apa, aku yakin semua orang akan menemukan kebahagiaannya. Mungkin belum saat ini, tapi aku anggap saja ini sebagai ujian dari Tuhan," gumamku dalam hati, berusaha menguatkan diri sendiri.

 Meskipun air mata yang mengalir tak mampu menutupi perasaan yang ada di dalam hati.

 "Mama kenapa?" si sulung menghampiri ku, dengan tatapan polosnya yang sangat lucu.

 "Tidak apa-apa Nak, tadi mama kelilipan debu, ayo main sana," jawabku sambil berusaha menyembunyikan air mata yang masih tertahan di pelupuk mata. Buru-buru aku menghapus air mataku. Aku tidak ingin nanti suamiku Mas Surya tahu bahwa aku sedang sedih, itu akan menimbulkan masalah baru lagi nanti.

Meski jujur saja, aku merasa kecewa dengan alur hidupku. Kadang aku bertanya, apa dosa yang sudah kuperbuat hingga ujian hidupku terasa tiada henti.

Rasa sakit hatiku karena melihat mantan tunanganku pun belum usai, lalu tiba-tiba handphone suamiku berdering. 

"Lho, kok ini handphone dia ada di sini?" Gumamku. Biasanya, handphone itu tidak pernah terpisah dari tangannya. Aku mengambil handphone itu dan berencana mengantarkannya ke suamiku. 

Namun, setelah mencari-cari, rupanya dia tidak ada di rumah. Rasa penasaran pun mulai menggerogoti hatiku. 

Beberapa kali, notifikasi pesan muncul di layar, dengan nama 'Kang Bakso' yang tertera.

 "Kenapa Kang Bakso mengirim pesan?" Tanyaku dalam hati. Aku tak pernah merasa curiga selama ini dan sama sekali bukan tipe istri yang suka memeriksa handphone suami. Aku memberikan kepercayaan penuh kepadanya. 

Namun, kali ini rasa penasaran membuatku iseng membuka pesan tersebut. "Maafkan aku, Tuhan. Maafkan aku, suamiku. Mungkin ini akan menjadi batu sandungan dalam kehidupan kita, tapi aku benar-benar tak bisa mengendalikan rasa ingin tahu ini," lirihku, merasa menyesal namun tetap penasaran.

Betapa terkejutnya aku saat menemukan foto suamiku bersama perempuan yang tak asing bagiku. Dia adalah Nayla, adik kandung dari mantan tunanganku. Tidak ingin percaya, aku membaca seluruh percakapan mereka, dan benar saja, aku menemukan bukti perselingkuhan mereka. 

Rupanya mereka sudah menjalin hubungan selama tiga tahun yang lalu, saat anak pertamaku baru berusia dua tahun. Ini berarti suamiku sangat pintar menyembunyikan perselingkuhan ini, padahal Nayla selalu berada di depan mataku.

 "Sudah lama juga kita tidak bertemu, siapa yang menyangka akan begini? Apakah Mas Surya ingin aku terluka? Oh, kenapa Tuhan membiarkan ini terjadi padaku?" keluhku dalam hati. 

 Terdengar langkah kaki bergegas masuk ke dalam rumah, dan kuakui itu langkah kaki Mas Surya. Aku buru-buru meletakkan ponselnya ke tempat semula agar dia tidak curiga.

 "Sudah pulang Mas?" ucapku dengan lembut, berusaha keras agar ia tidak mengetahui bahwa aku telah menemukan rahasia tersembunyi mereka. "Sakitnya hati ini tidak tahu harus bagaimana lagi. Sungguh ingin aku berteriak, menangis, melampiaskan kemarahan, dan menuntaskan rasa sakit yang menyesakkan ini." Namun, aku harus tetap kuat demi anak-anakku dan menghadapi realita hidup ini.

"Iya, ini ada uang  belanja, nanti cukuplah ya untuk kamu beli beras sama anak-anak," ujar suamiku tiba-tiba.

 "Uang dari mana, Mas?" tanyaku dengan rasa heran dan ingin tahu. Aku berusaha keras untuk menahan rasa gugup yang kian mendalam, bahkan keringat dingin pun mulai mengalir di dahiku. 

 "Aku tadi bantu Bapak di toko, kebetulan toko lagi rame," jawabnya. Ketika aku mendengar itu, rasa penasaran mulai menyelimuti pikiranku. 

"Apakah dia benar-benar hanya membantu Bapak di toko, atau ada hal lain yang tersembunyi? Tidak mungkin toko tiba-tiba ramai tanpa alasan yang jelas. Apakah ini hanya alasan untuk menutupi sesuatu yang selama ini dia sembunyikan dariku?.

Kuberanikan diri untuk menenangkan perasaan yang kian resah, berusaha untuk lebih percaya pada suamiku. 

Namun, tetap saja aku takut,  bahwa  sesuatu dia sembunyikan selama ini, sudah aku ketahui 

Namun, daripada terus mencemaskannya, lebih baik aku menenangkan diri dulu dan berpikir untuk mencari  kebenarannya.

 aku memutuskan

untuk fokus pada kebutuhan anak-anak dan menerima uang ini dahulu.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Arini Pramita
anak pertama 3thn anak kedua 4,5thn. ini kbalik atau gmna??
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Aku menanggung karma Ibuku    KDRT

    Tanpa rasa berdosa, Mas Surya langsung pergi ke dapur untuk mandi dan memanggilku untuk menyiapkan makanan. "Sebentar Mas," kataku sambil berusaha menahan air mata yang hendak tumpah. Rasa sesak di dada sudah tak bisa tertahankan, seperti bara yang tak kunjung padam. Aku ingin sekali berteriak dan melawan, tapi aku tahu bahwa semua ini belum cukup. Aku harus mengumpulkan bukti lebih banyak lagi, agar Mas Surya tak bisa mengelak dari perselingkuhan yang telah dia perbuat. Aku mencoba menenangkan pikiranku, memfokuskan perhatian pada segala sesuatu di sekitarku. Namun, rasa sakit dan marah begitu besar, hingga sulit sekali untuk memikirkan apapun. Aku tak menyalahkan wanita itu, karena aku sadar betul bahwa Mas Surya-lah yang seharusnya bisa mengendalikan dirinya. Mengapa dia tidak bisa menahan diri untuk tidak bermain hati di belakangku? Apakah cinta kami sudah tidak ada lagi? "Salamah, mana piringnya?" teriak Mas Surya saat keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk.

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-05
  • Aku menanggung karma Ibuku    Tidak ada harapan

    Mataku terasa begitu berat, saat aku terjaga ternyata anak-anakku sudah tidur di sampingku. "Ya Tuhan, sakit sekali," gumamku seraya memegang pipiku yang begitu sakit. Aku berusaha untuk berdiri, ingin mendekati cermin untuk melihat keadaan wajahku. Benar saja, wajahku merah dan mataku terlihat berwarna biru akibat memar. "Kejam sekali dia, aku sedang hamil, tapi dia melakukan ini padaku," geram ku dalam hati sambil air mata kembali mengalir di pipiku. Kedua anakku yang sedang terlelap di sampingku begitu menarik perhatianku, masih mengenakan baju yang sama seperti sebelumnya. "Maafkan Mama, Nak, maafkan Mama karena sudah membuat kalian terlelap sendiri," ucapku lembut dengan suara yang hampir tak terdengar, saat mengecup kening mereka. Aku melirik jam dinding dan baru sadar sudah malam. Ternyata waktu berlalu begitu cepat semenjak aku pingsan. Namun, apa yang membuatku kaget adalah tidak menemukan keberadaan suamiku, Mas Surya. "Sungguh jahat sekali Mas Surya padaku, kenapa dia

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-05
  • Aku menanggung karma Ibuku    Meleleh

    Aku terdiam, tak sanggup berkata apa-apa. Rasanya aku salah besar datang mengadukan masalahku ke sini. Aku hanya butuh dukungan, tapi mengapa dia begitu keras hati, bahkan tak peduli dengan perasaanku? Bukankah aku sudah melahirkan cucu untuknya? "Kalau kau butuh uang untuk berobat, nanti aku akan memberikan pada Surya, aku sedang terburu-buru, toko tidak ada yang menjaga," katanya sambil berdiri. "Bu, tapi Mas Surya berselingkuh," bisikku lemah, masih berusaha untuk mendapatkan simpatinya. Aku merasa seperti pengemis yang membutuhkan dukungannya, karena di sisi lain, aku masih mencintai suamiku dan ingin mempertahankan rumah tangga ini. "Seperti yang aku katakan tadi, jika sudah tak sanggup, lebih baik kalian berpisah saja. Sejak awal pernikahan kalian, aku sudah diperingatkan oleh ibumu untuk tidak mencampuri urusan rumah tangga kalian," tegasnya. Aku merasakan hati yang hancur, bingung dan putus asa. Apa lagi yang bisa aku lakukan untuk menyelamatkan pernikahan ini? Mengapa aku

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-05
  • Aku menanggung karma Ibuku    Tak bisa di kendalikan

    Sudah hampir dua minggu sejak kejadian itu terjadi, dan aku mulai merasakan kebahagiaan baru seolah seperti pengantin baru lagi. Apalagi Mas Surya kini kembali menunjukkan sisi manisnya, persis seperti saat pertama kali kami bertemu dulu. Lagi pula, bekas memar di wajahku juga sudah mulai pudar, sehingga aku tak perlu khawatir untuk keluar rumah lagi.Syukurlah selama dua minggu ini kedua orang tuaku tidak datang mengunjungi ku karena kesibukan mereka di kebun. Kebetulan kedua orang tuaku adalah petani sayur-sayuran dan hampir semua kebutuhan sayuran di desa ini dihasilkan dari kebun milik orang tuaku. Meskipun mereka tidak terjun langsung ke ladang, mereka memiliki beberapa orang anak buah yang membantu mengelola kebunnya. Permintaan sayuran yang sedang meningkat membuat kedua orang tuaku sangat sibuk hingga mereka tidak sempat mengunjungi ku dalam dua minggu terakhir. Aku merenung, "Mungkin ini cara Tuhan untuk melindungi ku agar orang tuaku tidak mengetahui apa yang terjadi dal

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-05
  • Aku menanggung karma Ibuku    Hinaan yang menyakitkan

    Salamah merasa emosinya sulit dikendalikan. Dia merasa jengah dengan tatapan sejumlah orang di sekitar mereka, namun tidak peduli. "Kenapa dia berani macam-macam denganku?" batin Salamah dengan penuh amarah. Sementara itu, kedua putra Salamah asyik bermain pasir di samping mereka, sama sekali tidak menyadari perasaan sang ibu. "Kau ini perempuan iblis, kau tega menjadi selir suamiku! Kau lihat aku ini sedang hamil anak ketiga!" Salamah berbicara pada Nayla dengan suara berbisik namun penuh penekanan. Nayla, bagaimanapun, tetap membantah, seolah menantang kemarahan Salamah. "Mbak, jangan suka menuduh tanpa bukti. Mbak bisa aku laporkan ke kantor polisi, karena sudah memfitnahku. Mbak tau kan negara ini punya aturan, jadi jangan macam-macam denganku," ancam Nayla. "Kau mau melaporkan aku? Silahkan saja, aku tidak takut! Biar saja sekalian orang-orang tahu bagaimana kelakuanmu," balas Salamah. Nayla tertawa mengejek, membuat Salamah semakin kesal. Aku harus menegakkan keadilan untu

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-05
  • Aku menanggung karma Ibuku    Membabi buta

    "Apa yang terjadi, Mas?" Aku langsung menghampiri suamiku yang terlihat marah. Tidak tahu apa yang membuatnya marah seperti ini, membuat hatiku resah dan cemasPlak! Satu tamparan keras mendarat di pipiku, membuatku terkejut dan kesakitan. Bekas luka di pipi pun baru saja pudar, namun kini telah digantikan oleh tamparan yang baru. "Aww, sakit sekali. Apa salahku, Mas?" Keluhku ketika sudut bibirku mulai mengeluarkan darah. Dia memukulku tanpa belas kasihan. "Kau bertanya apa salahmu!" tatapan matanya menusuk, seakan ingin menerkam. Aku merasa seperti tak berdaya, hati ini semakin dilanda ketakutan dan bingung. "Apa yang kau lakukan pada Nayla?, kenapa kau menamparnya hah?" tanyanya penuh amarah. Aku merenung sejenak, mencoba merangkai kejadian yang sebenarnya terjadi. "Untuk apa kau menemuinya!," lanjutnya sambil berteriak. Dalam hatiku, aku bertanya-tanya mengapa dia marah besar seperti ini. Apakah ini hanya karena Nayla? Apakah aku telah melampaui batas dengan menampar peremp

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-05
  • Aku menanggung karma Ibuku    Meredam Ego

    Aku mengusap air mataku, lalu tersenyum seindah mungkin agar kedua putraku berhenti menangis. "Ayo kita masuk dulu sebentar sayang, nanti setelah ini kita akan ke rumah nenek, ya?" kataku menenangkan. "Mama, Papa jahat sama Mama, Nabil nggak suka, Ma," ucap Nabil dengan matanya yang berkaca-kaca. Hatiku semakin teriris mendengarnya. "Tunggu sebentar ya, Mama ganti baju dulu," ucapku pelan. Di depan cermin, aku menatap diriku sendiri. Nayla pernah mengatakan bahwa aku adalah perempuan yang selalu memakai daster, dan memang benar, karena sejak menjadi ibu, aku harus mengurus anak-anak dan suamiku dengan tanganku sendiri. Bahkan, sesekali aku juga membantu ibu di kebun, meski mereka tak pernah memintaku, tapi rasa bersalah selalu menyelimuti hatiku. Orangtuaku terus menerus membantu membeli susu untuk anak-anakku. "Mama, kita mau kemana? Kenapa Yahya dan Nabil nggak ikut Mama aja?" tanya Nabil lirih, mengejutkanku dari lamunanku. Semoga ke depannya aku bisa menjadi lebih kuat untuk

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-05
  • Aku menanggung karma Ibuku    Bertengkar hebat

    Wajah Mas Surya mulai berubah, sepertinya ia merasa tidak nyaman dengan pertanyaan ibuku. Hal itu membuatku semakin cemas, karena aku tahu, akibatnya nanti akan kembali menimpa diriku. Aku merasa takut, apa jadinya jika Mas Surya melampiaskan kekesalannya padaku? "Lalu kenapa wajahmu itu memar Salamah?" tanya ibuku, saat ia mendekat dan melihat bekas memar yang masih terlihat di wajahku, meski hanya sedikit. Bahkan, tampak pula bekas pukulan baru di dekat bibirku. "Tidak apa-apa Bu, tadi aku jatuh di kamar mandi," jawabku, berusaha mengalihkan perhatian ibuku. Aku lalu memanggil Nabil dan Yahya yang masih bermain di kejauhan. "Ayo Nabil, Yahya, kita pulang. Lihat, Papa juga sudah di sini." Namun, Nabil menjawab dengan tegas, "Tidak mau pulang, nanti Papa jahat lagi sama Mama. Papa jahat, Nek. Nabil nggak mau pulang, mau tinggal di sini saja." Perasaan campur aduk merasuki hatiku. Apakah aku seorang istri yang buruk, sehingga membuat Mas Surya melampiaskan kemarahannya padaku? A

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-21

Bab terbaru

  • Aku menanggung karma Ibuku    Tidak mau di salahkan

    Salamah tersenyum puas atas kejadian malam ini, sebenarnya dia sendiri tak menyangka bisa melakukan hal sekejam ini. "Mungkin ini adalah warisan sisi jahat ibuku yang menular padaku, tapi entah mengapa, ada perasaan bahagia yang kini menyelimutiku," gumam Salamah dalam hati. "Ini belum seberapa, Nayla. Kau harus merasakan betapa dalamnya luka yang kurasakan sekarang!" Salamah terlihat semakin terobsesi oleh rasa dendam yang sudah merasuki hatinya. "Bahkan, aku sudah melangkah sejauh ini, untuk bisa membalas rasa sakit yang sudah menyeruak di dada," gumamnya lagi, sembari merenung apa yang telah ia perbuat. "Walaupun aku tahu Mas Surya juga berbuat salah, tapi seharusnya Nayla juga bisa menolak ajakannya, jika dia perempuan baik-baik. Karena hidup ini penuh dengan pilihan!". Dengan pikiran yang kian terkoyak antara kebahagiaan dan penyesalan, Salamah mencoba meyakinkan diri bahwa apa yang telah ia lakukan adalah langkah yang tepat demi melampiaskan dendam yang telah lama ia penda

  • Aku menanggung karma Ibuku    Rasa sakit yang sama

    Salamah tersenyum sinis, saat mendengar kabar dari salah satu temannya bahwa Nayla baru saja pulang dari rumah sakit.Dalam hati, dia bertanya-tanya, "Apa kau merasa kesakitan, Nayla? Apakah itu sebanding dengan sakit yang pernah aku rasakan?" Salamah melemparkan handphonenya ke atas kasur, lalu teringat betapa ia kehilangan anak yang selama ini dinanti.Memegang perutnya, air mata berlinang deras, perasaan luka mendalam itu tak mampu ia ungkapkan."Tidak mungkin aku bisa merasakannya lagi," gumamnya perlahan."Kau masih beruntung, Nayla, karena kehamilanmu baik-baik saja. Tapi, di lubuk hati, aku berharap anak itu tak bisa lahir ke dunia ini."Salamah terlihat begitu penuh kebencian karena sebagai seorang ibu, kehilangan anak terlebih anak perempuan yang selama ini diharapkan membuatnya merasa hancur dan tersiksa."Aku tak sabar melihat dia semakin menderita!" lirih Salamah, kemudian memukul tembok dengan kedua tangannya. Emosi ini mungkin wajar, mengingat bagaimana perasaan terluka

  • Aku menanggung karma Ibuku    Hampir keguguran

    Nayla menangis tersedu-sedu sambil pulang ke rumah, merasa marah dan sedih. Dalam hati, ia meratapi nasib buruk yang menimpanya. "Mas Surya, mengapa kau tega? Aku di sini dengan perut yang membesar, namun kau malah sibuk bersama perempuan itu," keluhnya dengan air mata yang masih menetes di pipinya. Tiba di rumah, Nayla langsung masuk ke kamarnya dan menangis sesegukan. "Dia bahkan hampir seminggu tak pulang ke rumah. Apa lagi yang kuinginkan darinya? Apakah aku masih kurang?", keluhnya lirih. Tanpa disadarinya, tangisannya terdengar oleh ibunya yang baru saja pulang dari acara yasinan. Ibu Nayla sudah terbiasa dengan cibiran orang-orang terhadap dirinya dan keluarganya, namun tak bisa berbuat apa-apa karena kesalahan memang ada pada anaknya. "Kenapa kamu menangis Nak?" tanya ibunya dengan kekhawatiran. Namun Nayla, yang terlarut dalam kesedihannya, hanya diam, seolah-olah tidak mendengar pertanyaan ibunya. "Nay, kamu baik-baik saja Nak?" tanya ibunya kembali dengan nada lembut

  • Aku menanggung karma Ibuku    Harus Sama

    Aku tertawa puas sekali, sampai kembali ke kantor. "Ini baru awal, kenapa aku jadi menikmati permainan ini?" Gumamku dalam hati.Ketika sampai di ruang kantor, ternyata teman-teman satu ruangan sudah mengetahui apa yang terjadi tadi. Aku menyadari bahwa kabar ini telah menyebar lebih cepat daripada yang kubayangkan."Aku rasa Intel yang melaporkan pada kalian patut diberikan apresiasi, karena sudah melaporkan kejadian siang ini," kataku dengan nada ironis.Salah satu temanku segera menyahut, "Tentu saja Sal, apalagi jika Intel itu adalah Pak Andi, kau tahu kan, wajahnya begitu terlihat kecewa saat menceritakan apa yang dia lihat tadi.""Masa?" gumamku lagi."Iya, Sal, kamu sih, pakai acara bertemu dengan mantan kamu itu. Kalau aku jadi kamu, jangankan untuk bertemu, melihatnya saja tidak sudi!" timpal temanku.Aku langsung menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan perasaan yang sedang kacau. "Andai saja kalian yang berada di posisi ku, aku yakin kalian tidak akan semudah itu untu

  • Aku menanggung karma Ibuku    Bagaimana rasanya

    Mas Surya tampak sangat bahagia saat berbicara denganku. "Kamu makin cantik," ucapnya dengan wajah yang menunduk. Aku tersenyum, berusaha untuk tidak terbawa dalam rayuannya. Walaupun sebenarnya di dalam hati, aku merasakan degupan yang lebih kencang. "Mana Nayla? Aku sedang menunggu kehadirannya," pikirku dalam hati. "Terima kasih, Mas, untuk pujian tersebut, tapi aku rasa Mas lebih pantas memberikan pujian itu pada Nayla, bukan padaku," kataku sambil tersenyum. Namun, Mas Surya malah menjawab, "Tidak, jangan bahas dia lagi, Salamah. Jujur saja, aku menyesal sudah menikahi dia. Ternyata dia bukan perempuan yang sabar seperti kamu." Apa yang sedang terjadi? Kenapa dia berbicara seperti ini? Entah mengapa, di tengah perasaan terkejut, aku merasa ada tugas yang harus kuselesaikan untuk Nayla. Tanpa Mas Surya sadari, aku sengaja merekam pembicaraan ini, untuk dikirimkan pada Nayla nanti. Aku berharap semoga ini bisa membantu Nayla untuk mengetahui, siapa Surya yang menjadi suaminya

  • Aku menanggung karma Ibuku    Perasaan itu masih ada

    Hari ini, aku berdandan dengan sempurna, lengkap dengan wewangian yang memenuhi ruangan kamar.Aku ingin tampil percaya diri, tetapi tidak menyangka akan ada yang memuji penampilanku seperti ini lebih awal"Wah, Mama cantik sekali!" seru Nabil dan Yahya sambil langsung memelukku.Aku kaget saat mendengar suara kecil tersebut, masuk kedalam kamar pagi-pagi "Iya dong, Mama siapa dulu?" sahutku sambil mencubit hidung mungil mereka, yang mirip banget dengan Mas Surya.Aku terkejut mendengar perkataan Nabil berikutnya. "Mama, jangan cantik-cantik nanti banyak yang naksir."Sejenak aku bertanya-tanya, "Siapa yang mengajari anakku bicara begini?" lalu kuberkacak pinggang, berpura-pura marah."Hei, siapa yang ngajarin Nabil berbicara seperti ini?""Papa dong, kabur!" seru mereka sambil berlari keluar dari kamarku.Mendengar jawaban itu, aku mulai berpikir. "Jadi, Mas Surya ternyata mengajari anak-anak ini agar menjadi mata-mata baginya? Pantas saja, dia selalu mengetahui setiap gerak-gerikku.

  • Aku menanggung karma Ibuku    Balas dendam

    "Aku berangkat dulu, Bu," ucapku singkat. "Nayla, bagaimana dengan perceraianmu? Apa sudah ada keputusan?" tanya ibu dengan raut wajah penuh kekhawatiran. "Semakin lama saja, Bu. Aku juga bingung kenapa dipersulit," jawabku mencoba menyembunyikan kebenaran. Sebenarnya, aku tak ingin mengatakan pada ibu jika Mas Surya sebenarnya mengancam tidak mau menceraikan aku secara resmi. Keputusasaan ini benar-benar membelenggu hatiku. "Apakah aku benar-benar harus terjebak dalam pernikahan ini?" batin ku. Beberapa hari yang lalu, aku sempat menghadiri acara reuni sekolah dan bertemu dengan salah satu sahabat lama. Kebetulan, dia juga baru saja bercerai dengan istrinya. Seiring obrolan kami yang semakin mengalir, aku merasa sedikit terhibur. Kami saling bercerita, tak hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang kisah perceraian kami. Aku merasa ada seseorang yang akhirnya mengerti perasaanku. "Setelah menikah, kami sama-sama tidak pernah berkomunikasi lagi demi menjaga perasaan pasangan

  • Aku menanggung karma Ibuku    gagal lagi

    Salamah merasa semakin sibuk beberapa hari ini, terlebih karena pendaftaran CPNS akan segera dibuka. Dia tidak sabar untuk mengikuti tes tersebut, berharap suatu hari nanti dia bisa memiliki penghasilan sendiri dan merasa mandiri sebagai perempuan."Mudah-mudahan aku bisa lolos, ya Bu. Kebutuhannya banyak, dan aku ingin membantu meringankan beban keluarga," gumamnya penuh harap.Selama satu bulan, Salamah berusaha keras untuk belajar siang dan malam, membekali dirinya dengan ilmu yang diperlukan untuk menghadapi tes CPNS. Namun, seolah keberuntungan belum berpihak padanya, setelah menunggu hasil pengumuman selama satu bulan, dia harus menerima kenyataan bahwa dirinya dinyatakan gugur.Sementara itu, di kantor tempatnya bekerja, ada kabar tentang pengurangan tenaga honorer. Tentu saja, ini membuat Salamah merasa semakin khawatir. Sedangkan persidangan cerainya yang sedang berlangsung terus ditunda, dengan berbagai alasan yang tidak dapat diterima logika Salamah."Ah, mungkin memang bel

  • Aku menanggung karma Ibuku    Muka tembok

    "Mau makan apa, Mas? Biar aku siapkan," ucap Nayla sambil beranjak dari samping Surya. Namun, ada suara yang tidak asing terdengar oleh Surya. "Bukannya itu suara Salamah? Tapi nggak mungkin dia ada di sini," batin Surya penasaran, lalu mengikuti Nayla. "Mas, aku masih lemas. Mungkin anak kita nanti perempuan, ya?" ungkap Nayla mencoba mengalihkan perhatiannya. Surya menjawab santai, "Oh ya? Baguslah kalau begitu." Nayla kecewa, mengharapkan Surya lebih antusias dan memberi dukungan. "Mas, aku berencana nanti mengantarkan makanan ke rumah Ibu. Apa kamu mau menemani aku?" "Aku capek, rasanya pengin tidur aja seharian ini. Kamu tahu kan, semalam aku begadang," jawab Surya acuh. Nayla merasa jengkel namun berusaha tenang. "Tapi, Mas, uang kita sudah tidak ada, sedangkan aku belum diterima kerja," ujarnya hati-hati. Surya malah berkelit, "Nanti saja, deh. Aku minta sama Ibu. Kamu catat dulu aja apa yang kamu butuhkan." Nayla mendengar itu, hatinya langsung teriris. Rasanya ingin m

DMCA.com Protection Status