Share

Hinaan yang menyakitkan

Penulis: Sandi Hasan
last update Terakhir Diperbarui: 2023-12-05 16:05:55

Salamah merasa emosinya sulit dikendalikan. Dia merasa jengah dengan tatapan sejumlah orang di sekitar mereka, namun tidak peduli.

"Kenapa dia berani macam-macam denganku?" batin Salamah dengan penuh amarah. Sementara itu, kedua putra Salamah asyik bermain pasir di samping mereka, sama sekali tidak menyadari perasaan sang ibu.

"Kau ini perempuan iblis, kau tega menjadi selir suamiku! Kau lihat aku ini sedang hamil anak ketiga!" Salamah berbicara pada Nayla dengan suara berbisik namun penuh penekanan.

Nayla, bagaimanapun, tetap membantah, seolah menantang kemarahan Salamah. "Mbak, jangan suka menuduh tanpa bukti. Mbak bisa aku laporkan ke kantor polisi, karena sudah memfitnahku. Mbak tau kan negara ini punya aturan, jadi jangan macam-macam denganku," ancam Nayla.

"Kau mau melaporkan aku? Silahkan saja, aku tidak takut! Biar saja sekalian orang-orang tahu bagaimana kelakuanmu," balas Salamah. Nayla tertawa mengejek, membuat Salamah semakin kesal. Aku harus menegakkan keadilan untu
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Aku menanggung karma Ibuku    Membabi buta

    "Apa yang terjadi, Mas?" Aku langsung menghampiri suamiku yang terlihat marah. Tidak tahu apa yang membuatnya marah seperti ini, membuat hatiku resah dan cemasPlak! Satu tamparan keras mendarat di pipiku, membuatku terkejut dan kesakitan. Bekas luka di pipi pun baru saja pudar, namun kini telah digantikan oleh tamparan yang baru. "Aww, sakit sekali. Apa salahku, Mas?" Keluhku ketika sudut bibirku mulai mengeluarkan darah. Dia memukulku tanpa belas kasihan. "Kau bertanya apa salahmu!" tatapan matanya menusuk, seakan ingin menerkam. Aku merasa seperti tak berdaya, hati ini semakin dilanda ketakutan dan bingung. "Apa yang kau lakukan pada Nayla?, kenapa kau menamparnya hah?" tanyanya penuh amarah. Aku merenung sejenak, mencoba merangkai kejadian yang sebenarnya terjadi. "Untuk apa kau menemuinya!," lanjutnya sambil berteriak. Dalam hatiku, aku bertanya-tanya mengapa dia marah besar seperti ini. Apakah ini hanya karena Nayla? Apakah aku telah melampaui batas dengan menampar peremp

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-05
  • Aku menanggung karma Ibuku    Meredam Ego

    Aku mengusap air mataku, lalu tersenyum seindah mungkin agar kedua putraku berhenti menangis. "Ayo kita masuk dulu sebentar sayang, nanti setelah ini kita akan ke rumah nenek, ya?" kataku menenangkan. "Mama, Papa jahat sama Mama, Nabil nggak suka, Ma," ucap Nabil dengan matanya yang berkaca-kaca. Hatiku semakin teriris mendengarnya. "Tunggu sebentar ya, Mama ganti baju dulu," ucapku pelan. Di depan cermin, aku menatap diriku sendiri. Nayla pernah mengatakan bahwa aku adalah perempuan yang selalu memakai daster, dan memang benar, karena sejak menjadi ibu, aku harus mengurus anak-anak dan suamiku dengan tanganku sendiri. Bahkan, sesekali aku juga membantu ibu di kebun, meski mereka tak pernah memintaku, tapi rasa bersalah selalu menyelimuti hatiku. Orangtuaku terus menerus membantu membeli susu untuk anak-anakku. "Mama, kita mau kemana? Kenapa Yahya dan Nabil nggak ikut Mama aja?" tanya Nabil lirih, mengejutkanku dari lamunanku. Semoga ke depannya aku bisa menjadi lebih kuat untuk

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-05
  • Aku menanggung karma Ibuku    Bertengkar hebat

    Wajah Mas Surya mulai berubah, sepertinya ia merasa tidak nyaman dengan pertanyaan ibuku. Hal itu membuatku semakin cemas, karena aku tahu, akibatnya nanti akan kembali menimpa diriku. Aku merasa takut, apa jadinya jika Mas Surya melampiaskan kekesalannya padaku? "Lalu kenapa wajahmu itu memar Salamah?" tanya ibuku, saat ia mendekat dan melihat bekas memar yang masih terlihat di wajahku, meski hanya sedikit. Bahkan, tampak pula bekas pukulan baru di dekat bibirku. "Tidak apa-apa Bu, tadi aku jatuh di kamar mandi," jawabku, berusaha mengalihkan perhatian ibuku. Aku lalu memanggil Nabil dan Yahya yang masih bermain di kejauhan. "Ayo Nabil, Yahya, kita pulang. Lihat, Papa juga sudah di sini." Namun, Nabil menjawab dengan tegas, "Tidak mau pulang, nanti Papa jahat lagi sama Mama. Papa jahat, Nek. Nabil nggak mau pulang, mau tinggal di sini saja." Perasaan campur aduk merasuki hatiku. Apakah aku seorang istri yang buruk, sehingga membuat Mas Surya melampiaskan kemarahannya padaku? A

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-21
  • Aku menanggung karma Ibuku    kakak kandung beda ibu

    Aku langsung menoleh ke arahnya, namun perempuan yang melontarkan ucapan tersebut dengan segera menutup mulutnya. Nayla bergegas masuk ke dalam rumah dan berteriak, "Lihat saja, aku akan merebut apa yang seharusnya menjadi milikku!" Ibu Nayla, dengan wajah penuh simpati, menghampiri dan berkata, "Sebaiknya kau pulang saja dulu, Nak. Bawa anak-anakmu ke rumah orang tuamu, bicarakan masalah ini baik-baik." Mendengar itu, aku pun menangis. "Tapi, anak Ibu sudah merusak rumah tanggaku. Mengapa dia tak bisa menjauh dari hidupku? Kenapa dia harus merebut suamiku? Apa dia tidak bisa mendekati laki-laki lain saja, yang sebaya dengannya? Kenapa harus suamiku, Bu?", aku merasa bahwa segala kebahagiaan yang aku raih selama ini hancur seketika karena sikap Ibu dan anakny.Di lubuk hatinya, Salamah ingin melawan dan membela diri, namun hati kecilnya juga menjerit agar jangan sampai menyerah begitu saja. "Aku harus menghadapi kenyataan ini," gumamnya sembari menyeka air matanya. "Tidak pedu

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-21
  • Aku menanggung karma Ibuku    Tabur tuai

    Aku mencermati wajah lelaki itu yang penuh ketegaran, tapi dalam benakku terus muncul pertanyaan mengapa ayah dan ibu tidak pernah menceritakan tentang dia, bahkan fotonya saja tidak ada di rumah. "Mengapa mereka tidak pernah menyebutkannya? Seharusnya ayah dan ibu bangga karena memiliki anak yang sukses dan berani dengan seragamnya." Pikirku penasaran. "Kamu jangan khawatir, Mas pasti akan menghajar wajah laki-laki yang membuat kamu seperti ini." Ucapnya dengan tegas, membuatku tersenyum bahagia. Rasanya aneh, namun aku merasa lega karena ternyata memiliki seorang kakak laki-laki yang bisa melindungiku. Namun, masih banyak pertanyaan yang ingin kuhantarkan padanya. Tak lama kemudian, dokter masuk bersama ibuku, sehingga kami tidak bisa melanjutkan obrolan lagi. Ibuku terlihat tergesa-gesa dan sangat cemas, bahkan tak berani menatap laki-laki muda ini. Aku merasa ada sesuatu yang disembunyikannya dariku. "Kemungkinan besok sudah boleh pulang, kita observasi dulu malam ini, jika

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-22
  • Aku menanggung karma Ibuku    Sesak

    Semalaman aku tidak bisa tidur, hati ini rasanya remuk redam. Aku bertanya-tanya, apakah mati bisa menjadi solusi? Mungkin jika itu bisa menghapus semua derita ini, aku sudah tidak ada lagi di dunia ini. Dalam kegelapan, aku membuka layar handphone, menggulir foto-foto Nabil dan Yahya. Terbayang di sana betapa lucu dan menggemaskan mereka waktu masih bayi, dan Mas Surya yang memeluk mereka dengan penuh rasa bahagia. Aku menahan isak dalam hati, merindukan masa-masa indah itu, merindukan keharmonisan keluarga kecilku dulu. Namun, kini semua itu hanya tinggal kenangan, bagai mimpi yang sirna. Aku harus menelan pil pahit karena tak mampu mempertahankan segalanya, terombang-ambing di derasnya ombak kenyataan. Ah, mengapa Mas Surya harus berubah hingga tak mencintaiku lagi? Mengapa hatinya memilih jauh dariku? Dalam kesunyian, terlihat Bibi masih tertidur di bawah ranjangku. Rasa cinta pada anak-anakku semakin membara. Saat ini yang aku inginkan hanyalah segera pulang menemui kedua putra

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-23
  • Aku menanggung karma Ibuku    Sangat sulit

    Ayah dan ibuku duduk di depan tampak saling berpandangan, seperti mencari jawaban tentang apa yang terjadi. Bibi berusaha menenangkanku, namun hatiku masih terasa panas. "Sudah, Nak, jangan..." ucap Bibi pelan."Tapi, Bi, mereka harus sadar bahwa selama ini kejahatan yang mereka lakukan pada orang lain berdampak pada hidupku," kataku sambil mengejapkan air mata yang menggenang. "Lihat sendiri bagaimana hidupku menjadi begini gara-gara ulah mereka."Ayahku yang mendengar itu langsung membentakku dengan wajah memerah. "Diam kamu! Kamu pikir ayah ibu ini pendosa? Apa kamu menyesal memiliki kami sebagai orang tua?" katanya dengan penuh amarah. Entah apa yang mendorongku berkata begini, tapi hatiku berkobar dan suaraku gemetar. "Kalau memang iya, kenapa? Aku lebih baik tidak dilahirkan di dunia ini daripada memiliki orang tua seperti kalian. Ayah bukan sosok yang pantas disebut laki-laki yang baik, menelantarkan anak istri dan menikah dengan ibu!" Tiba-tiba, Nabil dan Yahya memeluk Bibi

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-25
  • Aku menanggung karma Ibuku    Wajah penuh ikhlas

    Masih dalam keadaan nelangsa, aku mencoba mengumpulkan keberanian untuk mencari sosok ibunya Mas Fadlan. Aku hanya ingin menemuinya dan minta maaf karena perbuatan orang tuaku, walau aku tahu aku tidak terlibat dalam masalah rumah tangga mereka di masa lalu. "Mungkin dengan melakukannya, aku bisa merasa sedikit lebih lega," gumamku dalam hati, tak peduli apakah ia mau memaafkan atau tidak. "Salamah, kamu mau ke mana?" tanya ibuku yang buru-buru menghampiriku. "Mau keluar sebentar, Bu. Mau membeli sesuatu," jawabku singkat. "Jangan lupa dandan yang cantik, jangan perlihatkan kesedihanmu pada dunia. Kau anak baik dan cantik, tak ada yang harus dikhawatirkan. Apalagi dengan lelaki pengangguran seperti Surya, jangan bodoh," imbuhnya. Aku hanya bisa tersenyum kecut, mendengarkan nasihat darinya. Ingin rasanya kupikir, apakah dulu dia pernah paham bagaimana rasanya menjadi ibunya Mas Fadlan? Kenapa ibuku tidak pernah merasa bersalah atau pun mengakui kesalahan mengerikannya itu?

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-26

Bab terbaru

  • Aku menanggung karma Ibuku    Tidak mau di salahkan

    Salamah tersenyum puas atas kejadian malam ini, sebenarnya dia sendiri tak menyangka bisa melakukan hal sekejam ini. "Mungkin ini adalah warisan sisi jahat ibuku yang menular padaku, tapi entah mengapa, ada perasaan bahagia yang kini menyelimutiku," gumam Salamah dalam hati. "Ini belum seberapa, Nayla. Kau harus merasakan betapa dalamnya luka yang kurasakan sekarang!" Salamah terlihat semakin terobsesi oleh rasa dendam yang sudah merasuki hatinya. "Bahkan, aku sudah melangkah sejauh ini, untuk bisa membalas rasa sakit yang sudah menyeruak di dada," gumamnya lagi, sembari merenung apa yang telah ia perbuat. "Walaupun aku tahu Mas Surya juga berbuat salah, tapi seharusnya Nayla juga bisa menolak ajakannya, jika dia perempuan baik-baik. Karena hidup ini penuh dengan pilihan!". Dengan pikiran yang kian terkoyak antara kebahagiaan dan penyesalan, Salamah mencoba meyakinkan diri bahwa apa yang telah ia lakukan adalah langkah yang tepat demi melampiaskan dendam yang telah lama ia penda

  • Aku menanggung karma Ibuku    Rasa sakit yang sama

    Salamah tersenyum sinis, saat mendengar kabar dari salah satu temannya bahwa Nayla baru saja pulang dari rumah sakit.Dalam hati, dia bertanya-tanya, "Apa kau merasa kesakitan, Nayla? Apakah itu sebanding dengan sakit yang pernah aku rasakan?" Salamah melemparkan handphonenya ke atas kasur, lalu teringat betapa ia kehilangan anak yang selama ini dinanti.Memegang perutnya, air mata berlinang deras, perasaan luka mendalam itu tak mampu ia ungkapkan."Tidak mungkin aku bisa merasakannya lagi," gumamnya perlahan."Kau masih beruntung, Nayla, karena kehamilanmu baik-baik saja. Tapi, di lubuk hati, aku berharap anak itu tak bisa lahir ke dunia ini."Salamah terlihat begitu penuh kebencian karena sebagai seorang ibu, kehilangan anak terlebih anak perempuan yang selama ini diharapkan membuatnya merasa hancur dan tersiksa."Aku tak sabar melihat dia semakin menderita!" lirih Salamah, kemudian memukul tembok dengan kedua tangannya. Emosi ini mungkin wajar, mengingat bagaimana perasaan terluka

  • Aku menanggung karma Ibuku    Hampir keguguran

    Nayla menangis tersedu-sedu sambil pulang ke rumah, merasa marah dan sedih. Dalam hati, ia meratapi nasib buruk yang menimpanya. "Mas Surya, mengapa kau tega? Aku di sini dengan perut yang membesar, namun kau malah sibuk bersama perempuan itu," keluhnya dengan air mata yang masih menetes di pipinya. Tiba di rumah, Nayla langsung masuk ke kamarnya dan menangis sesegukan. "Dia bahkan hampir seminggu tak pulang ke rumah. Apa lagi yang kuinginkan darinya? Apakah aku masih kurang?", keluhnya lirih. Tanpa disadarinya, tangisannya terdengar oleh ibunya yang baru saja pulang dari acara yasinan. Ibu Nayla sudah terbiasa dengan cibiran orang-orang terhadap dirinya dan keluarganya, namun tak bisa berbuat apa-apa karena kesalahan memang ada pada anaknya. "Kenapa kamu menangis Nak?" tanya ibunya dengan kekhawatiran. Namun Nayla, yang terlarut dalam kesedihannya, hanya diam, seolah-olah tidak mendengar pertanyaan ibunya. "Nay, kamu baik-baik saja Nak?" tanya ibunya kembali dengan nada lembut

  • Aku menanggung karma Ibuku    Harus Sama

    Aku tertawa puas sekali, sampai kembali ke kantor. "Ini baru awal, kenapa aku jadi menikmati permainan ini?" Gumamku dalam hati.Ketika sampai di ruang kantor, ternyata teman-teman satu ruangan sudah mengetahui apa yang terjadi tadi. Aku menyadari bahwa kabar ini telah menyebar lebih cepat daripada yang kubayangkan."Aku rasa Intel yang melaporkan pada kalian patut diberikan apresiasi, karena sudah melaporkan kejadian siang ini," kataku dengan nada ironis.Salah satu temanku segera menyahut, "Tentu saja Sal, apalagi jika Intel itu adalah Pak Andi, kau tahu kan, wajahnya begitu terlihat kecewa saat menceritakan apa yang dia lihat tadi.""Masa?" gumamku lagi."Iya, Sal, kamu sih, pakai acara bertemu dengan mantan kamu itu. Kalau aku jadi kamu, jangankan untuk bertemu, melihatnya saja tidak sudi!" timpal temanku.Aku langsung menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan perasaan yang sedang kacau. "Andai saja kalian yang berada di posisi ku, aku yakin kalian tidak akan semudah itu untu

  • Aku menanggung karma Ibuku    Bagaimana rasanya

    Mas Surya tampak sangat bahagia saat berbicara denganku. "Kamu makin cantik," ucapnya dengan wajah yang menunduk. Aku tersenyum, berusaha untuk tidak terbawa dalam rayuannya. Walaupun sebenarnya di dalam hati, aku merasakan degupan yang lebih kencang. "Mana Nayla? Aku sedang menunggu kehadirannya," pikirku dalam hati. "Terima kasih, Mas, untuk pujian tersebut, tapi aku rasa Mas lebih pantas memberikan pujian itu pada Nayla, bukan padaku," kataku sambil tersenyum. Namun, Mas Surya malah menjawab, "Tidak, jangan bahas dia lagi, Salamah. Jujur saja, aku menyesal sudah menikahi dia. Ternyata dia bukan perempuan yang sabar seperti kamu." Apa yang sedang terjadi? Kenapa dia berbicara seperti ini? Entah mengapa, di tengah perasaan terkejut, aku merasa ada tugas yang harus kuselesaikan untuk Nayla. Tanpa Mas Surya sadari, aku sengaja merekam pembicaraan ini, untuk dikirimkan pada Nayla nanti. Aku berharap semoga ini bisa membantu Nayla untuk mengetahui, siapa Surya yang menjadi suaminya

  • Aku menanggung karma Ibuku    Perasaan itu masih ada

    Hari ini, aku berdandan dengan sempurna, lengkap dengan wewangian yang memenuhi ruangan kamar.Aku ingin tampil percaya diri, tetapi tidak menyangka akan ada yang memuji penampilanku seperti ini lebih awal"Wah, Mama cantik sekali!" seru Nabil dan Yahya sambil langsung memelukku.Aku kaget saat mendengar suara kecil tersebut, masuk kedalam kamar pagi-pagi "Iya dong, Mama siapa dulu?" sahutku sambil mencubit hidung mungil mereka, yang mirip banget dengan Mas Surya.Aku terkejut mendengar perkataan Nabil berikutnya. "Mama, jangan cantik-cantik nanti banyak yang naksir."Sejenak aku bertanya-tanya, "Siapa yang mengajari anakku bicara begini?" lalu kuberkacak pinggang, berpura-pura marah."Hei, siapa yang ngajarin Nabil berbicara seperti ini?""Papa dong, kabur!" seru mereka sambil berlari keluar dari kamarku.Mendengar jawaban itu, aku mulai berpikir. "Jadi, Mas Surya ternyata mengajari anak-anak ini agar menjadi mata-mata baginya? Pantas saja, dia selalu mengetahui setiap gerak-gerikku.

  • Aku menanggung karma Ibuku    Balas dendam

    "Aku berangkat dulu, Bu," ucapku singkat. "Nayla, bagaimana dengan perceraianmu? Apa sudah ada keputusan?" tanya ibu dengan raut wajah penuh kekhawatiran. "Semakin lama saja, Bu. Aku juga bingung kenapa dipersulit," jawabku mencoba menyembunyikan kebenaran. Sebenarnya, aku tak ingin mengatakan pada ibu jika Mas Surya sebenarnya mengancam tidak mau menceraikan aku secara resmi. Keputusasaan ini benar-benar membelenggu hatiku. "Apakah aku benar-benar harus terjebak dalam pernikahan ini?" batin ku. Beberapa hari yang lalu, aku sempat menghadiri acara reuni sekolah dan bertemu dengan salah satu sahabat lama. Kebetulan, dia juga baru saja bercerai dengan istrinya. Seiring obrolan kami yang semakin mengalir, aku merasa sedikit terhibur. Kami saling bercerita, tak hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang kisah perceraian kami. Aku merasa ada seseorang yang akhirnya mengerti perasaanku. "Setelah menikah, kami sama-sama tidak pernah berkomunikasi lagi demi menjaga perasaan pasangan

  • Aku menanggung karma Ibuku    gagal lagi

    Salamah merasa semakin sibuk beberapa hari ini, terlebih karena pendaftaran CPNS akan segera dibuka. Dia tidak sabar untuk mengikuti tes tersebut, berharap suatu hari nanti dia bisa memiliki penghasilan sendiri dan merasa mandiri sebagai perempuan."Mudah-mudahan aku bisa lolos, ya Bu. Kebutuhannya banyak, dan aku ingin membantu meringankan beban keluarga," gumamnya penuh harap.Selama satu bulan, Salamah berusaha keras untuk belajar siang dan malam, membekali dirinya dengan ilmu yang diperlukan untuk menghadapi tes CPNS. Namun, seolah keberuntungan belum berpihak padanya, setelah menunggu hasil pengumuman selama satu bulan, dia harus menerima kenyataan bahwa dirinya dinyatakan gugur.Sementara itu, di kantor tempatnya bekerja, ada kabar tentang pengurangan tenaga honorer. Tentu saja, ini membuat Salamah merasa semakin khawatir. Sedangkan persidangan cerainya yang sedang berlangsung terus ditunda, dengan berbagai alasan yang tidak dapat diterima logika Salamah."Ah, mungkin memang bel

  • Aku menanggung karma Ibuku    Muka tembok

    "Mau makan apa, Mas? Biar aku siapkan," ucap Nayla sambil beranjak dari samping Surya. Namun, ada suara yang tidak asing terdengar oleh Surya. "Bukannya itu suara Salamah? Tapi nggak mungkin dia ada di sini," batin Surya penasaran, lalu mengikuti Nayla. "Mas, aku masih lemas. Mungkin anak kita nanti perempuan, ya?" ungkap Nayla mencoba mengalihkan perhatiannya. Surya menjawab santai, "Oh ya? Baguslah kalau begitu." Nayla kecewa, mengharapkan Surya lebih antusias dan memberi dukungan. "Mas, aku berencana nanti mengantarkan makanan ke rumah Ibu. Apa kamu mau menemani aku?" "Aku capek, rasanya pengin tidur aja seharian ini. Kamu tahu kan, semalam aku begadang," jawab Surya acuh. Nayla merasa jengkel namun berusaha tenang. "Tapi, Mas, uang kita sudah tidak ada, sedangkan aku belum diterima kerja," ujarnya hati-hati. Surya malah berkelit, "Nanti saja, deh. Aku minta sama Ibu. Kamu catat dulu aja apa yang kamu butuhkan." Nayla mendengar itu, hatinya langsung teriris. Rasanya ingin m

DMCA.com Protection Status