Sudah hampir dua minggu sejak kejadian itu terjadi, dan aku mulai merasakan kebahagiaan baru seolah seperti pengantin baru lagi.
Apalagi Mas Surya kini kembali menunjukkan sisi manisnya, persis seperti saat pertama kali kami bertemu dulu. Lagi pula, bekas memar di wajahku juga sudah mulai pudar, sehingga aku tak perlu khawatir untuk keluar rumah lagi. Syukurlah selama dua minggu ini kedua orang tuaku tidak datang mengunjungi ku karena kesibukan mereka di kebun. Kebetulan kedua orang tuaku adalah petani sayur-sayuran dan hampir semua kebutuhan sayuran di desa ini dihasilkan dari kebun milik orang tuaku. Meskipun mereka tidak terjun langsung ke ladang, mereka memiliki beberapa orang anak buah yang membantu mengelola kebunnya. Permintaan sayuran yang sedang meningkat membuat kedua orang tuaku sangat sibuk hingga mereka tidak sempat mengunjungi ku dalam dua minggu terakhir. Aku merenung, "Mungkin ini cara Tuhan untuk melindungi ku agar orang tuaku tidak mengetahui apa yang terjadi dalam kehidupan keluarga kecilku. Aku harus tetap tegar dan berusaha menjaga hubungan ini agar tidak berantakan demi kebahagiaan keluarga kecilku." Keinginan untuk menjaga keutuhan keluarga dan meraih kebahagiaan bersama menjadi pemicu bagiku untuk bangkit dari keterpurukan dan menjalani hidup dengan semangat baru. Mas Surya berjanji untuk berubah, dan belakangan ini memang terlihat semangat baru dalam dirinya. Dia mulai rajin bekerja, membantu orang tuanya di toko mereka. Aku mencoba menerima penjelasannya tentang kedekatannya dengan Nayla, bahwa semua itu hanya demi membalas rasa sakit yang ku rasakan akibat dikhianati mantan tunanganku, yang juga adik Nayla. "Apakah aku bisa percaya padanya?" gumamku dalam hati. Terkadang, pikiran ini terasa berkecamuk bagaimana mungkin Surya tega melukai Nayla, yang tak tahu apa-apa, demi balas dendam pada kakaknya? Tetapi, terlintas juga pemikiran bahwa Surya hanya ingin membuktikan cintanya, bahkan dengan cara yang salah sekalipun. Kurang lebih tiga tahun yang lalu, Surya baru kembali ke desa setelah menyelesaikan sekolah di kota bersama ibunya, dengan latar belakang keluarganya yang sudah berpisah sejak lama. Jadi, dia tidak mengetahui sejarahku dengan mantan tunanganku itu. Namun, meski perasaanku bercampur aduk, akhirnya aku memutuskan untuk memberi kesempatan pada Surya. Setidaknya, dia berusaha untuk menjadi lebih baik demi dirinya, demi kami. Semoga saja janjinya untuk berubah dan mendalami perasaan ini merupakan langkah awal menuju kebahagiaan yang sempurna untuk kami berdua. Ketika suamiku menjelaskan dengan meyakinkan, hatiku mulai percaya padanya, terlebih ketika dia berjanji akan berubah. Dia bahkan mengganti nomor handphonenya. Bersama, kami berjanji untuk saling instrospeksi dan memperbaiki diri demi anak-anak. Akhirnya, aku memaafkan Mas Surya dan bahkan merasa berterima kasih karena dia rela menghadapi sakit hatiku. Aku merasa begitu terharu dengan perubahan suamiku ini. Namun entah mengapa, ada sesuatu yang meronta-ronta dalam hatiku, naluriku sebagai perempuan ingin sekali menghabiskan uang yang diberikan Mas Surya untuk berbelanja di pasar. Mungkin ini adalah cara bagiku untuk merayakan kebahagiaan dan membalas kebaikan hati suamiku. Aku pun memutuskan untuk mengajak kedua putraku pergi berbelanja hari ini. Setibanya di pasar, emosiku yang sempat tenang kembali terganggu ketika aku berpapasan dengan Nayla, wanita yang sempat menguji pernikahanku. Hatiku merasa ter tohok melihatnya yang dengan polos seolah tak mengenali aku. "Apakah dia benar-benar tak tahu betapa sakitnya hatiku?" pikirku dalam hati, seraya mencoba menahan emosi yang membanjiri perasaanku. "Aku harus tetap fokus pada keluarga dan kebahagiaanku dengan suamiku. Bukankah itu yang terpenting?" ucapku pada diri sendiri, mencoba menenangkan hati yang kembali resah. Masih terasa sakit di hati ini saat teringat bagaimana aku melihat isi chat suamiku bersama perempuan itu, penuh dengan kata-kata mesra yang membuat dada terasa sempit. Belum lagi telpon yang tak tahu malu itu, sungguh aku semakin muak saja pada mereka. Terdorong amarah, aku segera menarik lengannya "Aku ingin bicara padamu, bisa ikut aku sebentar?" "Maaf, sebelumnya Mbak ada apa ya, tumben?" ucapnya dengan nada lembut, menambah amarahku. Tidak dapat dipungkiri, dia memang cantik, namun kelakuannya begitu tercela karena tega menjadi kekasih gelap laki-laki yang sudah memiliki istri. "Aku ingin bicara denganmu," ujarku dengan nada tegas. Nayla pun tampak patuh mengikuti aku. Sementara itu, kedua putraku yang masih kecil terlihat asik menikmati permen yang baru saja ku beli, sama sekali tidak menyadari ibunya sedang bergolak dalam emosi. "Mau bicara di mana, Mbak? Kenapa harus menjauh dari pasar? Soalnya motor aku parkir jauh," ujarnya sambil mengejek. Oh Tuhan, betapa aku ingin mengekspresikan kekesalanku padanya, namun di saat bersamaan aku harus menahan diri, karena ada anak-anak yang tak tahu apa-apa tentang masalah orang tuanya ini. "Kukira lebih baik kita bicara di tempat yang lebih tenang," sahutku dengan suara gemetar. Akhirnya kami memutuskan untuk bicara di sebuah warung yang kebetulan sedang tutup. Tidak bisa lagi menahan amarah yang semakin memuncak di dadaku, aku pun berkata, "Langsung saja pada pokok permasalahan!" "Masalah apa ya, Mbak, kalau boleh tau?" ucap perempuan itu dengan wajah polosnya. Aku merasa sangat kesal karena dia masih berpura-pura seperti tak terjadi apa-apa. "Cuih, cukup, Nayla! Hentikan kepolosanmu itu!" bentak ku. "Aku sudah tahu apa yang kau lakukan di belakangku. Aku tidak menyangka gadis belia sepertimu ini ternyata diam-diam menjadi simpanan suami orang!" Nayla masih memasang wajah polosnya, lalu menjawab, "Maaf, Mbak. Jangan asal bicara. Apa yang sedang Mbak katakan ini? Siapa yang diam-diam menjadi simpanan suami orang?" Darahku mendidih ketika mendengar Nayla menyangkal dengan wajah polosnya. Aku ingin berteriak padanya, "Berhenti pura-pura tidak bersalah, Nayla! Aku sudah tahu apa yang kau lakukan bersama suamiku!" Air mata yang berlinang di mataku menunjukkan betapa terluka dan kecewa hatiku, terutama karena pengkhianatan itu datang dari Nayla , yang merupakan adik kandung orang dekatku sendiri. Kini emosiku semakin tak terkendali, gambaran diriku menemukan foto mereka dalam ponsel suamiku tak bisa hilang dari benakku. Mereka berdua terlihat begitu mesra tanpa busana, sedangkan aku, istrinya yang selama ini setia dan bersabar menghadapi berbagai cobaan dalam pernikahan, ditinggalkan seperti ini. Mengapa harus terjadi pada diriku? Mengapa dan kepercayaanku harus diinjak-injak seperti ini? Rasanya tidak ada yang bisa mengobati luka hatiku saat ini. Hanya aku dan tangisanku yang bisa menyaksikan betapa pedih dan pilu rasa ini. Aku merasa begitu terpukul dan kecewa. Tidak hanya Nayla yang ku salahkan, tapi juga Mas Surya yang telah bersedia mengkhianati ku. Namun, dalam hatiku aku bertanya-tanya, seharusnya sebagai perempuan baik-baik, bukankah Nayla tidak seharusnya mau tergoda dengan suami orang? Kenapa harus suamiku yang menjadi pilihan mereka untuk menjalani perselingkuhan? Tangisanku semakin deras mengalir membasahi pipi, rasa sakit dan amarah mulai bergulir mengikis kebahagiaan yang seharusnya ada dalam hati ini. "Apakah kesetiaan dan cinta yang sudah aku tawarkan selama ini sia-sia? Bagaimana bisa mereka begitu tega melukai hatiku seperti ini?" gumamku dalam hati.Salamah merasa emosinya sulit dikendalikan. Dia merasa jengah dengan tatapan sejumlah orang di sekitar mereka, namun tidak peduli. "Kenapa dia berani macam-macam denganku?" batin Salamah dengan penuh amarah. Sementara itu, kedua putra Salamah asyik bermain pasir di samping mereka, sama sekali tidak menyadari perasaan sang ibu. "Kau ini perempuan iblis, kau tega menjadi selir suamiku! Kau lihat aku ini sedang hamil anak ketiga!" Salamah berbicara pada Nayla dengan suara berbisik namun penuh penekanan. Nayla, bagaimanapun, tetap membantah, seolah menantang kemarahan Salamah. "Mbak, jangan suka menuduh tanpa bukti. Mbak bisa aku laporkan ke kantor polisi, karena sudah memfitnahku. Mbak tau kan negara ini punya aturan, jadi jangan macam-macam denganku," ancam Nayla. "Kau mau melaporkan aku? Silahkan saja, aku tidak takut! Biar saja sekalian orang-orang tahu bagaimana kelakuanmu," balas Salamah. Nayla tertawa mengejek, membuat Salamah semakin kesal. Aku harus menegakkan keadilan untu
"Apa yang terjadi, Mas?" Aku langsung menghampiri suamiku yang terlihat marah. Tidak tahu apa yang membuatnya marah seperti ini, membuat hatiku resah dan cemasPlak! Satu tamparan keras mendarat di pipiku, membuatku terkejut dan kesakitan. Bekas luka di pipi pun baru saja pudar, namun kini telah digantikan oleh tamparan yang baru. "Aww, sakit sekali. Apa salahku, Mas?" Keluhku ketika sudut bibirku mulai mengeluarkan darah. Dia memukulku tanpa belas kasihan. "Kau bertanya apa salahmu!" tatapan matanya menusuk, seakan ingin menerkam. Aku merasa seperti tak berdaya, hati ini semakin dilanda ketakutan dan bingung. "Apa yang kau lakukan pada Nayla?, kenapa kau menamparnya hah?" tanyanya penuh amarah. Aku merenung sejenak, mencoba merangkai kejadian yang sebenarnya terjadi. "Untuk apa kau menemuinya!," lanjutnya sambil berteriak. Dalam hatiku, aku bertanya-tanya mengapa dia marah besar seperti ini. Apakah ini hanya karena Nayla? Apakah aku telah melampaui batas dengan menampar peremp
Aku mengusap air mataku, lalu tersenyum seindah mungkin agar kedua putraku berhenti menangis. "Ayo kita masuk dulu sebentar sayang, nanti setelah ini kita akan ke rumah nenek, ya?" kataku menenangkan. "Mama, Papa jahat sama Mama, Nabil nggak suka, Ma," ucap Nabil dengan matanya yang berkaca-kaca. Hatiku semakin teriris mendengarnya. "Tunggu sebentar ya, Mama ganti baju dulu," ucapku pelan. Di depan cermin, aku menatap diriku sendiri. Nayla pernah mengatakan bahwa aku adalah perempuan yang selalu memakai daster, dan memang benar, karena sejak menjadi ibu, aku harus mengurus anak-anak dan suamiku dengan tanganku sendiri. Bahkan, sesekali aku juga membantu ibu di kebun, meski mereka tak pernah memintaku, tapi rasa bersalah selalu menyelimuti hatiku. Orangtuaku terus menerus membantu membeli susu untuk anak-anakku. "Mama, kita mau kemana? Kenapa Yahya dan Nabil nggak ikut Mama aja?" tanya Nabil lirih, mengejutkanku dari lamunanku. Semoga ke depannya aku bisa menjadi lebih kuat untuk
Wajah Mas Surya mulai berubah, sepertinya ia merasa tidak nyaman dengan pertanyaan ibuku. Hal itu membuatku semakin cemas, karena aku tahu, akibatnya nanti akan kembali menimpa diriku. Aku merasa takut, apa jadinya jika Mas Surya melampiaskan kekesalannya padaku? "Lalu kenapa wajahmu itu memar Salamah?" tanya ibuku, saat ia mendekat dan melihat bekas memar yang masih terlihat di wajahku, meski hanya sedikit. Bahkan, tampak pula bekas pukulan baru di dekat bibirku. "Tidak apa-apa Bu, tadi aku jatuh di kamar mandi," jawabku, berusaha mengalihkan perhatian ibuku. Aku lalu memanggil Nabil dan Yahya yang masih bermain di kejauhan. "Ayo Nabil, Yahya, kita pulang. Lihat, Papa juga sudah di sini." Namun, Nabil menjawab dengan tegas, "Tidak mau pulang, nanti Papa jahat lagi sama Mama. Papa jahat, Nek. Nabil nggak mau pulang, mau tinggal di sini saja." Perasaan campur aduk merasuki hatiku. Apakah aku seorang istri yang buruk, sehingga membuat Mas Surya melampiaskan kemarahannya padaku? A
Aku langsung menoleh ke arahnya, namun perempuan yang melontarkan ucapan tersebut dengan segera menutup mulutnya. Nayla bergegas masuk ke dalam rumah dan berteriak, "Lihat saja, aku akan merebut apa yang seharusnya menjadi milikku!" Ibu Nayla, dengan wajah penuh simpati, menghampiri dan berkata, "Sebaiknya kau pulang saja dulu, Nak. Bawa anak-anakmu ke rumah orang tuamu, bicarakan masalah ini baik-baik." Mendengar itu, aku pun menangis. "Tapi, anak Ibu sudah merusak rumah tanggaku. Mengapa dia tak bisa menjauh dari hidupku? Kenapa dia harus merebut suamiku? Apa dia tidak bisa mendekati laki-laki lain saja, yang sebaya dengannya? Kenapa harus suamiku, Bu?", aku merasa bahwa segala kebahagiaan yang aku raih selama ini hancur seketika karena sikap Ibu dan anakny.Di lubuk hatinya, Salamah ingin melawan dan membela diri, namun hati kecilnya juga menjerit agar jangan sampai menyerah begitu saja. "Aku harus menghadapi kenyataan ini," gumamnya sembari menyeka air matanya. "Tidak pedu
Aku mencermati wajah lelaki itu yang penuh ketegaran, tapi dalam benakku terus muncul pertanyaan mengapa ayah dan ibu tidak pernah menceritakan tentang dia, bahkan fotonya saja tidak ada di rumah. "Mengapa mereka tidak pernah menyebutkannya? Seharusnya ayah dan ibu bangga karena memiliki anak yang sukses dan berani dengan seragamnya." Pikirku penasaran. "Kamu jangan khawatir, Mas pasti akan menghajar wajah laki-laki yang membuat kamu seperti ini." Ucapnya dengan tegas, membuatku tersenyum bahagia. Rasanya aneh, namun aku merasa lega karena ternyata memiliki seorang kakak laki-laki yang bisa melindungiku. Namun, masih banyak pertanyaan yang ingin kuhantarkan padanya. Tak lama kemudian, dokter masuk bersama ibuku, sehingga kami tidak bisa melanjutkan obrolan lagi. Ibuku terlihat tergesa-gesa dan sangat cemas, bahkan tak berani menatap laki-laki muda ini. Aku merasa ada sesuatu yang disembunyikannya dariku. "Kemungkinan besok sudah boleh pulang, kita observasi dulu malam ini, jika
Semalaman aku tidak bisa tidur, hati ini rasanya remuk redam. Aku bertanya-tanya, apakah mati bisa menjadi solusi? Mungkin jika itu bisa menghapus semua derita ini, aku sudah tidak ada lagi di dunia ini. Dalam kegelapan, aku membuka layar handphone, menggulir foto-foto Nabil dan Yahya. Terbayang di sana betapa lucu dan menggemaskan mereka waktu masih bayi, dan Mas Surya yang memeluk mereka dengan penuh rasa bahagia. Aku menahan isak dalam hati, merindukan masa-masa indah itu, merindukan keharmonisan keluarga kecilku dulu. Namun, kini semua itu hanya tinggal kenangan, bagai mimpi yang sirna. Aku harus menelan pil pahit karena tak mampu mempertahankan segalanya, terombang-ambing di derasnya ombak kenyataan. Ah, mengapa Mas Surya harus berubah hingga tak mencintaiku lagi? Mengapa hatinya memilih jauh dariku? Dalam kesunyian, terlihat Bibi masih tertidur di bawah ranjangku. Rasa cinta pada anak-anakku semakin membara. Saat ini yang aku inginkan hanyalah segera pulang menemui kedua putra
Ayah dan ibuku duduk di depan tampak saling berpandangan, seperti mencari jawaban tentang apa yang terjadi. Bibi berusaha menenangkanku, namun hatiku masih terasa panas. "Sudah, Nak, jangan..." ucap Bibi pelan."Tapi, Bi, mereka harus sadar bahwa selama ini kejahatan yang mereka lakukan pada orang lain berdampak pada hidupku," kataku sambil mengejapkan air mata yang menggenang. "Lihat sendiri bagaimana hidupku menjadi begini gara-gara ulah mereka."Ayahku yang mendengar itu langsung membentakku dengan wajah memerah. "Diam kamu! Kamu pikir ayah ibu ini pendosa? Apa kamu menyesal memiliki kami sebagai orang tua?" katanya dengan penuh amarah. Entah apa yang mendorongku berkata begini, tapi hatiku berkobar dan suaraku gemetar. "Kalau memang iya, kenapa? Aku lebih baik tidak dilahirkan di dunia ini daripada memiliki orang tua seperti kalian. Ayah bukan sosok yang pantas disebut laki-laki yang baik, menelantarkan anak istri dan menikah dengan ibu!" Tiba-tiba, Nabil dan Yahya memeluk Bibi
Salamah tersenyum puas atas kejadian malam ini, sebenarnya dia sendiri tak menyangka bisa melakukan hal sekejam ini. "Mungkin ini adalah warisan sisi jahat ibuku yang menular padaku, tapi entah mengapa, ada perasaan bahagia yang kini menyelimutiku," gumam Salamah dalam hati. "Ini belum seberapa, Nayla. Kau harus merasakan betapa dalamnya luka yang kurasakan sekarang!" Salamah terlihat semakin terobsesi oleh rasa dendam yang sudah merasuki hatinya. "Bahkan, aku sudah melangkah sejauh ini, untuk bisa membalas rasa sakit yang sudah menyeruak di dada," gumamnya lagi, sembari merenung apa yang telah ia perbuat. "Walaupun aku tahu Mas Surya juga berbuat salah, tapi seharusnya Nayla juga bisa menolak ajakannya, jika dia perempuan baik-baik. Karena hidup ini penuh dengan pilihan!". Dengan pikiran yang kian terkoyak antara kebahagiaan dan penyesalan, Salamah mencoba meyakinkan diri bahwa apa yang telah ia lakukan adalah langkah yang tepat demi melampiaskan dendam yang telah lama ia penda
Salamah tersenyum sinis, saat mendengar kabar dari salah satu temannya bahwa Nayla baru saja pulang dari rumah sakit.Dalam hati, dia bertanya-tanya, "Apa kau merasa kesakitan, Nayla? Apakah itu sebanding dengan sakit yang pernah aku rasakan?" Salamah melemparkan handphonenya ke atas kasur, lalu teringat betapa ia kehilangan anak yang selama ini dinanti.Memegang perutnya, air mata berlinang deras, perasaan luka mendalam itu tak mampu ia ungkapkan."Tidak mungkin aku bisa merasakannya lagi," gumamnya perlahan."Kau masih beruntung, Nayla, karena kehamilanmu baik-baik saja. Tapi, di lubuk hati, aku berharap anak itu tak bisa lahir ke dunia ini."Salamah terlihat begitu penuh kebencian karena sebagai seorang ibu, kehilangan anak terlebih anak perempuan yang selama ini diharapkan membuatnya merasa hancur dan tersiksa."Aku tak sabar melihat dia semakin menderita!" lirih Salamah, kemudian memukul tembok dengan kedua tangannya. Emosi ini mungkin wajar, mengingat bagaimana perasaan terluka
Nayla menangis tersedu-sedu sambil pulang ke rumah, merasa marah dan sedih. Dalam hati, ia meratapi nasib buruk yang menimpanya. "Mas Surya, mengapa kau tega? Aku di sini dengan perut yang membesar, namun kau malah sibuk bersama perempuan itu," keluhnya dengan air mata yang masih menetes di pipinya. Tiba di rumah, Nayla langsung masuk ke kamarnya dan menangis sesegukan. "Dia bahkan hampir seminggu tak pulang ke rumah. Apa lagi yang kuinginkan darinya? Apakah aku masih kurang?", keluhnya lirih. Tanpa disadarinya, tangisannya terdengar oleh ibunya yang baru saja pulang dari acara yasinan. Ibu Nayla sudah terbiasa dengan cibiran orang-orang terhadap dirinya dan keluarganya, namun tak bisa berbuat apa-apa karena kesalahan memang ada pada anaknya. "Kenapa kamu menangis Nak?" tanya ibunya dengan kekhawatiran. Namun Nayla, yang terlarut dalam kesedihannya, hanya diam, seolah-olah tidak mendengar pertanyaan ibunya. "Nay, kamu baik-baik saja Nak?" tanya ibunya kembali dengan nada lembut
Aku tertawa puas sekali, sampai kembali ke kantor. "Ini baru awal, kenapa aku jadi menikmati permainan ini?" Gumamku dalam hati.Ketika sampai di ruang kantor, ternyata teman-teman satu ruangan sudah mengetahui apa yang terjadi tadi. Aku menyadari bahwa kabar ini telah menyebar lebih cepat daripada yang kubayangkan."Aku rasa Intel yang melaporkan pada kalian patut diberikan apresiasi, karena sudah melaporkan kejadian siang ini," kataku dengan nada ironis.Salah satu temanku segera menyahut, "Tentu saja Sal, apalagi jika Intel itu adalah Pak Andi, kau tahu kan, wajahnya begitu terlihat kecewa saat menceritakan apa yang dia lihat tadi.""Masa?" gumamku lagi."Iya, Sal, kamu sih, pakai acara bertemu dengan mantan kamu itu. Kalau aku jadi kamu, jangankan untuk bertemu, melihatnya saja tidak sudi!" timpal temanku.Aku langsung menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan perasaan yang sedang kacau. "Andai saja kalian yang berada di posisi ku, aku yakin kalian tidak akan semudah itu untu
Mas Surya tampak sangat bahagia saat berbicara denganku. "Kamu makin cantik," ucapnya dengan wajah yang menunduk. Aku tersenyum, berusaha untuk tidak terbawa dalam rayuannya. Walaupun sebenarnya di dalam hati, aku merasakan degupan yang lebih kencang. "Mana Nayla? Aku sedang menunggu kehadirannya," pikirku dalam hati. "Terima kasih, Mas, untuk pujian tersebut, tapi aku rasa Mas lebih pantas memberikan pujian itu pada Nayla, bukan padaku," kataku sambil tersenyum. Namun, Mas Surya malah menjawab, "Tidak, jangan bahas dia lagi, Salamah. Jujur saja, aku menyesal sudah menikahi dia. Ternyata dia bukan perempuan yang sabar seperti kamu." Apa yang sedang terjadi? Kenapa dia berbicara seperti ini? Entah mengapa, di tengah perasaan terkejut, aku merasa ada tugas yang harus kuselesaikan untuk Nayla. Tanpa Mas Surya sadari, aku sengaja merekam pembicaraan ini, untuk dikirimkan pada Nayla nanti. Aku berharap semoga ini bisa membantu Nayla untuk mengetahui, siapa Surya yang menjadi suaminya
Hari ini, aku berdandan dengan sempurna, lengkap dengan wewangian yang memenuhi ruangan kamar.Aku ingin tampil percaya diri, tetapi tidak menyangka akan ada yang memuji penampilanku seperti ini lebih awal"Wah, Mama cantik sekali!" seru Nabil dan Yahya sambil langsung memelukku.Aku kaget saat mendengar suara kecil tersebut, masuk kedalam kamar pagi-pagi "Iya dong, Mama siapa dulu?" sahutku sambil mencubit hidung mungil mereka, yang mirip banget dengan Mas Surya.Aku terkejut mendengar perkataan Nabil berikutnya. "Mama, jangan cantik-cantik nanti banyak yang naksir."Sejenak aku bertanya-tanya, "Siapa yang mengajari anakku bicara begini?" lalu kuberkacak pinggang, berpura-pura marah."Hei, siapa yang ngajarin Nabil berbicara seperti ini?""Papa dong, kabur!" seru mereka sambil berlari keluar dari kamarku.Mendengar jawaban itu, aku mulai berpikir. "Jadi, Mas Surya ternyata mengajari anak-anak ini agar menjadi mata-mata baginya? Pantas saja, dia selalu mengetahui setiap gerak-gerikku.
"Aku berangkat dulu, Bu," ucapku singkat. "Nayla, bagaimana dengan perceraianmu? Apa sudah ada keputusan?" tanya ibu dengan raut wajah penuh kekhawatiran. "Semakin lama saja, Bu. Aku juga bingung kenapa dipersulit," jawabku mencoba menyembunyikan kebenaran. Sebenarnya, aku tak ingin mengatakan pada ibu jika Mas Surya sebenarnya mengancam tidak mau menceraikan aku secara resmi. Keputusasaan ini benar-benar membelenggu hatiku. "Apakah aku benar-benar harus terjebak dalam pernikahan ini?" batin ku. Beberapa hari yang lalu, aku sempat menghadiri acara reuni sekolah dan bertemu dengan salah satu sahabat lama. Kebetulan, dia juga baru saja bercerai dengan istrinya. Seiring obrolan kami yang semakin mengalir, aku merasa sedikit terhibur. Kami saling bercerita, tak hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang kisah perceraian kami. Aku merasa ada seseorang yang akhirnya mengerti perasaanku. "Setelah menikah, kami sama-sama tidak pernah berkomunikasi lagi demi menjaga perasaan pasangan
Salamah merasa semakin sibuk beberapa hari ini, terlebih karena pendaftaran CPNS akan segera dibuka. Dia tidak sabar untuk mengikuti tes tersebut, berharap suatu hari nanti dia bisa memiliki penghasilan sendiri dan merasa mandiri sebagai perempuan."Mudah-mudahan aku bisa lolos, ya Bu. Kebutuhannya banyak, dan aku ingin membantu meringankan beban keluarga," gumamnya penuh harap.Selama satu bulan, Salamah berusaha keras untuk belajar siang dan malam, membekali dirinya dengan ilmu yang diperlukan untuk menghadapi tes CPNS. Namun, seolah keberuntungan belum berpihak padanya, setelah menunggu hasil pengumuman selama satu bulan, dia harus menerima kenyataan bahwa dirinya dinyatakan gugur.Sementara itu, di kantor tempatnya bekerja, ada kabar tentang pengurangan tenaga honorer. Tentu saja, ini membuat Salamah merasa semakin khawatir. Sedangkan persidangan cerainya yang sedang berlangsung terus ditunda, dengan berbagai alasan yang tidak dapat diterima logika Salamah."Ah, mungkin memang bel
"Mau makan apa, Mas? Biar aku siapkan," ucap Nayla sambil beranjak dari samping Surya. Namun, ada suara yang tidak asing terdengar oleh Surya. "Bukannya itu suara Salamah? Tapi nggak mungkin dia ada di sini," batin Surya penasaran, lalu mengikuti Nayla. "Mas, aku masih lemas. Mungkin anak kita nanti perempuan, ya?" ungkap Nayla mencoba mengalihkan perhatiannya. Surya menjawab santai, "Oh ya? Baguslah kalau begitu." Nayla kecewa, mengharapkan Surya lebih antusias dan memberi dukungan. "Mas, aku berencana nanti mengantarkan makanan ke rumah Ibu. Apa kamu mau menemani aku?" "Aku capek, rasanya pengin tidur aja seharian ini. Kamu tahu kan, semalam aku begadang," jawab Surya acuh. Nayla merasa jengkel namun berusaha tenang. "Tapi, Mas, uang kita sudah tidak ada, sedangkan aku belum diterima kerja," ujarnya hati-hati. Surya malah berkelit, "Nanti saja, deh. Aku minta sama Ibu. Kamu catat dulu aja apa yang kamu butuhkan." Nayla mendengar itu, hatinya langsung teriris. Rasanya ingin m