Sudah hampir dua minggu sejak kejadian itu terjadi, dan aku mulai merasakan kebahagiaan baru seolah seperti pengantin baru lagi.
Apalagi Mas Surya kini kembali menunjukkan sisi manisnya, persis seperti saat pertama kali kami bertemu dulu. Lagi pula, bekas memar di wajahku juga sudah mulai pudar, sehingga aku tak perlu khawatir untuk keluar rumah lagi. Syukurlah selama dua minggu ini kedua orang tuaku tidak datang mengunjungi ku karena kesibukan mereka di kebun. Kebetulan kedua orang tuaku adalah petani sayur-sayuran dan hampir semua kebutuhan sayuran di desa ini dihasilkan dari kebun milik orang tuaku. Meskipun mereka tidak terjun langsung ke ladang, mereka memiliki beberapa orang anak buah yang membantu mengelola kebunnya. Permintaan sayuran yang sedang meningkat membuat kedua orang tuaku sangat sibuk hingga mereka tidak sempat mengunjungi ku dalam dua minggu terakhir. Aku merenung, "Mungkin ini cara Tuhan untuk melindungi ku agar orang tuaku tidak mengetahui apa yang terjadi dalam kehidupan keluarga kecilku. Aku harus tetap tegar dan berusaha menjaga hubungan ini agar tidak berantakan demi kebahagiaan keluarga kecilku." Keinginan untuk menjaga keutuhan keluarga dan meraih kebahagiaan bersama menjadi pemicu bagiku untuk bangkit dari keterpurukan dan menjalani hidup dengan semangat baru. Mas Surya berjanji untuk berubah, dan belakangan ini memang terlihat semangat baru dalam dirinya. Dia mulai rajin bekerja, membantu orang tuanya di toko mereka. Aku mencoba menerima penjelasannya tentang kedekatannya dengan Nayla, bahwa semua itu hanya demi membalas rasa sakit yang ku rasakan akibat dikhianati mantan tunanganku, yang juga adik Nayla. "Apakah aku bisa percaya padanya?" gumamku dalam hati. Terkadang, pikiran ini terasa berkecamuk bagaimana mungkin Surya tega melukai Nayla, yang tak tahu apa-apa, demi balas dendam pada kakaknya? Tetapi, terlintas juga pemikiran bahwa Surya hanya ingin membuktikan cintanya, bahkan dengan cara yang salah sekalipun. Kurang lebih tiga tahun yang lalu, Surya baru kembali ke desa setelah menyelesaikan sekolah di kota bersama ibunya, dengan latar belakang keluarganya yang sudah berpisah sejak lama. Jadi, dia tidak mengetahui sejarahku dengan mantan tunanganku itu. Namun, meski perasaanku bercampur aduk, akhirnya aku memutuskan untuk memberi kesempatan pada Surya. Setidaknya, dia berusaha untuk menjadi lebih baik demi dirinya, demi kami. Semoga saja janjinya untuk berubah dan mendalami perasaan ini merupakan langkah awal menuju kebahagiaan yang sempurna untuk kami berdua. Ketika suamiku menjelaskan dengan meyakinkan, hatiku mulai percaya padanya, terlebih ketika dia berjanji akan berubah. Dia bahkan mengganti nomor handphonenya. Bersama, kami berjanji untuk saling instrospeksi dan memperbaiki diri demi anak-anak. Akhirnya, aku memaafkan Mas Surya dan bahkan merasa berterima kasih karena dia rela menghadapi sakit hatiku. Aku merasa begitu terharu dengan perubahan suamiku ini. Namun entah mengapa, ada sesuatu yang meronta-ronta dalam hatiku, naluriku sebagai perempuan ingin sekali menghabiskan uang yang diberikan Mas Surya untuk berbelanja di pasar. Mungkin ini adalah cara bagiku untuk merayakan kebahagiaan dan membalas kebaikan hati suamiku. Aku pun memutuskan untuk mengajak kedua putraku pergi berbelanja hari ini. Setibanya di pasar, emosiku yang sempat tenang kembali terganggu ketika aku berpapasan dengan Nayla, wanita yang sempat menguji pernikahanku. Hatiku merasa ter tohok melihatnya yang dengan polos seolah tak mengenali aku. "Apakah dia benar-benar tak tahu betapa sakitnya hatiku?" pikirku dalam hati, seraya mencoba menahan emosi yang membanjiri perasaanku. "Aku harus tetap fokus pada keluarga dan kebahagiaanku dengan suamiku. Bukankah itu yang terpenting?" ucapku pada diri sendiri, mencoba menenangkan hati yang kembali resah. Masih terasa sakit di hati ini saat teringat bagaimana aku melihat isi chat suamiku bersama perempuan itu, penuh dengan kata-kata mesra yang membuat dada terasa sempit. Belum lagi telpon yang tak tahu malu itu, sungguh aku semakin muak saja pada mereka. Terdorong amarah, aku segera menarik lengannya "Aku ingin bicara padamu, bisa ikut aku sebentar?" "Maaf, sebelumnya Mbak ada apa ya, tumben?" ucapnya dengan nada lembut, menambah amarahku. Tidak dapat dipungkiri, dia memang cantik, namun kelakuannya begitu tercela karena tega menjadi kekasih gelap laki-laki yang sudah memiliki istri. "Aku ingin bicara denganmu," ujarku dengan nada tegas. Nayla pun tampak patuh mengikuti aku. Sementara itu, kedua putraku yang masih kecil terlihat asik menikmati permen yang baru saja ku beli, sama sekali tidak menyadari ibunya sedang bergolak dalam emosi. "Mau bicara di mana, Mbak? Kenapa harus menjauh dari pasar? Soalnya motor aku parkir jauh," ujarnya sambil mengejek. Oh Tuhan, betapa aku ingin mengekspresikan kekesalanku padanya, namun di saat bersamaan aku harus menahan diri, karena ada anak-anak yang tak tahu apa-apa tentang masalah orang tuanya ini. "Kukira lebih baik kita bicara di tempat yang lebih tenang," sahutku dengan suara gemetar. Akhirnya kami memutuskan untuk bicara di sebuah warung yang kebetulan sedang tutup. Tidak bisa lagi menahan amarah yang semakin memuncak di dadaku, aku pun berkata, "Langsung saja pada pokok permasalahan!" "Masalah apa ya, Mbak, kalau boleh tau?" ucap perempuan itu dengan wajah polosnya. Aku merasa sangat kesal karena dia masih berpura-pura seperti tak terjadi apa-apa. "Cuih, cukup, Nayla! Hentikan kepolosanmu itu!" bentak ku. "Aku sudah tahu apa yang kau lakukan di belakangku. Aku tidak menyangka gadis belia sepertimu ini ternyata diam-diam menjadi simpanan suami orang!" Nayla masih memasang wajah polosnya, lalu menjawab, "Maaf, Mbak. Jangan asal bicara. Apa yang sedang Mbak katakan ini? Siapa yang diam-diam menjadi simpanan suami orang?" Darahku mendidih ketika mendengar Nayla menyangkal dengan wajah polosnya. Aku ingin berteriak padanya, "Berhenti pura-pura tidak bersalah, Nayla! Aku sudah tahu apa yang kau lakukan bersama suamiku!" Air mata yang berlinang di mataku menunjukkan betapa terluka dan kecewa hatiku, terutama karena pengkhianatan itu datang dari Nayla , yang merupakan adik kandung orang dekatku sendiri. Kini emosiku semakin tak terkendali, gambaran diriku menemukan foto mereka dalam ponsel suamiku tak bisa hilang dari benakku. Mereka berdua terlihat begitu mesra tanpa busana, sedangkan aku, istrinya yang selama ini setia dan bersabar menghadapi berbagai cobaan dalam pernikahan, ditinggalkan seperti ini. Mengapa harus terjadi pada diriku? Mengapa dan kepercayaanku harus diinjak-injak seperti ini? Rasanya tidak ada yang bisa mengobati luka hatiku saat ini. Hanya aku dan tangisanku yang bisa menyaksikan betapa pedih dan pilu rasa ini. Aku merasa begitu terpukul dan kecewa. Tidak hanya Nayla yang ku salahkan, tapi juga Mas Surya yang telah bersedia mengkhianati ku. Namun, dalam hatiku aku bertanya-tanya, seharusnya sebagai perempuan baik-baik, bukankah Nayla tidak seharusnya mau tergoda dengan suami orang? Kenapa harus suamiku yang menjadi pilihan mereka untuk menjalani perselingkuhan? Tangisanku semakin deras mengalir membasahi pipi, rasa sakit dan amarah mulai bergulir mengikis kebahagiaan yang seharusnya ada dalam hati ini. "Apakah kesetiaan dan cinta yang sudah aku tawarkan selama ini sia-sia? Bagaimana bisa mereka begitu tega melukai hatiku seperti ini?" gumamku dalam hati.Salamah merasa emosinya sulit dikendalikan. Dia merasa jengah dengan tatapan sejumlah orang di sekitar mereka, namun tidak peduli. "Kenapa dia berani macam-macam denganku?" batin Salamah dengan penuh amarah. Sementara itu, kedua putra Salamah asyik bermain pasir di samping mereka, sama sekali tidak menyadari perasaan sang ibu. "Kau ini perempuan iblis, kau tega menjadi selir suamiku! Kau lihat aku ini sedang hamil anak ketiga!" Salamah berbicara pada Nayla dengan suara berbisik namun penuh penekanan. Nayla, bagaimanapun, tetap membantah, seolah menantang kemarahan Salamah. "Mbak, jangan suka menuduh tanpa bukti. Mbak bisa aku laporkan ke kantor polisi, karena sudah memfitnahku. Mbak tau kan negara ini punya aturan, jadi jangan macam-macam denganku," ancam Nayla. "Kau mau melaporkan aku? Silahkan saja, aku tidak takut! Biar saja sekalian orang-orang tahu bagaimana kelakuanmu," balas Salamah. Nayla tertawa mengejek, membuat Salamah semakin kesal. Aku harus menegakkan keadilan untu
"Apa yang terjadi, Mas?" Aku langsung menghampiri suamiku yang terlihat marah. Tidak tahu apa yang membuatnya marah seperti ini, membuat hatiku resah dan cemasPlak! Satu tamparan keras mendarat di pipiku, membuatku terkejut dan kesakitan. Bekas luka di pipi pun baru saja pudar, namun kini telah digantikan oleh tamparan yang baru. "Aww, sakit sekali. Apa salahku, Mas?" Keluhku ketika sudut bibirku mulai mengeluarkan darah. Dia memukulku tanpa belas kasihan. "Kau bertanya apa salahmu!" tatapan matanya menusuk, seakan ingin menerkam. Aku merasa seperti tak berdaya, hati ini semakin dilanda ketakutan dan bingung. "Apa yang kau lakukan pada Nayla?, kenapa kau menamparnya hah?" tanyanya penuh amarah. Aku merenung sejenak, mencoba merangkai kejadian yang sebenarnya terjadi. "Untuk apa kau menemuinya!," lanjutnya sambil berteriak. Dalam hatiku, aku bertanya-tanya mengapa dia marah besar seperti ini. Apakah ini hanya karena Nayla? Apakah aku telah melampaui batas dengan menampar peremp
Aku mengusap air mataku, lalu tersenyum seindah mungkin agar kedua putraku berhenti menangis. "Ayo kita masuk dulu sebentar sayang, nanti setelah ini kita akan ke rumah nenek, ya?" kataku menenangkan. "Mama, Papa jahat sama Mama, Nabil nggak suka, Ma," ucap Nabil dengan matanya yang berkaca-kaca. Hatiku semakin teriris mendengarnya. "Tunggu sebentar ya, Mama ganti baju dulu," ucapku pelan. Di depan cermin, aku menatap diriku sendiri. Nayla pernah mengatakan bahwa aku adalah perempuan yang selalu memakai daster, dan memang benar, karena sejak menjadi ibu, aku harus mengurus anak-anak dan suamiku dengan tanganku sendiri. Bahkan, sesekali aku juga membantu ibu di kebun, meski mereka tak pernah memintaku, tapi rasa bersalah selalu menyelimuti hatiku. Orangtuaku terus menerus membantu membeli susu untuk anak-anakku. "Mama, kita mau kemana? Kenapa Yahya dan Nabil nggak ikut Mama aja?" tanya Nabil lirih, mengejutkanku dari lamunanku. Semoga ke depannya aku bisa menjadi lebih kuat untuk
Wajah Mas Surya mulai berubah, sepertinya ia merasa tidak nyaman dengan pertanyaan ibuku. Hal itu membuatku semakin cemas, karena aku tahu, akibatnya nanti akan kembali menimpa diriku. Aku merasa takut, apa jadinya jika Mas Surya melampiaskan kekesalannya padaku? "Lalu kenapa wajahmu itu memar Salamah?" tanya ibuku, saat ia mendekat dan melihat bekas memar yang masih terlihat di wajahku, meski hanya sedikit. Bahkan, tampak pula bekas pukulan baru di dekat bibirku. "Tidak apa-apa Bu, tadi aku jatuh di kamar mandi," jawabku, berusaha mengalihkan perhatian ibuku. Aku lalu memanggil Nabil dan Yahya yang masih bermain di kejauhan. "Ayo Nabil, Yahya, kita pulang. Lihat, Papa juga sudah di sini." Namun, Nabil menjawab dengan tegas, "Tidak mau pulang, nanti Papa jahat lagi sama Mama. Papa jahat, Nek. Nabil nggak mau pulang, mau tinggal di sini saja." Perasaan campur aduk merasuki hatiku. Apakah aku seorang istri yang buruk, sehingga membuat Mas Surya melampiaskan kemarahannya padaku? A
Aku langsung menoleh ke arahnya, namun perempuan yang melontarkan ucapan tersebut dengan segera menutup mulutnya. Nayla bergegas masuk ke dalam rumah dan berteriak, "Lihat saja, aku akan merebut apa yang seharusnya menjadi milikku!" Ibu Nayla, dengan wajah penuh simpati, menghampiri dan berkata, "Sebaiknya kau pulang saja dulu, Nak. Bawa anak-anakmu ke rumah orang tuamu, bicarakan masalah ini baik-baik." Mendengar itu, aku pun menangis. "Tapi, anak Ibu sudah merusak rumah tanggaku. Mengapa dia tak bisa menjauh dari hidupku? Kenapa dia harus merebut suamiku? Apa dia tidak bisa mendekati laki-laki lain saja, yang sebaya dengannya? Kenapa harus suamiku, Bu?", aku merasa bahwa segala kebahagiaan yang aku raih selama ini hancur seketika karena sikap Ibu dan anakny.Di lubuk hatinya, Salamah ingin melawan dan membela diri, namun hati kecilnya juga menjerit agar jangan sampai menyerah begitu saja. "Aku harus menghadapi kenyataan ini," gumamnya sembari menyeka air matanya. "Tidak pedu
Aku mencermati wajah lelaki itu yang penuh ketegaran, tapi dalam benakku terus muncul pertanyaan mengapa ayah dan ibu tidak pernah menceritakan tentang dia, bahkan fotonya saja tidak ada di rumah. "Mengapa mereka tidak pernah menyebutkannya? Seharusnya ayah dan ibu bangga karena memiliki anak yang sukses dan berani dengan seragamnya." Pikirku penasaran. "Kamu jangan khawatir, Mas pasti akan menghajar wajah laki-laki yang membuat kamu seperti ini." Ucapnya dengan tegas, membuatku tersenyum bahagia. Rasanya aneh, namun aku merasa lega karena ternyata memiliki seorang kakak laki-laki yang bisa melindungiku. Namun, masih banyak pertanyaan yang ingin kuhantarkan padanya. Tak lama kemudian, dokter masuk bersama ibuku, sehingga kami tidak bisa melanjutkan obrolan lagi. Ibuku terlihat tergesa-gesa dan sangat cemas, bahkan tak berani menatap laki-laki muda ini. Aku merasa ada sesuatu yang disembunyikannya dariku. "Kemungkinan besok sudah boleh pulang, kita observasi dulu malam ini, jika
Semalaman aku tidak bisa tidur, hati ini rasanya remuk redam. Aku bertanya-tanya, apakah mati bisa menjadi solusi? Mungkin jika itu bisa menghapus semua derita ini, aku sudah tidak ada lagi di dunia ini. Dalam kegelapan, aku membuka layar handphone, menggulir foto-foto Nabil dan Yahya. Terbayang di sana betapa lucu dan menggemaskan mereka waktu masih bayi, dan Mas Surya yang memeluk mereka dengan penuh rasa bahagia. Aku menahan isak dalam hati, merindukan masa-masa indah itu, merindukan keharmonisan keluarga kecilku dulu. Namun, kini semua itu hanya tinggal kenangan, bagai mimpi yang sirna. Aku harus menelan pil pahit karena tak mampu mempertahankan segalanya, terombang-ambing di derasnya ombak kenyataan. Ah, mengapa Mas Surya harus berubah hingga tak mencintaiku lagi? Mengapa hatinya memilih jauh dariku? Dalam kesunyian, terlihat Bibi masih tertidur di bawah ranjangku. Rasa cinta pada anak-anakku semakin membara. Saat ini yang aku inginkan hanyalah segera pulang menemui kedua putra
Ayah dan ibuku duduk di depan tampak saling berpandangan, seperti mencari jawaban tentang apa yang terjadi. Bibi berusaha menenangkanku, namun hatiku masih terasa panas. "Sudah, Nak, jangan..." ucap Bibi pelan."Tapi, Bi, mereka harus sadar bahwa selama ini kejahatan yang mereka lakukan pada orang lain berdampak pada hidupku," kataku sambil mengejapkan air mata yang menggenang. "Lihat sendiri bagaimana hidupku menjadi begini gara-gara ulah mereka."Ayahku yang mendengar itu langsung membentakku dengan wajah memerah. "Diam kamu! Kamu pikir ayah ibu ini pendosa? Apa kamu menyesal memiliki kami sebagai orang tua?" katanya dengan penuh amarah. Entah apa yang mendorongku berkata begini, tapi hatiku berkobar dan suaraku gemetar. "Kalau memang iya, kenapa? Aku lebih baik tidak dilahirkan di dunia ini daripada memiliki orang tua seperti kalian. Ayah bukan sosok yang pantas disebut laki-laki yang baik, menelantarkan anak istri dan menikah dengan ibu!" Tiba-tiba, Nabil dan Yahya memeluk Bibi