Share

Meleleh

Aku terdiam, tak sanggup berkata apa-apa. Rasanya aku salah besar datang mengadukan masalahku ke sini. Aku hanya butuh dukungan, tapi mengapa dia begitu keras hati, bahkan tak peduli dengan perasaanku? Bukankah aku sudah melahirkan cucu untuknya? 

"Kalau kau butuh uang untuk berobat, nanti aku akan memberikan pada Surya, aku sedang terburu-buru, toko tidak ada yang menjaga," katanya sambil berdiri.

 "Bu, tapi Mas Surya berselingkuh," bisikku lemah, masih berusaha untuk mendapatkan simpatinya. Aku merasa seperti pengemis yang membutuhkan dukungannya, karena di sisi lain, aku masih mencintai suamiku dan ingin mempertahankan rumah tangga ini. 

"Seperti yang aku katakan tadi, jika sudah tak sanggup, lebih baik kalian berpisah saja. Sejak awal pernikahan kalian, aku sudah diperingatkan oleh ibumu untuk tidak mencampuri urusan rumah tangga kalian," tegasnya.

 Aku merasakan hati yang hancur, bingung dan putus asa. Apa lagi yang bisa aku lakukan untuk menyelamatkan pernikahan ini? Mengapa aku merasa sendiri dalam menghadapi masalah ini? Apakah benar bahwa aku hanya layak dianggap sebagai beban? Dalam hatiku, rasa sedih dan kecewa bercampur, namun tetap saja aku ingin berjuang, untuk membuktikan bahwa aku pantas untuk dicintai dan dihargai. 

"Tetap berjuang, jangan menyerah," bisikku pada diri sendiri. Karena mungkin, di balik segala penderitaan ini, ada pelajaran yang bisa aku ambil untuk menjadi lebih kuat dan bijaksana.

"Aku tidak seharusnya merasa mudah dengan semua ini. Semua memang salahku." Ucapku dalam hati.

 "Baiklah Bu, kalau begitu aku pulang dulu," kataku sambil berusaha bersikap sopan padanya.

 Meskipun hatiku merasa sangat sakit, tapi aku tahu bahwa jika aku hanya diam di sini, tak ada yang akan berubah.

 Ibu mertuaku akan tetap pada prinsipnya. "Nabil, Yahya, ayo kita pulang dulu Nak," panggilku pada anak-anakku yang tampak asyik bercanda dan tertawa. 

"Baik, Ma," sahut mereka serempak sambil menghampiriku. "Jangan lupa salim nenek dulu sebelum kita pulang," perintahku. Anak-anakku langsung menuruti perintah tersebut.

 Mertuaku kemudian berkata, "Nanti langsung tutup pintunya." Dia langsung masuk ke dalam kamarnya, tak peduli kami yang sedang bersiap untuk pergi. Aku sadar bahwa itu adalah cara halusnya mengusir kami. 

 "Ayo, Nak, kita pulang," ujarku dengan nada pasrah sambil berusaha menghapus air mataku. Aku tidak ingin anak-anak melihatku sedih dan menanyakan penyebabnya. Aku Pastikan mereka tidak menyadari keadaan ini demi melindungi perasaan mereka dan tetap tumbuh bahagia.

Rasa sakit yang menyesakkan dada ini seperti membunuhku perlahan. Aku berusaha keras menahannya, sambil mencari ketenangan untuk berpikir lebih jernih. Aku memutuskan untuk segera pulang dari rumah. Hari ini harus menjadi awal keputusan yang tegas. Aku tak ingin rasa sakit ini bertambah panjang

."Aku harus bertindak," gumamku, memberi keyakinan pada diriku sendiri. "Aku akan menemui perempuan yang menjadi selingkuhan suamiku. Biarlah aku yang langsung menyampaikan perasaanku, harapan-harapanku agar dia segera meninggalkan suamiku. Aku tak mampu membayangkan jika keadaan terus seperti ini," batinku lagi, mencoba memberi keberanian.

 "Kita langsung pulang ya, Ma?" tanya anakku, melihatku dalam diam.

 "Iya sayang, nanti mama belikan es krim ya?" bujuk ku pada mereka. Aku mencoba mengusir kesedihan ini sejenak, melihat mereka yang bersemangat. 

"Asyik, mama memang baik!" seru anak-anakku sambil tersenyum polos. Senyum polos itulah yang membuatku kuat untuk terus bertahan di saat seperti ini. Mereka juga menjadi alasan utama aku berjuang mempertahankan rumah tanggaku. Aku tidak ingin melihat anakku tumbuh besar dalam lingkungan keluarga yang broken home, dengan kekurangan kasih sayang. Aku ingin mereka tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang utuh, menciptakan kebahagiaan dan kenangan indah bersama. Itulah yang ku sembah kan untuk mereka, kesempatan untuk hidup dengan damai dalam keluarga yang utuh.

Saat aku melangkah masuk ke rumah, motor Mas Surya terparkir di sana, menandakan kehadirannya di rumah ini. Degup jantungku semakin cepat, rasa takut menyelimuti, tak sanggup menghapus bayangan saat dihujani pukulan oleh suamiku sendiri. 

"Mama, kita pulang ke rumah nenek saja, nanti mama dipukul papa lagi," pinta Nabil, putra sulungku yang masih berusia empat tahun.

 "Tenang, Nak," ujarku mencoba menenangkan mereka, 

"Papa tidak akan memukul Mama lagi. Ayo turun." Aku mencoba meyakinkan diri, namun di lubuk hatiku sendiri, tak yakin dengan ucapanku itu.

 "Assalamualaikum," salamku dengan hormat meski hati ini gelisah. Betapapun juga, dia masih suamiku, dan pantas untuk aku hormati. "Anak-anakku, sudah pulang, ya? Wah, Papa dari tadi mencari kalian lho," sapa Mas Surya, langsung memeluk Nabil dan Yahya, seolah tak ada yang terjadi. 

 "Aku tidak mau Papa pulang, nanti Papa jahat lagi, pukul Mama," potongan kata Nabil mencengkeram jantungku hingga aku tak mampu menahan air mata yang mulai menggenang di sudut mata. Kenapa Nabil sampai mengucapkannya? Apakah begitu sakitnya dirinya melihatku menderita? Rasa sesak di dadaku begitu menyiksa, aku harap mereka tahu betapa pedih hati ini kala kebahagiaan mereka harus dijejali oleh duri perselisihan suami-istri. Sementara itu, kisah rumah tangga yang terancam renggut bahagia terus menyelimuti langkahku dalam hidup ini.

"Papa tadi beli es krim, ada di kulkas. Nabil sama Yahya mau?" ujarnya  dengan suara bergetar.

 Hatiku sebenarnya berkecamuk saat melihat wajah senang mereka. "Tapi mama juga mau belikan es krim untuk aku dan Yahya," timpal Nabil. 

Mas Surya, suamiku, langsung memandangiku dengan ekspresi yang tak aku mengerti

. "Mama lupa tadi belum jemur baju kalian," ucapku cepat, lalu meninggalkan mereka bertiga. 

Aku tidak tahan melihat sikap manis Mas Surya yang seolah-olah tak terjadi apa-apa. "Sama saja mau es krim dari Papa atau Mama, kan sama-sama es krim juga," ujar Nabil yang tak menyadari apa yang sebenarnya terjadi. 

"Oh iya, ya. Sama-sama es krim," sahut Yahya, putraku yang masih berusia tiga tahun. Aku terisak pelan, menahan air mata yang kembali mengalir di pipiku. Sambil memegang perutku yang sedang mengandung anak ketiga kami, kehamilanku yang baru berusia empat bulan masih belum terlihat karena tubuhku yang kecil. Aku juga belum sempat memberitahukan ibuku tentang kehamilanku ini. 

Apalagi sampai mereka mengetahui masalah rumah tanggaku yang sedang diterpa badai, pasti mereka akan marah besar padaku. "Salamah," suara Mas Surya tiba-tiba terdengar. Dia sudah berdiri di hadapanku. Aku buru-buru menghapus air mataku, berusaha untuk terlihat tegar.

 "Maafkan Mas," ucapnya pelan, lalu memeluk tubuhku. Namun, aku merasa tak mampu melupakan begitu saja pengkhianatan nya yang menyayat hatiku.

"Aku terjatuh, hatiku luluh saat aku mendengar kata-kata Mas Surya, "Maafkan aku yang telah hilang kendali. Aku benar-benar tak bermaksud memukul atau melukai hatimu. Aku melakukannya karena aku tidak tega melihatmu bersedih, kamu tahu betapa aku mencintaimu. Bahkan aku tetap menikah denganmu meskipun ibu tidak menyetujui hubungan kita." 

Aku merasa begitu lemah, bagaimana mungkin cintaku masih bisa mengalahkan rasa sakit ini hanya karena pelukannya? Aku kembali luluh, bersedia mendengarkan penjelasannya meski aku sadar bahwa apa yang telah dilakukannya begitu fatal.

 Dalam hati aku bertanya, apakah aku pantas memberikan kesempatan kepadanya untuk menjelaskan alasan di balik tindakannya? Haruskah aku rela melupakan luka ini demi cinta yang selama ini kubanggakan? Pikiranku terombang-ambing antara keinginan untuk memaafkan dan rasa dendam yang masih menyala. Aku menarik nafas panjang, mencoba merasakan keberanian untuk menghadapi segala kemungkinan yang mungkin terjadi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status