Share

Tidak ada harapan

Mataku terasa begitu berat, saat aku terjaga ternyata anak-anakku sudah tidur di sampingku. "Ya Tuhan, sakit sekali," gumamku seraya memegang pipiku yang begitu sakit. 

Aku berusaha untuk berdiri, ingin mendekati cermin untuk melihat keadaan wajahku. Benar saja, wajahku merah dan mataku terlihat berwarna biru akibat memar. 

 "Kejam sekali dia, aku sedang hamil, tapi dia melakukan ini padaku," geram ku dalam hati sambil air mata kembali mengalir di pipiku.

 Kedua anakku yang sedang terlelap di sampingku begitu menarik perhatianku, masih mengenakan baju yang sama seperti sebelumnya. "Maafkan Mama, Nak, maafkan Mama karena sudah membuat kalian terlelap sendiri," ucapku lembut dengan suara yang hampir tak terdengar, saat mengecup kening mereka.

 Aku melirik jam dinding dan baru sadar sudah malam. Ternyata waktu berlalu begitu cepat semenjak aku pingsan. Namun, apa yang membuatku kaget adalah tidak menemukan keberadaan suamiku, Mas Surya. 

"Sungguh jahat sekali Mas Surya padaku, kenapa dia begitu tega melakukan ini? Apakah dia tidak mencintaiku lagi, atau Nayla  yang membuatnya melakukan hal ini?" Gumamku dalam hati, mencoba menenangkan diri diatas perasaan kecewa dan marah yang mendera.

Aku bergegas menuju dapur untuk mengambil batu es, berharap dapat meredakan memar di wajahku. Sambil memegangi batu es di wajah, aku mencoba menelan obat pereda nyeri agar sakitnya bisa berkurang.

 "Anak-anak butuh perhatian, aku tidak bisa membiarkan diriku terpuruk seperti ini," batinku sambil merasakan sakit yang menjalar ke sekujur tubuhku.

 Keesokan paginya, aku berniat untuk melaporkan perbuatan kejam anaknya ini kepada ibu mertuaku. Setidaknya, dengan ibu mertuaku, aku bisa berbicara dan meminta dukungan, meskipun responsnya mungkin tidak akan terlalu antusias.

 "Kenapa ya keluarga mereka terlihat begitu tidak menyukai aku dan orang tuaku? Padahal kami sama-sama dari keluarga terpandang," gumamku pelan, seraya berusaha menahan rasa perih di hatiku. 

 Malam itu, aku berjuang untuk menahan tangis dan rasa sakit, tidak ingin anak-anakku terbangun dan melihat penderitaanku. Aku tahu mereka baru saja menghadapi banyak pengalaman baru yang tidak pernah mereka duga sebelumnya. 

"Besok pagi, aku harus melaporkan hal ini kepada orang tuanya, walaupun aku merasa ragu akan reaksi kedua orang tua Mas Surya. Tapi, ini harus kulakukan, karena tidak ada pilihan lain," aku bergumam lirih, mencari keberanian untuk menghadapi hari yang akan datang.

.......

Keesokan paginya, aku terbangun lebih awal dari biasanya dan mencari-cari Mas Surya di sekitar rumah. Sejak semalam, aku tak tahu kemana dia pergi.

 Namun, hari ini aku sudah bertekad untuk membawa kedua anakku menemui mertuaku. Walaupun aku masih ragu apakah mereka akan mendengarkan apa yang hendak ku sampaikan, setidaknya aku bisa merasa puas karena perasaanku telah tersampaikan kepada mereka.

 "Ayo, Nak, ikut Mama dulu," kataku kepada kedua putraku yang terlihat sangat bahagia, terutama saat mendengar bahwa kita akan pergi ke rumah nenek mereka. Walaupun mereka tidak terlalu akrab dengan kedua mertuaku, tapi selama ini mereka tetap memberikan dukungan untuk kehidupan kami melalui Mas Surya.

Dalam hati, aku merasa gugup dan bingung tentang bagaimana nanti pertemuan ini akan berlangsung. "Apakah mertuaku akan marah kepadaku? Atau mereka justru akan mendukungku?" gumamku. Namun, tekadku sudah bulat. Aku harus menjalani ini demi kedua anakku dan kebahagiaan keluarga kami.

 "Kita mau ke rumah Nenek, ayo," ujarku semangat sambil merangkul kedua putraku.

Aku menyalakan motor dan segera mengenakan masker untuk menutupi wajahku yang memar. Beruntung rumah mertuaku tidak terlalu jauh dari rumahku, sehingga dalam waktu kurang dari sepuluh menit aku sudah tiba di depan rumah mereka. "Ayo turun, Nak," ajakku pada kedua anakku yang terlihat murung dan kecewa. Aku tahu mereka kecewa karena nenek yang mereka maksud adalah orang tua dari pihakku, bukan orang tua Mas Surya. 

 "Mama, aku nggak mau ke rumah nenek yang ini," keluh anakku dengan wajah sedih. Aku berusaha memberi semangat dan menjelaskan bahwa nenek di sini juga sayang dengan mereka. 

"Sudah, ayo turun dulu, yaa. Nenek yang ini sama saja dengan nenek yang di sana, hanya saja nenek yang ini sibuk bekerja, banyak usahanya, kan?" ujarku sambil tersenyum dan melepaskan masker yang menutupi wajahku. Mengumpulkan keberanian, aku menarik nafas dalam-dalam dan mengetuk pintu rumah besar itu. 

"Assalamualaikum," ucapku dengan suara yang sedikit gemetar. Tak perlu waktu lama, akhirnya pintu pun terbuka dan kami pun diizinkan masuk

 Dan sesuai dengan dugaanku sebelumnya, wajah ibu mertuaku tampak datar saat melihat kedatangan kami, padahal aku bersama cucu kandungnya. 

"Ibu," aku langsung mencium tangannya, walaupun dia menolaknya dengan tegas,

 "Tidak usah." Aku mencoba untuk tidak kecewa, karena memang sejak awal dia tidak pernah menyukaiku. Entah apa alasan sebenarnya, aku tak pernah tahu apa yang salah dalam diriku.

 "Ada perlu apa kemari?" ujarnya sambil langsung duduk di kursi, dan aku pun mengikuti nya, bersama kedua putraku.

 "Jangan nakal, pergi main di sana," ucapku pada anak-anak, mengarahkan mereka bermain di dalam ruangan agar tak mendengar pembicaraan kami. Keduanya pun langsung berlari kegirangan,

 namun terhenti ketika ibu mertuaku berteriak, "Eh, jangan nakal, nanti gucinya pecah! Duduk yang baik, jangan lari-lari!" Dia tampak kesal, namun aku mencoba untuk tetap tersenyum walaupun sebenarnya itu sangat menyakitkan hatiku.

 "Tidak apa-apa," batinku, berusaha untuk berpikir positif. Aku mencoba memahami bahwa ini mungkin adalah hal yang wajar, seorang nenek mengomeli cucunya. Namun, bukan kebahagiaan sejati yang aku rasakan ketika melihat sikap ibu mertua yang tak pernah berubah. Aku hanya bisa berharap suatu saat, dia akan menerima aku sebagai bagian dari keluarganya.

"Aku mau pergi ke toko, katakan ada perlu apa? Apa kebutuhan dapurmu habis?" Tanyanya sambil membuang muka, seolah-olah tidak ingin melihat wajahku sama sekali.

 "Apa aku begitu hina di mata ibu mertuaku, sampai dia tak mau berbicara sambil memandangku?" batin ku. Padahal aku ini menantunya dan dia juga tak memiliki anak perempuan. 

"Tidak Bu, aku tidak meminta itu. Kedatanganku kemari karena Mas Surya, memukulku. Dia sudah melakukan kesalahan fatal, berselingkuh di belakangku. Aku tak tahu lagi harus bercerita kepada siapa Bu," ujarku tak mampu menahan air mataku, tangisanku semakin menjadi-jadi.

 Tapi jawaban mertuaku benar-benar membuatku bertambah sakit. "Hanya itu saja yang ingin kau sampaikan?"

 "Bu, rumah tanggaku sedang tidak baik-baik saja, aku mohon ibu nasehati Mas Surya. Kasihan anak-anak kami Bu," pintaku dengan harapan besar agar mertuaku mau membantu menyelamatkan pernikahan kami.

"Aku rasa ini masalah kalian, namanya rumah tangga tentu saja banyak masalah, apa lagi sejak awal aku memang tidak mau ikut campur, urusan kalian, kalau sekiranya kamu sudah tidak tahan dengan putraku, ya sudah minta cerai saja."

 Mendengar ucapan yang keluar dari mulut ibu mertuaku, darahku langsung berdesir. Aku tak menyangka dia akan mengatakan hal seperti itu padaku. Apakah dia tidak pernah berpikir betapa sulitnya bagiku untuk menghadapi suami yang tak lagi mencintaiku? Apakah dia tidak menyadari betapa aku telah berusaha menenangkan gelombang masalah dalam rumah tangga ini, terutama demi anak yang kami cintai? Bukan semudah itu untuk mengakhiri hubungan ini. Bagaimanapun, kami ini sudah berkeluarga, memiliki anak, bukan pasangan muda-mudi yang sedang berpacaran. 

Aku benar-benar merasa frustrasi, kalau di tengah masalah yang melanda, keluarga sekalipun hanya bisa memberikan dukungan sebatas kata-kata. Sepertinya, aku benar-benar harus berjuang sendiri demi kebahagiaanku dan anak-anak. "Mungkin jika berbicara lagi padanya, ada perubahan yang bisa terjadi. Tapi, apakah itu bisa menghapus sakit hati dan kekecewaan yang kurasakan selama ini?" gumamku lirih dalam hati, berusaha mencari jalan keluar terbaik

dari labirin perasaan yang tak kunjung mendapatkan titik temu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status