Share

KDRT

Tanpa rasa berdosa, Mas Surya langsung pergi ke dapur untuk mandi dan memanggilku untuk menyiapkan makanan. 

"Sebentar Mas," kataku sambil berusaha menahan air mata yang hendak tumpah. 

Rasa sesak di dada sudah tak bisa tertahankan, seperti bara yang tak kunjung padam. Aku ingin sekali berteriak dan melawan, tapi aku tahu bahwa semua ini belum cukup. Aku harus mengumpulkan bukti lebih banyak lagi, agar Mas Surya tak bisa mengelak dari perselingkuhan yang telah dia perbuat. 

 Aku mencoba menenangkan pikiranku, memfokuskan perhatian pada segala sesuatu di sekitarku. Namun, rasa sakit dan marah begitu besar, hingga sulit sekali untuk memikirkan apapun. Aku tak menyalahkan wanita itu, karena aku sadar betul bahwa Mas Surya-lah yang seharusnya bisa mengendalikan dirinya.

 Mengapa dia tidak bisa menahan diri untuk tidak bermain hati di belakangku? Apakah cinta kami sudah tidak ada lagi?

 "Salamah, mana piringnya?" teriak Mas Surya saat keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk.

 "Iya Mas, sebentar," jawabku, menunjuk ke rak piring yang tepat di depan matanya. 

Tapi begitulah Mas Surya, tak pernah mau melihat apa yang ada di depannya, termasuk cintaku yang selama ini setia menemani.Tapi begitulah dia, selalu ingin dilayani bak seorang raja, padahal selama ini orang tuaku lah yang banyak membantu kebutuhan aku dan anak-anak.

 Namun, terlepas dari itu semua, orang tua nya masih saja tetap menilai aku buruk.

 “Kamu itu kerjaannya apa, seharian? Suami pulang belum menyiapkan makanan, bagaimana rezeki mau datang kalau punya istri pemalas begini?” Ucapan tersebut sering terucap dari mulutnya, tapi selama ini aku menganggap itu adalah hal biasa, karena aku pikir dia stres karena tidak memiliki pekerjaan. Tapi setelah aku melihat foto tidak senonoh itu, darahku mendidih, ingin sekali aku lempar piring ini ke wajahnya. 

"Apakah aku benar-benar tidak layak di matanya? Kenapa dia begitu memandang rendah diriku? Bukankah selama ini aku sudah bekerja keras untuk keluarga ini?" gumamku dalam hati. “Cepat bawa kemari, ngapain kamu berdiri di situ seperti orang tolol, ayo cepat!”

 Aku menaruh piring dan memasukkan nasi, sempat terlintas pikiran untuk memasukkan racun tikus dalam piringnya, agar dia cepat mati. Tapi aku sadar, itu adalah hal bodoh yang malah merugikan aku dan akhirnya anak-anakku juga nanti yang akan menjadi korban, atas tindakan bodoh ini.

 "Tidak, aku harus lebih bijaksana dalam menghadapi masalah ini. Aku tidak boleh terbawa emosi dan membuat keputusan yang salah. Demi anak-anakku, aku harus tetap tegar dan bertahan dalam menghadapi suamiku yang menyakitkan hati ini," tekadku dalam hati, berusaha meredam amarah yang meluap-luap.

“Besok Mas berencana untuk pergi selama dua hari ke kampung halaman bersama bapak. "Kamu tinggal di rumah saja. Kalau beras habis, minta saja dulu di rumah bapak dan ibumu. Kamu tahu sendiri kan, orang tuaku tidak suka denganmu." Aku mengangguk, berusaha tetap kuat karena semuanya kulakukan untuk anak-anakku.

 apalagi saat ini aku sedang mengandung anak ketiga kami dan beberapa bulan lagi aku akan melahirkan lagi. 

 "Mama, aku lapar," ucap kedua anakku yang datang mendekati meja makan. 

"Papa suapin," rengeknya manja.

 "Papa ini capek, biar mama saja. Mama seharian di rumah, nggak ada kerjaan, sana!" Mas Surya mengusir anakku yang hendak dekat dengannya. 

 Rasa tidak terima yang kuat tiba-tiba menjalar dalam diriku dan untuk pertama kalinya sejak menikah, aku membentak Mas Surya. 

"Jangan begitu dengan anak-anak! Aku ini capek seharian mengurus mereka, sedangkan kau? Kau ini tidak punya kerjaan, jadi jangan membentak mereka!" Seru hatiku, mencoba memahami betapa pedihnya merasakan penolakan dari suami sendiri terhadap anak-anak kami.

 Mendengar ucapanku, Mas Surya yang sedang makan langsung emosi. Aku mencoba meredam rasa marah yang menyala-nyala dalam diri. Berbagai pertanyaan bermunculan di kepala,

"Apakah aku salah menempatkan kepercayaan dan harapan pada pria ini? Haruskah aku bertahan demi anak-anakku, atau apakah lebih baik memutuskan semua ini dan melindungi mereka dari perlakuan tak adil yang mereka terima?"

“Apa yang baru saja kamu katakan? Kau berani membentakku? Apa kau lupa siapa aku? Aku ini suamimu, derajatku bahkan lebih tinggi dari kedua orang tuamu. Ingat, jika aku murka, seluruh malaikat akan murka padamu!" Bentak suamiku, Mas Surya, lebih keras lagi sambil membawa agama dalam perkataannya.

 Padahal, dia telah berzinah di belakangku dengan cara yang begitu hina. 

 "Sakit, Mas! Jangan tarik rambutku!" seru aku, berusaha melepaskan tangan Mas Surya yang menarik rambutku dengan keras hingga masuk ke dalam kamar. 

Sementara itu, kedua anak kami menangis tersedu-sedu. "Papa, lepaskan Mama, jangan ditarik rambut Mama! Kasihan Mama!" suara mereka menerobos ke relung hatiku.

"Lepaskan, Mas! Sakit sekali! Aku tidak bermaksud berbicara kasar padamu. Tapi aku tak tahan melihat anak-anakku kau bentak seperti itu. Aku yang mengasuh mereka siang dan malam, sedangkan kau tak pernah merasakan betapa repotnya mengurus mereka berdua," kataku, ******** tangis tak terbendung. Namun, rupanya Mas Surya tak peduli. Hatinya seolah kerasukan, dan dia tak bisa dihentikan lagi.

Aku tak habis pikir, padahal saat ini aku sedang mengandung anak ketiganya, darah daging yang seharusnya membuatnya lebih sayang dan melindungi. Namun, apa yang terjadi? Dia menamparku dengan keras, seolah tak peduli akan keberadaan bayi yang ada di dalam rahimku. Hingga saat itu, kepalaku terasa pusing oleh tamparan yang diberikannya.

 Yang bisa kudengar hanyalah suara teriakan kedua anakku yang menangis ketakutan di balik pintu kamar. 

 "Bagaimana jika aku mati di saat ini?" gumamku dalam hati, merasa tak berdaya. Siapa yang akan merawat anak-anakku, jika ayah mereka sendiri tak pernah peduli dan melindungi mereka? Haruskah aku menaruh harapan pada mertuaku? Namun, aku tahu mereka bahkan tak pernah menanyakan kabar kedua cucu mereka, seolah-olah mereka tak peduli sama sekali.

 Lantas, apakah orang tuaku menjadi pilihan terakhir? Mereka memang sudah tua dan lemah, tapi aku tahu bahwa mereka akan dengan senang hati menerima dan merawat anak-anakku. Meski begitu, aku tak tega menambah beban hidup mereka yang sudah cukup berat. Dalam keadaan seperti ini, aku merasa seperti terjebak dalam lingkaran setan. Aku ingin melindungi dan memastikan masa depan anak-anakku, tapi aku sendiri tak mampu berbuat apa-apa. Apakah ada jalan keluar yang lebih baik untukku dan anak-anakku? Hanya Tuhan yang tahu.

""Mama, jangan masuk ke sana!" teriak putra sulungku dengan panik. Suaranya membuat hatiku sedih, seolah memberi ku kekuatan untuk mengatasi rasa sakit yang kualami. Namun, rasa sakit kepala ini benar-benar tak tertahankan. Aku merasa seperti dihantam dengan palu besar, membuatku tak bisa berpikir jernih. Kenapa Mas Surya, kenapa ia begitu kejam padaku? Apakah dia benar-benar tak memiliki belas kasihan sedikit pun padaku? 

Aku hanya bisa merasakan rasa terhina dan sakit, karena orang yang seharusnya melindungiku justru menyakitiku seperti ini. Ku tatap putra sulungku, tangis dan kekhawatiran jelas terpancar di wajahnya. Semakin membuatku yakin, bahwa aku harus melawan rasa sakit ini dan melakukan sesuatu agar tidak terus terpuruk dalam penderitaan.

 "Ini bukan akhir segalanya, putra. Aku akan berusaha untuk melindungi kita semua," gumamku dalam hati, berharap bahwa suat

u saat nanti, kebahagiaan akan kembali hadir dalam keluarga kami.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status