Tanpa rasa berdosa, Mas Surya langsung pergi ke dapur untuk mandi dan memanggilku untuk menyiapkan makanan.
"Sebentar Mas," kataku sambil berusaha menahan air mata yang hendak tumpah. Rasa sesak di dada sudah tak bisa tertahankan, seperti bara yang tak kunjung padam. Aku ingin sekali berteriak dan melawan, tapi aku tahu bahwa semua ini belum cukup. Aku harus mengumpulkan bukti lebih banyak lagi, agar Mas Surya tak bisa mengelak dari perselingkuhan yang telah dia perbuat. Aku mencoba menenangkan pikiranku, memfokuskan perhatian pada segala sesuatu di sekitarku. Namun, rasa sakit dan marah begitu besar, hingga sulit sekali untuk memikirkan apapun. Aku tak menyalahkan wanita itu, karena aku sadar betul bahwa Mas Surya-lah yang seharusnya bisa mengendalikan dirinya. Mengapa dia tidak bisa menahan diri untuk tidak bermain hati di belakangku? Apakah cinta kami sudah tidak ada lagi? "Salamah, mana piringnya?" teriak Mas Surya saat keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk. "Iya Mas, sebentar," jawabku, menunjuk ke rak piring yang tepat di depan matanya. Tapi begitulah Mas Surya, tak pernah mau melihat apa yang ada di depannya, termasuk cintaku yang selama ini setia menemani.Tapi begitulah dia, selalu ingin dilayani bak seorang raja, padahal selama ini orang tuaku lah yang banyak membantu kebutuhan aku dan anak-anak. Namun, terlepas dari itu semua, orang tua nya masih saja tetap menilai aku buruk. “Kamu itu kerjaannya apa, seharian? Suami pulang belum menyiapkan makanan, bagaimana rezeki mau datang kalau punya istri pemalas begini?” Ucapan tersebut sering terucap dari mulutnya, tapi selama ini aku menganggap itu adalah hal biasa, karena aku pikir dia stres karena tidak memiliki pekerjaan. Tapi setelah aku melihat foto tidak senonoh itu, darahku mendidih, ingin sekali aku lempar piring ini ke wajahnya. "Apakah aku benar-benar tidak layak di matanya? Kenapa dia begitu memandang rendah diriku? Bukankah selama ini aku sudah bekerja keras untuk keluarga ini?" gumamku dalam hati. “Cepat bawa kemari, ngapain kamu berdiri di situ seperti orang tolol, ayo cepat!” Aku menaruh piring dan memasukkan nasi, sempat terlintas pikiran untuk memasukkan racun tikus dalam piringnya, agar dia cepat mati. Tapi aku sadar, itu adalah hal bodoh yang malah merugikan aku dan akhirnya anak-anakku juga nanti yang akan menjadi korban, atas tindakan bodoh ini. "Tidak, aku harus lebih bijaksana dalam menghadapi masalah ini. Aku tidak boleh terbawa emosi dan membuat keputusan yang salah. Demi anak-anakku, aku harus tetap tegar dan bertahan dalam menghadapi suamiku yang menyakitkan hati ini," tekadku dalam hati, berusaha meredam amarah yang meluap-luap. “Besok Mas berencana untuk pergi selama dua hari ke kampung halaman bersama bapak. "Kamu tinggal di rumah saja. Kalau beras habis, minta saja dulu di rumah bapak dan ibumu. Kamu tahu sendiri kan, orang tuaku tidak suka denganmu." Aku mengangguk, berusaha tetap kuat karena semuanya kulakukan untuk anak-anakku. apalagi saat ini aku sedang mengandung anak ketiga kami dan beberapa bulan lagi aku akan melahirkan lagi. "Mama, aku lapar," ucap kedua anakku yang datang mendekati meja makan. "Papa suapin," rengeknya manja. "Papa ini capek, biar mama saja. Mama seharian di rumah, nggak ada kerjaan, sana!" Mas Surya mengusir anakku yang hendak dekat dengannya. Rasa tidak terima yang kuat tiba-tiba menjalar dalam diriku dan untuk pertama kalinya sejak menikah, aku membentak Mas Surya. "Jangan begitu dengan anak-anak! Aku ini capek seharian mengurus mereka, sedangkan kau? Kau ini tidak punya kerjaan, jadi jangan membentak mereka!" Seru hatiku, mencoba memahami betapa pedihnya merasakan penolakan dari suami sendiri terhadap anak-anak kami. Mendengar ucapanku, Mas Surya yang sedang makan langsung emosi. Aku mencoba meredam rasa marah yang menyala-nyala dalam diri. Berbagai pertanyaan bermunculan di kepala, "Apakah aku salah menempatkan kepercayaan dan harapan pada pria ini? Haruskah aku bertahan demi anak-anakku, atau apakah lebih baik memutuskan semua ini dan melindungi mereka dari perlakuan tak adil yang mereka terima?" “Apa yang baru saja kamu katakan? Kau berani membentakku? Apa kau lupa siapa aku? Aku ini suamimu, derajatku bahkan lebih tinggi dari kedua orang tuamu. Ingat, jika aku murka, seluruh malaikat akan murka padamu!" Bentak suamiku, Mas Surya, lebih keras lagi sambil membawa agama dalam perkataannya. Padahal, dia telah berzinah di belakangku dengan cara yang begitu hina. "Sakit, Mas! Jangan tarik rambutku!" seru aku, berusaha melepaskan tangan Mas Surya yang menarik rambutku dengan keras hingga masuk ke dalam kamar. Sementara itu, kedua anak kami menangis tersedu-sedu. "Papa, lepaskan Mama, jangan ditarik rambut Mama! Kasihan Mama!" suara mereka menerobos ke relung hatiku. "Lepaskan, Mas! Sakit sekali! Aku tidak bermaksud berbicara kasar padamu. Tapi aku tak tahan melihat anak-anakku kau bentak seperti itu. Aku yang mengasuh mereka siang dan malam, sedangkan kau tak pernah merasakan betapa repotnya mengurus mereka berdua," kataku, ******** tangis tak terbendung. Namun, rupanya Mas Surya tak peduli. Hatinya seolah kerasukan, dan dia tak bisa dihentikan lagi. Aku tak habis pikir, padahal saat ini aku sedang mengandung anak ketiganya, darah daging yang seharusnya membuatnya lebih sayang dan melindungi. Namun, apa yang terjadi? Dia menamparku dengan keras, seolah tak peduli akan keberadaan bayi yang ada di dalam rahimku. Hingga saat itu, kepalaku terasa pusing oleh tamparan yang diberikannya. Yang bisa kudengar hanyalah suara teriakan kedua anakku yang menangis ketakutan di balik pintu kamar. "Bagaimana jika aku mati di saat ini?" gumamku dalam hati, merasa tak berdaya. Siapa yang akan merawat anak-anakku, jika ayah mereka sendiri tak pernah peduli dan melindungi mereka? Haruskah aku menaruh harapan pada mertuaku? Namun, aku tahu mereka bahkan tak pernah menanyakan kabar kedua cucu mereka, seolah-olah mereka tak peduli sama sekali. Lantas, apakah orang tuaku menjadi pilihan terakhir? Mereka memang sudah tua dan lemah, tapi aku tahu bahwa mereka akan dengan senang hati menerima dan merawat anak-anakku. Meski begitu, aku tak tega menambah beban hidup mereka yang sudah cukup berat. Dalam keadaan seperti ini, aku merasa seperti terjebak dalam lingkaran setan. Aku ingin melindungi dan memastikan masa depan anak-anakku, tapi aku sendiri tak mampu berbuat apa-apa. Apakah ada jalan keluar yang lebih baik untukku dan anak-anakku? Hanya Tuhan yang tahu. ""Mama, jangan masuk ke sana!" teriak putra sulungku dengan panik. Suaranya membuat hatiku sedih, seolah memberi ku kekuatan untuk mengatasi rasa sakit yang kualami. Namun, rasa sakit kepala ini benar-benar tak tertahankan. Aku merasa seperti dihantam dengan palu besar, membuatku tak bisa berpikir jernih. Kenapa Mas Surya, kenapa ia begitu kejam padaku? Apakah dia benar-benar tak memiliki belas kasihan sedikit pun padaku? Aku hanya bisa merasakan rasa terhina dan sakit, karena orang yang seharusnya melindungiku justru menyakitiku seperti ini. Ku tatap putra sulungku, tangis dan kekhawatiran jelas terpancar di wajahnya. Semakin membuatku yakin, bahwa aku harus melawan rasa sakit ini dan melakukan sesuatu agar tidak terus terpuruk dalam penderitaan. "Ini bukan akhir segalanya, putra. Aku akan berusaha untuk melindungi kita semua," gumamku dalam hati, berharap bahwa suat u saat nanti, kebahagiaan akan kembali hadir dalam keluarga kami.Mataku terasa begitu berat, saat aku terjaga ternyata anak-anakku sudah tidur di sampingku. "Ya Tuhan, sakit sekali," gumamku seraya memegang pipiku yang begitu sakit. Aku berusaha untuk berdiri, ingin mendekati cermin untuk melihat keadaan wajahku. Benar saja, wajahku merah dan mataku terlihat berwarna biru akibat memar. "Kejam sekali dia, aku sedang hamil, tapi dia melakukan ini padaku," geram ku dalam hati sambil air mata kembali mengalir di pipiku. Kedua anakku yang sedang terlelap di sampingku begitu menarik perhatianku, masih mengenakan baju yang sama seperti sebelumnya. "Maafkan Mama, Nak, maafkan Mama karena sudah membuat kalian terlelap sendiri," ucapku lembut dengan suara yang hampir tak terdengar, saat mengecup kening mereka. Aku melirik jam dinding dan baru sadar sudah malam. Ternyata waktu berlalu begitu cepat semenjak aku pingsan. Namun, apa yang membuatku kaget adalah tidak menemukan keberadaan suamiku, Mas Surya. "Sungguh jahat sekali Mas Surya padaku, kenapa dia
Aku terdiam, tak sanggup berkata apa-apa. Rasanya aku salah besar datang mengadukan masalahku ke sini. Aku hanya butuh dukungan, tapi mengapa dia begitu keras hati, bahkan tak peduli dengan perasaanku? Bukankah aku sudah melahirkan cucu untuknya? "Kalau kau butuh uang untuk berobat, nanti aku akan memberikan pada Surya, aku sedang terburu-buru, toko tidak ada yang menjaga," katanya sambil berdiri. "Bu, tapi Mas Surya berselingkuh," bisikku lemah, masih berusaha untuk mendapatkan simpatinya. Aku merasa seperti pengemis yang membutuhkan dukungannya, karena di sisi lain, aku masih mencintai suamiku dan ingin mempertahankan rumah tangga ini. "Seperti yang aku katakan tadi, jika sudah tak sanggup, lebih baik kalian berpisah saja. Sejak awal pernikahan kalian, aku sudah diperingatkan oleh ibumu untuk tidak mencampuri urusan rumah tangga kalian," tegasnya. Aku merasakan hati yang hancur, bingung dan putus asa. Apa lagi yang bisa aku lakukan untuk menyelamatkan pernikahan ini? Mengapa aku
Sudah hampir dua minggu sejak kejadian itu terjadi, dan aku mulai merasakan kebahagiaan baru seolah seperti pengantin baru lagi. Apalagi Mas Surya kini kembali menunjukkan sisi manisnya, persis seperti saat pertama kali kami bertemu dulu. Lagi pula, bekas memar di wajahku juga sudah mulai pudar, sehingga aku tak perlu khawatir untuk keluar rumah lagi.Syukurlah selama dua minggu ini kedua orang tuaku tidak datang mengunjungi ku karena kesibukan mereka di kebun. Kebetulan kedua orang tuaku adalah petani sayur-sayuran dan hampir semua kebutuhan sayuran di desa ini dihasilkan dari kebun milik orang tuaku. Meskipun mereka tidak terjun langsung ke ladang, mereka memiliki beberapa orang anak buah yang membantu mengelola kebunnya. Permintaan sayuran yang sedang meningkat membuat kedua orang tuaku sangat sibuk hingga mereka tidak sempat mengunjungi ku dalam dua minggu terakhir. Aku merenung, "Mungkin ini cara Tuhan untuk melindungi ku agar orang tuaku tidak mengetahui apa yang terjadi dal
Salamah merasa emosinya sulit dikendalikan. Dia merasa jengah dengan tatapan sejumlah orang di sekitar mereka, namun tidak peduli. "Kenapa dia berani macam-macam denganku?" batin Salamah dengan penuh amarah. Sementara itu, kedua putra Salamah asyik bermain pasir di samping mereka, sama sekali tidak menyadari perasaan sang ibu. "Kau ini perempuan iblis, kau tega menjadi selir suamiku! Kau lihat aku ini sedang hamil anak ketiga!" Salamah berbicara pada Nayla dengan suara berbisik namun penuh penekanan. Nayla, bagaimanapun, tetap membantah, seolah menantang kemarahan Salamah. "Mbak, jangan suka menuduh tanpa bukti. Mbak bisa aku laporkan ke kantor polisi, karena sudah memfitnahku. Mbak tau kan negara ini punya aturan, jadi jangan macam-macam denganku," ancam Nayla. "Kau mau melaporkan aku? Silahkan saja, aku tidak takut! Biar saja sekalian orang-orang tahu bagaimana kelakuanmu," balas Salamah. Nayla tertawa mengejek, membuat Salamah semakin kesal. Aku harus menegakkan keadilan untu
"Apa yang terjadi, Mas?" Aku langsung menghampiri suamiku yang terlihat marah. Tidak tahu apa yang membuatnya marah seperti ini, membuat hatiku resah dan cemasPlak! Satu tamparan keras mendarat di pipiku, membuatku terkejut dan kesakitan. Bekas luka di pipi pun baru saja pudar, namun kini telah digantikan oleh tamparan yang baru. "Aww, sakit sekali. Apa salahku, Mas?" Keluhku ketika sudut bibirku mulai mengeluarkan darah. Dia memukulku tanpa belas kasihan. "Kau bertanya apa salahmu!" tatapan matanya menusuk, seakan ingin menerkam. Aku merasa seperti tak berdaya, hati ini semakin dilanda ketakutan dan bingung. "Apa yang kau lakukan pada Nayla?, kenapa kau menamparnya hah?" tanyanya penuh amarah. Aku merenung sejenak, mencoba merangkai kejadian yang sebenarnya terjadi. "Untuk apa kau menemuinya!," lanjutnya sambil berteriak. Dalam hatiku, aku bertanya-tanya mengapa dia marah besar seperti ini. Apakah ini hanya karena Nayla? Apakah aku telah melampaui batas dengan menampar peremp
Aku mengusap air mataku, lalu tersenyum seindah mungkin agar kedua putraku berhenti menangis. "Ayo kita masuk dulu sebentar sayang, nanti setelah ini kita akan ke rumah nenek, ya?" kataku menenangkan. "Mama, Papa jahat sama Mama, Nabil nggak suka, Ma," ucap Nabil dengan matanya yang berkaca-kaca. Hatiku semakin teriris mendengarnya. "Tunggu sebentar ya, Mama ganti baju dulu," ucapku pelan. Di depan cermin, aku menatap diriku sendiri. Nayla pernah mengatakan bahwa aku adalah perempuan yang selalu memakai daster, dan memang benar, karena sejak menjadi ibu, aku harus mengurus anak-anak dan suamiku dengan tanganku sendiri. Bahkan, sesekali aku juga membantu ibu di kebun, meski mereka tak pernah memintaku, tapi rasa bersalah selalu menyelimuti hatiku. Orangtuaku terus menerus membantu membeli susu untuk anak-anakku. "Mama, kita mau kemana? Kenapa Yahya dan Nabil nggak ikut Mama aja?" tanya Nabil lirih, mengejutkanku dari lamunanku. Semoga ke depannya aku bisa menjadi lebih kuat untuk
Wajah Mas Surya mulai berubah, sepertinya ia merasa tidak nyaman dengan pertanyaan ibuku. Hal itu membuatku semakin cemas, karena aku tahu, akibatnya nanti akan kembali menimpa diriku. Aku merasa takut, apa jadinya jika Mas Surya melampiaskan kekesalannya padaku? "Lalu kenapa wajahmu itu memar Salamah?" tanya ibuku, saat ia mendekat dan melihat bekas memar yang masih terlihat di wajahku, meski hanya sedikit. Bahkan, tampak pula bekas pukulan baru di dekat bibirku. "Tidak apa-apa Bu, tadi aku jatuh di kamar mandi," jawabku, berusaha mengalihkan perhatian ibuku. Aku lalu memanggil Nabil dan Yahya yang masih bermain di kejauhan. "Ayo Nabil, Yahya, kita pulang. Lihat, Papa juga sudah di sini." Namun, Nabil menjawab dengan tegas, "Tidak mau pulang, nanti Papa jahat lagi sama Mama. Papa jahat, Nek. Nabil nggak mau pulang, mau tinggal di sini saja." Perasaan campur aduk merasuki hatiku. Apakah aku seorang istri yang buruk, sehingga membuat Mas Surya melampiaskan kemarahannya padaku? A
Aku langsung menoleh ke arahnya, namun perempuan yang melontarkan ucapan tersebut dengan segera menutup mulutnya. Nayla bergegas masuk ke dalam rumah dan berteriak, "Lihat saja, aku akan merebut apa yang seharusnya menjadi milikku!" Ibu Nayla, dengan wajah penuh simpati, menghampiri dan berkata, "Sebaiknya kau pulang saja dulu, Nak. Bawa anak-anakmu ke rumah orang tuamu, bicarakan masalah ini baik-baik." Mendengar itu, aku pun menangis. "Tapi, anak Ibu sudah merusak rumah tanggaku. Mengapa dia tak bisa menjauh dari hidupku? Kenapa dia harus merebut suamiku? Apa dia tidak bisa mendekati laki-laki lain saja, yang sebaya dengannya? Kenapa harus suamiku, Bu?", aku merasa bahwa segala kebahagiaan yang aku raih selama ini hancur seketika karena sikap Ibu dan anakny.Di lubuk hatinya, Salamah ingin melawan dan membela diri, namun hati kecilnya juga menjerit agar jangan sampai menyerah begitu saja. "Aku harus menghadapi kenyataan ini," gumamnya sembari menyeka air matanya. "Tidak pedu