Share

KDRT

Author: Sandi Hasan
last update Last Updated: 2023-12-05 16:00:30

Tanpa rasa berdosa, Mas Surya langsung pergi ke dapur untuk mandi dan memanggilku untuk menyiapkan makanan. 

"Sebentar Mas," kataku sambil berusaha menahan air mata yang hendak tumpah. 

Rasa sesak di dada sudah tak bisa tertahankan, seperti bara yang tak kunjung padam. Aku ingin sekali berteriak dan melawan, tapi aku tahu bahwa semua ini belum cukup. Aku harus mengumpulkan bukti lebih banyak lagi, agar Mas Surya tak bisa mengelak dari perselingkuhan yang telah dia perbuat. 

 Aku mencoba menenangkan pikiranku, memfokuskan perhatian pada segala sesuatu di sekitarku. Namun, rasa sakit dan marah begitu besar, hingga sulit sekali untuk memikirkan apapun. Aku tak menyalahkan wanita itu, karena aku sadar betul bahwa Mas Surya-lah yang seharusnya bisa mengendalikan dirinya.

 Mengapa dia tidak bisa menahan diri untuk tidak bermain hati di belakangku? Apakah cinta kami sudah tidak ada lagi?

 "Salamah, mana piringnya?" teriak Mas Surya saat keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk.

 "Iya Mas, sebentar," jawabku, menunjuk ke rak piring yang tepat di depan matanya. 

Tapi begitulah Mas Surya, tak pernah mau melihat apa yang ada di depannya, termasuk cintaku yang selama ini setia menemani.Tapi begitulah dia, selalu ingin dilayani bak seorang raja, padahal selama ini orang tuaku lah yang banyak membantu kebutuhan aku dan anak-anak.

 Namun, terlepas dari itu semua, orang tua nya masih saja tetap menilai aku buruk.

 “Kamu itu kerjaannya apa, seharian? Suami pulang belum menyiapkan makanan, bagaimana rezeki mau datang kalau punya istri pemalas begini?” Ucapan tersebut sering terucap dari mulutnya, tapi selama ini aku menganggap itu adalah hal biasa, karena aku pikir dia stres karena tidak memiliki pekerjaan. Tapi setelah aku melihat foto tidak senonoh itu, darahku mendidih, ingin sekali aku lempar piring ini ke wajahnya. 

"Apakah aku benar-benar tidak layak di matanya? Kenapa dia begitu memandang rendah diriku? Bukankah selama ini aku sudah bekerja keras untuk keluarga ini?" gumamku dalam hati. “Cepat bawa kemari, ngapain kamu berdiri di situ seperti orang tolol, ayo cepat!”

 Aku menaruh piring dan memasukkan nasi, sempat terlintas pikiran untuk memasukkan racun tikus dalam piringnya, agar dia cepat mati. Tapi aku sadar, itu adalah hal bodoh yang malah merugikan aku dan akhirnya anak-anakku juga nanti yang akan menjadi korban, atas tindakan bodoh ini.

 "Tidak, aku harus lebih bijaksana dalam menghadapi masalah ini. Aku tidak boleh terbawa emosi dan membuat keputusan yang salah. Demi anak-anakku, aku harus tetap tegar dan bertahan dalam menghadapi suamiku yang menyakitkan hati ini," tekadku dalam hati, berusaha meredam amarah yang meluap-luap.

“Besok Mas berencana untuk pergi selama dua hari ke kampung halaman bersama bapak. "Kamu tinggal di rumah saja. Kalau beras habis, minta saja dulu di rumah bapak dan ibumu. Kamu tahu sendiri kan, orang tuaku tidak suka denganmu." Aku mengangguk, berusaha tetap kuat karena semuanya kulakukan untuk anak-anakku.

 apalagi saat ini aku sedang mengandung anak ketiga kami dan beberapa bulan lagi aku akan melahirkan lagi. 

 "Mama, aku lapar," ucap kedua anakku yang datang mendekati meja makan. 

"Papa suapin," rengeknya manja.

 "Papa ini capek, biar mama saja. Mama seharian di rumah, nggak ada kerjaan, sana!" Mas Surya mengusir anakku yang hendak dekat dengannya. 

 Rasa tidak terima yang kuat tiba-tiba menjalar dalam diriku dan untuk pertama kalinya sejak menikah, aku membentak Mas Surya. 

"Jangan begitu dengan anak-anak! Aku ini capek seharian mengurus mereka, sedangkan kau? Kau ini tidak punya kerjaan, jadi jangan membentak mereka!" Seru hatiku, mencoba memahami betapa pedihnya merasakan penolakan dari suami sendiri terhadap anak-anak kami.

 Mendengar ucapanku, Mas Surya yang sedang makan langsung emosi. Aku mencoba meredam rasa marah yang menyala-nyala dalam diri. Berbagai pertanyaan bermunculan di kepala,

"Apakah aku salah menempatkan kepercayaan dan harapan pada pria ini? Haruskah aku bertahan demi anak-anakku, atau apakah lebih baik memutuskan semua ini dan melindungi mereka dari perlakuan tak adil yang mereka terima?"

“Apa yang baru saja kamu katakan? Kau berani membentakku? Apa kau lupa siapa aku? Aku ini suamimu, derajatku bahkan lebih tinggi dari kedua orang tuamu. Ingat, jika aku murka, seluruh malaikat akan murka padamu!" Bentak suamiku, Mas Surya, lebih keras lagi sambil membawa agama dalam perkataannya.

 Padahal, dia telah berzinah di belakangku dengan cara yang begitu hina. 

 "Sakit, Mas! Jangan tarik rambutku!" seru aku, berusaha melepaskan tangan Mas Surya yang menarik rambutku dengan keras hingga masuk ke dalam kamar. 

Sementara itu, kedua anak kami menangis tersedu-sedu. "Papa, lepaskan Mama, jangan ditarik rambut Mama! Kasihan Mama!" suara mereka menerobos ke relung hatiku.

"Lepaskan, Mas! Sakit sekali! Aku tidak bermaksud berbicara kasar padamu. Tapi aku tak tahan melihat anak-anakku kau bentak seperti itu. Aku yang mengasuh mereka siang dan malam, sedangkan kau tak pernah merasakan betapa repotnya mengurus mereka berdua," kataku, ******** tangis tak terbendung. Namun, rupanya Mas Surya tak peduli. Hatinya seolah kerasukan, dan dia tak bisa dihentikan lagi.

Aku tak habis pikir, padahal saat ini aku sedang mengandung anak ketiganya, darah daging yang seharusnya membuatnya lebih sayang dan melindungi. Namun, apa yang terjadi? Dia menamparku dengan keras, seolah tak peduli akan keberadaan bayi yang ada di dalam rahimku. Hingga saat itu, kepalaku terasa pusing oleh tamparan yang diberikannya.

 Yang bisa kudengar hanyalah suara teriakan kedua anakku yang menangis ketakutan di balik pintu kamar. 

 "Bagaimana jika aku mati di saat ini?" gumamku dalam hati, merasa tak berdaya. Siapa yang akan merawat anak-anakku, jika ayah mereka sendiri tak pernah peduli dan melindungi mereka? Haruskah aku menaruh harapan pada mertuaku? Namun, aku tahu mereka bahkan tak pernah menanyakan kabar kedua cucu mereka, seolah-olah mereka tak peduli sama sekali.

 Lantas, apakah orang tuaku menjadi pilihan terakhir? Mereka memang sudah tua dan lemah, tapi aku tahu bahwa mereka akan dengan senang hati menerima dan merawat anak-anakku. Meski begitu, aku tak tega menambah beban hidup mereka yang sudah cukup berat. Dalam keadaan seperti ini, aku merasa seperti terjebak dalam lingkaran setan. Aku ingin melindungi dan memastikan masa depan anak-anakku, tapi aku sendiri tak mampu berbuat apa-apa. Apakah ada jalan keluar yang lebih baik untukku dan anak-anakku? Hanya Tuhan yang tahu.

""Mama, jangan masuk ke sana!" teriak putra sulungku dengan panik. Suaranya membuat hatiku sedih, seolah memberi ku kekuatan untuk mengatasi rasa sakit yang kualami. Namun, rasa sakit kepala ini benar-benar tak tertahankan. Aku merasa seperti dihantam dengan palu besar, membuatku tak bisa berpikir jernih. Kenapa Mas Surya, kenapa ia begitu kejam padaku? Apakah dia benar-benar tak memiliki belas kasihan sedikit pun padaku? 

Aku hanya bisa merasakan rasa terhina dan sakit, karena orang yang seharusnya melindungiku justru menyakitiku seperti ini. Ku tatap putra sulungku, tangis dan kekhawatiran jelas terpancar di wajahnya. Semakin membuatku yakin, bahwa aku harus melawan rasa sakit ini dan melakukan sesuatu agar tidak terus terpuruk dalam penderitaan.

 "Ini bukan akhir segalanya, putra. Aku akan berusaha untuk melindungi kita semua," gumamku dalam hati, berharap bahwa suat

u saat nanti, kebahagiaan akan kembali hadir dalam keluarga kami.

Related chapters

  • Aku menanggung karma Ibuku    Tidak ada harapan

    Mataku terasa begitu berat, saat aku terjaga ternyata anak-anakku sudah tidur di sampingku. "Ya Tuhan, sakit sekali," gumamku seraya memegang pipiku yang begitu sakit. Aku berusaha untuk berdiri, ingin mendekati cermin untuk melihat keadaan wajahku. Benar saja, wajahku merah dan mataku terlihat berwarna biru akibat memar. "Kejam sekali dia, aku sedang hamil, tapi dia melakukan ini padaku," geram ku dalam hati sambil air mata kembali mengalir di pipiku. Kedua anakku yang sedang terlelap di sampingku begitu menarik perhatianku, masih mengenakan baju yang sama seperti sebelumnya. "Maafkan Mama, Nak, maafkan Mama karena sudah membuat kalian terlelap sendiri," ucapku lembut dengan suara yang hampir tak terdengar, saat mengecup kening mereka. Aku melirik jam dinding dan baru sadar sudah malam. Ternyata waktu berlalu begitu cepat semenjak aku pingsan. Namun, apa yang membuatku kaget adalah tidak menemukan keberadaan suamiku, Mas Surya. "Sungguh jahat sekali Mas Surya padaku, kenapa dia

    Last Updated : 2023-12-05
  • Aku menanggung karma Ibuku    Meleleh

    Aku terdiam, tak sanggup berkata apa-apa. Rasanya aku salah besar datang mengadukan masalahku ke sini. Aku hanya butuh dukungan, tapi mengapa dia begitu keras hati, bahkan tak peduli dengan perasaanku? Bukankah aku sudah melahirkan cucu untuknya? "Kalau kau butuh uang untuk berobat, nanti aku akan memberikan pada Surya, aku sedang terburu-buru, toko tidak ada yang menjaga," katanya sambil berdiri. "Bu, tapi Mas Surya berselingkuh," bisikku lemah, masih berusaha untuk mendapatkan simpatinya. Aku merasa seperti pengemis yang membutuhkan dukungannya, karena di sisi lain, aku masih mencintai suamiku dan ingin mempertahankan rumah tangga ini. "Seperti yang aku katakan tadi, jika sudah tak sanggup, lebih baik kalian berpisah saja. Sejak awal pernikahan kalian, aku sudah diperingatkan oleh ibumu untuk tidak mencampuri urusan rumah tangga kalian," tegasnya. Aku merasakan hati yang hancur, bingung dan putus asa. Apa lagi yang bisa aku lakukan untuk menyelamatkan pernikahan ini? Mengapa aku

    Last Updated : 2023-12-05
  • Aku menanggung karma Ibuku    Tak bisa di kendalikan

    Sudah hampir dua minggu sejak kejadian itu terjadi, dan aku mulai merasakan kebahagiaan baru seolah seperti pengantin baru lagi. Apalagi Mas Surya kini kembali menunjukkan sisi manisnya, persis seperti saat pertama kali kami bertemu dulu. Lagi pula, bekas memar di wajahku juga sudah mulai pudar, sehingga aku tak perlu khawatir untuk keluar rumah lagi.Syukurlah selama dua minggu ini kedua orang tuaku tidak datang mengunjungi ku karena kesibukan mereka di kebun. Kebetulan kedua orang tuaku adalah petani sayur-sayuran dan hampir semua kebutuhan sayuran di desa ini dihasilkan dari kebun milik orang tuaku. Meskipun mereka tidak terjun langsung ke ladang, mereka memiliki beberapa orang anak buah yang membantu mengelola kebunnya. Permintaan sayuran yang sedang meningkat membuat kedua orang tuaku sangat sibuk hingga mereka tidak sempat mengunjungi ku dalam dua minggu terakhir. Aku merenung, "Mungkin ini cara Tuhan untuk melindungi ku agar orang tuaku tidak mengetahui apa yang terjadi dal

    Last Updated : 2023-12-05
  • Aku menanggung karma Ibuku    Hinaan yang menyakitkan

    Salamah merasa emosinya sulit dikendalikan. Dia merasa jengah dengan tatapan sejumlah orang di sekitar mereka, namun tidak peduli. "Kenapa dia berani macam-macam denganku?" batin Salamah dengan penuh amarah. Sementara itu, kedua putra Salamah asyik bermain pasir di samping mereka, sama sekali tidak menyadari perasaan sang ibu. "Kau ini perempuan iblis, kau tega menjadi selir suamiku! Kau lihat aku ini sedang hamil anak ketiga!" Salamah berbicara pada Nayla dengan suara berbisik namun penuh penekanan. Nayla, bagaimanapun, tetap membantah, seolah menantang kemarahan Salamah. "Mbak, jangan suka menuduh tanpa bukti. Mbak bisa aku laporkan ke kantor polisi, karena sudah memfitnahku. Mbak tau kan negara ini punya aturan, jadi jangan macam-macam denganku," ancam Nayla. "Kau mau melaporkan aku? Silahkan saja, aku tidak takut! Biar saja sekalian orang-orang tahu bagaimana kelakuanmu," balas Salamah. Nayla tertawa mengejek, membuat Salamah semakin kesal. Aku harus menegakkan keadilan untu

    Last Updated : 2023-12-05
  • Aku menanggung karma Ibuku    Membabi buta

    "Apa yang terjadi, Mas?" Aku langsung menghampiri suamiku yang terlihat marah. Tidak tahu apa yang membuatnya marah seperti ini, membuat hatiku resah dan cemasPlak! Satu tamparan keras mendarat di pipiku, membuatku terkejut dan kesakitan. Bekas luka di pipi pun baru saja pudar, namun kini telah digantikan oleh tamparan yang baru. "Aww, sakit sekali. Apa salahku, Mas?" Keluhku ketika sudut bibirku mulai mengeluarkan darah. Dia memukulku tanpa belas kasihan. "Kau bertanya apa salahmu!" tatapan matanya menusuk, seakan ingin menerkam. Aku merasa seperti tak berdaya, hati ini semakin dilanda ketakutan dan bingung. "Apa yang kau lakukan pada Nayla?, kenapa kau menamparnya hah?" tanyanya penuh amarah. Aku merenung sejenak, mencoba merangkai kejadian yang sebenarnya terjadi. "Untuk apa kau menemuinya!," lanjutnya sambil berteriak. Dalam hatiku, aku bertanya-tanya mengapa dia marah besar seperti ini. Apakah ini hanya karena Nayla? Apakah aku telah melampaui batas dengan menampar peremp

    Last Updated : 2023-12-05
  • Aku menanggung karma Ibuku    Meredam Ego

    Aku mengusap air mataku, lalu tersenyum seindah mungkin agar kedua putraku berhenti menangis. "Ayo kita masuk dulu sebentar sayang, nanti setelah ini kita akan ke rumah nenek, ya?" kataku menenangkan. "Mama, Papa jahat sama Mama, Nabil nggak suka, Ma," ucap Nabil dengan matanya yang berkaca-kaca. Hatiku semakin teriris mendengarnya. "Tunggu sebentar ya, Mama ganti baju dulu," ucapku pelan. Di depan cermin, aku menatap diriku sendiri. Nayla pernah mengatakan bahwa aku adalah perempuan yang selalu memakai daster, dan memang benar, karena sejak menjadi ibu, aku harus mengurus anak-anak dan suamiku dengan tanganku sendiri. Bahkan, sesekali aku juga membantu ibu di kebun, meski mereka tak pernah memintaku, tapi rasa bersalah selalu menyelimuti hatiku. Orangtuaku terus menerus membantu membeli susu untuk anak-anakku. "Mama, kita mau kemana? Kenapa Yahya dan Nabil nggak ikut Mama aja?" tanya Nabil lirih, mengejutkanku dari lamunanku. Semoga ke depannya aku bisa menjadi lebih kuat untuk

    Last Updated : 2023-12-05
  • Aku menanggung karma Ibuku    Bertengkar hebat

    Wajah Mas Surya mulai berubah, sepertinya ia merasa tidak nyaman dengan pertanyaan ibuku. Hal itu membuatku semakin cemas, karena aku tahu, akibatnya nanti akan kembali menimpa diriku. Aku merasa takut, apa jadinya jika Mas Surya melampiaskan kekesalannya padaku? "Lalu kenapa wajahmu itu memar Salamah?" tanya ibuku, saat ia mendekat dan melihat bekas memar yang masih terlihat di wajahku, meski hanya sedikit. Bahkan, tampak pula bekas pukulan baru di dekat bibirku. "Tidak apa-apa Bu, tadi aku jatuh di kamar mandi," jawabku, berusaha mengalihkan perhatian ibuku. Aku lalu memanggil Nabil dan Yahya yang masih bermain di kejauhan. "Ayo Nabil, Yahya, kita pulang. Lihat, Papa juga sudah di sini." Namun, Nabil menjawab dengan tegas, "Tidak mau pulang, nanti Papa jahat lagi sama Mama. Papa jahat, Nek. Nabil nggak mau pulang, mau tinggal di sini saja." Perasaan campur aduk merasuki hatiku. Apakah aku seorang istri yang buruk, sehingga membuat Mas Surya melampiaskan kemarahannya padaku? A

    Last Updated : 2024-06-21
  • Aku menanggung karma Ibuku    kakak kandung beda ibu

    Aku langsung menoleh ke arahnya, namun perempuan yang melontarkan ucapan tersebut dengan segera menutup mulutnya. Nayla bergegas masuk ke dalam rumah dan berteriak, "Lihat saja, aku akan merebut apa yang seharusnya menjadi milikku!" Ibu Nayla, dengan wajah penuh simpati, menghampiri dan berkata, "Sebaiknya kau pulang saja dulu, Nak. Bawa anak-anakmu ke rumah orang tuamu, bicarakan masalah ini baik-baik." Mendengar itu, aku pun menangis. "Tapi, anak Ibu sudah merusak rumah tanggaku. Mengapa dia tak bisa menjauh dari hidupku? Kenapa dia harus merebut suamiku? Apa dia tidak bisa mendekati laki-laki lain saja, yang sebaya dengannya? Kenapa harus suamiku, Bu?", aku merasa bahwa segala kebahagiaan yang aku raih selama ini hancur seketika karena sikap Ibu dan anakny.Di lubuk hatinya, Salamah ingin melawan dan membela diri, namun hati kecilnya juga menjerit agar jangan sampai menyerah begitu saja. "Aku harus menghadapi kenyataan ini," gumamnya sembari menyeka air matanya. "Tidak pedu

    Last Updated : 2024-06-21

Latest chapter

  • Aku menanggung karma Ibuku    Tidak mau di salahkan

    Salamah tersenyum puas atas kejadian malam ini, sebenarnya dia sendiri tak menyangka bisa melakukan hal sekejam ini. "Mungkin ini adalah warisan sisi jahat ibuku yang menular padaku, tapi entah mengapa, ada perasaan bahagia yang kini menyelimutiku," gumam Salamah dalam hati. "Ini belum seberapa, Nayla. Kau harus merasakan betapa dalamnya luka yang kurasakan sekarang!" Salamah terlihat semakin terobsesi oleh rasa dendam yang sudah merasuki hatinya. "Bahkan, aku sudah melangkah sejauh ini, untuk bisa membalas rasa sakit yang sudah menyeruak di dada," gumamnya lagi, sembari merenung apa yang telah ia perbuat. "Walaupun aku tahu Mas Surya juga berbuat salah, tapi seharusnya Nayla juga bisa menolak ajakannya, jika dia perempuan baik-baik. Karena hidup ini penuh dengan pilihan!". Dengan pikiran yang kian terkoyak antara kebahagiaan dan penyesalan, Salamah mencoba meyakinkan diri bahwa apa yang telah ia lakukan adalah langkah yang tepat demi melampiaskan dendam yang telah lama ia penda

  • Aku menanggung karma Ibuku    Rasa sakit yang sama

    Salamah tersenyum sinis, saat mendengar kabar dari salah satu temannya bahwa Nayla baru saja pulang dari rumah sakit.Dalam hati, dia bertanya-tanya, "Apa kau merasa kesakitan, Nayla? Apakah itu sebanding dengan sakit yang pernah aku rasakan?" Salamah melemparkan handphonenya ke atas kasur, lalu teringat betapa ia kehilangan anak yang selama ini dinanti.Memegang perutnya, air mata berlinang deras, perasaan luka mendalam itu tak mampu ia ungkapkan."Tidak mungkin aku bisa merasakannya lagi," gumamnya perlahan."Kau masih beruntung, Nayla, karena kehamilanmu baik-baik saja. Tapi, di lubuk hati, aku berharap anak itu tak bisa lahir ke dunia ini."Salamah terlihat begitu penuh kebencian karena sebagai seorang ibu, kehilangan anak terlebih anak perempuan yang selama ini diharapkan membuatnya merasa hancur dan tersiksa."Aku tak sabar melihat dia semakin menderita!" lirih Salamah, kemudian memukul tembok dengan kedua tangannya. Emosi ini mungkin wajar, mengingat bagaimana perasaan terluka

  • Aku menanggung karma Ibuku    Hampir keguguran

    Nayla menangis tersedu-sedu sambil pulang ke rumah, merasa marah dan sedih. Dalam hati, ia meratapi nasib buruk yang menimpanya. "Mas Surya, mengapa kau tega? Aku di sini dengan perut yang membesar, namun kau malah sibuk bersama perempuan itu," keluhnya dengan air mata yang masih menetes di pipinya. Tiba di rumah, Nayla langsung masuk ke kamarnya dan menangis sesegukan. "Dia bahkan hampir seminggu tak pulang ke rumah. Apa lagi yang kuinginkan darinya? Apakah aku masih kurang?", keluhnya lirih. Tanpa disadarinya, tangisannya terdengar oleh ibunya yang baru saja pulang dari acara yasinan. Ibu Nayla sudah terbiasa dengan cibiran orang-orang terhadap dirinya dan keluarganya, namun tak bisa berbuat apa-apa karena kesalahan memang ada pada anaknya. "Kenapa kamu menangis Nak?" tanya ibunya dengan kekhawatiran. Namun Nayla, yang terlarut dalam kesedihannya, hanya diam, seolah-olah tidak mendengar pertanyaan ibunya. "Nay, kamu baik-baik saja Nak?" tanya ibunya kembali dengan nada lembut

  • Aku menanggung karma Ibuku    Harus Sama

    Aku tertawa puas sekali, sampai kembali ke kantor. "Ini baru awal, kenapa aku jadi menikmati permainan ini?" Gumamku dalam hati.Ketika sampai di ruang kantor, ternyata teman-teman satu ruangan sudah mengetahui apa yang terjadi tadi. Aku menyadari bahwa kabar ini telah menyebar lebih cepat daripada yang kubayangkan."Aku rasa Intel yang melaporkan pada kalian patut diberikan apresiasi, karena sudah melaporkan kejadian siang ini," kataku dengan nada ironis.Salah satu temanku segera menyahut, "Tentu saja Sal, apalagi jika Intel itu adalah Pak Andi, kau tahu kan, wajahnya begitu terlihat kecewa saat menceritakan apa yang dia lihat tadi.""Masa?" gumamku lagi."Iya, Sal, kamu sih, pakai acara bertemu dengan mantan kamu itu. Kalau aku jadi kamu, jangankan untuk bertemu, melihatnya saja tidak sudi!" timpal temanku.Aku langsung menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan perasaan yang sedang kacau. "Andai saja kalian yang berada di posisi ku, aku yakin kalian tidak akan semudah itu untu

  • Aku menanggung karma Ibuku    Bagaimana rasanya

    Mas Surya tampak sangat bahagia saat berbicara denganku. "Kamu makin cantik," ucapnya dengan wajah yang menunduk. Aku tersenyum, berusaha untuk tidak terbawa dalam rayuannya. Walaupun sebenarnya di dalam hati, aku merasakan degupan yang lebih kencang. "Mana Nayla? Aku sedang menunggu kehadirannya," pikirku dalam hati. "Terima kasih, Mas, untuk pujian tersebut, tapi aku rasa Mas lebih pantas memberikan pujian itu pada Nayla, bukan padaku," kataku sambil tersenyum. Namun, Mas Surya malah menjawab, "Tidak, jangan bahas dia lagi, Salamah. Jujur saja, aku menyesal sudah menikahi dia. Ternyata dia bukan perempuan yang sabar seperti kamu." Apa yang sedang terjadi? Kenapa dia berbicara seperti ini? Entah mengapa, di tengah perasaan terkejut, aku merasa ada tugas yang harus kuselesaikan untuk Nayla. Tanpa Mas Surya sadari, aku sengaja merekam pembicaraan ini, untuk dikirimkan pada Nayla nanti. Aku berharap semoga ini bisa membantu Nayla untuk mengetahui, siapa Surya yang menjadi suaminya

  • Aku menanggung karma Ibuku    Perasaan itu masih ada

    Hari ini, aku berdandan dengan sempurna, lengkap dengan wewangian yang memenuhi ruangan kamar.Aku ingin tampil percaya diri, tetapi tidak menyangka akan ada yang memuji penampilanku seperti ini lebih awal"Wah, Mama cantik sekali!" seru Nabil dan Yahya sambil langsung memelukku.Aku kaget saat mendengar suara kecil tersebut, masuk kedalam kamar pagi-pagi "Iya dong, Mama siapa dulu?" sahutku sambil mencubit hidung mungil mereka, yang mirip banget dengan Mas Surya.Aku terkejut mendengar perkataan Nabil berikutnya. "Mama, jangan cantik-cantik nanti banyak yang naksir."Sejenak aku bertanya-tanya, "Siapa yang mengajari anakku bicara begini?" lalu kuberkacak pinggang, berpura-pura marah."Hei, siapa yang ngajarin Nabil berbicara seperti ini?""Papa dong, kabur!" seru mereka sambil berlari keluar dari kamarku.Mendengar jawaban itu, aku mulai berpikir. "Jadi, Mas Surya ternyata mengajari anak-anak ini agar menjadi mata-mata baginya? Pantas saja, dia selalu mengetahui setiap gerak-gerikku.

  • Aku menanggung karma Ibuku    Balas dendam

    "Aku berangkat dulu, Bu," ucapku singkat. "Nayla, bagaimana dengan perceraianmu? Apa sudah ada keputusan?" tanya ibu dengan raut wajah penuh kekhawatiran. "Semakin lama saja, Bu. Aku juga bingung kenapa dipersulit," jawabku mencoba menyembunyikan kebenaran. Sebenarnya, aku tak ingin mengatakan pada ibu jika Mas Surya sebenarnya mengancam tidak mau menceraikan aku secara resmi. Keputusasaan ini benar-benar membelenggu hatiku. "Apakah aku benar-benar harus terjebak dalam pernikahan ini?" batin ku. Beberapa hari yang lalu, aku sempat menghadiri acara reuni sekolah dan bertemu dengan salah satu sahabat lama. Kebetulan, dia juga baru saja bercerai dengan istrinya. Seiring obrolan kami yang semakin mengalir, aku merasa sedikit terhibur. Kami saling bercerita, tak hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang kisah perceraian kami. Aku merasa ada seseorang yang akhirnya mengerti perasaanku. "Setelah menikah, kami sama-sama tidak pernah berkomunikasi lagi demi menjaga perasaan pasangan

  • Aku menanggung karma Ibuku    gagal lagi

    Salamah merasa semakin sibuk beberapa hari ini, terlebih karena pendaftaran CPNS akan segera dibuka. Dia tidak sabar untuk mengikuti tes tersebut, berharap suatu hari nanti dia bisa memiliki penghasilan sendiri dan merasa mandiri sebagai perempuan."Mudah-mudahan aku bisa lolos, ya Bu. Kebutuhannya banyak, dan aku ingin membantu meringankan beban keluarga," gumamnya penuh harap.Selama satu bulan, Salamah berusaha keras untuk belajar siang dan malam, membekali dirinya dengan ilmu yang diperlukan untuk menghadapi tes CPNS. Namun, seolah keberuntungan belum berpihak padanya, setelah menunggu hasil pengumuman selama satu bulan, dia harus menerima kenyataan bahwa dirinya dinyatakan gugur.Sementara itu, di kantor tempatnya bekerja, ada kabar tentang pengurangan tenaga honorer. Tentu saja, ini membuat Salamah merasa semakin khawatir. Sedangkan persidangan cerainya yang sedang berlangsung terus ditunda, dengan berbagai alasan yang tidak dapat diterima logika Salamah."Ah, mungkin memang bel

  • Aku menanggung karma Ibuku    Muka tembok

    "Mau makan apa, Mas? Biar aku siapkan," ucap Nayla sambil beranjak dari samping Surya. Namun, ada suara yang tidak asing terdengar oleh Surya. "Bukannya itu suara Salamah? Tapi nggak mungkin dia ada di sini," batin Surya penasaran, lalu mengikuti Nayla. "Mas, aku masih lemas. Mungkin anak kita nanti perempuan, ya?" ungkap Nayla mencoba mengalihkan perhatiannya. Surya menjawab santai, "Oh ya? Baguslah kalau begitu." Nayla kecewa, mengharapkan Surya lebih antusias dan memberi dukungan. "Mas, aku berencana nanti mengantarkan makanan ke rumah Ibu. Apa kamu mau menemani aku?" "Aku capek, rasanya pengin tidur aja seharian ini. Kamu tahu kan, semalam aku begadang," jawab Surya acuh. Nayla merasa jengkel namun berusaha tenang. "Tapi, Mas, uang kita sudah tidak ada, sedangkan aku belum diterima kerja," ujarnya hati-hati. Surya malah berkelit, "Nanti saja, deh. Aku minta sama Ibu. Kamu catat dulu aja apa yang kamu butuhkan." Nayla mendengar itu, hatinya langsung teriris. Rasanya ingin m

DMCA.com Protection Status