Tara kini sudah dirias begitu cantik, gaun putih pernikahan ala tuan puteri menempel begitu anggun di tubuhnya. Make up flawless menambah pesona yang terpancar dari wajah Tara. Meskipun tetap memakai hijab penutup rambutnya. Ya, hari ini, beberapa jam lagi. Ia akan melangsungkan pernikahan yang keempat kalinya. Duh, malu sebenarnya. Tapi apalah daya, pesta mewah dan megah ini, Zaka persembahkan untuk dirinya. Dengan alasan, Zaka ingin menebus semua kesalahan fatalnya saat dahulu kala.
Tara tersenyum memperhatikan wajahnya terang bercahaya di depan cermin. Pangling sih, seperti bukan dirinya. Jujur, inilah pertama kali Tara melangsungkan pesta pernikahan dengan mewah. Pernikahan pertamanya dengan Rahman, berlangsung sederhana di kampung. Pernikahan kedua dengan Zaka pun berlangsung sederhana, karena hanya ijab qabul, tanpa buku nikah. Begitu pun dengan Erik, hanya sukuran saja memanggil tetangga terdekat, dan ia mendapat buku nikah setelahnya.
"Calon pengantin melamun t
Rumah mungil itu hanya dihiasi cahaya lilin. Tak ada lampu penerangan, karena pemilik rumah tak mempunyai cukup uang untuk membeli token listrik. Untungnya dia memiliki tetangga yang baik hati, bersedia memberikan air dua ember besar, untuk bekal memasak dan mandi. Karena listrik mati, otomatis mesin air pun tak menyala.Tetangganya sudah sangat baik beberapa kali memberikan pinjaman uang untuk membeli listrik ataupun yang lainnya. Hanya saja ia tak mau terlena dengan bantuan tetangga kanan kirinya. Meskipun janda dengan seorang anak yatim, ia tetap harus bisa mandiri, tidak ingin menyusahkan orang lain."Mama...susu!" pinta sang putri yang berusia dua tahun, kini terbaring lemah karena badannya panas."Sebentar ya, Dek. Mama buatkan, ade di sini aja ya, ga usah ikut ke dapur," ujar Tara pada putrinya." Tapi delap," cicit Sofia, nama balita itu." Ade'kan heb
Siang hari setelah mengajar Bimo; murid lesnya calistung, Tara melanjutkan dunianya sebagai ibu rumah tangga. Tara menyuapi Fia dan juga merapikan rumah. Kondisi Fia sudah lebih sehat, hanya saja dokter tidak membolehkan Fia minum es, chiki dan coklat. Fia tengah asik bermain bersama boneka barbie, hadiah dari Mei saat Fia diperbolehkan pulang dari rumah sakit.Tara masih memikirkan perkataan Zaka beberapa hari lalu, Zaka memberikan waktu kepada Tara untuk memikirkan hal tersebut selama dua pekan. Baru tiga hari saja rasanya otak Tara sedikit lemot, banyak bengong dan melamun."Mama, asap," seru Fia sambil menarik arah pandangnya ke bawah."Astaghfirulloh!" pekik Tara saat tersadar mukena terbagus pemberian almarhum suaminya gosong, karena Tara menyetrika sambil melamunkan perkataan Zaka. Cepat Tara menyingkirkan setrikaan dan menatap sedih mukenanya yang bolong bagian dadanya."Fia." Tara menarik Fia ke pangkuannya. Fia menatap wajah Tara sam
Sudah sebulan sejak hari pernikahannya dengan Zaka. Namun Zaka tak pernah menampakkan diri muncul di rumah Tara. Beberapa tetangga mulai kasak kusuk, ada yang mencibir ada juga yang bersimpati pada Tara. Entahlah Tara tak pernah ambil pusing. Toh dia juga menikah bukan karena atas dasar cinta atau pun suka.Semua ia lakukan demi kebaikan dirinya juga Sofia anaknya. Kurir yang biasa mengantar paket sembako dan titipan amplop dari Zaka, baru saja sampai saat Tara baru selesai melaksanakan sholat ashar. Pria muda itu menyerahkan bungkusan plastik besar berisi sembako dan sekardus aneka snack untuk Fia."Terimakasih, Mas," ucap Tara sambil menyunggingkan sedikit senyumnya."Baik, Bu. Saya permisi," ucap pria muda tersebut."Mas, maaf, apakah Pak Zaka sudah kembali dari Malaysia?" tanyanya tiba-tiba, entah hatinya ingin sekali tahu di mana keberadaan lelaki yang sebulan lalu menikahinya."Sudah, Bu," jawabnya lalu segera pergi dengan mengend
Suka dengan cerita ini??jangan lupa masukin dalam reading list kamu yaa😘😘dan jangan lupa juga follow akun saya, biar dapat notif saat saya apdet😘😘Selamat MembacaTara memandang langit sore dari teras rumahnya, awan beriak seakan mengejek dirinya yang terluka nestapa saat ini. Satu dua burung beterbangan dengan riang. Menambah sahdu sejuk udara sore.Tara kadang berpikir, enak kali ya jadi burung, bisa kesana kemari tanpa perlu sakit hati dan terluka dan tanpa memikirkan apa-apa. Ya Allah kenapa aku harus mengeluh? Semua yang aku jalani saat ini adalah kehendakMu. Tara bermonolog pada dirinya. Masih mematung memandang awan luas yang terang benderang warnanya, jelas sekali hari ini tidak akan turun hujan, mengingat awan beriak melambai dengan cerahnya, tidak seperti kemarin malam, cuaca gerimis sendu. Sesendu hatinya yang menatap punggung lelaki terlelap yang telah sebulan menikahinya.Flash back"Ra ...," bisik Zaka."Ya, Mas," sahut Tara
Tara menatap pintu kamarnya yang kini telah tertutup kembali, setelahnya suara mobil suaminya meninggalkan pekarangan rumah. Tara mengahapus air mata yang menetes di pipinya, semakin lama semakin deras air itu tumpah, tanpa bisa dibendungnya. Bahu bergetar tanda menahan kepedihan atas semua yang ia jalani saat ini. Ditariknya selimut bulu bermotif hello kitty menutupi tubuh polosnya. Berjalan ke kamar mandi, membersihkan semua sisa percumbuan yang menyesakkan dadanya. Setelahnya, ia kembali memakai bajunya, kembali ke peraduan sambil memeluk tubuh mungil Fia anaknya. Berharap semua kepedihan ini hanya mimpi.Seminggu berlalu, tak ada kabar lagi dari Zaka. Terakhir Zaka mengirimkan uang melalui kurir yang biasa ditunjuknya, untuk membawa Fia kontrol ke dokter asma. Tara pun menjalani hari seperti biasa mengajar anak-anak tetangga calistung di pagi dan sore hari. Sore ini ia membuat kolak pisang untuk Fia, memang semenjak menikah dengan Zaka, Tara tidak pernah lagi kekurangan u
Sakit kepalanya belum juga hilang, malah sekarang ditambah mual. Seharian tubuhnya sangat susah untuk beranjak dari tempat tidur, bahkan untuk ke kamar mandi saja, Tara terseok-seok. Alhamdulillahnya Tara mempunyai tetangga yang peduli dan sangat perhatian.Bu Siska, tetangga samping rumah Tara, membantu Tara mengurus Fia. Bu Yosi tetangga depan Tara, membantu memasakkan makanan untuk Tara. Sungguh Tara sebenarnya tak ingin merepotkan, namun apalah daya, tubuhnya tak bisa diajak berkompromi. Sangat lemah dan selalu mual jika banyak bergerak.Tetangga Tara mengetahui sejak dua bulan kehamilan Tara, Zaka tidak pernah ke rumah Tara. Bukan dari Tara mereka mengetahuinya, melainkan dari Fia, yang saat bermain selalu terlihat sedih. Apalagi melihat ayah dari teman-temannya yang ikut bermain. Pasti Fia berujar. "Om Papa Fia sedang kelja, tidak datang lagi." Itulah yang selalu Fia katakan pada teman-temannya.Miris didengar, namun apa mau dikata, karen
Tara sekarang berada di rumahnya, suasana pedesaan, yang tenang dan menyejukkan. Burung-burung saling bersahutan dipagi hari, Tara menghirup udara segar yang mampu membuat tubuhnya rileks dan nyaman. Meskipun masih belum bisa mengerjakan apa pun di rumahnya, tetapi paman dan ayahnya selalu membantu dan merawatnya dengan baik."Tara, makan dulu," ucap pamannya dari dalam rumah. Tara menoleh ke asal suara."Iya Paman." Tara masuk lalu duduk di meja makan kecil yang berada di dekat dapur. Sudah ada ubi rebus, kentang rebus dan seteko teh manis."Paman tidak makan?" Tara melihat pamannya sudah rapi mau berangkat ke kebun sawit."Sudah tadi, saya berangkat dulu ya, kamu baik-baik di rumah, kalau perlu bantuan, hubungi saya atau kamu ke Mbok Minah, tetangga sebelah ya," pesannya sebelum iya keluar dari rumah mengendarai motor bututnya.Tara duduk bersama dengan Fia yang tengah bermain di teras bersama anak Mbok Minah, yang bernama Sekar
Mei hari ini sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Meski tubuhnya masih lemah, tapi Mei berusaha menguatkan dirinya sendiri, bahwa semua ini takdir yang Maha Kuasa. Mei meminta kepada Zaka, agar mengantarnya ke pemakaman, dimana, bayi mereka dikubur. Dengan cucuran air mata kesedihan Mei menatap pusara anaknya, begitu juga Zaka, tertunduk lemah, menyesal tiada guna, semua sudah terjadi. Saat ini yang terpenting, dia menghibur Mei agar tak depresi atas kehilangan bayi yang sangat lama mereka nantikan.Beep..beep..Suara ponsel Zaka berbunyi, tampak nama yang tertera pada layarnya.Papa["Hallo, Pa. Assalamualaikum.]["Wa'alaykumussalam."]["Kamu di mana Ka?"]["Di pemakaman, Pa."]["Setelah mengantar Mei, kamu ke rumah, ada yang perlu papa bicarakan." ]["Baik, Pa."]Mei menatap wajah suaminya."Papa yang telpon, katanya Mas, disuruh ke rumah, ada yang mau dibicarakan.""Ya sudah ayo, kita pul
Tara kini sudah dirias begitu cantik, gaun putih pernikahan ala tuan puteri menempel begitu anggun di tubuhnya. Make up flawless menambah pesona yang terpancar dari wajah Tara. Meskipun tetap memakai hijab penutup rambutnya. Ya, hari ini, beberapa jam lagi. Ia akan melangsungkan pernikahan yang keempat kalinya. Duh, malu sebenarnya. Tapi apalah daya, pesta mewah dan megah ini, Zaka persembahkan untuk dirinya. Dengan alasan, Zaka ingin menebus semua kesalahan fatalnya saat dahulu kala.Tara tersenyum memperhatikan wajahnya terang bercahaya di depan cermin. Pangling sih, seperti bukan dirinya. Jujur, inilah pertama kali Tara melangsungkan pesta pernikahan dengan mewah. Pernikahan pertamanya dengan Rahman, berlangsung sederhana di kampung. Pernikahan kedua dengan Zaka pun berlangsung sederhana, karena hanya ijab qabul, tanpa buku nikah. Begitu pun dengan Erik, hanya sukuran saja memanggil tetangga terdekat, dan ia mendapat buku nikah setelahnya."Calon pengantin melamun t
Zaka membawa Abiyah ke rumahnya, sebelum mengantarnya ke Benhil. Tentu saja di sana sudah ada anak-anaknya yang heboh dengan kedatangan Zaka dengan seorang wanita bule yang sangat cantik. Bahkan Bu Erika tersenyum sangat lebar, ia berpikir sudah saatnya anaknya, Zaka. Membuka pintu hati untuk wanita lain.Abiyah diterima dengan baik dan ramah. Bahkan diminta untuk menginap di rumah Bu Erika, "menginap di sini saja, besok baru ke Benhil diantar Zaka, bagaimana?" tawar Bu Erika pada Abiyah."Aduh, Bu. Saya jadi merepotkan, ga papa saya langsung ke Benhil saja," sahutnya sungkan. Apalagi kini dikelilingi oleh anak-anak Zaka yang menurut Abiyah sangat lucu."Menginap di sini saja, Abiyah. Nanti biar Om bicara pada bos kamu," sela Pak Aditya yang baru saja keluar kamar. Abiyah hanya bisa mengangguk malu-malu, tidak mungkin dibantah, jika yang meminta adalah Pak Aditya Darman, relasi perusahaannya yang sudah terjalin sejak enam tahun yang lalu, bahkan sebelum Abiyah b
"Pak Zaka belum menikah?" tanya Abiyah serius."Saya pernah menikah dan punya anak. Tetapi saat ini saya sendiri."Abiyah mengangguk sambil membulatkan mulutnya, membentuk huruf O."Bapak... mau tidak, menikah dengan saya?""Apa?!"Kedua bola mata Zaka melotot lebar, seakan baru saja ditanya oleh malaikat. Mau mati sekarang tidak?"He he, becanda, Pak," sambungnya lagi sambil tertawa kecil."Oh iya, Pak. Saya mau ke Jakarta lho. Mau ke rumah sepupu saya. Setelah itu, saya mau ke Padang, bertemu Atok saya. Sudah dua tahun saya tidak pulang ke sana," terang Abiyah sambil meminum jus jeruknya."Oh iya, Jakartanya di mana?" tanya Zaka."Di Benhil, Pak. Jauh ya dari rumah Bapak?""Lumayan sih.""Pulang bareng yuk, Pak. Sekalian Bapak jadi guide saya," ujar Abiyah sambil menyeringai."Mmm ... saya tidak janji bisa mengantar kamu ke Benhil, tapi kalau kebetulan saya tidak ada pekerjaan, saya bisa," uj
Tiga hari sudah berlalu sejak Zaka dipaksa pulang dalam keadaan sakit oleh Tara. Sejak saat itu juga Zaka menghilang bagai ditelan bumi. Tiada kabar berita, tiada pesan WA atau telepon kepada anak-anak. Tara mencoba tak peduli, memang seharusnya Zaka tidak terlalu sering mengunjunginya atau berkirim pesan padanya, karena bakalan sama saja respon yang ia dapat. Tara melirik sekilas ponselnya yang sama sekali sepi tiga hari ini.Dengan langkah sedikit malas, ia memilih pergi ke dapur untuk membuatkan cemilan telur gabus pesanan anak-anaknya."Duh, Papa Zaka ke mana sih? Susah nih PR-nya!" rengek Kinan keluar dari kamar sambil membawa buku.Tara menoleh lalu menghampiri Kinan di ruang TV. "Mana sini, coba Mama lihat!" tawar Tara yang sudah duduk di samping Kinan. Anak SD itu memberikan buku paket sekolah serta satu buku tulis pada Tara."Susah, Ma. Pasti cuma Papa Zaka doang yang jago hitungan begitu," puji Kinan dengan wajah cemberut. Tara masih membo
Setelah bujuk rayu penuh air mata, akhirnya Tara mau ikut menemani anak-anaknya bermain di area Ancol, tepatnya di Dufan. Sebelumnya mereka sudah terlebih dahulu mampir di pantai, mengambil beberapa foto di sana. Tentu saja hal itu membuat Zaka semakin bersemangat. Tak lepas matanya memandang Tara, dalam hati ia berdoa, semoga Allah segera membukakan pintu hati Tara, agar mau menerima cinta tulusnya.Fia dan Zaka mengantre membeli tiket. Sedangkan yang lainnya tengah duduk di kursi tunggu yang tersedia tidak jauh dari loket pembelian tiket. Setelah mendapatkan tiket terusan tersebut, Zaka menggiring anak-anak masuk ke dalam area Dufan. Yusuf, Fia, dan Kinan begitu antusias. Mereka berlarian ke sana-kemari, sambil memilih permainan apa yang akan mereka coba terlebih dahulu. Mulai dari wahana 'Gajah Bledug, Kereta Misteri, Alap-alap, New Ontang-anting, Kolibri, Istana Boneka, Kora-kora, Arung Jeram, dan yang terakhir Niagara-gara.Anak-anak begitu senang saat
Fia sudah lebih dahulu sampai di rumah. Anak gadis Tara itu sudah tumbuh menjadi gadis cantik dan lincah. Fia sudah duduk di bangku kelas satu SMA. Sedangkan Yusuf duduk di kelas satu SMP, dan Kinan atau Kinasih duduk di kelas enam SD."Yusuf ke mana, Ma?" tanya Fia saat tak melihat Yusuf di kamarnya."Lagi sholat sama Papa Zaka di masjid," sahut Kinan yang baru saja selesai sholat magrib di kamarnya.Mulut Fia membulat, membentuk huruf O, diikuti anggukan."Eh, itu dia pulang." Tunjuk Kinan saat pintu terbuka."Assalamualaykum," ucap Zaka dqn Yusuf bersamaan."Wa'alaykumussalam," jawab Kinan dan Fia juga. Sedangkan Tara yang sedang menata meja makan, menyahut dengan sangat pelan."Fia sudah pulang?" tanya Zaka pada Fia."Sudah, Pa. Baru aja. Papa bawa apa?" tanya Fia menatap antusias dua bungkusan yamg ada di tangan Papa Zaka."Sate dan es buah," jawab Zaka sambil mengangkat dua bungkusan itu bergantian."Y
Sore hari, awan tampak beriak menghias langit nan biru. Satu dua kicau burung masih terdengar sahdu mengisi ruang sore sehingga tak terlalu sepi. Yah, Tara kesepian, benar-benar kesepian semenjak suaminya Erik meninggal dunia tiga tahun lalu. Tak ada lagi tawa dan haru yang mengisi hatinya. Walaupun ada anak-anak yang selalu membuat suasana rumah selalu ramai, tapi tidak dengan hatinya yang selalu merasa sepi."Assalamua'laykum," seru seorang lelaki dewasa tepat di depan wajahnya. Tara terlonjak kaget, bahkan kursi yang ia duduki berdecit karena beban tubuh Tara yang bergeser di sana."Wa'alaykumussalam," jawabnya tak acuh sambil membuang pandangan. Benar-benar mantan paling menyebalkan."Sore-sore ga boleh bengong, Ra. Ntar cepat tua," ledek Zaka pada Tara yang selalu berwajah masam di depannya."Duduk, Mas. Ada perlu apa?"Zaka mendudukan bokongnya di kursi kayu, persis di seberang Tara. "Mm... anak-anak ke mana?" tanya Zaka sambil tersenyu
Sudah dua tahun sejak kepergian Erik, Tara masih saja diliputi kesedihan mendalam. Ia yang biasanya ceria, berubah menjadi lebih banyak diam. Namun ia berusaha tegar di depan ketiga anaknya. Setiap pekan, Tara pasti berziarah ke makam Erik bersama ketiga anaknya.Semua keluarga Erik bahkan sangat terpukul, terutama Pak Aditya dan Bu Erika. Mereka tidak menyangka kalau ternyata Erik memiliki penyakit jantung. Yah sejak kepergian Erik, Tara dan anak-anaknya kembali ke rumah Pak Aditya. Mereka tidak mau Tara dan anak-anak merasa kesepian. Jika di rumah Pak Aditya, ada Arle dan istrinya Laras, serta anak kembar mereka."Hari ini kamu masak apa, Ras?" tanya Tara ketika menghampiri Laras yang tengah asik di depan kompor."Eh, Mbak. Ini saya masak sayur opor tahu dan telur, pesanan Mas Arle," sahut Laras sambil tersenyum."Oh, si kembar ke mana?" tanyanya lagi."Itu ada sama Yusuf di depan, lagi diajarin main sepeda.""Yusuf pinter bang
Sepuluh tahun kemudianDi sebuah panti asuhan, tampak sepuluh anak berusia lima sampai sepuluh tahun, berlarian di dalam pekarangan. Mereka tertawa bersama, saat memainkan permainan petak umpet. Seorang wanita dewasa,berkerudung dengan senyum penuh cinta, memperhatikan anak-anak tersebut. Wanita itu duduk sambil menggendong bayi merah yang baru saja diletakkan seseorang di pelataran panti asuhan miliknya, dini hari. Ponselnya berdering dua kali, ia menoleh ke meja di sampingnya, tempat ponsel itu tergeletak.[Hallo Assalamualaikum.][Wa'alaykumusslam.]Suara jawaban di sana membuat wanita dewasa itu sedikit tercekat. Suara yang sepertinya tidak asing baginya.[Betul ini panti asuhan Cinta Ibu?][Iya betul sekali, Pak. Ada yang bisa saya bantu.][Ini saya dan istri saya mau mengadopsi bayi baru lahir kalau ada laki-laki.][Oh, begitu. Baiknya bapak datang langsung ke tempat saya, Pak.][Baik, Bu. Rencananya saya besok pag