Mei hari ini sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Meski tubuhnya masih lemah, tapi Mei berusaha menguatkan dirinya sendiri, bahwa semua ini takdir yang Maha Kuasa. Mei meminta kepada Zaka, agar mengantarnya ke pemakaman, dimana, bayi mereka dikubur. Dengan cucuran air mata kesedihan Mei menatap pusara anaknya, begitu juga Zaka, tertunduk lemah, menyesal tiada guna, semua sudah terjadi. Saat ini yang terpenting, dia menghibur Mei agar tak depresi atas kehilangan bayi yang sangat lama mereka nantikan.
Beep..beep..
Suara ponsel Zaka berbunyi, tampak nama yang tertera pada layarnya.
Papa
["Hallo, Pa. Assalamualaikum.]
["Wa'alaykumussalam."]
["Kamu di mana Ka?"]
["Di pemakaman, Pa."]
["Setelah mengantar Mei, kamu ke rumah, ada yang perlu papa bicarakan." ]
["Baik, Pa."]
Mei menatap wajah suaminya.
"Papa yang telpon, katanya Mas, disuruh ke rumah, ada yang mau dibicarakan."
"Ya sudah ayo, kita pulang Mas."
Zaka mengangguk, tangannya diulurkan untuk membantu Mei berdiri.
"Kamu gak papa, Mas tinggal?" tanya Zaka sedikit khawatir.
"Ga papa, Mas, ada Bik Nah, di rumah."
Zaka mengulum senyum, mengusap lembut kepala istrinya, sangat hangat perlakuannya pada istri pertamanya, berbeda dengan memperlakukan Tara. Tiba-tiba terlintas nama Tara dalam pikirannya. Zaka menggeleng keras.
"Ada apa, Mas?" tanya Mei heran.
"Aah, ga papa Mei, sedikit pusing saja, ayo!" Zaka membukakan pintu mobil untuk Mei, memasangkan seatbelt lalu menutup pintu mobilnya. Zaka memutar tubuhnya agar sampai di sisi kemudi, dengan menarik nafas cukup panjang, agar menghalau nama Tara yang baru saja terlintas.
Perjalanan dari pemakaman menuju rumahnya tidaklah terlalu jauh, hanya lima kilometer. Kini Zaka tengah masuk ke pekarangan rumah minimalis miliknya. Menuntun Mei turun dengan sangat hati-hati, membawanya ke kamar. Zaka berpesan pada bik Nah, agar sesekali melihat keadaan Mei, karena Zaka harus keluar sebentar.
"Mas tinggal sebentar ya sayang, hati-hati di rumah," ucapnya begitu lembut.
Cuup.
Zaka mengecup kening Mei, lalu mengecup sekilas bibir Mei. Bik Nah, yang berdiri di depan pintu, tersenyum lalu membuang pandangannya. Begitu beruntung nyonya memiliki suami yang sangat mencintainya. Begitulah yang ada dalam pikiran bik Nah.
Zaka melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, menuju rumah orangtuanya. Memakan waktu satu jam barulah Zaka sampai di rumah besar milik orangtuanya. Suasana sepi, begitu Zaka memasuki pekarangan. Tampak mama Zaka yang bernama bu Erika sedang merapikan kebun bunganya yang terletak di samping. Mata Zaka berair saat menatap ayunan dan perosotan yang dua pekan lalu dibeli orangtuanya untuk menyambut kehadiran seorang cucu yang sangat dinanti.
"Maa," panggil Zaka lembut, wanita dengan wajah keriput itu menoleh ke asal suara.
"Zakaa." Bu Erika meletakkan gunting tanaman di atas nakas, mencuci tangannya di kucuran air, lalu menyambut kedatangan anak tengahnya, dengan melebarkan tangan. Memeluk anak tengahnya dengan erat.
"Kamu sehatkan?"
"Sehat, Ma."
Ibu dan anak itu berjalan beriringan, masuk ke dalam rumah.
"Paa," panggil Zaka pada lelaki tua bertubuh tinggi tegap berusia enam puluh enam tahun itu, yang tampak serius membaca koran. Matanya tajam melihat ke arah Zaka. Lalu dengan kode gerakan kepalanya, seakan menyuruh Zaka untuk duduk di depannya.
Papa Zaka yang bernama Aditya Darman adalah seorang pengusaha sukses dibidang perhotelan, ada enam hotel yang tersebar di Jakarta, Jogya dan Malang adalah miliknya, namun sayang tak ada satupun anak lelakinya yang mengikuti jejaknya.
Pak Darman memiliki tiga anak, semuanya lelaki. Darman sudah ingin sekali menimang cucu, namun apalah daya Tuhan berkehendak lain, disaat kebahagiaan itu sempat singgah kurang lebih lima bulan, namun kini cucunya sudah tidak ada lagi di dunia ini.
"Kamu tidak pernah cerita perihal kamu menikahi istri almarhum Rahman."
Deeg!
Dari mana papanya tahu rahasia ini. Rahasia yang sangat ia tutup rapat dari kedua orang tuanya.
"Itu..."
"Tara namanyakan?"
Zaka selalu kalah bila berbicara dengan sang papa. Zaka mengangguk.
"Papa tidak menyalahkanmu, namun papa kecewa kamu tidak memberitahukan hal ini pada kami, orang tuamu."
"Bawa kemari istri keduamu itu. Papa dan mama ingin mengenalnya."
"Baik, Pa."
Hanya itu yang mampu ia katakan, tak mungkin ia berkata pada papanya, bahwa istri keduanya telah pergi meninggalkannya. Zaka tersenyum kecut di dalam mobilnya, saat perjalanan kembali ke rumah. Sedari SD sampai kuliah, ia tipe lelaki yang tak pernah ditinggalkan oleh wanita, selalu dialah yang meninggalkan wanita tersebut, bila sudah bosan. Kini disaat menjadi lelaki mapan dan sukses, malah ia ditinggalkan seorang wanita, yang tidak pernah masuk dalam kriterianya.
****
Paman Erik baru saja pulang membawa Pak Danu, bapaknya Tara dari rumah sakit, setelah tiga hari dirawat. Ia masuk ke dalam rumah dengan membopong tubuh lemah pak Danu."Bapak!" pekik Tara saat melihat tubuh lemah bapaknya, dituntun Erik untuk duduk di kursi tamu.
"Bapak gak papa Ra, hanya lemas saja." Begitulah lelaki paruh baya itu menenangkan hati anak perempuannya. Pak Danu tak ingin membuat hati Tara resah, apalagi sekarang Tara sedang hamil.
"Kamu sudah buatkan bubur untuk Bapak Ra?" tanya Erik, saat tiba dari dapur.
"Sudah, Paman, sebentar saya ambilkan." Tara bergegas ke dapur. Mengambilkan semangkuk bubur ayam untuk bapak. Tara menyuapinya dengan telaten.
Pak Danu melihat ke perut Tara yang semakin buncit. "Makan apa tho kamu, perutnya sampe gede gitu," ledek Pak Danu pada putrinya. Tara tersenyum ceria. Senang rasanya ada raut gembira di wajah bapaknya.
"Ini efek kebanyakan makan ubi rebus, Pak." Tara melirik pamannya yang baru saja akan masuk kamar mandi. Setiap hari Tara selalu menyediakan ubi rebus untuk pamannya, seolah-olah tanpa ubi rebus sebagai menu sarapan, pamannya akan mati. Paman Erik yang tersendir, menoleh lalu nyengir kuda.
"Kan saya minta rebusinnya buat saya, kenapa kamu jadi ikutan makan? salah sendiri!" ucap Erik cuek. Lalu masuk ke kamar mandi. Yah begitulah pamannya ini terlalu cuek.
Tara mencebikkan bibirnya. Bapaknya hanya tersenyum melihat wajah Tara yang kesal.
"Kamu sudah pikirkan omongan Bapak'kan, Ra?"
"Aduh Pak, jangan bahas itu lagi. Bapak tuh gak papa, Bapak sehat dan insya Allah berumur panjang. Sampai cucu-cucu Bapak besar." Tara menggenggam tangan keriput bapak.
"Bapak hanya ingin kamu bahagia, Ra."
"Bahagia Tara adalah dengan sehatnya Bapak dan anak-anak." Tara mengusap perut buncitnya yang memasuki usia tujuh bulan.
"Tapi bahagia Bapak adalah dengan melihat kamu dicintai."
Tara terdiam.
"Pak, Paman Erik sudah Tara anggap seperti ayah sendiri. Masa tau-tau harus memperlakukannya sebagai suami. Ndak bisa, Pak."
"Tapi kenapa perasaan Bapak, suatu saat kamu bisa bahagia bersama Erik."
Tara tertawa keras. Sampai perutnya ikut naik turun.
"Haduh ... Bapak, kesambet opo tho yoo." Tara menggelengkan kepalanya. Masih dengan mengulum senyum, Tara berdiri hendak ke dapur, menaruh mangkuk bubur. Karena tidak hati-hati Tara tersandung mainan Fia, yang bertebaran di lantai.
"Aaahhh!" pekiknya, untung saja Erik yang baru keluar kamar mandi, berdekatan dan langsung menahan tubuh Tara yang oleng, hampir menabrak meja dapur.
"Kamu ga papa, Ra? jalan hati-hati nduk," tanya Erik khawatir.
Tara belum sempat menjawab, wajahnya meringis. Pak Danu terperangah saat ada cairan merah mengalir dari daster panjang Tara.
"Erik, darah!" teriak Pak Danu panik, begitu juga Erik yang langsung melihat ke bawah. Seketika wajahnya memucat, manakala melihat Tara yang sudah menutup mata dengan keringat bercucuran.
Masih dengan handuk yang dililitkan dipinggangnya, tanpa baju Erik keluar dengan berlari membopong Tara yang pingsan. Membawanya masuk ke dalam mobil bak milik Mbok Minah yang tadi dia pinjam untuk menjemput Pak Danu dari rumah sakit.
Mobil melaju dengan cepat menuju rumah sakit. Keringatnya bercucuran, sesekali menatap iba keponakannya yang terlihat sangat kesakitan. Darah sudah merembes di jok mobil mbok Minah. Tangan paman Erik semakin gemetar memegang kemudi, tak dihiraukannya lagi tubuhnya yang tersapu angin dingin, dia hanya memakai handuk dan bertelanjang dada. Dan author tak yakin dibalik handuk itu ada kain lagi. Diusapnya peluh yang bercucuran di wajahnya.
"Eeuuh." Tiba-tiba Tara merintih, membuat Erik menoleh dan semakin kalut.
"Tahan ya Ra, sebentar lagi sampai."
"S-sakit," rintihnya.
"Ya Allah selamatkanlah ponakanku, selamatkanlah wanita yang aku cintai ini." gumam Erik dalam hati.
***
Ekkhheemm..ternyata.. :)
Zaka sedang menatap ponselnya, mengecek beberapa pesan masuk dari teman-temannya. Iseng Zaka mencoba menghubungi nomor Tara, namun masih tak tersambung. Mendadak Zaka mules, keringat sebesar biji jagung menari-nari di kening dan lehernya. Mei yang sedang rebahan di samping Zaka, memperhatikan suaminya."Mas, kamu kenapa?" tanya Mei khawatir, sigap Mei duduk memeriksa wajah pucat suaminya."Mules, Mei," cicitnya sambil meringis."Ya udah sana ke kamar mandi, kok malah diem aja, ntar ce*irit lho Mas." Mei mencoba sedikit bercanda."Suami sakit kok malah dibecandain, gak lucu!" ucap Zaka sebal. Mei terdiam, baru kali ini suaminya bersikap seperti ini."Maaf, Mas. Mei ambilkan minyak kayu putih ya." Dengan wajah memelas Mei memandang wajah Zaka, Zaka pun tak tega, akhirnya mengangguk. Mei beranjak dari kasur, lalu mengambil minyak kayu putih di dalam laci. Kembali pada suaminya, dan mengolesi di perut suaminya yang terasa dingin. Wajah Mei semaki
Selamat Membaca😘Jangan lupa follow ya😘"Masa sih? Saya ndak bicara apa-apa. Kamu salah denger kali Ra, orang setengah sadar gitu." Erik mengelak, dengan akting yang sangat bagus, sehingga Tara percaya.CceupcceeuppBayi Yusuf berdecab, tanda ingin menyusu."Sabar ya Le, kakekmu ini sedang nyetir, nanti malah nabrak kalau kamu n*nen di sini," ucapnya datar, sambil terus fokus menatap jalanan. Sedangkan Tara sudah terkekeh geli. Pamannya ini sangat cuek, dan gak asik. Bisa-bisanya bicara begitu tanpa ekspresi apapun."eeeeekk...eeekkk ...."Bayi Yusuf mulai menangis."Ya sudah, kita berhenti di warung makan depan sana. Kamu menyusui di sini, biar paman turun dulu," ucap Erik, lalu menepikan mobilnya.Mesin mobil masih menyala, Erik turun masuk ke dalam warung makan, sesekali Tara melirik ke arah pamannya. Pamannya tengah asik berbincang dengan orang-orang yang berada disana. Lima belas menit berlalu, akhirnya bayi Yusuf sudah cuk
Siang ini, di kantor Zaka tak berhentinya memikirkan Tara. Padahal sebelumnya, ingat saja dia tidak, bahkan hampir melupakan, bahwa mempunyai istri dua. Fokusnya hanya pada Mei seorang, kini Mei sudah berangsur pulih, walaupun masih sedih dengan kehilangan bayi mereka yg menginjak usia enam bulan. Zaka ingat beberapa kali berhubungan dengan Tara, meskipun sudah pernah melahirkan, tapi Zaka sebagai lelaki akui, bahwa Tara dapat merawat tubuhnya dengan baik, meskipun Tara tidak berkulit putih seperti Mei, tapi melihat Tara rebahan saja sudah membuat Zaka menegang. Saat ini saja dadanya berdesir, bila ingat masa-masa mencumbu Tara. Apakah Tara hamil ya? Beep..beep.. Pesan singkat berbunyi, Zaka melihat pengirimnya Sayangku. Pastilah itu Mei. "Mas, aku di resto kantor kamu. Kita makan yuk, ada yang mau aku bicarakan." "Oke, tunggu sebentar ya, Sayang." Zaka memasukkan ponsel ke dalam sakunya. Dan bergegas ke
Empat puluh hari setelah kepergian Pak Danu, kini Tara sudah mulai bisa menerima keadaan, hidup harus terus berlanjut. Anak-anaknya masih kecil, sangat butuh perhatian dan kasih sayang Tara.Untungnya ada Paman Erik yang selalu siap siaga membantu Tara dalam mengurus rumah dan juga anak-anaknya. Lelali setengah baya itu, bahkan bekerja lebih keras di kebun sawit milik Pak Lurah. Di hari sabtu dan minggu Paman Erik juga bekerja paruh waktu di kebun karet milik juragan Parto. Walaupun hanya sampai jam dua belas siang, sisanya Erik membantu Tara mengerjakan pekerjaan rumah, atau sekedar bermain bersama Fia dan Yusuf. Karena saat ini hanya lelaki itu yang menjadi tulang punggung.Pernah beberapa kali Tara mengusulkan agar ia bekerja saja. Untuk membantu Erik mencukupi kebutuhan hidup mereka, namun dengan tegas Erik menolak. Cukup ia saja yang mencari nafkah, tugas Tara hanya mengurus anak-anak dan rumah.Tara sebenarnya kasian pada Erik, apalagi se
Acara syukuran pernikahan Tara dan Erik, berlangsung lancar, sederhana dan penuh hikmat, tetangga kanan kiri datang mengucapkan doa dan memberi selamat.Mbok Minah dan suaminya Pak Yunus adalah orang yang sangat berjasa membantu segala persiapan pernikahan Tara dan Erik. Pasangan paruh baya yang usianya hampir seumuran almarhum bapak Tara, sudah menganggap Tara sebagai anak sendiri.Acara yang berlangsung dari pukul sembilan pagi sampai jam dua siang akhirnya selesai juga. Fia sudah kelelahan tidur di bale, lengkap dengan kebaya mini yang dibelikan Erik. Fia sangat lucu dan imut memakai pakaian tersebut. Begitu juga Yusuf yang didandani ala pria jawa memakai blankon.Sesi foto bersama Tara, Erik, dan kedua anak mereka sangat menggemaskan, dimana Fia tidak bisa diam dan Yusuf yang selalu menarik-narik melati yang menghias di kepala Tara. Belum lagi Erik yang sangat kaku saat diarahkan memeluk pundak Tara. Ambyaarr pokoknya. Fotografer keliling y
Wajah Tara bersemu merah, saat digoda oleh Erik. Tara menjadi kikuk sendiri. Dia terdiam. Untungnya Erik tidak membuka mata, ia tahu Tara pasti malu kalau dia buka mata. Erik sangat paham, Tara sangat belum siap dengan hubungan suami istri sebagaimana mestinya.Erik menganggap kecupan di pipinya tadi hanya bukti rasa terimakasih kepada Erik.Erik melanjutkan tidurnya hingga terlelap di pangkuan Tara. Pelan Tara meletakkan kepala Erik di atas bantal. Tara mematikan lampu dan berjalan keluar, menuju kamarnya. Dadanya masih deg-deg an. Bagaimana dia menghadapi pamannya besok. Tara memijat pelipisnya kasar. Mencoba memejamkan mata.Shubuh, Erik sudah bangun, mandi lalu pergi ke masjid. Sedangkan Tara, setelah mandi lalu seholat, Tara bergegas ke dapur, hendak membuatkan sarapan, untuk suami juga anak-anaknya."Assalamualaikum," salam Erik saat memasuki rumah."Wa'alaykumussalam." jawab Tara dari dapur.Erik berjalan ke arah dapur, kare
Sabtu pagi, tampak Erik tengah menyapu teras tanah rumahnya. Dengan hanya menggunakan kaos dalam dan sarung kotak-kotak merah. Sedangkan Tara sibuk di dapur, membuat nasi goreng untuk sarapan hari ini."Eeekk..hheek...," suara tangisan Yusuf terdengar dari kamar. Tara mengecilkan api kompor, setengah berlari Tara mengangkat Yusuf dari ranjang dan membawanya ke dapur. Karena memasak nasi gorengnya tanggung, tinggal memasukkan garam dan daun bawang, jadi inilah yang Tara lakukan.Membuka tiga kancing bajunya, mengeluarkan pabrik asi sebelah kiri dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya menggendong Yusuf. Jadilah Tara mengaduk-aduk nasi goreng sambil menyusui Yusuf. Ibu yang luar biasa cerdas. Tara mengintip sebentar keluar dari jendela. Alhamdulillah pamannya tengah asik menyapu teras depan yang penuh dengan daun jambu air yang berguguran."Tumben belum berangkat ke kebun karet." Tara bermonolog, lalu mengambil garam sesendok dan menaburkannya
Malam ini, malam yang panjang bagi Tara dan Erik, pasalnya malam ini untuk pertama kali mereka tidur seranjang berempat, badan Erik yang tinggi tegap membuat kasur berukuran seratus enam puluh senti itu serasa sangat sempit. Yah malam ini papa Erik dan Arle adiknya, tidur di kamar Erik. Jadi dengan sangat senang Erik tidur di kamar bersama anak-anak dan istrinya."Ga bisa gerak ini, Pih," rengek Tara kesempitan terhimpit tembok."Apih, diet dong. Kegedean itu badannya!" gerutu Tara lagi sambil membetulkan letak badannya agar nyaman, namun tetap tak bisa.Erik mengalah, kasihan juga melihat anak dan istrinya kesempitan."Ya udah saya tidur di bawah aja, pake tiker," ucap Erik sambil turun dari ranjang Tara, menggelar tiker yang ada di samping ranjang Tara."Saya pinjam bantal hidup boleh?""Bantal hidup?" Tara masih tak paham."Iya itu paha kamu, Tara Zakia," terang Erik sambil menunjuk paha Tara. Dengan mesem-mesem Tara turun da