Tara sekarang berada di rumahnya, suasana pedesaan, yang tenang dan menyejukkan. Burung-burung saling bersahutan dipagi hari, Tara menghirup udara segar yang mampu membuat tubuhnya rileks dan nyaman. Meskipun masih belum bisa mengerjakan apa pun di rumahnya, tetapi paman dan ayahnya selalu membantu dan merawatnya dengan baik.
"Tara, makan dulu," ucap pamannya dari dalam rumah. Tara menoleh ke asal suara.
"Iya Paman." Tara masuk lalu duduk di meja makan kecil yang berada di dekat dapur. Sudah ada ubi rebus, kentang rebus dan seteko teh manis.
"Paman tidak makan?" Tara melihat pamannya sudah rapi mau berangkat ke kebun sawit.
"Sudah tadi, saya berangkat dulu ya, kamu baik-baik di rumah, kalau perlu bantuan, hubungi saya atau kamu ke Mbok Minah, tetangga sebelah ya," pesannya sebelum iya keluar dari rumah mengendarai motor bututnya.
Tara duduk bersama dengan Fia yang tengah bermain di teras bersama anak Mbok Minah, yang bernama Sekar. Usianya dua tahun sepuluh bulan, hanya beda tiga bulan dengan Fia. Untungnya Fia termasuk anak yang cepat akrab. Mbok Minah ikut duduk sambil membawa sepiring nasi goreng, dan menyuapi Sekar.
"Bapak kamu belum pulang, Ra?"
"Belum Mbok, Pak Lurah masih ada raker katanya mbok, besok mungkin baru balik dari Surabaya."
"Oh, gitu. Kamu sakit apa sih Ra, kedengaran muntah-muntah terus kalau pagi?"
"Cuma masuk angin Mbok." Mbok Minah curiga Tara hamil, namun ia tak berani bertanya. Karena sepertinya Tara menutupi sesuatu.
Sore menjelang. Motor butut kepunyaan pamannya memasuki halaman luas rumah Tara.
"Assalamualaikum."
"Wa"alaykumussalam."
"Ini tadi saya mampir ke kota beli pupuk, liat beginian kayaknya seger." Paman Erik memberikan sebungkus air dingin, Tara mengintip isinya.
"Ya Allah, Paman. Terimakasih." Tara menangis terharu, Tara mencium punggung tangan pamannya yang terheran-heran melihat Tara kegirangan, padahal cuma es cendol.
"Cuma es cendol Ra, bukan berlian." Erik menggelengkan kepalanya heran. Lalu masuk ke dalam kamar mandi. Dengan cepat Tara menghabiskan segelas besar es cendol. Sesekali Tara menyuapi Fia yang ternyata juga menyukai rasanya. Sehabis melahap es cendol, Tara sedikit bersemangat. Dia pergi ke dapur untuk mencuci piring lalu menyapu rumah.
Paman Erik memperhatikan, keponakannya dengan seksama."Kamu sudah sembuh?"
"Sudah Paman, berkat es cendol."
"Ha ha ha ...," suara tawa lelaki itu menggema.
"Kamu ada-ada saja Ra ...Ra ...." Tara ikutan menyeringai melihat tawa pamannya. Baru segar sedikit rasa tubuhnya Tara melanjutkan kegiatan menyapu rumahnya, tiba-tiba pandangan Tara berkunang-kunang.
Buugh!
Tara terjatuh, Paman Erik meneriakkan namanya. Lalu dengan cepat membawanya ke klinik terdekat yang letaknya cukup jauh dari tempat tinggal Tara. Paman Erik menitipkan Fia di rumah Mbok Minah, dan meminjam mobil bak suami Mbok Minah, untuk membawa Tara ke dokter.
"Suami ibu Tara." Paman Erik kaget. Lalu berdiri dari kursi tunggu.
"Sayaaa ...." belum sempat Erik melanjutkan ucapannya, sudah dipotong oleh perawat.
"Istri Bapak, mengalami anemia, ini tidak baik bagi kondisi ibu dan bayinya." Paman Erik terdiam, jadi benar feelingnya bahwa Tara pasti menyembunyikan sesuatu.
"Jadi bagaimana sebaiknya, Dok?" tanya paman Erik melanjutkan aktingnya sebagai suami keponakannya.
"Minum vitamin hamilnya, minum susu ibu hamil, tidak terlalu stres dan makan-makanan bergizi," terang dokter.
"Baik Dok, terimakasih." Paman Erik mengangguk.
Paman Erik melakukan sambungan telpon dengan bapak Tara. Mengabarkan kalau Tara sedang kurang sehat dan sekarang sedang di klinik.
"Saya kenapa, Paman?" tanya Tara lemah, sesaat setelah Tara sadar. Ia memperhatikan sekelilingnya. Erik menoleh.
"Kamu hamil, kenapa gak bilang Paman dan Bapakmu?"
"Mmm ... itu, saya tidak mau Paman dan Bapak khawatir."
"Apa suamimu juga tidak tahu kalau kamu hamil?"
Tara mengangguk. Kini air matanya sudah merembes.
"Resiko menjadi istri kedua, sabar," kata itulah yang diucapkan pamannya, sebelum pamannya beranjak pergi dari ruangan Tara.
****
Zaka terpaksa berbohong pada Mei, mengatakan bahwa Zaka sedang ada meeting dengan klien, dan pulang lembur hari ini. Padahal Zaka ingin memastikan keadaan Tara yang sudah sepekan tidak bisa dihubungi. Sudah sepekan juga Zaka mendadak gagal fokus karena Tara.
Zaka sudah memasuki area perumahan Tara.Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Zaka berharap Tara sudah ada di rumah, namun nihil. Rumah Tara gelap. Hanya lampu teras yang menyala. Zaka memarkirkan mobilnya di depan rumah Tara. Keluar dari mobil lalu mengintip ke jendela rumah Tara, tampak kosong.
"Cari siapa Pak?" tanya seorang ibu yang kebetulan lewat depan rumah Tara.
"Mbak Taranya ke mana ya, Bu?"
"Bapak siapa?"
"Mmm ... saya suaminya," kelu rasanya lidah Zaka saat mengucapkannya.
"Oh, Bu Tara ada suaminya toh, saya kirain ga ada, soalnya gak pernah lihat!" ketus ibu itu sambil melirik tajam kepada Zaka.
"Bu Tara sudah pindah Pak, ga tahu ke mana. Rumah ini dikontrakkan sekarang."
Zaka terdiam. Apa yang sebenarnya terjadi pada Tara?
"Tapi apa saya boleh melihat isi rumahnya Bu, saya mau mengambil barang saya yang tertinggal," alasan Zaka. Sang ibu memberitahukan bahwa kunci rumah Tara dititipkan di rumah Bu Yosi. Segeralah Zaka meminta izin kepada Bu Yosi untuk masuk ke rumah Tara. Tanpa berkata apapun Bu Yosi, memberikan kunci rumah Tara, kepada Zaka.
Benar saja, tak ada selembar baju pun yang berada dalam lemari Tara dan Fia. Hanya ada selembar baju kaos milik Zaka, satu buah kemeja kerja Zaka dan satu buah boxer. Zaka membuka laci lemari. Pandangannya bertemu pada selembar foto pernikahan siri antara dirinya dengan Tara waktu itu.
Apakah aku membuat kesalahan padanya, sehingga ia pergi? tapi bukankah itu bagus. Tandanya bebanku sedikit berkurang. Yah sudahlah,mungkin ini sudah keputusannya. Aku jadi bisa fokus pada Mei dan anak kami. Suatu saat jika aku bertemu dengannya, aku akan menalaknya, karena dia sudah meninggalkanku terlebih dahulu, jadi bukan salahku juga.
Zaka keluar dari rumah Tara, sambil membawa sisa pakaiannya yang tertinggal di rumah Tara. Setelah mengunci pintu rumah, Zaka mengembalikan kunci tersebut ke rumah bu Yosi. Langkahnya lebih ringan, senyumnya pun merekah, saat masuk ke dalam mobil. Bu Yosi memperhatikan dengan geram. Benar-benar lelaki bangsat!!
****
"Papa ia, kelja ya Ma?"Tara mengangguk. Tara mengusap rambut Fia.
"Telpon Papa Ma, ia kangen," rengek Fia.
"Ponsel Mama rusak sayang, nanti kalau sudah dibenerin kita telpon papa ya."Tara beralasan, nafasnya tampak gusar. Anak perempuannya merindukan Zaka.
"Jadi sekarang kamu dan Fia bagaimana?" suara bapak Tara membuat Tara menoleh. Yah sejak saat itu, bapak Tara mengetahui semuanya. Namun tidak sepenuhnya, Tara masih menjaga nama baik Zaka, dihadapan bapaknya.
"Sebaiknya kamu pulang Nduk, jangan sampai suamimu berpikir yang tidak-tidak."
"Tidak Pak, Tara mau di kampung saja," tegas Tara menolak.
"Mas Zaka sudah bahagia dengan istri dan calon anak mereka Pak, tak mungkin Tara merusaknya."
"Trus anak yang dalam perut kamu itu bagaimana?dia juga anak Zaka."
"Dia anak Tara Pak, hanya anak Tara." Lembut Tara mengusap perutnya. Lalu pergi dari hadapan bapak dan juga pamannya, Tara tersedu masuk ke dalam kamar.
"Tau gitu, aku tidak akan setuju pernikahan mereka, Rik!" tampak raut wajah kesal Pak Danu.
"Sudah terjadi, Mas. Sekarang bagaimana cara kita menenangkan hati Tara? karena pasti dia yang lebih kecewa pada Zaka, jangan sampai bayinya tertekan di dalam perutnya".
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Kondisi kehamilan Tara semakin baik, perutnya cukup besar. Tak pernah sekalipun Tara mengeluh atas kondisinya, yang hamil tanpa suami di sampingnya. Paman dan bapaknya senantiasa merawat, menjaga dan menyenangkannya. Walaupun belakangan ini penyakit diabetes kembali merongrong tubuh bapak Tara.
"Setelah Tara melahirkan, kamu mau kan menikahinya?"
"Aku takut umurku tidak panjang. Bagaimana dengan anak dan cucuku?tidak ada siapapun yang menjaga mereka."
Tara tertegun dari balik tirai kamar bapaknya, mendengar ucapan bapaknya pada paman Erik, ucapan itu benar-benar membuat Tara sangat sedih.
Sementara itu.
"Maaf Pak, kami tidak bisa berbuat banyak. Bayi bapak terpaksa kami keluarkan!"
Duuuaarr!!
Bagai petir mengegelegak di tengah matahari terik. Mei terpeleset di kamar mandi kantornya, sehingga jatuh terjerembab. Membuat Mei kehilangan bayinya. Zaka terpukul dan merasa sangat sedih, penantian itu sia-sia. Kini bayinya yang berusia enam bulan di dalam perut Mei sudah tidak ada lagi.
Sungguh Zaka sudah melarang Mei untuk tidak bekerja, karena perutnya semakin besar. Zaka tidak ingin beresiko. Namun Mei keras kepala tetap ingin bekerja, hingga terkadang pulang malam. Sampai terjadilah peristiwa hari ini. Dimana Zaka memandang jenazah bayinya yang masih sangat kecil,terbungkus kain kafan. air matanya merembes. Anak yang begitu dinantikan, pergi meninggalkanya dan juga Mei.
*****
Rasakan!!!
Mei hari ini sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Meski tubuhnya masih lemah, tapi Mei berusaha menguatkan dirinya sendiri, bahwa semua ini takdir yang Maha Kuasa. Mei meminta kepada Zaka, agar mengantarnya ke pemakaman, dimana, bayi mereka dikubur. Dengan cucuran air mata kesedihan Mei menatap pusara anaknya, begitu juga Zaka, tertunduk lemah, menyesal tiada guna, semua sudah terjadi. Saat ini yang terpenting, dia menghibur Mei agar tak depresi atas kehilangan bayi yang sangat lama mereka nantikan.Beep..beep..Suara ponsel Zaka berbunyi, tampak nama yang tertera pada layarnya.Papa["Hallo, Pa. Assalamualaikum.]["Wa'alaykumussalam."]["Kamu di mana Ka?"]["Di pemakaman, Pa."]["Setelah mengantar Mei, kamu ke rumah, ada yang perlu papa bicarakan." ]["Baik, Pa."]Mei menatap wajah suaminya."Papa yang telpon, katanya Mas, disuruh ke rumah, ada yang mau dibicarakan.""Ya sudah ayo, kita pul
Zaka sedang menatap ponselnya, mengecek beberapa pesan masuk dari teman-temannya. Iseng Zaka mencoba menghubungi nomor Tara, namun masih tak tersambung. Mendadak Zaka mules, keringat sebesar biji jagung menari-nari di kening dan lehernya. Mei yang sedang rebahan di samping Zaka, memperhatikan suaminya."Mas, kamu kenapa?" tanya Mei khawatir, sigap Mei duduk memeriksa wajah pucat suaminya."Mules, Mei," cicitnya sambil meringis."Ya udah sana ke kamar mandi, kok malah diem aja, ntar ce*irit lho Mas." Mei mencoba sedikit bercanda."Suami sakit kok malah dibecandain, gak lucu!" ucap Zaka sebal. Mei terdiam, baru kali ini suaminya bersikap seperti ini."Maaf, Mas. Mei ambilkan minyak kayu putih ya." Dengan wajah memelas Mei memandang wajah Zaka, Zaka pun tak tega, akhirnya mengangguk. Mei beranjak dari kasur, lalu mengambil minyak kayu putih di dalam laci. Kembali pada suaminya, dan mengolesi di perut suaminya yang terasa dingin. Wajah Mei semaki
Selamat Membaca😘Jangan lupa follow ya😘"Masa sih? Saya ndak bicara apa-apa. Kamu salah denger kali Ra, orang setengah sadar gitu." Erik mengelak, dengan akting yang sangat bagus, sehingga Tara percaya.CceupcceeuppBayi Yusuf berdecab, tanda ingin menyusu."Sabar ya Le, kakekmu ini sedang nyetir, nanti malah nabrak kalau kamu n*nen di sini," ucapnya datar, sambil terus fokus menatap jalanan. Sedangkan Tara sudah terkekeh geli. Pamannya ini sangat cuek, dan gak asik. Bisa-bisanya bicara begitu tanpa ekspresi apapun."eeeeekk...eeekkk ...."Bayi Yusuf mulai menangis."Ya sudah, kita berhenti di warung makan depan sana. Kamu menyusui di sini, biar paman turun dulu," ucap Erik, lalu menepikan mobilnya.Mesin mobil masih menyala, Erik turun masuk ke dalam warung makan, sesekali Tara melirik ke arah pamannya. Pamannya tengah asik berbincang dengan orang-orang yang berada disana. Lima belas menit berlalu, akhirnya bayi Yusuf sudah cuk
Siang ini, di kantor Zaka tak berhentinya memikirkan Tara. Padahal sebelumnya, ingat saja dia tidak, bahkan hampir melupakan, bahwa mempunyai istri dua. Fokusnya hanya pada Mei seorang, kini Mei sudah berangsur pulih, walaupun masih sedih dengan kehilangan bayi mereka yg menginjak usia enam bulan. Zaka ingat beberapa kali berhubungan dengan Tara, meskipun sudah pernah melahirkan, tapi Zaka sebagai lelaki akui, bahwa Tara dapat merawat tubuhnya dengan baik, meskipun Tara tidak berkulit putih seperti Mei, tapi melihat Tara rebahan saja sudah membuat Zaka menegang. Saat ini saja dadanya berdesir, bila ingat masa-masa mencumbu Tara. Apakah Tara hamil ya? Beep..beep.. Pesan singkat berbunyi, Zaka melihat pengirimnya Sayangku. Pastilah itu Mei. "Mas, aku di resto kantor kamu. Kita makan yuk, ada yang mau aku bicarakan." "Oke, tunggu sebentar ya, Sayang." Zaka memasukkan ponsel ke dalam sakunya. Dan bergegas ke
Empat puluh hari setelah kepergian Pak Danu, kini Tara sudah mulai bisa menerima keadaan, hidup harus terus berlanjut. Anak-anaknya masih kecil, sangat butuh perhatian dan kasih sayang Tara.Untungnya ada Paman Erik yang selalu siap siaga membantu Tara dalam mengurus rumah dan juga anak-anaknya. Lelali setengah baya itu, bahkan bekerja lebih keras di kebun sawit milik Pak Lurah. Di hari sabtu dan minggu Paman Erik juga bekerja paruh waktu di kebun karet milik juragan Parto. Walaupun hanya sampai jam dua belas siang, sisanya Erik membantu Tara mengerjakan pekerjaan rumah, atau sekedar bermain bersama Fia dan Yusuf. Karena saat ini hanya lelaki itu yang menjadi tulang punggung.Pernah beberapa kali Tara mengusulkan agar ia bekerja saja. Untuk membantu Erik mencukupi kebutuhan hidup mereka, namun dengan tegas Erik menolak. Cukup ia saja yang mencari nafkah, tugas Tara hanya mengurus anak-anak dan rumah.Tara sebenarnya kasian pada Erik, apalagi se
Acara syukuran pernikahan Tara dan Erik, berlangsung lancar, sederhana dan penuh hikmat, tetangga kanan kiri datang mengucapkan doa dan memberi selamat.Mbok Minah dan suaminya Pak Yunus adalah orang yang sangat berjasa membantu segala persiapan pernikahan Tara dan Erik. Pasangan paruh baya yang usianya hampir seumuran almarhum bapak Tara, sudah menganggap Tara sebagai anak sendiri.Acara yang berlangsung dari pukul sembilan pagi sampai jam dua siang akhirnya selesai juga. Fia sudah kelelahan tidur di bale, lengkap dengan kebaya mini yang dibelikan Erik. Fia sangat lucu dan imut memakai pakaian tersebut. Begitu juga Yusuf yang didandani ala pria jawa memakai blankon.Sesi foto bersama Tara, Erik, dan kedua anak mereka sangat menggemaskan, dimana Fia tidak bisa diam dan Yusuf yang selalu menarik-narik melati yang menghias di kepala Tara. Belum lagi Erik yang sangat kaku saat diarahkan memeluk pundak Tara. Ambyaarr pokoknya. Fotografer keliling y
Wajah Tara bersemu merah, saat digoda oleh Erik. Tara menjadi kikuk sendiri. Dia terdiam. Untungnya Erik tidak membuka mata, ia tahu Tara pasti malu kalau dia buka mata. Erik sangat paham, Tara sangat belum siap dengan hubungan suami istri sebagaimana mestinya.Erik menganggap kecupan di pipinya tadi hanya bukti rasa terimakasih kepada Erik.Erik melanjutkan tidurnya hingga terlelap di pangkuan Tara. Pelan Tara meletakkan kepala Erik di atas bantal. Tara mematikan lampu dan berjalan keluar, menuju kamarnya. Dadanya masih deg-deg an. Bagaimana dia menghadapi pamannya besok. Tara memijat pelipisnya kasar. Mencoba memejamkan mata.Shubuh, Erik sudah bangun, mandi lalu pergi ke masjid. Sedangkan Tara, setelah mandi lalu seholat, Tara bergegas ke dapur, hendak membuatkan sarapan, untuk suami juga anak-anaknya."Assalamualaikum," salam Erik saat memasuki rumah."Wa'alaykumussalam." jawab Tara dari dapur.Erik berjalan ke arah dapur, kare
Sabtu pagi, tampak Erik tengah menyapu teras tanah rumahnya. Dengan hanya menggunakan kaos dalam dan sarung kotak-kotak merah. Sedangkan Tara sibuk di dapur, membuat nasi goreng untuk sarapan hari ini."Eeekk..hheek...," suara tangisan Yusuf terdengar dari kamar. Tara mengecilkan api kompor, setengah berlari Tara mengangkat Yusuf dari ranjang dan membawanya ke dapur. Karena memasak nasi gorengnya tanggung, tinggal memasukkan garam dan daun bawang, jadi inilah yang Tara lakukan.Membuka tiga kancing bajunya, mengeluarkan pabrik asi sebelah kiri dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya menggendong Yusuf. Jadilah Tara mengaduk-aduk nasi goreng sambil menyusui Yusuf. Ibu yang luar biasa cerdas. Tara mengintip sebentar keluar dari jendela. Alhamdulillah pamannya tengah asik menyapu teras depan yang penuh dengan daun jambu air yang berguguran."Tumben belum berangkat ke kebun karet." Tara bermonolog, lalu mengambil garam sesendok dan menaburkannya
Tara kini sudah dirias begitu cantik, gaun putih pernikahan ala tuan puteri menempel begitu anggun di tubuhnya. Make up flawless menambah pesona yang terpancar dari wajah Tara. Meskipun tetap memakai hijab penutup rambutnya. Ya, hari ini, beberapa jam lagi. Ia akan melangsungkan pernikahan yang keempat kalinya. Duh, malu sebenarnya. Tapi apalah daya, pesta mewah dan megah ini, Zaka persembahkan untuk dirinya. Dengan alasan, Zaka ingin menebus semua kesalahan fatalnya saat dahulu kala.Tara tersenyum memperhatikan wajahnya terang bercahaya di depan cermin. Pangling sih, seperti bukan dirinya. Jujur, inilah pertama kali Tara melangsungkan pesta pernikahan dengan mewah. Pernikahan pertamanya dengan Rahman, berlangsung sederhana di kampung. Pernikahan kedua dengan Zaka pun berlangsung sederhana, karena hanya ijab qabul, tanpa buku nikah. Begitu pun dengan Erik, hanya sukuran saja memanggil tetangga terdekat, dan ia mendapat buku nikah setelahnya."Calon pengantin melamun t
Zaka membawa Abiyah ke rumahnya, sebelum mengantarnya ke Benhil. Tentu saja di sana sudah ada anak-anaknya yang heboh dengan kedatangan Zaka dengan seorang wanita bule yang sangat cantik. Bahkan Bu Erika tersenyum sangat lebar, ia berpikir sudah saatnya anaknya, Zaka. Membuka pintu hati untuk wanita lain.Abiyah diterima dengan baik dan ramah. Bahkan diminta untuk menginap di rumah Bu Erika, "menginap di sini saja, besok baru ke Benhil diantar Zaka, bagaimana?" tawar Bu Erika pada Abiyah."Aduh, Bu. Saya jadi merepotkan, ga papa saya langsung ke Benhil saja," sahutnya sungkan. Apalagi kini dikelilingi oleh anak-anak Zaka yang menurut Abiyah sangat lucu."Menginap di sini saja, Abiyah. Nanti biar Om bicara pada bos kamu," sela Pak Aditya yang baru saja keluar kamar. Abiyah hanya bisa mengangguk malu-malu, tidak mungkin dibantah, jika yang meminta adalah Pak Aditya Darman, relasi perusahaannya yang sudah terjalin sejak enam tahun yang lalu, bahkan sebelum Abiyah b
"Pak Zaka belum menikah?" tanya Abiyah serius."Saya pernah menikah dan punya anak. Tetapi saat ini saya sendiri."Abiyah mengangguk sambil membulatkan mulutnya, membentuk huruf O."Bapak... mau tidak, menikah dengan saya?""Apa?!"Kedua bola mata Zaka melotot lebar, seakan baru saja ditanya oleh malaikat. Mau mati sekarang tidak?"He he, becanda, Pak," sambungnya lagi sambil tertawa kecil."Oh iya, Pak. Saya mau ke Jakarta lho. Mau ke rumah sepupu saya. Setelah itu, saya mau ke Padang, bertemu Atok saya. Sudah dua tahun saya tidak pulang ke sana," terang Abiyah sambil meminum jus jeruknya."Oh iya, Jakartanya di mana?" tanya Zaka."Di Benhil, Pak. Jauh ya dari rumah Bapak?""Lumayan sih.""Pulang bareng yuk, Pak. Sekalian Bapak jadi guide saya," ujar Abiyah sambil menyeringai."Mmm ... saya tidak janji bisa mengantar kamu ke Benhil, tapi kalau kebetulan saya tidak ada pekerjaan, saya bisa," uj
Tiga hari sudah berlalu sejak Zaka dipaksa pulang dalam keadaan sakit oleh Tara. Sejak saat itu juga Zaka menghilang bagai ditelan bumi. Tiada kabar berita, tiada pesan WA atau telepon kepada anak-anak. Tara mencoba tak peduli, memang seharusnya Zaka tidak terlalu sering mengunjunginya atau berkirim pesan padanya, karena bakalan sama saja respon yang ia dapat. Tara melirik sekilas ponselnya yang sama sekali sepi tiga hari ini.Dengan langkah sedikit malas, ia memilih pergi ke dapur untuk membuatkan cemilan telur gabus pesanan anak-anaknya."Duh, Papa Zaka ke mana sih? Susah nih PR-nya!" rengek Kinan keluar dari kamar sambil membawa buku.Tara menoleh lalu menghampiri Kinan di ruang TV. "Mana sini, coba Mama lihat!" tawar Tara yang sudah duduk di samping Kinan. Anak SD itu memberikan buku paket sekolah serta satu buku tulis pada Tara."Susah, Ma. Pasti cuma Papa Zaka doang yang jago hitungan begitu," puji Kinan dengan wajah cemberut. Tara masih membo
Setelah bujuk rayu penuh air mata, akhirnya Tara mau ikut menemani anak-anaknya bermain di area Ancol, tepatnya di Dufan. Sebelumnya mereka sudah terlebih dahulu mampir di pantai, mengambil beberapa foto di sana. Tentu saja hal itu membuat Zaka semakin bersemangat. Tak lepas matanya memandang Tara, dalam hati ia berdoa, semoga Allah segera membukakan pintu hati Tara, agar mau menerima cinta tulusnya.Fia dan Zaka mengantre membeli tiket. Sedangkan yang lainnya tengah duduk di kursi tunggu yang tersedia tidak jauh dari loket pembelian tiket. Setelah mendapatkan tiket terusan tersebut, Zaka menggiring anak-anak masuk ke dalam area Dufan. Yusuf, Fia, dan Kinan begitu antusias. Mereka berlarian ke sana-kemari, sambil memilih permainan apa yang akan mereka coba terlebih dahulu. Mulai dari wahana 'Gajah Bledug, Kereta Misteri, Alap-alap, New Ontang-anting, Kolibri, Istana Boneka, Kora-kora, Arung Jeram, dan yang terakhir Niagara-gara.Anak-anak begitu senang saat
Fia sudah lebih dahulu sampai di rumah. Anak gadis Tara itu sudah tumbuh menjadi gadis cantik dan lincah. Fia sudah duduk di bangku kelas satu SMA. Sedangkan Yusuf duduk di kelas satu SMP, dan Kinan atau Kinasih duduk di kelas enam SD."Yusuf ke mana, Ma?" tanya Fia saat tak melihat Yusuf di kamarnya."Lagi sholat sama Papa Zaka di masjid," sahut Kinan yang baru saja selesai sholat magrib di kamarnya.Mulut Fia membulat, membentuk huruf O, diikuti anggukan."Eh, itu dia pulang." Tunjuk Kinan saat pintu terbuka."Assalamualaykum," ucap Zaka dqn Yusuf bersamaan."Wa'alaykumussalam," jawab Kinan dan Fia juga. Sedangkan Tara yang sedang menata meja makan, menyahut dengan sangat pelan."Fia sudah pulang?" tanya Zaka pada Fia."Sudah, Pa. Baru aja. Papa bawa apa?" tanya Fia menatap antusias dua bungkusan yamg ada di tangan Papa Zaka."Sate dan es buah," jawab Zaka sambil mengangkat dua bungkusan itu bergantian."Y
Sore hari, awan tampak beriak menghias langit nan biru. Satu dua kicau burung masih terdengar sahdu mengisi ruang sore sehingga tak terlalu sepi. Yah, Tara kesepian, benar-benar kesepian semenjak suaminya Erik meninggal dunia tiga tahun lalu. Tak ada lagi tawa dan haru yang mengisi hatinya. Walaupun ada anak-anak yang selalu membuat suasana rumah selalu ramai, tapi tidak dengan hatinya yang selalu merasa sepi."Assalamua'laykum," seru seorang lelaki dewasa tepat di depan wajahnya. Tara terlonjak kaget, bahkan kursi yang ia duduki berdecit karena beban tubuh Tara yang bergeser di sana."Wa'alaykumussalam," jawabnya tak acuh sambil membuang pandangan. Benar-benar mantan paling menyebalkan."Sore-sore ga boleh bengong, Ra. Ntar cepat tua," ledek Zaka pada Tara yang selalu berwajah masam di depannya."Duduk, Mas. Ada perlu apa?"Zaka mendudukan bokongnya di kursi kayu, persis di seberang Tara. "Mm... anak-anak ke mana?" tanya Zaka sambil tersenyu
Sudah dua tahun sejak kepergian Erik, Tara masih saja diliputi kesedihan mendalam. Ia yang biasanya ceria, berubah menjadi lebih banyak diam. Namun ia berusaha tegar di depan ketiga anaknya. Setiap pekan, Tara pasti berziarah ke makam Erik bersama ketiga anaknya.Semua keluarga Erik bahkan sangat terpukul, terutama Pak Aditya dan Bu Erika. Mereka tidak menyangka kalau ternyata Erik memiliki penyakit jantung. Yah sejak kepergian Erik, Tara dan anak-anaknya kembali ke rumah Pak Aditya. Mereka tidak mau Tara dan anak-anak merasa kesepian. Jika di rumah Pak Aditya, ada Arle dan istrinya Laras, serta anak kembar mereka."Hari ini kamu masak apa, Ras?" tanya Tara ketika menghampiri Laras yang tengah asik di depan kompor."Eh, Mbak. Ini saya masak sayur opor tahu dan telur, pesanan Mas Arle," sahut Laras sambil tersenyum."Oh, si kembar ke mana?" tanyanya lagi."Itu ada sama Yusuf di depan, lagi diajarin main sepeda.""Yusuf pinter bang
Sepuluh tahun kemudianDi sebuah panti asuhan, tampak sepuluh anak berusia lima sampai sepuluh tahun, berlarian di dalam pekarangan. Mereka tertawa bersama, saat memainkan permainan petak umpet. Seorang wanita dewasa,berkerudung dengan senyum penuh cinta, memperhatikan anak-anak tersebut. Wanita itu duduk sambil menggendong bayi merah yang baru saja diletakkan seseorang di pelataran panti asuhan miliknya, dini hari. Ponselnya berdering dua kali, ia menoleh ke meja di sampingnya, tempat ponsel itu tergeletak.[Hallo Assalamualaikum.][Wa'alaykumusslam.]Suara jawaban di sana membuat wanita dewasa itu sedikit tercekat. Suara yang sepertinya tidak asing baginya.[Betul ini panti asuhan Cinta Ibu?][Iya betul sekali, Pak. Ada yang bisa saya bantu.][Ini saya dan istri saya mau mengadopsi bayi baru lahir kalau ada laki-laki.][Oh, begitu. Baiknya bapak datang langsung ke tempat saya, Pak.][Baik, Bu. Rencananya saya besok pag