Sabtu pagi, tampak Erik tengah menyapu teras tanah rumahnya. Dengan hanya menggunakan kaos dalam dan sarung kotak-kotak merah. Sedangkan Tara sibuk di dapur, membuat nasi goreng untuk sarapan hari ini.
"Eeekk..hheek...," suara tangisan Yusuf terdengar dari kamar. Tara mengecilkan api kompor, setengah berlari Tara mengangkat Yusuf dari ranjang dan membawanya ke dapur. Karena memasak nasi gorengnya tanggung, tinggal memasukkan garam dan daun bawang, jadi inilah yang Tara lakukan.
Membuka tiga kancing bajunya, mengeluarkan pabrik asi sebelah kiri dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya menggendong Yusuf. Jadilah Tara mengaduk-aduk nasi goreng sambil menyusui Yusuf. Ibu yang luar biasa cerdas. Tara mengintip sebentar keluar dari jendela. Alhamdulillah pamannya tengah asik menyapu teras depan yang penuh dengan daun jambu air yang berguguran.
"Tumben belum berangkat ke kebun karet." Tara bermonolog, lalu mengambil garam sesendok dan menaburkannya
Malam ini, malam yang panjang bagi Tara dan Erik, pasalnya malam ini untuk pertama kali mereka tidur seranjang berempat, badan Erik yang tinggi tegap membuat kasur berukuran seratus enam puluh senti itu serasa sangat sempit. Yah malam ini papa Erik dan Arle adiknya, tidur di kamar Erik. Jadi dengan sangat senang Erik tidur di kamar bersama anak-anak dan istrinya."Ga bisa gerak ini, Pih," rengek Tara kesempitan terhimpit tembok."Apih, diet dong. Kegedean itu badannya!" gerutu Tara lagi sambil membetulkan letak badannya agar nyaman, namun tetap tak bisa.Erik mengalah, kasihan juga melihat anak dan istrinya kesempitan."Ya udah saya tidur di bawah aja, pake tiker," ucap Erik sambil turun dari ranjang Tara, menggelar tiker yang ada di samping ranjang Tara."Saya pinjam bantal hidup boleh?""Bantal hidup?" Tara masih tak paham."Iya itu paha kamu, Tara Zakia," terang Erik sambil menunjuk paha Tara. Dengan mesem-mesem Tara turun da
Wajah Mei merah menyala menahan marah, apa maksud dari pertanyaan suaminya tadi pada Tara?Suasana mencekam terjadi di ruang keluarga Aditya. Tara masih meremas belakang baju kaos Erik. Pandanganya menunduk, benar-benar tak sanggup menjawab pertanyaan Zaka."Yusuf anakku dan Tara," suara berat Erik memecah kebekuan yang terjadi."Gak mungkin! Yusuf pasti anakku!" Zaka menolak, kini malah berjalan mendekati Tara.Mei menahan tangan Zaka."Mas, kamu sudah dengarkan kalau itu bukan bayimu, lagian kamu tidak pernah melakukannya dengan Tara'kan?" Mei mencoba memperingatkan suaminya."Tunggu, tunggu ... Jadi maksud kamu, Tara ini adalah istri keduamu?" sela Pak Aditya pada Zaka dan Zaka mengangguk cepat."Astaghfirulloh, kenapa jadi rumit seperti ini." Pak Aditya memijat pelipisnya."Mas, jawab aku? Kamu tidak mungkin melakukannya dengan Tara'kan?" Mei tak sabar mendengar jawaban Zaka, Mei terus saja mengguncang tubuh suaminya.
Zaka malam ini pulang ke rumahnya. Satu pukulan yang dilayangkan Erik, membuat sudut bibirnya sedikit sobek. Sebelum sampai ke rumah, Zaka memutuskan mampir ke klinik, guna mengobati luka di bibirnya. Setelah selesai, Zaka melanjutkan perjalanan pulang ke rumahnya. Zaka yang memegang kunci rumah, masuk rumah tanpa membangunkan, Mei, istrinya."Udah puas kangen-kangenannya?!" ucap Mei ketus, begitu Zaka memasuki kamar."Apaan sih, Ma? Baru juga Papa sampe, udah sewot, jangan dibiasakan!" tegur Zaka, dengan nada sedikit tinggi, sambil melepas kancing baju kemejanya satu persatu."Siapa yang ga sewot, Mama dibohongi?" balas Mei tak kalah galak. Zaka tak membalas ucapan Mei, hanya menatap sinis pada istrinya."Jangan harap Mama mau dimadu lagi ya, Pa!"Ingat, Pa, Tara sudah jadi kakak ipar papa, jangan serakah," ucap Mei lagi."Tara akan kembali menjadi istri Papa, dan Papa tidak akan pernah menceraikan Mama!" ujar Zaka tegas sambil mening
Tara sedang menyusui Yusuf di kamar, Fia bermain bersama bibik di ruang televisi. Sedangkan Pak Aditya dan istri serta Erik sedang berbincang di ruang keluarga. Suasana di luar sedang hujan gerimis, aromanya begitu segar, sedikit Tara membuka jendela kamarnya, agar harum tanah basah oleh air hujan, masuk ke dalam rongga hidungnya. Yusuf terus saja menyusu sambil sesekali menggigit pu*ing Tara. Sedikit merah dan perih. Namun Tara malu membicarakan ini pada suaminya. Sesekali meringis menahan perih, karena kedua payudaranya merah karena sedikit luka.Tara membuka pintu kecil, mengintip keadaan di luar kamarnya. Tampak Fia yang sedang asik bermain dan suaminya yang tengah mengobrol cukup serius dengan kedua mertuanya. Tara mengulum senyum, melihat raut wajah gembira pada suaminya. Tara kembali menutup pintu, membiarkan suaminya berbincang dengan orangtuanya. Tara rebahan sambil mengajak Yusuf bicara."Jadi acaranya besok, Pa?" tanya Erik serius, sambil
Glleek!Susah payah Erik menelan salivanya."Bener boleh?"tanya Erik sedikit ragu.Tara mengangguk, sambil tersenyum malu-malu. Tara mengambil salap tersebut, dari dalam kantong plastik obat. Memberikannya pada Erik."Pelan ya,Pih," cicit Tara sambil melirik kedua buah hatinya yang telah tertidur pulas. Tara menurunkan tali spagetti baju tidurnya, dengan gerakan slow motion. Mata Erik tak berkedip, menanti. Pelan dan sangat hati-hati Tara menurunkan tali tersebut."Sssstt..,perih!"Tara meringis, namun Erik malah semakin salah tingkah, Erik sampai menahan nafas."Nafas, Pih!" ledek Tara sambil melirik Erik yang masih terpaku bak patung pancoran."Kapan selesai nuruninnya, Ra?"Erik terlihat semakin gemetar.Erik yang tak sabar akhirnya, menurunkan sebelah tali baju tidur Tara."Subhanallah!" pekik Erik terkaget, melihat gundukan merah dengan pucuk berwarna coklat muda, terlihat seperti luka dalam di sekitarannya.
Tara masih terkaget-kaget dengan ucapan Erik, Tara bahkan menahan nafasnya sangkin terkejutnya.Bllaamm!Belum sempat Tara menyahut, pintu kamar sudah ditutup oleh Erik. Tara sedikit tergesa segera bangun dari ranjangnya, maksud hati mengejar Erik yang pasti malam ini tidur diruang tengah lagi.Ooeekk...ooeekk..Namun suara tangisan Yusuf menggema, Tara jadi mengurungkan niatnya untuk menyusul Erik, Tara menyusui Yusuf kembali dengan perasaan tak tenang. Bahkan Yusuf tak kunjung melepas asinya hingga pukul dua dini hari, Yusuf terlihat gelisah. Begitu juga Fia, yang beberapa kali mengigau tak jelas. Tak seperti biasanya anak-anaknya begini, perasaan Tara semakin khawatir, apalagi ucapan Erik tadi terdengar cukup serius. Tara menatap sedih tas jinjing berwarna coklat milik Erik yang sudah siap di atas kursi."Jangan tinggalkan saya," cicitnya dengan air mata yang sudah merembes dengan derasnya. Hatinya begitu sakit, saat membayangkan aka
Yang rajin baca tulisan saya, jangan lupa follow yaah😘😘Selamat membaca.Tara membuka matanya dengan perlahan, dipandangnya sekeliling kamar. Benar ini kamarnya, nampak rapi dan teratur seperti biasanya. Tenggorokannya terasa kering, Tara hendak bangun dari tidurnya. Namun kepalanya masih terasa berat. Erik masuk ke dalam kamar sambil menggendong Yusuf, dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya membawa secangkir teh jahe hangat. Senyumnya terbit manakala melihat Tara yang sudah sadar."Ndak usah pake bangun, biar makan dan minumnya dibawa ke kamar saja," ucap Erik sambil meletakkan Yusuf tenggurap di samping Tara."Ini minum," titahnya lagi, sambil menyodorkan cangkir teh ke mulut Tara."Pelan-pelan!"Tara mengerjapkan matanya beberapa kali karena airnya cukup panas."Panas." Tara meringis. Erik meniupkan dengan pelan air teh tersebut, uap yang mengepul seakan berlomba keluar dari cangkir tersebut. Erik mengambil posisi duduk
21+Tara sudah sibuk di dapur pukul lima shubuh, biasanya pukul empat dia sudah bangun lalu mandi dan memasak. Namun ada yang berbeda shubuh ini, ia terlambat bangun. Begitu juga suaminya, Erik. Untungnya Erik masih sempat mengejar shubuh di masjid. Meskipun setengah berlari agar tidak tertinggal rokaatnya."Tumben telat!" celetuk Pak Yunus sembari menyolek bahu Erik. Yang dicolek cuma mesem-mesem saja. Mereka berjalan bersisian sepulang dari masjid."Wanginya beda," celetuk Pak Yunus lagi, hidungnya membaui Erik"Wangi belah perjaka! Hahahahaha," sahut Erik disambung gelak tawa keduanya."Alhamdulillah, akhirnya ... luaar biasa Apih!" ledek Pak Yunus, sambil terus menyolek pundak Erik."Ceritain dong, dikit!""Ck, kepo aja Pak, sama kayak reader." Erik terkekeh.Mengabaikan Pak Yunus, yang sedari tadi memaksanya cerita. Erik berjalan sedikit lebi