Wajah Tara bersemu merah, saat digoda oleh Erik. Tara menjadi kikuk sendiri. Dia terdiam. Untungnya Erik tidak membuka mata, ia tahu Tara pasti malu kalau dia buka mata. Erik sangat paham, Tara sangat belum siap dengan hubungan suami istri sebagaimana mestinya.
Erik menganggap kecupan di pipinya tadi hanya bukti rasa terimakasih kepada Erik.
Erik melanjutkan tidurnya hingga terlelap di pangkuan Tara. Pelan Tara meletakkan kepala Erik di atas bantal. Tara mematikan lampu dan berjalan keluar, menuju kamarnya. Dadanya masih deg-deg an. Bagaimana dia menghadapi pamannya besok. Tara memijat pelipisnya kasar. Mencoba memejamkan mata.Shubuh, Erik sudah bangun, mandi lalu pergi ke masjid. Sedangkan Tara, setelah mandi lalu seholat, Tara bergegas ke dapur, hendak membuatkan sarapan, untuk suami juga anak-anaknya.
"Assalamualaikum," salam Erik saat memasuki rumah.
"Wa'alaykumussalam." jawab Tara dari dapur.
Erik berjalan ke arah dapur, kare
Sabtu pagi, tampak Erik tengah menyapu teras tanah rumahnya. Dengan hanya menggunakan kaos dalam dan sarung kotak-kotak merah. Sedangkan Tara sibuk di dapur, membuat nasi goreng untuk sarapan hari ini."Eeekk..hheek...," suara tangisan Yusuf terdengar dari kamar. Tara mengecilkan api kompor, setengah berlari Tara mengangkat Yusuf dari ranjang dan membawanya ke dapur. Karena memasak nasi gorengnya tanggung, tinggal memasukkan garam dan daun bawang, jadi inilah yang Tara lakukan.Membuka tiga kancing bajunya, mengeluarkan pabrik asi sebelah kiri dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya menggendong Yusuf. Jadilah Tara mengaduk-aduk nasi goreng sambil menyusui Yusuf. Ibu yang luar biasa cerdas. Tara mengintip sebentar keluar dari jendela. Alhamdulillah pamannya tengah asik menyapu teras depan yang penuh dengan daun jambu air yang berguguran."Tumben belum berangkat ke kebun karet." Tara bermonolog, lalu mengambil garam sesendok dan menaburkannya
Malam ini, malam yang panjang bagi Tara dan Erik, pasalnya malam ini untuk pertama kali mereka tidur seranjang berempat, badan Erik yang tinggi tegap membuat kasur berukuran seratus enam puluh senti itu serasa sangat sempit. Yah malam ini papa Erik dan Arle adiknya, tidur di kamar Erik. Jadi dengan sangat senang Erik tidur di kamar bersama anak-anak dan istrinya."Ga bisa gerak ini, Pih," rengek Tara kesempitan terhimpit tembok."Apih, diet dong. Kegedean itu badannya!" gerutu Tara lagi sambil membetulkan letak badannya agar nyaman, namun tetap tak bisa.Erik mengalah, kasihan juga melihat anak dan istrinya kesempitan."Ya udah saya tidur di bawah aja, pake tiker," ucap Erik sambil turun dari ranjang Tara, menggelar tiker yang ada di samping ranjang Tara."Saya pinjam bantal hidup boleh?""Bantal hidup?" Tara masih tak paham."Iya itu paha kamu, Tara Zakia," terang Erik sambil menunjuk paha Tara. Dengan mesem-mesem Tara turun da
Wajah Mei merah menyala menahan marah, apa maksud dari pertanyaan suaminya tadi pada Tara?Suasana mencekam terjadi di ruang keluarga Aditya. Tara masih meremas belakang baju kaos Erik. Pandanganya menunduk, benar-benar tak sanggup menjawab pertanyaan Zaka."Yusuf anakku dan Tara," suara berat Erik memecah kebekuan yang terjadi."Gak mungkin! Yusuf pasti anakku!" Zaka menolak, kini malah berjalan mendekati Tara.Mei menahan tangan Zaka."Mas, kamu sudah dengarkan kalau itu bukan bayimu, lagian kamu tidak pernah melakukannya dengan Tara'kan?" Mei mencoba memperingatkan suaminya."Tunggu, tunggu ... Jadi maksud kamu, Tara ini adalah istri keduamu?" sela Pak Aditya pada Zaka dan Zaka mengangguk cepat."Astaghfirulloh, kenapa jadi rumit seperti ini." Pak Aditya memijat pelipisnya."Mas, jawab aku? Kamu tidak mungkin melakukannya dengan Tara'kan?" Mei tak sabar mendengar jawaban Zaka, Mei terus saja mengguncang tubuh suaminya.
Zaka malam ini pulang ke rumahnya. Satu pukulan yang dilayangkan Erik, membuat sudut bibirnya sedikit sobek. Sebelum sampai ke rumah, Zaka memutuskan mampir ke klinik, guna mengobati luka di bibirnya. Setelah selesai, Zaka melanjutkan perjalanan pulang ke rumahnya. Zaka yang memegang kunci rumah, masuk rumah tanpa membangunkan, Mei, istrinya."Udah puas kangen-kangenannya?!" ucap Mei ketus, begitu Zaka memasuki kamar."Apaan sih, Ma? Baru juga Papa sampe, udah sewot, jangan dibiasakan!" tegur Zaka, dengan nada sedikit tinggi, sambil melepas kancing baju kemejanya satu persatu."Siapa yang ga sewot, Mama dibohongi?" balas Mei tak kalah galak. Zaka tak membalas ucapan Mei, hanya menatap sinis pada istrinya."Jangan harap Mama mau dimadu lagi ya, Pa!"Ingat, Pa, Tara sudah jadi kakak ipar papa, jangan serakah," ucap Mei lagi."Tara akan kembali menjadi istri Papa, dan Papa tidak akan pernah menceraikan Mama!" ujar Zaka tegas sambil mening
Tara sedang menyusui Yusuf di kamar, Fia bermain bersama bibik di ruang televisi. Sedangkan Pak Aditya dan istri serta Erik sedang berbincang di ruang keluarga. Suasana di luar sedang hujan gerimis, aromanya begitu segar, sedikit Tara membuka jendela kamarnya, agar harum tanah basah oleh air hujan, masuk ke dalam rongga hidungnya. Yusuf terus saja menyusu sambil sesekali menggigit pu*ing Tara. Sedikit merah dan perih. Namun Tara malu membicarakan ini pada suaminya. Sesekali meringis menahan perih, karena kedua payudaranya merah karena sedikit luka.Tara membuka pintu kecil, mengintip keadaan di luar kamarnya. Tampak Fia yang sedang asik bermain dan suaminya yang tengah mengobrol cukup serius dengan kedua mertuanya. Tara mengulum senyum, melihat raut wajah gembira pada suaminya. Tara kembali menutup pintu, membiarkan suaminya berbincang dengan orangtuanya. Tara rebahan sambil mengajak Yusuf bicara."Jadi acaranya besok, Pa?" tanya Erik serius, sambil
Glleek!Susah payah Erik menelan salivanya."Bener boleh?"tanya Erik sedikit ragu.Tara mengangguk, sambil tersenyum malu-malu. Tara mengambil salap tersebut, dari dalam kantong plastik obat. Memberikannya pada Erik."Pelan ya,Pih," cicit Tara sambil melirik kedua buah hatinya yang telah tertidur pulas. Tara menurunkan tali spagetti baju tidurnya, dengan gerakan slow motion. Mata Erik tak berkedip, menanti. Pelan dan sangat hati-hati Tara menurunkan tali tersebut."Sssstt..,perih!"Tara meringis, namun Erik malah semakin salah tingkah, Erik sampai menahan nafas."Nafas, Pih!" ledek Tara sambil melirik Erik yang masih terpaku bak patung pancoran."Kapan selesai nuruninnya, Ra?"Erik terlihat semakin gemetar.Erik yang tak sabar akhirnya, menurunkan sebelah tali baju tidur Tara."Subhanallah!" pekik Erik terkaget, melihat gundukan merah dengan pucuk berwarna coklat muda, terlihat seperti luka dalam di sekitarannya.
Tara masih terkaget-kaget dengan ucapan Erik, Tara bahkan menahan nafasnya sangkin terkejutnya.Bllaamm!Belum sempat Tara menyahut, pintu kamar sudah ditutup oleh Erik. Tara sedikit tergesa segera bangun dari ranjangnya, maksud hati mengejar Erik yang pasti malam ini tidur diruang tengah lagi.Ooeekk...ooeekk..Namun suara tangisan Yusuf menggema, Tara jadi mengurungkan niatnya untuk menyusul Erik, Tara menyusui Yusuf kembali dengan perasaan tak tenang. Bahkan Yusuf tak kunjung melepas asinya hingga pukul dua dini hari, Yusuf terlihat gelisah. Begitu juga Fia, yang beberapa kali mengigau tak jelas. Tak seperti biasanya anak-anaknya begini, perasaan Tara semakin khawatir, apalagi ucapan Erik tadi terdengar cukup serius. Tara menatap sedih tas jinjing berwarna coklat milik Erik yang sudah siap di atas kursi."Jangan tinggalkan saya," cicitnya dengan air mata yang sudah merembes dengan derasnya. Hatinya begitu sakit, saat membayangkan aka
Yang rajin baca tulisan saya, jangan lupa follow yaah😘😘Selamat membaca.Tara membuka matanya dengan perlahan, dipandangnya sekeliling kamar. Benar ini kamarnya, nampak rapi dan teratur seperti biasanya. Tenggorokannya terasa kering, Tara hendak bangun dari tidurnya. Namun kepalanya masih terasa berat. Erik masuk ke dalam kamar sambil menggendong Yusuf, dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya membawa secangkir teh jahe hangat. Senyumnya terbit manakala melihat Tara yang sudah sadar."Ndak usah pake bangun, biar makan dan minumnya dibawa ke kamar saja," ucap Erik sambil meletakkan Yusuf tenggurap di samping Tara."Ini minum," titahnya lagi, sambil menyodorkan cangkir teh ke mulut Tara."Pelan-pelan!"Tara mengerjapkan matanya beberapa kali karena airnya cukup panas."Panas." Tara meringis. Erik meniupkan dengan pelan air teh tersebut, uap yang mengepul seakan berlomba keluar dari cangkir tersebut. Erik mengambil posisi duduk
Tara kini sudah dirias begitu cantik, gaun putih pernikahan ala tuan puteri menempel begitu anggun di tubuhnya. Make up flawless menambah pesona yang terpancar dari wajah Tara. Meskipun tetap memakai hijab penutup rambutnya. Ya, hari ini, beberapa jam lagi. Ia akan melangsungkan pernikahan yang keempat kalinya. Duh, malu sebenarnya. Tapi apalah daya, pesta mewah dan megah ini, Zaka persembahkan untuk dirinya. Dengan alasan, Zaka ingin menebus semua kesalahan fatalnya saat dahulu kala.Tara tersenyum memperhatikan wajahnya terang bercahaya di depan cermin. Pangling sih, seperti bukan dirinya. Jujur, inilah pertama kali Tara melangsungkan pesta pernikahan dengan mewah. Pernikahan pertamanya dengan Rahman, berlangsung sederhana di kampung. Pernikahan kedua dengan Zaka pun berlangsung sederhana, karena hanya ijab qabul, tanpa buku nikah. Begitu pun dengan Erik, hanya sukuran saja memanggil tetangga terdekat, dan ia mendapat buku nikah setelahnya."Calon pengantin melamun t
Zaka membawa Abiyah ke rumahnya, sebelum mengantarnya ke Benhil. Tentu saja di sana sudah ada anak-anaknya yang heboh dengan kedatangan Zaka dengan seorang wanita bule yang sangat cantik. Bahkan Bu Erika tersenyum sangat lebar, ia berpikir sudah saatnya anaknya, Zaka. Membuka pintu hati untuk wanita lain.Abiyah diterima dengan baik dan ramah. Bahkan diminta untuk menginap di rumah Bu Erika, "menginap di sini saja, besok baru ke Benhil diantar Zaka, bagaimana?" tawar Bu Erika pada Abiyah."Aduh, Bu. Saya jadi merepotkan, ga papa saya langsung ke Benhil saja," sahutnya sungkan. Apalagi kini dikelilingi oleh anak-anak Zaka yang menurut Abiyah sangat lucu."Menginap di sini saja, Abiyah. Nanti biar Om bicara pada bos kamu," sela Pak Aditya yang baru saja keluar kamar. Abiyah hanya bisa mengangguk malu-malu, tidak mungkin dibantah, jika yang meminta adalah Pak Aditya Darman, relasi perusahaannya yang sudah terjalin sejak enam tahun yang lalu, bahkan sebelum Abiyah b
"Pak Zaka belum menikah?" tanya Abiyah serius."Saya pernah menikah dan punya anak. Tetapi saat ini saya sendiri."Abiyah mengangguk sambil membulatkan mulutnya, membentuk huruf O."Bapak... mau tidak, menikah dengan saya?""Apa?!"Kedua bola mata Zaka melotot lebar, seakan baru saja ditanya oleh malaikat. Mau mati sekarang tidak?"He he, becanda, Pak," sambungnya lagi sambil tertawa kecil."Oh iya, Pak. Saya mau ke Jakarta lho. Mau ke rumah sepupu saya. Setelah itu, saya mau ke Padang, bertemu Atok saya. Sudah dua tahun saya tidak pulang ke sana," terang Abiyah sambil meminum jus jeruknya."Oh iya, Jakartanya di mana?" tanya Zaka."Di Benhil, Pak. Jauh ya dari rumah Bapak?""Lumayan sih.""Pulang bareng yuk, Pak. Sekalian Bapak jadi guide saya," ujar Abiyah sambil menyeringai."Mmm ... saya tidak janji bisa mengantar kamu ke Benhil, tapi kalau kebetulan saya tidak ada pekerjaan, saya bisa," uj
Tiga hari sudah berlalu sejak Zaka dipaksa pulang dalam keadaan sakit oleh Tara. Sejak saat itu juga Zaka menghilang bagai ditelan bumi. Tiada kabar berita, tiada pesan WA atau telepon kepada anak-anak. Tara mencoba tak peduli, memang seharusnya Zaka tidak terlalu sering mengunjunginya atau berkirim pesan padanya, karena bakalan sama saja respon yang ia dapat. Tara melirik sekilas ponselnya yang sama sekali sepi tiga hari ini.Dengan langkah sedikit malas, ia memilih pergi ke dapur untuk membuatkan cemilan telur gabus pesanan anak-anaknya."Duh, Papa Zaka ke mana sih? Susah nih PR-nya!" rengek Kinan keluar dari kamar sambil membawa buku.Tara menoleh lalu menghampiri Kinan di ruang TV. "Mana sini, coba Mama lihat!" tawar Tara yang sudah duduk di samping Kinan. Anak SD itu memberikan buku paket sekolah serta satu buku tulis pada Tara."Susah, Ma. Pasti cuma Papa Zaka doang yang jago hitungan begitu," puji Kinan dengan wajah cemberut. Tara masih membo
Setelah bujuk rayu penuh air mata, akhirnya Tara mau ikut menemani anak-anaknya bermain di area Ancol, tepatnya di Dufan. Sebelumnya mereka sudah terlebih dahulu mampir di pantai, mengambil beberapa foto di sana. Tentu saja hal itu membuat Zaka semakin bersemangat. Tak lepas matanya memandang Tara, dalam hati ia berdoa, semoga Allah segera membukakan pintu hati Tara, agar mau menerima cinta tulusnya.Fia dan Zaka mengantre membeli tiket. Sedangkan yang lainnya tengah duduk di kursi tunggu yang tersedia tidak jauh dari loket pembelian tiket. Setelah mendapatkan tiket terusan tersebut, Zaka menggiring anak-anak masuk ke dalam area Dufan. Yusuf, Fia, dan Kinan begitu antusias. Mereka berlarian ke sana-kemari, sambil memilih permainan apa yang akan mereka coba terlebih dahulu. Mulai dari wahana 'Gajah Bledug, Kereta Misteri, Alap-alap, New Ontang-anting, Kolibri, Istana Boneka, Kora-kora, Arung Jeram, dan yang terakhir Niagara-gara.Anak-anak begitu senang saat
Fia sudah lebih dahulu sampai di rumah. Anak gadis Tara itu sudah tumbuh menjadi gadis cantik dan lincah. Fia sudah duduk di bangku kelas satu SMA. Sedangkan Yusuf duduk di kelas satu SMP, dan Kinan atau Kinasih duduk di kelas enam SD."Yusuf ke mana, Ma?" tanya Fia saat tak melihat Yusuf di kamarnya."Lagi sholat sama Papa Zaka di masjid," sahut Kinan yang baru saja selesai sholat magrib di kamarnya.Mulut Fia membulat, membentuk huruf O, diikuti anggukan."Eh, itu dia pulang." Tunjuk Kinan saat pintu terbuka."Assalamualaykum," ucap Zaka dqn Yusuf bersamaan."Wa'alaykumussalam," jawab Kinan dan Fia juga. Sedangkan Tara yang sedang menata meja makan, menyahut dengan sangat pelan."Fia sudah pulang?" tanya Zaka pada Fia."Sudah, Pa. Baru aja. Papa bawa apa?" tanya Fia menatap antusias dua bungkusan yamg ada di tangan Papa Zaka."Sate dan es buah," jawab Zaka sambil mengangkat dua bungkusan itu bergantian."Y
Sore hari, awan tampak beriak menghias langit nan biru. Satu dua kicau burung masih terdengar sahdu mengisi ruang sore sehingga tak terlalu sepi. Yah, Tara kesepian, benar-benar kesepian semenjak suaminya Erik meninggal dunia tiga tahun lalu. Tak ada lagi tawa dan haru yang mengisi hatinya. Walaupun ada anak-anak yang selalu membuat suasana rumah selalu ramai, tapi tidak dengan hatinya yang selalu merasa sepi."Assalamua'laykum," seru seorang lelaki dewasa tepat di depan wajahnya. Tara terlonjak kaget, bahkan kursi yang ia duduki berdecit karena beban tubuh Tara yang bergeser di sana."Wa'alaykumussalam," jawabnya tak acuh sambil membuang pandangan. Benar-benar mantan paling menyebalkan."Sore-sore ga boleh bengong, Ra. Ntar cepat tua," ledek Zaka pada Tara yang selalu berwajah masam di depannya."Duduk, Mas. Ada perlu apa?"Zaka mendudukan bokongnya di kursi kayu, persis di seberang Tara. "Mm... anak-anak ke mana?" tanya Zaka sambil tersenyu
Sudah dua tahun sejak kepergian Erik, Tara masih saja diliputi kesedihan mendalam. Ia yang biasanya ceria, berubah menjadi lebih banyak diam. Namun ia berusaha tegar di depan ketiga anaknya. Setiap pekan, Tara pasti berziarah ke makam Erik bersama ketiga anaknya.Semua keluarga Erik bahkan sangat terpukul, terutama Pak Aditya dan Bu Erika. Mereka tidak menyangka kalau ternyata Erik memiliki penyakit jantung. Yah sejak kepergian Erik, Tara dan anak-anaknya kembali ke rumah Pak Aditya. Mereka tidak mau Tara dan anak-anak merasa kesepian. Jika di rumah Pak Aditya, ada Arle dan istrinya Laras, serta anak kembar mereka."Hari ini kamu masak apa, Ras?" tanya Tara ketika menghampiri Laras yang tengah asik di depan kompor."Eh, Mbak. Ini saya masak sayur opor tahu dan telur, pesanan Mas Arle," sahut Laras sambil tersenyum."Oh, si kembar ke mana?" tanyanya lagi."Itu ada sama Yusuf di depan, lagi diajarin main sepeda.""Yusuf pinter bang
Sepuluh tahun kemudianDi sebuah panti asuhan, tampak sepuluh anak berusia lima sampai sepuluh tahun, berlarian di dalam pekarangan. Mereka tertawa bersama, saat memainkan permainan petak umpet. Seorang wanita dewasa,berkerudung dengan senyum penuh cinta, memperhatikan anak-anak tersebut. Wanita itu duduk sambil menggendong bayi merah yang baru saja diletakkan seseorang di pelataran panti asuhan miliknya, dini hari. Ponselnya berdering dua kali, ia menoleh ke meja di sampingnya, tempat ponsel itu tergeletak.[Hallo Assalamualaikum.][Wa'alaykumusslam.]Suara jawaban di sana membuat wanita dewasa itu sedikit tercekat. Suara yang sepertinya tidak asing baginya.[Betul ini panti asuhan Cinta Ibu?][Iya betul sekali, Pak. Ada yang bisa saya bantu.][Ini saya dan istri saya mau mengadopsi bayi baru lahir kalau ada laki-laki.][Oh, begitu. Baiknya bapak datang langsung ke tempat saya, Pak.][Baik, Bu. Rencananya saya besok pag