Zaka malam ini pulang ke rumahnya. Satu pukulan yang dilayangkan Erik, membuat sudut bibirnya sedikit sobek. Sebelum sampai ke rumah, Zaka memutuskan mampir ke klinik, guna mengobati luka di bibirnya. Setelah selesai, Zaka melanjutkan perjalanan pulang ke rumahnya. Zaka yang memegang kunci rumah, masuk rumah tanpa membangunkan, Mei, istrinya.
"Udah puas kangen-kangenannya?!" ucap Mei ketus, begitu Zaka memasuki kamar.
"Apaan sih, Ma? Baru juga Papa sampe, udah sewot, jangan dibiasakan!" tegur Zaka, dengan nada sedikit tinggi, sambil melepas kancing baju kemejanya satu persatu.
"Siapa yang ga sewot, Mama dibohongi?" balas Mei tak kalah galak. Zaka tak membalas ucapan Mei, hanya menatap sinis pada istrinya.
"Jangan harap Mama mau dimadu lagi ya, Pa!
"Ingat, Pa, Tara sudah jadi kakak ipar papa, jangan serakah," ucap Mei lagi.
"Tara akan kembali menjadi istri Papa, dan Papa tidak akan pernah menceraikan Mama!" ujar Zaka tegas sambil mening
Tara sedang menyusui Yusuf di kamar, Fia bermain bersama bibik di ruang televisi. Sedangkan Pak Aditya dan istri serta Erik sedang berbincang di ruang keluarga. Suasana di luar sedang hujan gerimis, aromanya begitu segar, sedikit Tara membuka jendela kamarnya, agar harum tanah basah oleh air hujan, masuk ke dalam rongga hidungnya. Yusuf terus saja menyusu sambil sesekali menggigit pu*ing Tara. Sedikit merah dan perih. Namun Tara malu membicarakan ini pada suaminya. Sesekali meringis menahan perih, karena kedua payudaranya merah karena sedikit luka.Tara membuka pintu kecil, mengintip keadaan di luar kamarnya. Tampak Fia yang sedang asik bermain dan suaminya yang tengah mengobrol cukup serius dengan kedua mertuanya. Tara mengulum senyum, melihat raut wajah gembira pada suaminya. Tara kembali menutup pintu, membiarkan suaminya berbincang dengan orangtuanya. Tara rebahan sambil mengajak Yusuf bicara."Jadi acaranya besok, Pa?" tanya Erik serius, sambil
Glleek!Susah payah Erik menelan salivanya."Bener boleh?"tanya Erik sedikit ragu.Tara mengangguk, sambil tersenyum malu-malu. Tara mengambil salap tersebut, dari dalam kantong plastik obat. Memberikannya pada Erik."Pelan ya,Pih," cicit Tara sambil melirik kedua buah hatinya yang telah tertidur pulas. Tara menurunkan tali spagetti baju tidurnya, dengan gerakan slow motion. Mata Erik tak berkedip, menanti. Pelan dan sangat hati-hati Tara menurunkan tali tersebut."Sssstt..,perih!"Tara meringis, namun Erik malah semakin salah tingkah, Erik sampai menahan nafas."Nafas, Pih!" ledek Tara sambil melirik Erik yang masih terpaku bak patung pancoran."Kapan selesai nuruninnya, Ra?"Erik terlihat semakin gemetar.Erik yang tak sabar akhirnya, menurunkan sebelah tali baju tidur Tara."Subhanallah!" pekik Erik terkaget, melihat gundukan merah dengan pucuk berwarna coklat muda, terlihat seperti luka dalam di sekitarannya.
Tara masih terkaget-kaget dengan ucapan Erik, Tara bahkan menahan nafasnya sangkin terkejutnya.Bllaamm!Belum sempat Tara menyahut, pintu kamar sudah ditutup oleh Erik. Tara sedikit tergesa segera bangun dari ranjangnya, maksud hati mengejar Erik yang pasti malam ini tidur diruang tengah lagi.Ooeekk...ooeekk..Namun suara tangisan Yusuf menggema, Tara jadi mengurungkan niatnya untuk menyusul Erik, Tara menyusui Yusuf kembali dengan perasaan tak tenang. Bahkan Yusuf tak kunjung melepas asinya hingga pukul dua dini hari, Yusuf terlihat gelisah. Begitu juga Fia, yang beberapa kali mengigau tak jelas. Tak seperti biasanya anak-anaknya begini, perasaan Tara semakin khawatir, apalagi ucapan Erik tadi terdengar cukup serius. Tara menatap sedih tas jinjing berwarna coklat milik Erik yang sudah siap di atas kursi."Jangan tinggalkan saya," cicitnya dengan air mata yang sudah merembes dengan derasnya. Hatinya begitu sakit, saat membayangkan aka
Yang rajin baca tulisan saya, jangan lupa follow yaah😘😘Selamat membaca.Tara membuka matanya dengan perlahan, dipandangnya sekeliling kamar. Benar ini kamarnya, nampak rapi dan teratur seperti biasanya. Tenggorokannya terasa kering, Tara hendak bangun dari tidurnya. Namun kepalanya masih terasa berat. Erik masuk ke dalam kamar sambil menggendong Yusuf, dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya membawa secangkir teh jahe hangat. Senyumnya terbit manakala melihat Tara yang sudah sadar."Ndak usah pake bangun, biar makan dan minumnya dibawa ke kamar saja," ucap Erik sambil meletakkan Yusuf tenggurap di samping Tara."Ini minum," titahnya lagi, sambil menyodorkan cangkir teh ke mulut Tara."Pelan-pelan!"Tara mengerjapkan matanya beberapa kali karena airnya cukup panas."Panas." Tara meringis. Erik meniupkan dengan pelan air teh tersebut, uap yang mengepul seakan berlomba keluar dari cangkir tersebut. Erik mengambil posisi duduk
21+Tara sudah sibuk di dapur pukul lima shubuh, biasanya pukul empat dia sudah bangun lalu mandi dan memasak. Namun ada yang berbeda shubuh ini, ia terlambat bangun. Begitu juga suaminya, Erik. Untungnya Erik masih sempat mengejar shubuh di masjid. Meskipun setengah berlari agar tidak tertinggal rokaatnya."Tumben telat!" celetuk Pak Yunus sembari menyolek bahu Erik. Yang dicolek cuma mesem-mesem saja. Mereka berjalan bersisian sepulang dari masjid."Wanginya beda," celetuk Pak Yunus lagi, hidungnya membaui Erik"Wangi belah perjaka! Hahahahaha," sahut Erik disambung gelak tawa keduanya."Alhamdulillah, akhirnya ... luaar biasa Apih!" ledek Pak Yunus, sambil terus menyolek pundak Erik."Ceritain dong, dikit!""Ck, kepo aja Pak, sama kayak reader." Erik terkekeh.Mengabaikan Pak Yunus, yang sedari tadi memaksanya cerita. Erik berjalan sedikit lebi
Azan magrib berkumandang, langit yang tadinya benderang, kini berwarna keemasan, sangat indah dipandang mata manusia. Satu dua burung beterbangan, mencari tempat persinggahan, tanda hormat pada Sang Penciptanya. Langkah kaki Mei sedikit tergesa memasuki lobi hotel bintang lima, yang terletak di daerah, Jakarta pusat.Setelah berbicara dengan receptionis hotel. Mei berjalan ke arah lift, sambil menenteng tas pundak yang berukuran sedang. Memencet tombol angka lima, Mei menunggu dengan tidak sabar, sesekali tangannya mengusap peluh yang bercucuran, padahal udara ruangan hotel sangat dingin.Begitu sampai di lantai lima, Mei berbelok ke arah lorong sebelah kiri, menuju kamar nomor lima kosong satu. Mei membuka kunci kamarnya dengan menempelkan kartu. Mei melepaskan pakaian kantornya, lalu mandi."Saya sudah di depan, Bu."Isi pesan singkat dari ponsel Mei. Mei yang sehabis mandi, masih menggunakan handuk kimononya, segera membukakan pintu. Sediki
Dua hari sudah, rumah sepi tanpa Erik. Tara hanya fokus mengurus kedua anaknya. Fia yang semakin cerewet, selalu menanyakan dimana Apihnya?kapan pulang?. Fia benar-benar kehilangan Apih Erik yang selalu suka mengajaknya bermain Unta. Malam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Tapi Fia belum juga tidur, begitu pun Yusuf. Tara sampai pegal menyusui Yusuf, karena Yusuf sedikit rewel dan gelisah. Akhirnya Tara menggendong Yusuf, dengan kain, lalu menimangnya sayang.Kondisi kesehatan Pak Darman, Ayah Erik sudah berangsur membaik, hanya saja belum boleh keluar dari rumah sakit. Dua hari sudah, Erik menunggui Papanya di rumah sakit, bergantian jaga dengan Arle dan Zaka. Malam ini gilirannya Zaka, yang berjaga, menggantikan Erik.Zaka masuk ke dalam ruang perawatan VVIP papanya. Tampak Erik dan papanya tengah bicara cukup serius. Menyadari ada yang masuk mengucapkan salam, Erik dan papanya menoleh."Kamu sudah datang, Ka," tegur Erik sambil tersenyum. Zaka pun
 Selamat membaca. Hari ini tepat lima hari Pak Aditya dirawat dan hari ini juga sudah diperbolehkan pulang. Erik dan Arle yang menjemput papanya. Bu Erika menunggu di rumah. Hari ini Zaka tidak datang ke rumah sakit, sedang kurang sehat katanya. Dokter menyarankan agar Pak Aditya sebaiknya tidak ke kantor lagi, kondisi jantung Pak Adit belum benar stabil. Pak Aditya disarankan duduk diam di rumah, atau malah bepergian refreshing dengan istri. Suasana hati dan pikiran Pak Aditya harus dibuat senyaman mungkin, agar meminimalisir naik turunnya kondisi jantungnya. "Arle, tolong hubungi Om Slamet, bilang besok Papa baru bisa ngantor," ucap Pak Adit saat mereka tengah dalam perjalanan pulang dari rumah sakit. "Pa, kata dokter tadi Papa ga boleh ke kantor," sahut Erik menyela ucapan papanya. "Trus siapa yang ke kantor?" "Arle atau kamu?" Kedua anak sulung dan bungsu Pak Adit tak menjawab.