Sakit kepalanya belum juga hilang, malah sekarang ditambah mual. Seharian tubuhnya sangat susah untuk beranjak dari tempat tidur, bahkan untuk ke kamar mandi saja, Tara terseok-seok. Alhamdulillahnya Tara mempunyai tetangga yang peduli dan sangat perhatian.
Bu Siska, tetangga samping rumah Tara, membantu Tara mengurus Fia. Bu Yosi tetangga depan Tara, membantu memasakkan makanan untuk Tara. Sungguh Tara sebenarnya tak ingin merepotkan, namun apalah daya, tubuhnya tak bisa diajak berkompromi. Sangat lemah dan selalu mual jika banyak bergerak.
Tetangga Tara mengetahui sejak dua bulan kehamilan Tara, Zaka tidak pernah ke rumah Tara. Bukan dari Tara mereka mengetahuinya, melainkan dari Fia, yang saat bermain selalu terlihat sedih. Apalagi melihat ayah dari teman-temannya yang ikut bermain. Pasti Fia berujar. "Om Papa Fia sedang kelja, tidak datang lagi." Itulah yang selalu Fia katakan pada teman-temannya.
Miris didengar, namun apa mau dikata, karena nomor dua itu selalu setelah nomor satu.
****
"Maaf Pak, pesanan bapak sudah saya sampaikan," ucap seorang pemuda, kurir yang selalu Zaka perintahkan untuk mengantar sembako serta uang bulanan kepada Tara.
"Baiklah, terimakasih," ucap Zaka sambil kembali ke layar laptopnya.
"Tapi, Pak ... itu tadi yang menerima tetangganya, Bu Tara sedang sakit katanya." Dengan ragu kurir tersebut menjelaskan. Fokus Zaka terpecah, kini menatap kurir tersebut dengan serius.
"Maksud kamu Tara sakit?"
"Iya Pak, yang saya dengar dari tetangga seperti itu, rumahnya juga tertutup rapat." Zaka tampak berfikir sebentar, lalu mengayunkan jarinya, meminta kurir tersebut boleh kembali bekerja. Zaka mengambil ponselnya, hendak memencet nama kontak Tara. Namun...
Bep..bep..
["Hallo sayang."]
["Hallo Mah"]
["Sedang apa?"]
["Sedang ngecek email sayang."]
["Oh, nanti pulang bawakan nasi goreng kambing ya, Pa."]
["Wah, Mama ngidamnya makanan kesukaan Papa nih, baiklah sayang. Pulang dari kantor, papa belikan."]
Berbicara lama dengan sang istri tercinta, membuatnya lupa, bahwa tadi Zaka berniat menghubungi Tara. Haripun berlalu begitu saja, Tara masih dilingkupi ngidam yang payah. Bersusah payah menahan sangat ingin minum es cendol, tidak mungkin menyusahkan tetangganya lagi.
Sudah satu minggu Tara menahan rasa inginnya minum es cendol. Merasa sangat sendirian, hingga air mata sering kali menetes di setiap malam, dan sujudnya. Lelaki itu benar-benar melupakannya, hati Tara bagai teriris sembilu. Kejam sungguh kejam.
Dilain tempat, sepasang suami istri sedang berbahagia menikmati steak, karena menuruti ngidamnya istri yang ingin makan steak. Mereka seakan lupa ada wanita yang raga dan hatinya terluka dengan perlakuan mereka.
"Eh ya Pa, bagaimana kabar Tara? Papa pernah menengoknya lagi setelah kalian menikah?" tanya Mei sesaat setelah suapan terakhir steak yang disodorkan suaminya. Suami yang sangat memanjakan istri, pikir orang-orang yang memperhatikan Mei dan Zaka. Tepat hampir bulan keempat usia pernikahan siri Tara dan Zaka.
Zaka terkesiap. "Mm ... pernah Ma, dua kali. saat itu Fia sedang sakit." Zaka beralasan.
"Papa nginep?"
"Ahh ... itu ... tidak Ma, cuma numpang mandi trus makan, habis tuh pulang." Zaka berbohong dengan sangat manis.
"Papa tidak menidurinyakan? awas lhoo."
"Ya ampun sayang, kita kan niat nolongin Tara, ga mungkin Papa ambil kesempatan juga, kasianlah Tara, lagian, buat papa hanya tubuh mama yang paling menarik," bisik Zaka sambil menggigit kecil telinga Mei. Mei tersipu malu mendengar rayuan suaminya.
Tara yang semakin lemah, memutuskan untuk pergi ke rumah sakit, untuk memeriksakan kondisinya, jujur semenjak Tara hamil, Tara belum benar-benar memeriksakan kehamilannya ke dokter kandungan. Tara bersama Fia dan ditemani bu Yosi, pergi ke rumah sakit. Dokter mengatakan kondisi janin Tara lemah. Ada baiknya bedrest. Tara dilarang melakukan pekerjaan apapun, tetapi bagaimana bisa, dia harus mengajar dan mengurus Fia serta rumah. Tak mungkin menyusahkan tetangganya terus. Dokter mengatakan lagi, bahwa kehamilan Tara menginjak usia 10 minggu.
"Fia mau dede ya Ma, Fia senang!" pekik Fia gembira saat Tara mengatakan di dalam perut Tara ada dede bayi Fia.
Tara, Fia dan Bu Yosi, duduk di rumah tunggu apotek, menunggu obatnya selesai diracik.
"Tara," panggil Mei yang kebetulan sedang memeriksakan kandungan juga, namun tidak bersama Zaka. Tara dan bu Yosi kaget, lalu menoleh keasal suara.
"Eh, Mbak Mei." Senyum Tara ramah, memeluk dan cipika cipiki pada Mei.
"Kamu sakit, Ra?"
"Tidak, Mbak. Ini lagi nunggu obat Fia, habis kontrol," elak Tara. Tak mungkin Tara mengatakan kalau ia hamil.
"Tapi kamu pucat banget."
"Aah ... iya ini saya masuk angin, biasa Mbak, begadang nemenin Fia pas sedang kambuh."
"Mbak Mei periksa kandungan ya?"
"Iya Ra, alhamdulillah janin saya sehat, usianya delapan minggu. Senang banget rasanya bisa hamil, setelah enam tahun menunggu." Wajah Mei begitu berbinar. Bu Yosi menatap iba pada Tara, yang sampai detik ini masih menyunggingkan senyumnya.
"Mas Zaka juga sangat bahagia Ra, saya sangat dimanjakan. Saya beruntung banget, " ucap Mei seakan-akan ingin menegaskan Zaka adalah miliknya seorang, dan hanya dia yang dipuja Zaka.
"Alhamdulillah, saya ikut senang Mbak. Semoga Mbak dan bayi sehat selalu ya, salam untuk Mas Zaka. Makasih sudah kirim uang lagi untuk saya dan Fia." Tara menahan kuat dirinya agar tak menangis.
"Kami senang bisa menolong kamu dan Fia Ra. Saya pamit ya," ucap Mei dengan senyum sangat manisnya. Tara mengangguk. Fia juga mencium punggung tangan Mei, sebelum Mei beranjak pergi.
Bu Yosi hanya memegang erat bahu Tara, tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Ia sangat tahu betapa terpukulnya Tara.
Kini Tara meraung tangisnya di dalam kamar mandi. Sudah pukul delapan malam. Dan Fia sudah lelap. Tara sedari rumah sakit tadi, sudah tidak tahan untuk menangis. Namun ia tahan, ia tak ingin Fia melihatnya menangis.
Tara memukul dadanya dengan cukup keras, berharap sakit di dalamnya berkurang, namun yang ada rasa itu semakin sakit. Tara terduduk di closet, sesegukan meratapi takdir yang mempermainkan hatinya. Jika saja ia tak jatuh cinta, pada lelaki itu, andai saja tak ada benih lelaki itu dalam rahimya, tentu takkan sesakit dan seperih ini.
["Hallo Assalamualaikum Pak. Ini Tara."]
["Wa'alaykumussalam. Iya Tara. Apa kabar kamu nduk?"]
["Tara lagi kurang sehat, Pak. Besok jemput Tara ya, Pak."]
["Kamu sakit apa, Nduk?"]
"Ga tahu pak, pusing terus. Kasian Fia ga ada yang urus."
["Tapi Bapak lagi di Surabaya, Nduk, dapat job menyupiri Pak Lurah kita."]
["Pamanmu saja yang jemput ya."]
["Iya Pak ga papa."]
["Sudah izin suamimu toh?"]
["Mm ... itu ... sudah, Pak."]
["Ya sudah Bapak bilang ke Pamanmu dulu. Hati-hati di rumah Nduk.]
["Iya Pak, assalamualaikum."]
["Wa'alaykumussalam."]
Tara merebahkan tubuhnya. Memejamkan mata, lalu dengan lemah mengelus perut ratanya. "Kamu anak Mama sayang. Hanya anak Mama." Tara terisak kembali. Ya Allah hamil dengan kondisi terlupakan, tubuh yang lemah, ngidam yang yang pernah terturuti, sungguh sangat menyiksa batinnya.
****
Lelaki dewasa yang dipanggil paman oleh Tara itu adalah adik angkat ayahnya Tara. Berusia empat puluh lima tahun, bujang tua yang tinggal bersama dengan ayah Tara. Paman Erik namanya. Lelaki yang sedari bayi diasuh oleh kakek dan nenek Tara. Orangnya baik namun sedikit tertutup.
Erik mengendarai mobil bak terbuka, dari Solo menuju Jakarta untuk menjemput Tara dan Fia. Kini Erik sudah berada di rumah Tara membantunya menyiapkan pakaian.
"Ini semua mau kamu bawa?"
"Iya, Paman."
"Kamu tidak balik lagi ke sini?"
"Ah..ini sebenarnya mau saya kasih buat di kampung, sudah saya tak pakai lagi."
"Oh ...ya sudah kalau begitu."
Tara memegang mulutnya, bau rokok yang tercium dari tubuh Erik membuat Tara sangat mual.
"Uueek!"
"Ueek!"Tara memuntahkan bubur nasi yang belum lama ia makan. Paman Erik heran bercampur khawatir. Sakit apa sebenarnya keponakannya ini.
"Kamu yakin bisa ke Solo dengan kondisi begini?" tanya Erik menatap iba pada Tara. Sangat tampak raut kesedihan mendalam. Namun Erik tak mau berburuk sangka.
Tara mengangguk lemah. Erik lalu membawa dua koper keluar dan menaikkannya ke atas bak lalu menutupnya kembali dengan terpal. Erik juga menggendong Fia, menaruhnya di depan. Fia memanggil Erik dengan sebutan Kakek.
"Kita mau ke mana, Kek?" tanya Fia senang.
"Jalan-jalan sama Kakek, mau kan?" wajah Erik pun ceria menatap Fia. Ada yang tak beres saat Erik menoleh kepada Tara yang kini tengah berpamitan, pada para tetangganya, sambil menitikan air mata.
Fia sudah tertidur lelap di perjalanan. Jalanan cukup lengang, mengingat ini bukan hari libur, jadi tak terlalu penuh kendaraan roda empat memadati tol. Tara pun ikut tertidur lelap. Erik melirik ponakan dan cucunya, dua-duanya cantik. Pikirnya. Namun tiba-tiba ada air mata yang menetes di sudut mata keponakannya. Tara terisak dalam tidurnya. Ada apa sebenarnya dengan keponakannya ini.
****
"Pak maaf. Kata tetangga, Bu Tara sedang pergi, dan mereka tak tahu bu Tara ke mana," lapor sang kurir pada Zaka.
"Dari kapan?"
"Kemarin katanya, Pak." Kurir tersebut sambil mengembalikan amplop kepada Zaka. Lalu berbalik meninggalkan Zaka yang masih termangu. Zaka sadar hampir tiga bulan tak menengok Tara. Ada rasa bersalah, dan sedikit rindu pada istri keduanya itu, yaah..hanya sedikit.
Zaka mengambil ponselnya, memencet kontak Tara. Namun hingga sepuluh kali menghubungi tidak aktif.
"Tara, kamu ke mana?" hatinya menjadi gusar.
Tara sekarang berada di rumahnya, suasana pedesaan, yang tenang dan menyejukkan. Burung-burung saling bersahutan dipagi hari, Tara menghirup udara segar yang mampu membuat tubuhnya rileks dan nyaman. Meskipun masih belum bisa mengerjakan apa pun di rumahnya, tetapi paman dan ayahnya selalu membantu dan merawatnya dengan baik."Tara, makan dulu," ucap pamannya dari dalam rumah. Tara menoleh ke asal suara."Iya Paman." Tara masuk lalu duduk di meja makan kecil yang berada di dekat dapur. Sudah ada ubi rebus, kentang rebus dan seteko teh manis."Paman tidak makan?" Tara melihat pamannya sudah rapi mau berangkat ke kebun sawit."Sudah tadi, saya berangkat dulu ya, kamu baik-baik di rumah, kalau perlu bantuan, hubungi saya atau kamu ke Mbok Minah, tetangga sebelah ya," pesannya sebelum iya keluar dari rumah mengendarai motor bututnya.Tara duduk bersama dengan Fia yang tengah bermain di teras bersama anak Mbok Minah, yang bernama Sekar
Mei hari ini sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Meski tubuhnya masih lemah, tapi Mei berusaha menguatkan dirinya sendiri, bahwa semua ini takdir yang Maha Kuasa. Mei meminta kepada Zaka, agar mengantarnya ke pemakaman, dimana, bayi mereka dikubur. Dengan cucuran air mata kesedihan Mei menatap pusara anaknya, begitu juga Zaka, tertunduk lemah, menyesal tiada guna, semua sudah terjadi. Saat ini yang terpenting, dia menghibur Mei agar tak depresi atas kehilangan bayi yang sangat lama mereka nantikan.Beep..beep..Suara ponsel Zaka berbunyi, tampak nama yang tertera pada layarnya.Papa["Hallo, Pa. Assalamualaikum.]["Wa'alaykumussalam."]["Kamu di mana Ka?"]["Di pemakaman, Pa."]["Setelah mengantar Mei, kamu ke rumah, ada yang perlu papa bicarakan." ]["Baik, Pa."]Mei menatap wajah suaminya."Papa yang telpon, katanya Mas, disuruh ke rumah, ada yang mau dibicarakan.""Ya sudah ayo, kita pul
Zaka sedang menatap ponselnya, mengecek beberapa pesan masuk dari teman-temannya. Iseng Zaka mencoba menghubungi nomor Tara, namun masih tak tersambung. Mendadak Zaka mules, keringat sebesar biji jagung menari-nari di kening dan lehernya. Mei yang sedang rebahan di samping Zaka, memperhatikan suaminya."Mas, kamu kenapa?" tanya Mei khawatir, sigap Mei duduk memeriksa wajah pucat suaminya."Mules, Mei," cicitnya sambil meringis."Ya udah sana ke kamar mandi, kok malah diem aja, ntar ce*irit lho Mas." Mei mencoba sedikit bercanda."Suami sakit kok malah dibecandain, gak lucu!" ucap Zaka sebal. Mei terdiam, baru kali ini suaminya bersikap seperti ini."Maaf, Mas. Mei ambilkan minyak kayu putih ya." Dengan wajah memelas Mei memandang wajah Zaka, Zaka pun tak tega, akhirnya mengangguk. Mei beranjak dari kasur, lalu mengambil minyak kayu putih di dalam laci. Kembali pada suaminya, dan mengolesi di perut suaminya yang terasa dingin. Wajah Mei semaki
Selamat Membaca😘Jangan lupa follow ya😘"Masa sih? Saya ndak bicara apa-apa. Kamu salah denger kali Ra, orang setengah sadar gitu." Erik mengelak, dengan akting yang sangat bagus, sehingga Tara percaya.CceupcceeuppBayi Yusuf berdecab, tanda ingin menyusu."Sabar ya Le, kakekmu ini sedang nyetir, nanti malah nabrak kalau kamu n*nen di sini," ucapnya datar, sambil terus fokus menatap jalanan. Sedangkan Tara sudah terkekeh geli. Pamannya ini sangat cuek, dan gak asik. Bisa-bisanya bicara begitu tanpa ekspresi apapun."eeeeekk...eeekkk ...."Bayi Yusuf mulai menangis."Ya sudah, kita berhenti di warung makan depan sana. Kamu menyusui di sini, biar paman turun dulu," ucap Erik, lalu menepikan mobilnya.Mesin mobil masih menyala, Erik turun masuk ke dalam warung makan, sesekali Tara melirik ke arah pamannya. Pamannya tengah asik berbincang dengan orang-orang yang berada disana. Lima belas menit berlalu, akhirnya bayi Yusuf sudah cuk
Siang ini, di kantor Zaka tak berhentinya memikirkan Tara. Padahal sebelumnya, ingat saja dia tidak, bahkan hampir melupakan, bahwa mempunyai istri dua. Fokusnya hanya pada Mei seorang, kini Mei sudah berangsur pulih, walaupun masih sedih dengan kehilangan bayi mereka yg menginjak usia enam bulan. Zaka ingat beberapa kali berhubungan dengan Tara, meskipun sudah pernah melahirkan, tapi Zaka sebagai lelaki akui, bahwa Tara dapat merawat tubuhnya dengan baik, meskipun Tara tidak berkulit putih seperti Mei, tapi melihat Tara rebahan saja sudah membuat Zaka menegang. Saat ini saja dadanya berdesir, bila ingat masa-masa mencumbu Tara. Apakah Tara hamil ya? Beep..beep.. Pesan singkat berbunyi, Zaka melihat pengirimnya Sayangku. Pastilah itu Mei. "Mas, aku di resto kantor kamu. Kita makan yuk, ada yang mau aku bicarakan." "Oke, tunggu sebentar ya, Sayang." Zaka memasukkan ponsel ke dalam sakunya. Dan bergegas ke
Empat puluh hari setelah kepergian Pak Danu, kini Tara sudah mulai bisa menerima keadaan, hidup harus terus berlanjut. Anak-anaknya masih kecil, sangat butuh perhatian dan kasih sayang Tara.Untungnya ada Paman Erik yang selalu siap siaga membantu Tara dalam mengurus rumah dan juga anak-anaknya. Lelali setengah baya itu, bahkan bekerja lebih keras di kebun sawit milik Pak Lurah. Di hari sabtu dan minggu Paman Erik juga bekerja paruh waktu di kebun karet milik juragan Parto. Walaupun hanya sampai jam dua belas siang, sisanya Erik membantu Tara mengerjakan pekerjaan rumah, atau sekedar bermain bersama Fia dan Yusuf. Karena saat ini hanya lelaki itu yang menjadi tulang punggung.Pernah beberapa kali Tara mengusulkan agar ia bekerja saja. Untuk membantu Erik mencukupi kebutuhan hidup mereka, namun dengan tegas Erik menolak. Cukup ia saja yang mencari nafkah, tugas Tara hanya mengurus anak-anak dan rumah.Tara sebenarnya kasian pada Erik, apalagi se
Acara syukuran pernikahan Tara dan Erik, berlangsung lancar, sederhana dan penuh hikmat, tetangga kanan kiri datang mengucapkan doa dan memberi selamat.Mbok Minah dan suaminya Pak Yunus adalah orang yang sangat berjasa membantu segala persiapan pernikahan Tara dan Erik. Pasangan paruh baya yang usianya hampir seumuran almarhum bapak Tara, sudah menganggap Tara sebagai anak sendiri.Acara yang berlangsung dari pukul sembilan pagi sampai jam dua siang akhirnya selesai juga. Fia sudah kelelahan tidur di bale, lengkap dengan kebaya mini yang dibelikan Erik. Fia sangat lucu dan imut memakai pakaian tersebut. Begitu juga Yusuf yang didandani ala pria jawa memakai blankon.Sesi foto bersama Tara, Erik, dan kedua anak mereka sangat menggemaskan, dimana Fia tidak bisa diam dan Yusuf yang selalu menarik-narik melati yang menghias di kepala Tara. Belum lagi Erik yang sangat kaku saat diarahkan memeluk pundak Tara. Ambyaarr pokoknya. Fotografer keliling y
Wajah Tara bersemu merah, saat digoda oleh Erik. Tara menjadi kikuk sendiri. Dia terdiam. Untungnya Erik tidak membuka mata, ia tahu Tara pasti malu kalau dia buka mata. Erik sangat paham, Tara sangat belum siap dengan hubungan suami istri sebagaimana mestinya.Erik menganggap kecupan di pipinya tadi hanya bukti rasa terimakasih kepada Erik.Erik melanjutkan tidurnya hingga terlelap di pangkuan Tara. Pelan Tara meletakkan kepala Erik di atas bantal. Tara mematikan lampu dan berjalan keluar, menuju kamarnya. Dadanya masih deg-deg an. Bagaimana dia menghadapi pamannya besok. Tara memijat pelipisnya kasar. Mencoba memejamkan mata.Shubuh, Erik sudah bangun, mandi lalu pergi ke masjid. Sedangkan Tara, setelah mandi lalu seholat, Tara bergegas ke dapur, hendak membuatkan sarapan, untuk suami juga anak-anaknya."Assalamualaikum," salam Erik saat memasuki rumah."Wa'alaykumussalam." jawab Tara dari dapur.Erik berjalan ke arah dapur, kare