Beranda / Pernikahan / Aku dan Teman Suamiku / 1. Diminta Jadi Istri Kedua

Share

Aku dan Teman Suamiku
Aku dan Teman Suamiku
Penulis: Diganti Mawaddah

1. Diminta Jadi Istri Kedua

Rumah mungil itu hanya dihiasi cahaya lilin. Tak ada lampu penerangan, karena pemilik rumah tak mempunyai cukup uang untuk membeli token listrik. Untungnya dia memiliki tetangga yang baik hati, bersedia memberikan air dua ember besar, untuk bekal memasak dan mandi. Karena listrik mati, otomatis mesin air pun tak menyala. 

Tetangganya sudah sangat baik beberapa kali memberikan pinjaman uang untuk membeli listrik ataupun yang lainnya. Hanya saja ia tak mau terlena dengan bantuan tetangga kanan kirinya. Meskipun janda dengan seorang anak yatim, ia tetap harus bisa mandiri, tidak ingin menyusahkan orang lain.

"Mama...susu!" pinta sang putri yang berusia dua tahun, kini terbaring lemah karena badannya panas.

"Sebentar ya, Dek. Mama buatkan, ade di sini aja ya, ga usah ikut ke dapur," ujar Tara pada putrinya.

" Tapi delap," cicit Sofia, nama balita itu.

" Ade'kan hebat, di sini saja ya."

Sofia mengangguk tapi tatapannya tak lepas dari mamanya yang berada di dapur. Anak seusia Sofia pasti takut jika mati lampu. Sofia tiduran di bangku ruang tamu karena masih sore sebenarnya, masih jam tujuh malam. Ia belum mengantuk, hanya saja kepalanya sakit dan dia sedikit demam. Tara kembali dari dapur dan memberikan susu pada Sofia. Balita cantik itu meminumnya dengan cepat.

"Uueekk...." Sofia tiba-tiba memuntahkan semua susu yang baru saja habis dia minum. Tara kaget dengan sigap memijat punggung Sofia agar semua muntahnya keluar. Setelah itu Tara ke dapur untuk membersihkan muntahan anaknya.

Air matanya menetes. Obat demam anaknya tersisa sekali lagi untuk diminum malam ini, untuk besok ia tak punya persediaan obat.

" Maaf mama." ucap anaknya pelan. Tara tersenyum dikeremangan cahaya lilin.

"Ga papa kok sayang, kan Fia lagi sakit." Tara menenangkan. Sambil memijat kaki anaknya menceritakan tentang hewan kesukaan anaknya yaitu kelinci.

****

"Mas, Mbak Tara ga kita kabari dulu, kalau kita mau ke rumahnya?" tanya Meilisa pada suaminya.

"Ga usah Dek, dadakan saja. Nanti malah dia repot nyiapin ini itu, kasian," ujar Henry Zakaria, suami dari Meilisa. Atau biasa dipanggil Zaka.

Zaka melajukan mobilnya dengan pelan saat memasuki pelataran perumahan. Terlihat beberapa anak-anak main di jalanan depan rumah mereka.

"Sudah rame ya Mas. Padahal waktu almarhum Rahman baru membeli rumah di sini, masih sepi," komentar Mei pada suaminya.

"Iya De, namanya rumah murah, cepetlah diserbu orang." sahut suaminya, kini memasuki blok N menuju rumah janda temannya.

"Mas kok gelap rumahnya mba Tara?"

"Eh..iya, orangnya pergi kali ya."

"Tapi itu sepedanya ada, ada cahaya lilin juga kayaknya, " sahut istrinya. Zaka memarkirkan mobil sedannya tepat di depan rumah Tara.  Mereka turun dengan tergesa. Samar-samar terdengar suara Tara yang sedang mendongengkan kisah untuk anaknya.

"Assalamualaikum," seru Zaka dan Mei

"Wa'alaykumussalam," sahut Tara berdiri dari duduknya dan membuka pintu.

"Mbak Mei, Mas Zaka. Ayo masuk!" ajak Tara canggung karena rumahnya gelap sendiri, sedangkan tetangga kanan kirinya lampu rumahnya menyala.

Zaka dan Mei duduk menatap Fia yang sedang terbaring lemah.

"Fia sakit, Nak?" tanya Zaka. Anak itu mengangguk.

"Sakit apa Fia, Mbak Tara?" tanya Mei saat Tara kembali dari dapur dengan membawa dua cangkir teh dia atas nampan.

"Mungkin masuk angin, Mbak. Ayo diminum!"

"Maaf ya, minum dalam gelap-gelapan." Tara nyengir kuda untuk menutupi rasa malu dan sedihnya.

"Kenapa gelap-gelapan Mbak?" tanya Mei.

"Mama da ada uit bi listik," oceh Fia sambil memegang bonekanya.

"Fia." Tara menginterupsi ucapan anaknya.

Zaka dan Mei terhenyak, ga menyangka bahwa janda temannya ini begitu kesulitan keuangan. Tampak Zaka mengeluarkan ponselnya, menatap istrinya seakan meminta izin. Mei mengangguk.

"Berikan nomor token listriknya Mbak!" ucap Zaka.

" Eh ... ga usah jadi ngerepotin Mas, besok saya baru mau beli." Tara salah tingkah, bingung sendiri harus bagaimana lagi.

"Ga papa, Mbak," sahut Mei

Tara masuk ke dalam kamarnya, lalu kembali ke ruang tamu dengan memberikan selembar kertas kepada Zaka.

Tak lama Zaka keluar rumah dan memasukkan nomor tokennya.

Kliik

Lampu menyala. "Alhamdulillah," seru Tara dan Mei bersamaan.

"Hole...nyala, mama pia mau toton pipi," celoteh Fia sambil tersenyum karena lampu sudah menyala.

"Fia..ayo bilang terimakasih sama Mm Zaka dan Tante Mei." titah Tara pada anaknya.

"Maaciih papa kaka maacih tete Mei."

"Eh...." Fia menutup mulutnya, lalu berujar,"calah ya, macih Om Kaka Tete Mei."

Zaka dan Mei mengangguk sambil tersenyum ke arah Fia. Anak yang menggemaskan, sudah lama Zaka dan Mei mendamba anak dari pernikahan mereka, namun sudah enam tahun pernikahan, mereka belum juga dikaruniai seorang anak. 

Padahal Rahman dan Tara menikah belakangan tapi mereka duluan dipercaya Tuhan untuk memiliki anak. Zaka dan Mei sudah berkonsultasi ke dokter, juga menjalani beberapa treatment, namun Tuhan belum memberikan, mereka harus lebih sabar dan rajin usaha tentunya.

Setelah setengah jam mengobrol, Zaka dan Mei pamit pulang, tak lupa Zaka menurunkan sekarung beras dan sekantong sembako untuk Tara dan sekantong lagi penuh makanan untuk Fia.

"Ya Allah terimakasih Mas , Mbak. Semoga Allah balas semua kebaikan kalian," ucap Tara penuh sukur. Mata Fia seketika berbinar saat melihat ada sekantong penuh dengan snack ringan, biskuit, susu dan banyak lagi lainnya.

Zaka dan Mei pamit meninggalkan rumah Tara. Sedangkan Tara dengan suka cita merapikan barang-barang pemberian Mas Zaka dan Mbak Mei. Betapa terkejutnya Tara di dalam bungkusan sembako ada amplop coklat yang saat dibuka ternyata isinya uang lembaran merah sebanyak lima lembar. Tak hentinya Tara meneteskan air mata penuh syukur, betapa beruntungnya ia memiliki teman seperti keluarga Mbak Mei.

Sejak saat itu Zaka rutin memberikan santunan kepada Tara. Sembako dan uang lima ratus ribu, yang diantarkan oleh seorang kurir. Ingin sekali Tara mengucapkan terimakasih secara langsung pada keduanya namun Tara tak memiliki ponsel, karena ponselnya sudah ia jual dahulu, untuk biaya makan dia dan anaknya. Tara yang tidak bisa bekerja diluar rumah cukup kesulitan keuangan jadinya, dia tidak bisa meninggalkan Fia karena Fia memiliki riwayat asma akut yang sering kambuh tiba-tiba. Untuk kebutuhan sehari-hari Tara hanya mengandalkan dengan mengajar calistung beberapa anak tetangganya. Karena basic Tara adalah pendidikan, meskipun tidak kuliah sampai selesai karena terkendala biaya.

Suatu hari penyakit asma Fia kambuh lagi, Tara membawa Fia ke puskesmas terdekat. Namun dokter menyarankan agar Fia dirujuk ke rumah sakit besar. Dengan menaiki angkot turun naik nyambung beberapa kali, akhirnya Tara sampai juga di rumah sakit besar dengan membawa surat rujukan dari puskesmas. Nafas Fia sudah semakin ngosngosan langsung dibawa ke UGD rumah sakit.

Tara sedang duduk tergugu sambil meneteskan air mata, saat menunggu antrian membayar administrasi awal rumah sakit. Tara tidak mempunyai BPJS karena memang tidak cukup uang yang dia hasilkan untuk membayar iuran tersebut.

"Mbak Tara ...," panggil seorang pria, yang Tara hapal betul suaranya. Suara mas Zaka teman dekat almarhum suaminya. Tara menoleh dengan mata sembab.

"Ya Allah... Mbak ada apa?" tanya Zaka panik.

"Fia, Mas," sahutnya pelan, sambil menahan isakan.

Dengan tergesa Zaka masuk ke ruangan UGD, berbicara dengan dokter jaga disana, Zaka melihat tubuh Fia sudah sangat lemah dengan nafas sesak.

"Tolong lakukan yang terbaik dok, saya akan membayar biayanya," ucap Zaka tegas, lalu menoleh ke arah Tara yang kini menatapnya penuh rasa syukur.

Kini Fia sudah dipindahkan ke ruang perawatan kelas tiga. Itu saja Tara sudah sangat bersyukur atas bantuan yang diberikan mas Zaka. Sebenarnya Zaka bukannya juga orang yang kaya, tetapi cukuplah untuk ukuran kepala marketing disebuah perusahaan otomotif. Apalagi Zaka dan Mei sama-sama bekerja dan belum ada anak. Jadi tabungan mereka utuh. Sedangkan untuk kebutuhan sehari-hari sudah lebih dari cukup.

"Terimakasih Mas atas bantuannya, tapi...apa tidak apa-apa dengan Mbak Mei?" ucap Tara merasa sungkan dengan istri Zaka.

"Tidak papa Ra, dia pasti mengerti. Saya pamit ya, besok saya kemari lagi dengan Mei," ujar Zaka pamit sambil mengusap lembut pipi Fia dan mengecupnya sayang. Tara tersentuh dengan pandangan itu.

"Papa, cini temani Fia," oceh Fia dalam tidurnya. Zaka terhenyak, wajahnya menjadi kaku.

"Maafin Fia, Mas. Salam untuk Mbak Mei ya," ucap Tara sedikit kikuk dengan ucapan Fia dalam tidurnya. Zaka mengangguk lalu berjalan keluar kamar perawatan.

Dua hari sudah Fia dirawat dan selama dua hari berturut-turut Zaka mengunjungi Fia, hari pertama Mei ikut menemani, namun hari kedua Zaka datang sendiri karena Mei ada workshop di Bandung.

Hari ketiga, saat kondisi Fia sudah dinyatakan cukup sehat untuk dibawa pulang. Zaka menjemput Tara dan juga Fia. Di dalam mobil Fia tersenyum senang. Jarang sekali Fia bisa naik mobil.

"Mbak Tara..."

"Ya Mas."

"Mmmm ... bagaimana jika Mbak Tara menjadi istri kedua saya?"

*****

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Isabella
waduh jadi istri ke dua
goodnovel comment avatar
Ainul Yakin
iya gak jelas
goodnovel comment avatar
dindin SR
waduh, ini awalna bagus bikin sedih.. anda memang penulis berkelas.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status