Rumah mungil itu hanya dihiasi cahaya lilin. Tak ada lampu penerangan, karena pemilik rumah tak mempunyai cukup uang untuk membeli token listrik. Untungnya dia memiliki tetangga yang baik hati, bersedia memberikan air dua ember besar, untuk bekal memasak dan mandi. Karena listrik mati, otomatis mesin air pun tak menyala.
Tetangganya sudah sangat baik beberapa kali memberikan pinjaman uang untuk membeli listrik ataupun yang lainnya. Hanya saja ia tak mau terlena dengan bantuan tetangga kanan kirinya. Meskipun janda dengan seorang anak yatim, ia tetap harus bisa mandiri, tidak ingin menyusahkan orang lain.
"Mama...susu!" pinta sang putri yang berusia dua tahun, kini terbaring lemah karena badannya panas.
"Sebentar ya, Dek. Mama buatkan, ade di sini aja ya, ga usah ikut ke dapur," ujar Tara pada putrinya.
" Tapi delap," cicit Sofia, nama balita itu.
" Ade'kan hebat, di sini saja ya."
Sofia mengangguk tapi tatapannya tak lepas dari mamanya yang berada di dapur. Anak seusia Sofia pasti takut jika mati lampu. Sofia tiduran di bangku ruang tamu karena masih sore sebenarnya, masih jam tujuh malam. Ia belum mengantuk, hanya saja kepalanya sakit dan dia sedikit demam. Tara kembali dari dapur dan memberikan susu pada Sofia. Balita cantik itu meminumnya dengan cepat.
"Uueekk...." Sofia tiba-tiba memuntahkan semua susu yang baru saja habis dia minum. Tara kaget dengan sigap memijat punggung Sofia agar semua muntahnya keluar. Setelah itu Tara ke dapur untuk membersihkan muntahan anaknya.
Air matanya menetes. Obat demam anaknya tersisa sekali lagi untuk diminum malam ini, untuk besok ia tak punya persediaan obat." Maaf mama." ucap anaknya pelan. Tara tersenyum dikeremangan cahaya lilin.
"Ga papa kok sayang, kan Fia lagi sakit." Tara menenangkan. Sambil memijat kaki anaknya menceritakan tentang hewan kesukaan anaknya yaitu kelinci.
****
"Mas, Mbak Tara ga kita kabari dulu, kalau kita mau ke rumahnya?" tanya Meilisa pada suaminya."Ga usah Dek, dadakan saja. Nanti malah dia repot nyiapin ini itu, kasian," ujar Henry Zakaria, suami dari Meilisa. Atau biasa dipanggil Zaka.
Zaka melajukan mobilnya dengan pelan saat memasuki pelataran perumahan. Terlihat beberapa anak-anak main di jalanan depan rumah mereka.
"Sudah rame ya Mas. Padahal waktu almarhum Rahman baru membeli rumah di sini, masih sepi," komentar Mei pada suaminya.
"Iya De, namanya rumah murah, cepetlah diserbu orang." sahut suaminya, kini memasuki blok N menuju rumah janda temannya.
"Mas kok gelap rumahnya mba Tara?"
"Eh..iya, orangnya pergi kali ya."
"Tapi itu sepedanya ada, ada cahaya lilin juga kayaknya, " sahut istrinya. Zaka memarkirkan mobil sedannya tepat di depan rumah Tara. Mereka turun dengan tergesa. Samar-samar terdengar suara Tara yang sedang mendongengkan kisah untuk anaknya.
"Assalamualaikum," seru Zaka dan Mei
"Wa'alaykumussalam," sahut Tara berdiri dari duduknya dan membuka pintu.
"Mbak Mei, Mas Zaka. Ayo masuk!" ajak Tara canggung karena rumahnya gelap sendiri, sedangkan tetangga kanan kirinya lampu rumahnya menyala.
Zaka dan Mei duduk menatap Fia yang sedang terbaring lemah.
"Fia sakit, Nak?" tanya Zaka. Anak itu mengangguk.
"Sakit apa Fia, Mbak Tara?" tanya Mei saat Tara kembali dari dapur dengan membawa dua cangkir teh dia atas nampan.
"Mungkin masuk angin, Mbak. Ayo diminum!"
"Maaf ya, minum dalam gelap-gelapan." Tara nyengir kuda untuk menutupi rasa malu dan sedihnya.
"Kenapa gelap-gelapan Mbak?" tanya Mei.
"Mama da ada uit bi listik," oceh Fia sambil memegang bonekanya.
"Fia." Tara menginterupsi ucapan anaknya.
Zaka dan Mei terhenyak, ga menyangka bahwa janda temannya ini begitu kesulitan keuangan. Tampak Zaka mengeluarkan ponselnya, menatap istrinya seakan meminta izin. Mei mengangguk.
"Berikan nomor token listriknya Mbak!" ucap Zaka.
" Eh ... ga usah jadi ngerepotin Mas, besok saya baru mau beli." Tara salah tingkah, bingung sendiri harus bagaimana lagi.
"Ga papa, Mbak," sahut Mei
Tara masuk ke dalam kamarnya, lalu kembali ke ruang tamu dengan memberikan selembar kertas kepada Zaka.
Tak lama Zaka keluar rumah dan memasukkan nomor tokennya.
Kliik
Lampu menyala. "Alhamdulillah," seru Tara dan Mei bersamaan.
"Hole...nyala, mama pia mau toton pipi," celoteh Fia sambil tersenyum karena lampu sudah menyala.
"Fia..ayo bilang terimakasih sama Mm Zaka dan Tante Mei." titah Tara pada anaknya.
"Maaciih papa kaka maacih tete Mei."
"Eh...." Fia menutup mulutnya, lalu berujar,"calah ya, macih Om Kaka Tete Mei."
Zaka dan Mei mengangguk sambil tersenyum ke arah Fia. Anak yang menggemaskan, sudah lama Zaka dan Mei mendamba anak dari pernikahan mereka, namun sudah enam tahun pernikahan, mereka belum juga dikaruniai seorang anak.
Padahal Rahman dan Tara menikah belakangan tapi mereka duluan dipercaya Tuhan untuk memiliki anak. Zaka dan Mei sudah berkonsultasi ke dokter, juga menjalani beberapa treatment, namun Tuhan belum memberikan, mereka harus lebih sabar dan rajin usaha tentunya.
Setelah setengah jam mengobrol, Zaka dan Mei pamit pulang, tak lupa Zaka menurunkan sekarung beras dan sekantong sembako untuk Tara dan sekantong lagi penuh makanan untuk Fia.
"Ya Allah terimakasih Mas , Mbak. Semoga Allah balas semua kebaikan kalian," ucap Tara penuh sukur. Mata Fia seketika berbinar saat melihat ada sekantong penuh dengan snack ringan, biskuit, susu dan banyak lagi lainnya.
Zaka dan Mei pamit meninggalkan rumah Tara. Sedangkan Tara dengan suka cita merapikan barang-barang pemberian Mas Zaka dan Mbak Mei. Betapa terkejutnya Tara di dalam bungkusan sembako ada amplop coklat yang saat dibuka ternyata isinya uang lembaran merah sebanyak lima lembar. Tak hentinya Tara meneteskan air mata penuh syukur, betapa beruntungnya ia memiliki teman seperti keluarga Mbak Mei.
Sejak saat itu Zaka rutin memberikan santunan kepada Tara. Sembako dan uang lima ratus ribu, yang diantarkan oleh seorang kurir. Ingin sekali Tara mengucapkan terimakasih secara langsung pada keduanya namun Tara tak memiliki ponsel, karena ponselnya sudah ia jual dahulu, untuk biaya makan dia dan anaknya. Tara yang tidak bisa bekerja diluar rumah cukup kesulitan keuangan jadinya, dia tidak bisa meninggalkan Fia karena Fia memiliki riwayat asma akut yang sering kambuh tiba-tiba. Untuk kebutuhan sehari-hari Tara hanya mengandalkan dengan mengajar calistung beberapa anak tetangganya. Karena basic Tara adalah pendidikan, meskipun tidak kuliah sampai selesai karena terkendala biaya.
Suatu hari penyakit asma Fia kambuh lagi, Tara membawa Fia ke puskesmas terdekat. Namun dokter menyarankan agar Fia dirujuk ke rumah sakit besar. Dengan menaiki angkot turun naik nyambung beberapa kali, akhirnya Tara sampai juga di rumah sakit besar dengan membawa surat rujukan dari puskesmas. Nafas Fia sudah semakin ngosngosan langsung dibawa ke UGD rumah sakit.
Tara sedang duduk tergugu sambil meneteskan air mata, saat menunggu antrian membayar administrasi awal rumah sakit. Tara tidak mempunyai BPJS karena memang tidak cukup uang yang dia hasilkan untuk membayar iuran tersebut.
"Mbak Tara ...," panggil seorang pria, yang Tara hapal betul suaranya. Suara mas Zaka teman dekat almarhum suaminya. Tara menoleh dengan mata sembab.
"Ya Allah... Mbak ada apa?" tanya Zaka panik.
"Fia, Mas," sahutnya pelan, sambil menahan isakan.
Dengan tergesa Zaka masuk ke ruangan UGD, berbicara dengan dokter jaga disana, Zaka melihat tubuh Fia sudah sangat lemah dengan nafas sesak.
"Tolong lakukan yang terbaik dok, saya akan membayar biayanya," ucap Zaka tegas, lalu menoleh ke arah Tara yang kini menatapnya penuh rasa syukur.
Kini Fia sudah dipindahkan ke ruang perawatan kelas tiga. Itu saja Tara sudah sangat bersyukur atas bantuan yang diberikan mas Zaka. Sebenarnya Zaka bukannya juga orang yang kaya, tetapi cukuplah untuk ukuran kepala marketing disebuah perusahaan otomotif. Apalagi Zaka dan Mei sama-sama bekerja dan belum ada anak. Jadi tabungan mereka utuh. Sedangkan untuk kebutuhan sehari-hari sudah lebih dari cukup.
"Terimakasih Mas atas bantuannya, tapi...apa tidak apa-apa dengan Mbak Mei?" ucap Tara merasa sungkan dengan istri Zaka.
"Tidak papa Ra, dia pasti mengerti. Saya pamit ya, besok saya kemari lagi dengan Mei," ujar Zaka pamit sambil mengusap lembut pipi Fia dan mengecupnya sayang. Tara tersentuh dengan pandangan itu.
"Papa, cini temani Fia," oceh Fia dalam tidurnya. Zaka terhenyak, wajahnya menjadi kaku.
"Maafin Fia, Mas. Salam untuk Mbak Mei ya," ucap Tara sedikit kikuk dengan ucapan Fia dalam tidurnya. Zaka mengangguk lalu berjalan keluar kamar perawatan.
Dua hari sudah Fia dirawat dan selama dua hari berturut-turut Zaka mengunjungi Fia, hari pertama Mei ikut menemani, namun hari kedua Zaka datang sendiri karena Mei ada workshop di Bandung.
Hari ketiga, saat kondisi Fia sudah dinyatakan cukup sehat untuk dibawa pulang. Zaka menjemput Tara dan juga Fia. Di dalam mobil Fia tersenyum senang. Jarang sekali Fia bisa naik mobil.
"Mbak Tara..."
"Ya Mas."
"Mmmm ... bagaimana jika Mbak Tara menjadi istri kedua saya?"
*****Siang hari setelah mengajar Bimo; murid lesnya calistung, Tara melanjutkan dunianya sebagai ibu rumah tangga. Tara menyuapi Fia dan juga merapikan rumah. Kondisi Fia sudah lebih sehat, hanya saja dokter tidak membolehkan Fia minum es, chiki dan coklat. Fia tengah asik bermain bersama boneka barbie, hadiah dari Mei saat Fia diperbolehkan pulang dari rumah sakit.Tara masih memikirkan perkataan Zaka beberapa hari lalu, Zaka memberikan waktu kepada Tara untuk memikirkan hal tersebut selama dua pekan. Baru tiga hari saja rasanya otak Tara sedikit lemot, banyak bengong dan melamun."Mama, asap," seru Fia sambil menarik arah pandangnya ke bawah."Astaghfirulloh!" pekik Tara saat tersadar mukena terbagus pemberian almarhum suaminya gosong, karena Tara menyetrika sambil melamunkan perkataan Zaka. Cepat Tara menyingkirkan setrikaan dan menatap sedih mukenanya yang bolong bagian dadanya."Fia." Tara menarik Fia ke pangkuannya. Fia menatap wajah Tara sam
Sudah sebulan sejak hari pernikahannya dengan Zaka. Namun Zaka tak pernah menampakkan diri muncul di rumah Tara. Beberapa tetangga mulai kasak kusuk, ada yang mencibir ada juga yang bersimpati pada Tara. Entahlah Tara tak pernah ambil pusing. Toh dia juga menikah bukan karena atas dasar cinta atau pun suka.Semua ia lakukan demi kebaikan dirinya juga Sofia anaknya. Kurir yang biasa mengantar paket sembako dan titipan amplop dari Zaka, baru saja sampai saat Tara baru selesai melaksanakan sholat ashar. Pria muda itu menyerahkan bungkusan plastik besar berisi sembako dan sekardus aneka snack untuk Fia."Terimakasih, Mas," ucap Tara sambil menyunggingkan sedikit senyumnya."Baik, Bu. Saya permisi," ucap pria muda tersebut."Mas, maaf, apakah Pak Zaka sudah kembali dari Malaysia?" tanyanya tiba-tiba, entah hatinya ingin sekali tahu di mana keberadaan lelaki yang sebulan lalu menikahinya."Sudah, Bu," jawabnya lalu segera pergi dengan mengend
Suka dengan cerita ini??jangan lupa masukin dalam reading list kamu yaa๐๐dan jangan lupa juga follow akun saya, biar dapat notif saat saya apdet๐๐Selamat MembacaTara memandang langit sore dari teras rumahnya, awan beriak seakan mengejek dirinya yang terluka nestapa saat ini. Satu dua burung beterbangan dengan riang. Menambah sahdu sejuk udara sore.Tara kadang berpikir, enak kali ya jadi burung, bisa kesana kemari tanpa perlu sakit hati dan terluka dan tanpa memikirkan apa-apa. Ya Allah kenapa aku harus mengeluh? Semua yang aku jalani saat ini adalah kehendakMu. Tara bermonolog pada dirinya. Masih mematung memandang awan luas yang terang benderang warnanya, jelas sekali hari ini tidak akan turun hujan, mengingat awan beriak melambai dengan cerahnya, tidak seperti kemarin malam, cuaca gerimis sendu. Sesendu hatinya yang menatap punggung lelaki terlelap yang telah sebulan menikahinya.Flash back"Ra ...," bisik Zaka."Ya, Mas," sahut Tara
Tara menatap pintu kamarnya yang kini telah tertutup kembali, setelahnya suara mobil suaminya meninggalkan pekarangan rumah. Tara mengahapus air mata yang menetes di pipinya, semakin lama semakin deras air itu tumpah, tanpa bisa dibendungnya. Bahu bergetar tanda menahan kepedihan atas semua yang ia jalani saat ini. Ditariknya selimut bulu bermotif hello kitty menutupi tubuh polosnya. Berjalan ke kamar mandi, membersihkan semua sisa percumbuan yang menyesakkan dadanya. Setelahnya, ia kembali memakai bajunya, kembali ke peraduan sambil memeluk tubuh mungil Fia anaknya. Berharap semua kepedihan ini hanya mimpi.Seminggu berlalu, tak ada kabar lagi dari Zaka. Terakhir Zaka mengirimkan uang melalui kurir yang biasa ditunjuknya, untuk membawa Fia kontrol ke dokter asma. Tara pun menjalani hari seperti biasa mengajar anak-anak tetangga calistung di pagi dan sore hari. Sore ini ia membuat kolak pisang untuk Fia, memang semenjak menikah dengan Zaka, Tara tidak pernah lagi kekurangan u
Sakit kepalanya belum juga hilang, malah sekarang ditambah mual. Seharian tubuhnya sangat susah untuk beranjak dari tempat tidur, bahkan untuk ke kamar mandi saja, Tara terseok-seok. Alhamdulillahnya Tara mempunyai tetangga yang peduli dan sangat perhatian.Bu Siska, tetangga samping rumah Tara, membantu Tara mengurus Fia. Bu Yosi tetangga depan Tara, membantu memasakkan makanan untuk Tara. Sungguh Tara sebenarnya tak ingin merepotkan, namun apalah daya, tubuhnya tak bisa diajak berkompromi. Sangat lemah dan selalu mual jika banyak bergerak.Tetangga Tara mengetahui sejak dua bulan kehamilan Tara, Zaka tidak pernah ke rumah Tara. Bukan dari Tara mereka mengetahuinya, melainkan dari Fia, yang saat bermain selalu terlihat sedih. Apalagi melihat ayah dari teman-temannya yang ikut bermain. Pasti Fia berujar. "Om Papa Fia sedang kelja, tidak datang lagi." Itulah yang selalu Fia katakan pada teman-temannya.Miris didengar, namun apa mau dikata, karen
Tara sekarang berada di rumahnya, suasana pedesaan, yang tenang dan menyejukkan. Burung-burung saling bersahutan dipagi hari, Tara menghirup udara segar yang mampu membuat tubuhnya rileks dan nyaman. Meskipun masih belum bisa mengerjakan apa pun di rumahnya, tetapi paman dan ayahnya selalu membantu dan merawatnya dengan baik."Tara, makan dulu," ucap pamannya dari dalam rumah. Tara menoleh ke asal suara."Iya Paman." Tara masuk lalu duduk di meja makan kecil yang berada di dekat dapur. Sudah ada ubi rebus, kentang rebus dan seteko teh manis."Paman tidak makan?" Tara melihat pamannya sudah rapi mau berangkat ke kebun sawit."Sudah tadi, saya berangkat dulu ya, kamu baik-baik di rumah, kalau perlu bantuan, hubungi saya atau kamu ke Mbok Minah, tetangga sebelah ya," pesannya sebelum iya keluar dari rumah mengendarai motor bututnya.Tara duduk bersama dengan Fia yang tengah bermain di teras bersama anak Mbok Minah, yang bernama Sekar
Mei hari ini sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Meski tubuhnya masih lemah, tapi Mei berusaha menguatkan dirinya sendiri, bahwa semua ini takdir yang Maha Kuasa. Mei meminta kepada Zaka, agar mengantarnya ke pemakaman, dimana, bayi mereka dikubur. Dengan cucuran air mata kesedihan Mei menatap pusara anaknya, begitu juga Zaka, tertunduk lemah, menyesal tiada guna, semua sudah terjadi. Saat ini yang terpenting, dia menghibur Mei agar tak depresi atas kehilangan bayi yang sangat lama mereka nantikan.Beep..beep..Suara ponsel Zaka berbunyi, tampak nama yang tertera pada layarnya.Papa["Hallo, Pa. Assalamualaikum.]["Wa'alaykumussalam."]["Kamu di mana Ka?"]["Di pemakaman, Pa."]["Setelah mengantar Mei, kamu ke rumah, ada yang perlu papa bicarakan." ]["Baik, Pa."]Mei menatap wajah suaminya."Papa yang telpon, katanya Mas, disuruh ke rumah, ada yang mau dibicarakan.""Ya sudah ayo, kita pul
Zaka sedang menatap ponselnya, mengecek beberapa pesan masuk dari teman-temannya. Iseng Zaka mencoba menghubungi nomor Tara, namun masih tak tersambung. Mendadak Zaka mules, keringat sebesar biji jagung menari-nari di kening dan lehernya. Mei yang sedang rebahan di samping Zaka, memperhatikan suaminya."Mas, kamu kenapa?" tanya Mei khawatir, sigap Mei duduk memeriksa wajah pucat suaminya."Mules, Mei," cicitnya sambil meringis."Ya udah sana ke kamar mandi, kok malah diem aja, ntar ce*irit lho Mas." Mei mencoba sedikit bercanda."Suami sakit kok malah dibecandain, gak lucu!" ucap Zaka sebal. Mei terdiam, baru kali ini suaminya bersikap seperti ini."Maaf, Mas. Mei ambilkan minyak kayu putih ya." Dengan wajah memelas Mei memandang wajah Zaka, Zaka pun tak tega, akhirnya mengangguk. Mei beranjak dari kasur, lalu mengambil minyak kayu putih di dalam laci. Kembali pada suaminya, dan mengolesi di perut suaminya yang terasa dingin. Wajah Mei semaki