Suka dengan cerita ini??jangan lupa masukin dalam reading list kamu yaa😘😘dan jangan lupa juga follow akun saya, biar dapat notif saat saya apdet😘😘
Selamat Membaca
Tara memandang langit sore dari teras rumahnya, awan beriak seakan mengejek dirinya yang terluka nestapa saat ini. Satu dua burung beterbangan dengan riang. Menambah sahdu sejuk udara sore.
Tara kadang berpikir, enak kali ya jadi burung, bisa kesana kemari tanpa perlu sakit hati dan terluka dan tanpa memikirkan apa-apa. Ya Allah kenapa aku harus mengeluh? Semua yang aku jalani saat ini adalah kehendakMu. Tara bermonolog pada dirinya. Masih mematung memandang awan luas yang terang benderang warnanya, jelas sekali hari ini tidak akan turun hujan, mengingat awan beriak melambai dengan cerahnya, tidak seperti kemarin malam, cuaca gerimis sendu. Sesendu hatinya yang menatap punggung lelaki terlelap yang telah sebulan menikahinya.Flash back
"Ra ...," bisik Zaka.
"Ya, Mas," sahut Tara masih memutup mata.
"Boleh saya meminta hak saya malam ini?"
Tara tak berani membantah, karena dosa jika dia menolak, tapi tak menolak rasanya juga pasti aneh. Bagaimana mungkin lelaki yang selama ini menjadi teman baik almarhum suaminya, yang ia hormati dan segani layaknya seorang saudara, harus menjadi suaminya dan saat ini meminta hak padanya. Apa yang harus ia lakukan juga ia tak paham?
"Oke..diamnya wanita saya anggap setuju." Zaka memutuskan sendiri, padahal Tara tak menjawab justru karena gundah.
"Maaf Mas, apakah Mbak Mei tidak apa-apa?" akhirnya Tara memberanikan diri bersuara walau sangat pelan. Tak ingin membangunkan puteri semata wayangnya.
"Tidak apa-apa, selagi kamu tidak mengatakan apa-apa?" jelas, lugas dan to the point. Tara semakin tak berkutik, rasanya seperti selingkuh saja, hubungan harus diam-diam, padahal dia jugakan istri Zaka.
"Dan saya harap kamu tak mengatakan apapun yang dapat melukai perasaan istri saya," lanjutnya lagi masih dengan nada lugasnya. Matanya menatap tajam ke arah Tara seakan itu sebuah perintah yang mengandung ancaman mengerikan.
Helloo....saya juga istri, bukan gundik. Lalu bagaimana dengan perasaan saya?siapa yang memikirkannya? Tara hanya mampu mengucapkan protes di dalam hatinya. Entah kenapa rasanya kok sakit?saat Zaka mengucapkan kalimat terakhir.
Tara akhirnya pasrah saat lelaki yang menjadi suaminya itu, menggeser posisi Fia menjadi di sudut ranjang yang menghadap tembok. Dadanya pun bergemuruh, antara malu, bete, kesel dan sedih bercampur jadi satu. Saat tangan lelaki itu menyentuh kulitnya inci demi inci, Tara merinding disko, bukan karena menikmati namun karena takut. Mata Zaka saat ini memancarkan aura mematikan. Tara tak berani membuka mata, dipicingkannya dengan paksa, seakan ada lem yang dia oleskan pada matanya. Satu persatu pakaian Tara telah terlepas, dia merasainya dari udara dingin yang menusuk kulit dan tulangnya, walaupun ada tangan hangat yang mengusapnya lembut, seakan kulit Tara adalah benda lunak yang mudah ambyar.
Sangat hati-hati Zaka mengusapnya. Tara malu sendiri, kulitnya keras seperti badak ini rasanya tak pantas diusap dengan begitu lembut. Terakhir merawat diri ia pun lupa, mungkin sebelum melahirkan Fia. Ya Tuhan malunya.
"Kamu harum," bisiknya di telinga Tara. Membuat Tara bersemu merah, masih tak berani membuka matanya, sepertinya Zaka pun tak mempermasalahkan itu, buktinya saat ini bibirnya sudah menyapu bersih bibir Tara. Apakah Tara mendesah nikmat? tidak!!Tara bersumpah pada dirinya sendiri, untuk menghempaskan desahan nikmat itu jauh-jauh. Wahai hati jangan goyah. Bisik Tara pada seonggok daging di dalam tubuhnya yang saat ini merasai sentuhan suaminya. Tara meraba sisi kiri ranjangnya, meraih guling dengan tangannya, tanpa membuka mata. Menggigitnya dengan keras, saat erangan itu hendak lolos dari mulutnya. Tangannya hanya mampu meremas seprei saat desir itu merajai tubuhnya
Zaka masih aktif mencumbu Tara dengan gemas, membuat banyak tanda disekujur tubuh Tara. Kalian tahukan pohon pisang??yah Tara sekaku gedebong pisang, tak bergerak, tak berani, bukan karena tak memiliki hasrat, namun lebih karena malu yang sudah membuncah sampai ubun-ubun. Zaka berhenti sejenak, tampaknya tengah memperhatikan nafas tersengal istri keduanya saat baru saja mengalami gelombang cinta. Zaka bersiap mencumbu kembali, inci demi inci, menyatukan kulit dengan kulit, meracau nikmat, seketika Tara memasang tajam telinganya.
"Mei...enak sayang,"
Dduuuuaaarrr.....
Bagaikan bom panci, racauan kenikmatan yang keluar dari mulut Zaka, sontak menghempaskan tubuh dan juga hati Tara ke dasar jurang nestapa.
"Meei ...," erangnya.
Seketika bulir air bening lolos dari kedua sudut mata Tara. Zaka sepertinya baru menyadari akan ocehannya. Tanpa mengatakan apapun lagi, Zaka turun dari ranjang, melilitkan handuk lalu keluar kamar menuju kamar mandi.
Kamu dzolim Mas!!disaat kamu menggauliku, kamu menyebut nama wanitamu yang lain. Lagi-lagi Tara hanya mampu berteriak histeris dalam hatinyaFlash back off
Miris, diperlakukan seperti tak berharga, lalu kini ia harus apa, harus bagaimana? Lelaki itu malam ini hendak menginap kembali, katanya betah.
"Mama, mau susu!" ucapan Fia menyadarkannya dari lamunan.
"Ah, iya Nak, sebentar ya, masuk yuk sudah mau magrib," ajak Tara pada Fia yang kini meninggalkan kegiatan bermain sepedanya di pekarangan rumah. Tara melaksanakan sholat magrib, Fia minum susu dengan botol, tiduran di samping sajadah yang digelar Tara.
Pukul delapan, suara deru mobil Zaka memasuki pekarang rumah Tara. Dada Tara kembali berdegub kencang.
"Om Papa ...," suara kecil Fia menyambut lelaki yang kini ia panggil om papa. Fia bangun dari duduknya mengintip dari jendela. Tara membukakan pintu untuk suaminya, menjawab salam suaminya dan mencium punggung tangan suaminya.
Zaka memperhatikan penampilan Tara malam ini, menyambutnya tanpa kerudung, memakai baju kaos dengan celana panjang rumahan, rambutnya dikuncir kuda. Tampilannya terlihat lebih muda dari usianya. Zaka senang tapi tidak menampakkannya. Zaka tak ingin Tara menjadi besar hati dan egois nantinya.
"Hai anak papa, " sapanya ramah pada Fia, Fia tersenyum malu-malu, bersembunyi dibalik tubuh Tara.
"Ayo salim dulu sama papa!" titah Zaka mengulurkan tangannya. Dengan malu-malu Fia mencium punggung tangan Zaka. "Om papa udah puang?" katanya lagi.
"Udah, nih papa bawa apa buat Fia?" Zaka memberikan box donat dengan aneka toping. Fia melihatnya dengan gembira, lalu menyantapnya dengan lahap.
Tara menyiapkan teh untuk Zaka juga makan malamnya. Zaka masuk ke kamar mandi hendak bersih-bersih.Sepuluh menit Zaka di dalam kamar mandi, kini Zaka keluar hanya memakai handuk yang terlilit di pinggangnya. Pandangan Tara dan Zaka bertemu. Namun Tara terlebih dahulu memutusnya, teringat kembali ucapan menyakitkan Zaka kemarin.
Tara menemani Zaka makan, dia pun ikut makan. Karena memang menunggu makan bersama suaminya. Tak ada suara apapun ,hanya denting sendok yang terdengar.
"Enak masakanmu," puji Zaka tulus.
"Masih kalah Mas jika dibandingkan dengan masakan Mbak Mei." Entah kenapa rasa kesal Tara membuatnya menyahut demikian. Zaka tak melanjutkan lagi, dia merasa tak enak hati juga dengan Tara. Bagaimana mungkin dia menyebut nama Mei diakhir kenikmatan yang ia raup bersama Tara, istri keduanya.
Kini Fia sudah tertidur, Zaka menggeser kembali posisi Fia di sudut ranjang. Perasaan Tara kembali tak enak. Tara baru saja masuk ke kamarnya, habis dari kamar mandi bersih-bersih. Dengan wajah kaku Tara naik ke ranjang tepat di sebelah Fia. Zaka yang selesai menyisir rambut, menyusul Tara. Keduanya berbaring terlentang kaku, Tara seperti orang pingsan, mengedip pun seakan tak berani.
"Ra, maafkan saya semalam," ucapnya terlihat tulus.
"Iya Mas sudah saya maafkan."
"Terimakasih, mmm ... kalau gitu saya ingin mengulanginya boleh?"
Belum sempat memberikan jawaban, tangan suaminya sudah melakukan trip entah di mana saja. Tara memutar bola mata malasnya. Masih kesal dan bete sebenarnya, tapi ... sudahlah. Dia hanya perlu menutup mata dan menggigit guling, biarkan lelaki itu yang bekerja keras.
Kali ini tak ada nama Mei yang terucap dari desisan lenguhannya. Tara sedikit bersukur. Hanya desahan aah..uh..aah.. uh..aahh..seperti kepedasan. Aah..bodo amatlah. Tara kembali terpaku membeku seperti patung, dan sialnya Tara malah kembali meraih puncak bersama suaminya.
Benar-benar memalukan diri ini rasanya. Sebel sama tubuh sendiri yang tak mampu menahan gelombang asmara yang ditawarkan suaminya. Nafas Zaka masih terengah, menatap di bawah tubuhnya, wanita berparas hitam manis ini entah kenapa begitu membuat hasratnya gampang terpacu. Malam ini Zaka mengulanginya hingga dua ronde.
ting..ting..ting..
Suara ponsel Zaka berdering, secepat kilat Zaka meraihnya dari atas nakas. Wajahnya menjadi pucat.
"Hallo Bun, " ucapnya gelagapan.
"Apa Bunda sudah di jalan?"
"Oke, Ayah ada meeting sebentar lagi selesai. Kita ketemu di rumah. Iya, ayah juga rindu." Zaka menutup telponnya lalu tanpa melihat kembali ke arah Tara, Zaka dengan cepat memakai bajunya, baju kerjanya yang tadi sudah dia masukkan ke dalam keranjang pakaian kotor Tara.
"Saya balik dulu, ya." Zaka keluar kamar menutup pintunya dengan tergesa. Meninggalkan Tara yang menatap kepergiannya dengan rasa perih. Haruskah kehidupan pernikahan seperti ini yang ia jalani.
****
Tara menatap pintu kamarnya yang kini telah tertutup kembali, setelahnya suara mobil suaminya meninggalkan pekarangan rumah. Tara mengahapus air mata yang menetes di pipinya, semakin lama semakin deras air itu tumpah, tanpa bisa dibendungnya. Bahu bergetar tanda menahan kepedihan atas semua yang ia jalani saat ini. Ditariknya selimut bulu bermotif hello kitty menutupi tubuh polosnya. Berjalan ke kamar mandi, membersihkan semua sisa percumbuan yang menyesakkan dadanya. Setelahnya, ia kembali memakai bajunya, kembali ke peraduan sambil memeluk tubuh mungil Fia anaknya. Berharap semua kepedihan ini hanya mimpi.Seminggu berlalu, tak ada kabar lagi dari Zaka. Terakhir Zaka mengirimkan uang melalui kurir yang biasa ditunjuknya, untuk membawa Fia kontrol ke dokter asma. Tara pun menjalani hari seperti biasa mengajar anak-anak tetangga calistung di pagi dan sore hari. Sore ini ia membuat kolak pisang untuk Fia, memang semenjak menikah dengan Zaka, Tara tidak pernah lagi kekurangan u
Sakit kepalanya belum juga hilang, malah sekarang ditambah mual. Seharian tubuhnya sangat susah untuk beranjak dari tempat tidur, bahkan untuk ke kamar mandi saja, Tara terseok-seok. Alhamdulillahnya Tara mempunyai tetangga yang peduli dan sangat perhatian.Bu Siska, tetangga samping rumah Tara, membantu Tara mengurus Fia. Bu Yosi tetangga depan Tara, membantu memasakkan makanan untuk Tara. Sungguh Tara sebenarnya tak ingin merepotkan, namun apalah daya, tubuhnya tak bisa diajak berkompromi. Sangat lemah dan selalu mual jika banyak bergerak.Tetangga Tara mengetahui sejak dua bulan kehamilan Tara, Zaka tidak pernah ke rumah Tara. Bukan dari Tara mereka mengetahuinya, melainkan dari Fia, yang saat bermain selalu terlihat sedih. Apalagi melihat ayah dari teman-temannya yang ikut bermain. Pasti Fia berujar. "Om Papa Fia sedang kelja, tidak datang lagi." Itulah yang selalu Fia katakan pada teman-temannya.Miris didengar, namun apa mau dikata, karen
Tara sekarang berada di rumahnya, suasana pedesaan, yang tenang dan menyejukkan. Burung-burung saling bersahutan dipagi hari, Tara menghirup udara segar yang mampu membuat tubuhnya rileks dan nyaman. Meskipun masih belum bisa mengerjakan apa pun di rumahnya, tetapi paman dan ayahnya selalu membantu dan merawatnya dengan baik."Tara, makan dulu," ucap pamannya dari dalam rumah. Tara menoleh ke asal suara."Iya Paman." Tara masuk lalu duduk di meja makan kecil yang berada di dekat dapur. Sudah ada ubi rebus, kentang rebus dan seteko teh manis."Paman tidak makan?" Tara melihat pamannya sudah rapi mau berangkat ke kebun sawit."Sudah tadi, saya berangkat dulu ya, kamu baik-baik di rumah, kalau perlu bantuan, hubungi saya atau kamu ke Mbok Minah, tetangga sebelah ya," pesannya sebelum iya keluar dari rumah mengendarai motor bututnya.Tara duduk bersama dengan Fia yang tengah bermain di teras bersama anak Mbok Minah, yang bernama Sekar
Mei hari ini sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Meski tubuhnya masih lemah, tapi Mei berusaha menguatkan dirinya sendiri, bahwa semua ini takdir yang Maha Kuasa. Mei meminta kepada Zaka, agar mengantarnya ke pemakaman, dimana, bayi mereka dikubur. Dengan cucuran air mata kesedihan Mei menatap pusara anaknya, begitu juga Zaka, tertunduk lemah, menyesal tiada guna, semua sudah terjadi. Saat ini yang terpenting, dia menghibur Mei agar tak depresi atas kehilangan bayi yang sangat lama mereka nantikan.Beep..beep..Suara ponsel Zaka berbunyi, tampak nama yang tertera pada layarnya.Papa["Hallo, Pa. Assalamualaikum.]["Wa'alaykumussalam."]["Kamu di mana Ka?"]["Di pemakaman, Pa."]["Setelah mengantar Mei, kamu ke rumah, ada yang perlu papa bicarakan." ]["Baik, Pa."]Mei menatap wajah suaminya."Papa yang telpon, katanya Mas, disuruh ke rumah, ada yang mau dibicarakan.""Ya sudah ayo, kita pul
Zaka sedang menatap ponselnya, mengecek beberapa pesan masuk dari teman-temannya. Iseng Zaka mencoba menghubungi nomor Tara, namun masih tak tersambung. Mendadak Zaka mules, keringat sebesar biji jagung menari-nari di kening dan lehernya. Mei yang sedang rebahan di samping Zaka, memperhatikan suaminya."Mas, kamu kenapa?" tanya Mei khawatir, sigap Mei duduk memeriksa wajah pucat suaminya."Mules, Mei," cicitnya sambil meringis."Ya udah sana ke kamar mandi, kok malah diem aja, ntar ce*irit lho Mas." Mei mencoba sedikit bercanda."Suami sakit kok malah dibecandain, gak lucu!" ucap Zaka sebal. Mei terdiam, baru kali ini suaminya bersikap seperti ini."Maaf, Mas. Mei ambilkan minyak kayu putih ya." Dengan wajah memelas Mei memandang wajah Zaka, Zaka pun tak tega, akhirnya mengangguk. Mei beranjak dari kasur, lalu mengambil minyak kayu putih di dalam laci. Kembali pada suaminya, dan mengolesi di perut suaminya yang terasa dingin. Wajah Mei semaki
Selamat Membaca😘Jangan lupa follow ya😘"Masa sih? Saya ndak bicara apa-apa. Kamu salah denger kali Ra, orang setengah sadar gitu." Erik mengelak, dengan akting yang sangat bagus, sehingga Tara percaya.CceupcceeuppBayi Yusuf berdecab, tanda ingin menyusu."Sabar ya Le, kakekmu ini sedang nyetir, nanti malah nabrak kalau kamu n*nen di sini," ucapnya datar, sambil terus fokus menatap jalanan. Sedangkan Tara sudah terkekeh geli. Pamannya ini sangat cuek, dan gak asik. Bisa-bisanya bicara begitu tanpa ekspresi apapun."eeeeekk...eeekkk ...."Bayi Yusuf mulai menangis."Ya sudah, kita berhenti di warung makan depan sana. Kamu menyusui di sini, biar paman turun dulu," ucap Erik, lalu menepikan mobilnya.Mesin mobil masih menyala, Erik turun masuk ke dalam warung makan, sesekali Tara melirik ke arah pamannya. Pamannya tengah asik berbincang dengan orang-orang yang berada disana. Lima belas menit berlalu, akhirnya bayi Yusuf sudah cuk
Siang ini, di kantor Zaka tak berhentinya memikirkan Tara. Padahal sebelumnya, ingat saja dia tidak, bahkan hampir melupakan, bahwa mempunyai istri dua. Fokusnya hanya pada Mei seorang, kini Mei sudah berangsur pulih, walaupun masih sedih dengan kehilangan bayi mereka yg menginjak usia enam bulan. Zaka ingat beberapa kali berhubungan dengan Tara, meskipun sudah pernah melahirkan, tapi Zaka sebagai lelaki akui, bahwa Tara dapat merawat tubuhnya dengan baik, meskipun Tara tidak berkulit putih seperti Mei, tapi melihat Tara rebahan saja sudah membuat Zaka menegang. Saat ini saja dadanya berdesir, bila ingat masa-masa mencumbu Tara. Apakah Tara hamil ya? Beep..beep.. Pesan singkat berbunyi, Zaka melihat pengirimnya Sayangku. Pastilah itu Mei. "Mas, aku di resto kantor kamu. Kita makan yuk, ada yang mau aku bicarakan." "Oke, tunggu sebentar ya, Sayang." Zaka memasukkan ponsel ke dalam sakunya. Dan bergegas ke
Empat puluh hari setelah kepergian Pak Danu, kini Tara sudah mulai bisa menerima keadaan, hidup harus terus berlanjut. Anak-anaknya masih kecil, sangat butuh perhatian dan kasih sayang Tara.Untungnya ada Paman Erik yang selalu siap siaga membantu Tara dalam mengurus rumah dan juga anak-anaknya. Lelali setengah baya itu, bahkan bekerja lebih keras di kebun sawit milik Pak Lurah. Di hari sabtu dan minggu Paman Erik juga bekerja paruh waktu di kebun karet milik juragan Parto. Walaupun hanya sampai jam dua belas siang, sisanya Erik membantu Tara mengerjakan pekerjaan rumah, atau sekedar bermain bersama Fia dan Yusuf. Karena saat ini hanya lelaki itu yang menjadi tulang punggung.Pernah beberapa kali Tara mengusulkan agar ia bekerja saja. Untuk membantu Erik mencukupi kebutuhan hidup mereka, namun dengan tegas Erik menolak. Cukup ia saja yang mencari nafkah, tugas Tara hanya mengurus anak-anak dan rumah.Tara sebenarnya kasian pada Erik, apalagi se
Tara kini sudah dirias begitu cantik, gaun putih pernikahan ala tuan puteri menempel begitu anggun di tubuhnya. Make up flawless menambah pesona yang terpancar dari wajah Tara. Meskipun tetap memakai hijab penutup rambutnya. Ya, hari ini, beberapa jam lagi. Ia akan melangsungkan pernikahan yang keempat kalinya. Duh, malu sebenarnya. Tapi apalah daya, pesta mewah dan megah ini, Zaka persembahkan untuk dirinya. Dengan alasan, Zaka ingin menebus semua kesalahan fatalnya saat dahulu kala.Tara tersenyum memperhatikan wajahnya terang bercahaya di depan cermin. Pangling sih, seperti bukan dirinya. Jujur, inilah pertama kali Tara melangsungkan pesta pernikahan dengan mewah. Pernikahan pertamanya dengan Rahman, berlangsung sederhana di kampung. Pernikahan kedua dengan Zaka pun berlangsung sederhana, karena hanya ijab qabul, tanpa buku nikah. Begitu pun dengan Erik, hanya sukuran saja memanggil tetangga terdekat, dan ia mendapat buku nikah setelahnya."Calon pengantin melamun t
Zaka membawa Abiyah ke rumahnya, sebelum mengantarnya ke Benhil. Tentu saja di sana sudah ada anak-anaknya yang heboh dengan kedatangan Zaka dengan seorang wanita bule yang sangat cantik. Bahkan Bu Erika tersenyum sangat lebar, ia berpikir sudah saatnya anaknya, Zaka. Membuka pintu hati untuk wanita lain.Abiyah diterima dengan baik dan ramah. Bahkan diminta untuk menginap di rumah Bu Erika, "menginap di sini saja, besok baru ke Benhil diantar Zaka, bagaimana?" tawar Bu Erika pada Abiyah."Aduh, Bu. Saya jadi merepotkan, ga papa saya langsung ke Benhil saja," sahutnya sungkan. Apalagi kini dikelilingi oleh anak-anak Zaka yang menurut Abiyah sangat lucu."Menginap di sini saja, Abiyah. Nanti biar Om bicara pada bos kamu," sela Pak Aditya yang baru saja keluar kamar. Abiyah hanya bisa mengangguk malu-malu, tidak mungkin dibantah, jika yang meminta adalah Pak Aditya Darman, relasi perusahaannya yang sudah terjalin sejak enam tahun yang lalu, bahkan sebelum Abiyah b
"Pak Zaka belum menikah?" tanya Abiyah serius."Saya pernah menikah dan punya anak. Tetapi saat ini saya sendiri."Abiyah mengangguk sambil membulatkan mulutnya, membentuk huruf O."Bapak... mau tidak, menikah dengan saya?""Apa?!"Kedua bola mata Zaka melotot lebar, seakan baru saja ditanya oleh malaikat. Mau mati sekarang tidak?"He he, becanda, Pak," sambungnya lagi sambil tertawa kecil."Oh iya, Pak. Saya mau ke Jakarta lho. Mau ke rumah sepupu saya. Setelah itu, saya mau ke Padang, bertemu Atok saya. Sudah dua tahun saya tidak pulang ke sana," terang Abiyah sambil meminum jus jeruknya."Oh iya, Jakartanya di mana?" tanya Zaka."Di Benhil, Pak. Jauh ya dari rumah Bapak?""Lumayan sih.""Pulang bareng yuk, Pak. Sekalian Bapak jadi guide saya," ujar Abiyah sambil menyeringai."Mmm ... saya tidak janji bisa mengantar kamu ke Benhil, tapi kalau kebetulan saya tidak ada pekerjaan, saya bisa," uj
Tiga hari sudah berlalu sejak Zaka dipaksa pulang dalam keadaan sakit oleh Tara. Sejak saat itu juga Zaka menghilang bagai ditelan bumi. Tiada kabar berita, tiada pesan WA atau telepon kepada anak-anak. Tara mencoba tak peduli, memang seharusnya Zaka tidak terlalu sering mengunjunginya atau berkirim pesan padanya, karena bakalan sama saja respon yang ia dapat. Tara melirik sekilas ponselnya yang sama sekali sepi tiga hari ini.Dengan langkah sedikit malas, ia memilih pergi ke dapur untuk membuatkan cemilan telur gabus pesanan anak-anaknya."Duh, Papa Zaka ke mana sih? Susah nih PR-nya!" rengek Kinan keluar dari kamar sambil membawa buku.Tara menoleh lalu menghampiri Kinan di ruang TV. "Mana sini, coba Mama lihat!" tawar Tara yang sudah duduk di samping Kinan. Anak SD itu memberikan buku paket sekolah serta satu buku tulis pada Tara."Susah, Ma. Pasti cuma Papa Zaka doang yang jago hitungan begitu," puji Kinan dengan wajah cemberut. Tara masih membo
Setelah bujuk rayu penuh air mata, akhirnya Tara mau ikut menemani anak-anaknya bermain di area Ancol, tepatnya di Dufan. Sebelumnya mereka sudah terlebih dahulu mampir di pantai, mengambil beberapa foto di sana. Tentu saja hal itu membuat Zaka semakin bersemangat. Tak lepas matanya memandang Tara, dalam hati ia berdoa, semoga Allah segera membukakan pintu hati Tara, agar mau menerima cinta tulusnya.Fia dan Zaka mengantre membeli tiket. Sedangkan yang lainnya tengah duduk di kursi tunggu yang tersedia tidak jauh dari loket pembelian tiket. Setelah mendapatkan tiket terusan tersebut, Zaka menggiring anak-anak masuk ke dalam area Dufan. Yusuf, Fia, dan Kinan begitu antusias. Mereka berlarian ke sana-kemari, sambil memilih permainan apa yang akan mereka coba terlebih dahulu. Mulai dari wahana 'Gajah Bledug, Kereta Misteri, Alap-alap, New Ontang-anting, Kolibri, Istana Boneka, Kora-kora, Arung Jeram, dan yang terakhir Niagara-gara.Anak-anak begitu senang saat
Fia sudah lebih dahulu sampai di rumah. Anak gadis Tara itu sudah tumbuh menjadi gadis cantik dan lincah. Fia sudah duduk di bangku kelas satu SMA. Sedangkan Yusuf duduk di kelas satu SMP, dan Kinan atau Kinasih duduk di kelas enam SD."Yusuf ke mana, Ma?" tanya Fia saat tak melihat Yusuf di kamarnya."Lagi sholat sama Papa Zaka di masjid," sahut Kinan yang baru saja selesai sholat magrib di kamarnya.Mulut Fia membulat, membentuk huruf O, diikuti anggukan."Eh, itu dia pulang." Tunjuk Kinan saat pintu terbuka."Assalamualaykum," ucap Zaka dqn Yusuf bersamaan."Wa'alaykumussalam," jawab Kinan dan Fia juga. Sedangkan Tara yang sedang menata meja makan, menyahut dengan sangat pelan."Fia sudah pulang?" tanya Zaka pada Fia."Sudah, Pa. Baru aja. Papa bawa apa?" tanya Fia menatap antusias dua bungkusan yamg ada di tangan Papa Zaka."Sate dan es buah," jawab Zaka sambil mengangkat dua bungkusan itu bergantian."Y
Sore hari, awan tampak beriak menghias langit nan biru. Satu dua kicau burung masih terdengar sahdu mengisi ruang sore sehingga tak terlalu sepi. Yah, Tara kesepian, benar-benar kesepian semenjak suaminya Erik meninggal dunia tiga tahun lalu. Tak ada lagi tawa dan haru yang mengisi hatinya. Walaupun ada anak-anak yang selalu membuat suasana rumah selalu ramai, tapi tidak dengan hatinya yang selalu merasa sepi."Assalamua'laykum," seru seorang lelaki dewasa tepat di depan wajahnya. Tara terlonjak kaget, bahkan kursi yang ia duduki berdecit karena beban tubuh Tara yang bergeser di sana."Wa'alaykumussalam," jawabnya tak acuh sambil membuang pandangan. Benar-benar mantan paling menyebalkan."Sore-sore ga boleh bengong, Ra. Ntar cepat tua," ledek Zaka pada Tara yang selalu berwajah masam di depannya."Duduk, Mas. Ada perlu apa?"Zaka mendudukan bokongnya di kursi kayu, persis di seberang Tara. "Mm... anak-anak ke mana?" tanya Zaka sambil tersenyu
Sudah dua tahun sejak kepergian Erik, Tara masih saja diliputi kesedihan mendalam. Ia yang biasanya ceria, berubah menjadi lebih banyak diam. Namun ia berusaha tegar di depan ketiga anaknya. Setiap pekan, Tara pasti berziarah ke makam Erik bersama ketiga anaknya.Semua keluarga Erik bahkan sangat terpukul, terutama Pak Aditya dan Bu Erika. Mereka tidak menyangka kalau ternyata Erik memiliki penyakit jantung. Yah sejak kepergian Erik, Tara dan anak-anaknya kembali ke rumah Pak Aditya. Mereka tidak mau Tara dan anak-anak merasa kesepian. Jika di rumah Pak Aditya, ada Arle dan istrinya Laras, serta anak kembar mereka."Hari ini kamu masak apa, Ras?" tanya Tara ketika menghampiri Laras yang tengah asik di depan kompor."Eh, Mbak. Ini saya masak sayur opor tahu dan telur, pesanan Mas Arle," sahut Laras sambil tersenyum."Oh, si kembar ke mana?" tanyanya lagi."Itu ada sama Yusuf di depan, lagi diajarin main sepeda.""Yusuf pinter bang
Sepuluh tahun kemudianDi sebuah panti asuhan, tampak sepuluh anak berusia lima sampai sepuluh tahun, berlarian di dalam pekarangan. Mereka tertawa bersama, saat memainkan permainan petak umpet. Seorang wanita dewasa,berkerudung dengan senyum penuh cinta, memperhatikan anak-anak tersebut. Wanita itu duduk sambil menggendong bayi merah yang baru saja diletakkan seseorang di pelataran panti asuhan miliknya, dini hari. Ponselnya berdering dua kali, ia menoleh ke meja di sampingnya, tempat ponsel itu tergeletak.[Hallo Assalamualaikum.][Wa'alaykumusslam.]Suara jawaban di sana membuat wanita dewasa itu sedikit tercekat. Suara yang sepertinya tidak asing baginya.[Betul ini panti asuhan Cinta Ibu?][Iya betul sekali, Pak. Ada yang bisa saya bantu.][Ini saya dan istri saya mau mengadopsi bayi baru lahir kalau ada laki-laki.][Oh, begitu. Baiknya bapak datang langsung ke tempat saya, Pak.][Baik, Bu. Rencananya saya besok pag