"Bulu apa saja, Bu, bebas." "Maksudnya??" Umi Mae menatap bingung. "Pokoknya semua jenis bulu deh, Bu. Bulu ayam, bulu burung, bulu kucing dan bulu manusia." "Ngeri amat, pakai bulu manusia segala. Memangnya nanti mau diapain itu bulunya?" "Mau diproduksi, Bu. Dijadikan bulu mata palsu," jawab Tora asal. Segera, dia pun mengambil kartu namanya di dalam dompet, lalu memberikannya kepada Umi Mae. "Ini kartu nama saya. Mohon Ibu nanti hubungi saya kalau Yunus sudah pulang, ya? Kalau begitu saya permisi, assalamualaikum." "Tapi, Pak. Aku sepertinya ...." Ucapan Umi Mae belum selesai, tapi pria itu sudah keburu masuk ke dalam mobil. Jadilah dia meneruskan dengan menjawab salam, sembari memerhatikan kartu nama Tora. "Walaikum salam. Tapi kok ada yang aneh, ya??" *** "Habis ini kita mau ke mana, Dek? Apa kamu kepengen pergi ke suatu tempat?" tanya Ustad Yunus yang mulai mengemudikan mobilnya. "Langsung pulang aja, Mas. Aku kepengen main sama mereka," jawab
"Assalamualaikum, Umiiii!!" Yumna turun dari mobil, setibanya di rumah Ustad Yunus. Kemudian langsung berlari masuk ke dalam rumah sederhana itu karena kebetulan pintunya terbuka. Dia merasa sudah tak sabar ingin bertemu Umi Mae, karena sudah cukup lama tidak bertemu dan itu membuatnya rindu. "E-eh!" Umi Mae yang tengah menyapu lantai sontak terkejut, melihat kedatangan menantunya. Apalagi saat dia langsung memeluk tubuhnya. "Aku kangen Umi." "Umi juga kangen kamu, Nak." Umi Mae tersenyum lebar, lalu mencium kening menantunya. "Kamu baru sampai, ya?" "Iya." Yumna mengangguk. "Aku sama Mas Boy bawakan Umi oleh-oleh lho," katanya, saat melihat baru saja Ustad Yunus masuk ke dalam rumah dengan membawa tiga buah kardus berukuran sedang. "Waaahhh ... Apa itu, Nak? Kok banyak banget." Umi Mae tampak antusias dan senang melihatnya. Ustad Yunus meletakkan ketiga benda itu di atas meja, lalu mendekat ke arah Umi Mae dan mencium punggung tangannya. "Jajanan khas Karawang, Umi," jawabnya.
"Iiihh enggak deh, Pak, terima kasih," tolak Ustad Yunus dengan gelengan cepat, dia juga meringis geli.Kalau pun Ustad Yunus kekurangan uang, tapi dia tak akan mau menjual bulu kemaluannya. Karena menurutnya, itu sesuatu yang pribadi dan tidak perlu dipakai orang lain. Apalagi untuk aksesoris dimata."Kenapa enggak, Nus? Kan lumayan duitnya." Tora terlihat kecewa dengan tanggapan pria itu. Tapi sebisa mungkin dia mencoba merayunya kembali."Bukan masalah duitnya, Pak. Tapi bulu itu 'kan bisa dikatakan dengan aset. Bapak kira-kira aja ... masa iya, bulu bawah dipakai dimata? Mana mata perempuan lagi."Setahu Ustad Yunus, yang kerap kali memakai bulu mata palsu adalah kaum hawa. Jadi dia bisa menebak seperti itu."Ya memangnya kenapa kalau dipakai dimata, Nus? Lagian kalau pun nggak dijual ... bulu itu kalau sudah panjang pasti dicukur. Kan sama saja seperti dibuang, tapi ini bedanya jadi duit. Jadi lebih bermanfaat.""Ya mending dibuang aja sekalian, Pak," jawab Ustad Yunus yang tampa
"Eemmm itu ...." Sandi terdiam sebentar, mencoba berpikir untuk bisa mendapatkan alasan yang masuk akal dan mudah diterima oleh sang Mama. "Kebetulan, Pak Joe berencana mengajak keluarganya makan bareng di restoran, Ma. Jadi aku diminta untuk menyopirinya," tambah Sandi menjawab."Oohh ...." Sari mengangguk dan mencoba mempercayai meski tidak sepenuhnya. "Hampir setiap hari memangnya, ya, Pak Joe memintamu untuk menyopirinya makan di restoran?""Ya begitulah, Ma." Sandi mengangguk. "Namanya juga jadi sopir plus asisten ... jadi kapan pun dibutuhkan sama bos, aku harus selalu stand by.""Ya udah. Kamu hati-hati dijalan, ya?? Jangan pulang terlalu larut.""Iya, Ma. Mama tenang saja. Ya sudah ... assalamualaikum.""Walaikum salam."Sandi melangkah keluar dari rumah, diikuti oleh Sari sampai pria itu benar-benar pergi menggunakan mobilnya.Selang beberapa menit kepergian Sandi, Soni—Papanya Sandi datang dengan motornya. Kemudian mengucapkan salam."Assalamualaikum.""Walaikum salam, Pa," j
"Eemm ... kalau soal itu gimana ya, Dok ...?" Bunda Noni menggaruk puncak hijab di atas kepalanya. Bukan karena gatal, melainkan bingung dengan situasi ini."Kenapa, Bu?" tanya Dokter heran, seraya memerhatikan kegelisahan yang terpancar diwajah wanita di depannya. "Bukankah cara itu jauh lebih baik? Soalnya kata Naya ... Bang Yunus sendiri nggak mau menikahinya, kalau dia belum sembuh. Dan Naya sendiri selalu menyebut dirinya nggak sakit. Tapi memang kebanyakan orang yang terkena gangguan mental nggak akan mengakui jika dirinya gila, Bu."Perlahan, Bunda Noni membuang napasnya dengan kasar. "Cara itu memang baik, Dok. Tapi masalahnya ... Yunus yang dimaksud Naya itu bukan Yunus sebenarnya.""Maksudnya??" Dokter itu mengerutkan dahinya, bingung."Yang bersama Naya tadi namanya Sandi, bukan Yunus.""Apakah Sandi ini saudara kembar Bang Yunus, Bu?""Bukan." Bunda Noni menggeleng. "Dia keponakannya, Dok. Dan jujur ... dari segi wajah, mereka berdua nggak mirip sama sekali. Hanya saja aneh
Sandi sontak membelalakkan matanya saat bibir Naya menyentuh lembut bibirnya. Dia merasa terkesima sejenak, karena ini adalah pengalaman pertama baginya. Rasanya begitu intens dan membangkitkan perasaan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.Naya dengan sengaja memperlambat gerakannya, membuat momen ini semakin lama.Jantung Sandi berdegup kencang, wajahnya memerah karena kebingungan dan keterkejutan. Begitu menyadari apa yang terjadi, dia segera mendorong tubuh Naya untuk menjauh darinya dengan cepat."Astaghfirullahallazim!" serunya, beristighfar dalam kebingungan. Tanpa pamit, Sandi langsung berlari meninggalkan Naya.Sandi sebenarnya ingin marah pada Naya, tapi dia tidak bisa mengekspresikan emosinya. Satu-satunya pilihan yang dia miliki adalah pergi dari sana."Baaangg!" panggil Naya berusaha menyusul Sandi yang pergi begitu saja. Namun, dia kalah cepat karena pria itu sudah menghilang dari pandangannya."Cari siapa kamu, Nay?" tanya Bunda Noni yang baru saja datang, lalu menca
"Ada apa ini? Kok suara Dek Yumna sampai terdengar dari dalam kamar?" tanya Ustad Yunus yang datang memasuki dapur.Dia terlihat rapih dan tampan dengan menggenakan sarung, baju koko dan peci di atas kepalanya.Dua perempuan berbeda generasi itu langsung menoleh, lalu Umi Mae menjawab."Enggak ada apa-apa kok, Nus. Itu Umi tadinya ngasih saran buat Yumna yang mau pindahin ayam-ayamnya.""Saran apa, Umi?" tanya Ustad Yunus.Yumna segera menjawab. "Masa Umi bilang ... Cia dan Cio dimasukkan ke dalam sangkar, Mas. Terus digantungin di atas depan teras rumah. Udah kayak burung aja mereka. Kan mereka ayam."Yumna mengatakannya sambil memasang wajah cemberut dan itu sukses membuat Umi Mae terkekeh."Oohh gitu." Ustad Yunus mengangguk, lalu merangkul bahu Yumna."Umi 'kan tadinya cuma ngasih saran, Nus. Ya kalau nggak diambil juga nggak apa-apa," sahut Umi Mae menjelaskan. "Kalau mau taruh di dapur ya udah, tapi kayaknya mereka perlu kandang yang cukup luas, Nus. Karena 'kan namanya hewan...
"Lho, kenapa nggak mau??" Soni menatap heran, lalu menyentuh dahi sang anak. "Kamu ini masih normal nggak sih, San? Jangan bilang kamu udah nggak naksir cewek." "Aku masih normal lah, Pa!" Sandi dengan cepat menarik tangan Soni. Dia tampak tersinggung. "Papa ini aneh, aku 'kan pria tulen." "Tapi tongkatmu masih bisa berdiri, kan?" "Astaghfirullahallazim Papa ...." Sandi geleng-geleng kepala. Merasa tak habis pikir dengan pertanyaan vulgar dari Papanya. "Namanya pria normal ya pasti bisa berdiri lah, Pa." "Kalau masih bisa berdiri terus kenapa kamu nggak mau nikah? Umurmu udah kepala tiga lho, San. Apa kamu lupa, ya?? Kamu pikir kamu masih remaja gitu?" "Aku ingat kok sama umur sendiri, dan aku juga mau nikah, Pa," jawab Sandi. "Tapi 'kan Papa tau sendiri kalau aku belum punya calonnya." "Ya udah tau nggak punya calon, terus kenapa kamu nggak mau sama Najwa? Kamu ini cari perempuan yang kayak gimana sih sebenarnya, San?" "Aku nggak cari yang gimana-gimana, Pa. Yang terpenting buk
Yumna menahan rasa sakit dan mencoba menjelaskan, "Bukan, Umi. Ini bukan karena habis jatuh. Aku merasakan sakit perut yang luar biasa dan ada darah. Aku takut ada yang nggak beres dengan bayiku." Umi Mae merasa jantungnya berdebar kencang mendengar penjelasan Yumna. Dia segera memegang tangan Yumna dengan penuh kasih sayang. "Tenang, Nak. Kita akan segera sampai ke rumah sakit dan mereka akan merawatmu dengan baik. Semuanya akan baik-baik saja," Umi Mae mencoba memberikan dukungan dan ketenangan pada Yumna. Dalam perjalanan yang penuh kekhawatiran, Ustad Yunus mengemudikan mobil dengan hati-hati dan cepat. Dia berusaha tetap tenang dan fokus pada tujuan mereka, yaitu membawa Yumna ke rumah sakit dengan segera. Dalam hati, Ustad Yunus berdoa dengan penuh harap agar Yumna dan bayi mereka dalam keadaan yang aman. Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan selalu berada di samping Yumna, memberikan dukungan dan cinta yang tak terbatas. * * Sampai di rumah sakit, mereka
"Iya, Nay. Bunda malah punya buktinya kalau memang kamu nggak percaya," kata Bunda Noni dengan nada sedih. "Bukti aku memperk*sa Sandi, Bun?" "Iya." Bunda Noni merogoh tasnya dan mengeluarkan ponselnya. Dengan hati yang berat, dia membuka rekaman CCTV yang masih dia simpan. "Ini adalah rekaman CCTV digudang rumah sakit, Nay." "Gudang rumah sakit?" Naya menatap layar ponsel itu dengan campuran kecemasan dan penasaran. Rekaman dimulai dengan suasana yang biasa di dalam gudang rumah sakit. Namun, ketika adegan yang menggambarkan tindakan tidak senonoh yang dilakukan oleh Naya kepada Sandi muncul di layar, Naya merasa dunianya hancur. Tidak! Dia tidak bisa percaya apa yang dia lihat. Tidak mungkin dia melakukan hal semengerikan itu. Dia merasa mual dan ingin menolak kenyataan yang ada di hadapannya. Namun, bukti yang jelas dan tak terbantahkan memperkuat semua yang Bunda Noni katakan. Naya merasa terjebak dalam kebenaran yang tidak bisa dia pungkiri. "Menjijikkan, Bun! Itu menjijikk
Setelah mendengar penjelasan dari Soni, Yumna Akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah. Dalam lubuk hatinya yang terdalam, dia benar-benar merasa tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Soni. Namun, Yumna sendiri tak memiliki bukti yang kuat jika benar pria itu berbohong. Apalagi Ustad Yunus pun ikut meyakinkannya kalau semua ucapan sang kakak ipar adalah benar. Jadi mau tidak mau, mungkin Yumna akan mencoba untuk menerima meskipun hanya sepenuh hati. *** Di tempat berbeda. Setelah menghubungi pihak rumah sakit, Bunda Noni diminta untuk membawa Naya ke sana, supaya bisa diperiksa secara jelas tentang kondisinya. Sandi sendiri memilih tidak ikut bersama mereka, karena memang itu atas permintaan Bunda Noni. Dia tidak mau Naya histeris lagi dan berefek pada kondisi mentalnya. Bunda Noni ingin yang terbaik untuk anaknya, ingin melihatnya sembuh. Setelah setengah jam diperiksa dan berkonsultasi kepada Dokternya Naya, akhirnya dokter itu memiliki jawaban yang akan dijelaskanny
"Bunda ... Bunda kenapa bawa dia ke sini??" Naya terkejut melihat kedatangan Sandi bersama Bunda Noni. Dia merasa ketakutan dan dengan refleks, dia membanting pintu. Braakkk!! "Astaghfirullahallazim, Nay! Apa yang terjadi?" Bunda Noni bingung dengan kejadian tersebut. Dia mencoba membuka pintu, namun pintu itu sudah dikunci dari dalam. "Pria asing itu... kenapa Bunda membawanya ke sini? Seharusnya Bunda membawanya langsung ke kantor polisi!" Naya mengungkapkan kekhawatirannya. Mendengar perkataan Naya, Bunda Noni menoleh ke arah Sandi, dan keduanya saling memandang. "Apa jangan-jangan yang dimaksud pria asing itu kamu, San? Tapi kenapa?" Bunda Noni bertanya bingung. "Aku nggak tau, Bun." Sandi menggelengkan kepala, juga bingung. "Tapi masa Naya nggak mengenalku?" "Itu dia masalahnya, San." Bunda Noni menghela napas, lalu mengetuk pintu kamarnya. "Naya sayang... Pria asing yang kamu maksud bukanlah orang jahat, tapi dia adalah suamimu, Yunus." "Bunda, ini aneh. Bunda pikir aku n
Meski diawal Sandi tak menginginkan hal ini terjadi, dan sempat berusaha untuk menolak. Tapi pada akhirnya, sebagai pria normal, dia berhasil luluh.Hasrat itu muncul saat terus menerus digoda, Sandi tak kuasa untuk menahan.**Keesokan harinya.Setelah melalui malam panjang penuh gairah, dengan perlahan-lahan Naya membuka matanya lalu menatap sekeliling ruangan.Sorot matanya pun berhenti pada Sandi yang tertidur pulas dengan bertelanjang dada di sampingnya, dan sontak membuat Naya membulatkan matanya, merasa terkejut."Kamu siapa? Kenapa kamu ada dikamarku?!" teriaknya yang langsung beranjak dari tempat tidur. Namun, kembali dia merasa terkejut mana kala melihat tubuhnya sendiri polos tanpa busana. "Astaghfirullahallazim!!""Ada apa, Nay? Kenapa kamu berisik sekali?" Sandi membuka matanya yang terasa berat, lalu menguceknya beberapa kali sembari menatap Naya. Perempuan itu terlihat panik, dia langsung berlari keluar kamar sambil menarik selimut yang menutupi tubuh Sandi.Braakkkk!
"Eemmm ... mereka ada kok, Nak," jawab Umi Mae, tapi tampak ragu-ragu."Di mana, Umi?""Di rumah Mbaknya Yunus.""Maksud Umi di rumahnya Mbak Sari?""Iya, ada di sana.""Lho kok bisa mereka ada di sana? Memangnya mereka sempat kabur dari rumah, ya?""Bukan kabur dari rumah, tapi mereka sengaja Umi titipin. Karena 'kan waktu itu Yunus sakit, kamu nggak fokus sama mereka. Umi juga 'kan ikut nemenin kamu di rumah sakit," jelas Umi sedikit gugup."Oohh begitu. Syukurlah ...." Yumna merasa lega. "Aku sampai berpikir mereka digoreng sama Umi, buat dijadikan lauk.""Mana mungkin Umi tega seperti itu. Lagi pula mereka 'kan ayam-ayam kesayanganmu.""Umi benar. Terima kasih ya, Umi ...." Yumna langsung memeluk wanita tua itu dengan penuh kasih sayang. "Udah bantu ngurusin Cia dan Cio. Maaf juga, kalau aku sempat su'uzon bahwa Umi menggoreng mereka.""Enggak masalah, Nak. Umi mengerti kok, kekhawatiranmu." Umi Mae mengusap pipi Yumna dengan lembut dan tersenyum."Ya udah, sekarang aku mau pergi
"Nggak boleh su'uzon, Dek. Nanti kita pulang langsung tanya aja ke Umi. Biar kamu nggak kepikiran yang enggak-enggak." Ustad Yunus menasehati. "Iya, iya." Yumna mengangguk. Setelah selesai makan siang, mereka langsung mencari kue bakpia yang Yumna inginkan. Menyelusuri setiap toko dan akhirnya membeli satu kotak yang berisi 12 buah rasa keju. "Bagaimana rasanya? Enak?" tanya Ustad Yunus, saat melihat istrinya baru saja mengunyah satu bakpia di tangannya. Mereka berdua kini sudah masuk lagi di dalam mobil. "Enggak, Mas." Yumna menggeleng, lalu memberikan kotak bakpia kepada Ustad Yunus. "Masa sih nggak enak? Terus kenapa itu kamu telan?" Merasa penasaran, Ustad Yunus pun mencobanya satu. "Ya jelas aku telan, orang udah ada dimulut. Nanti kalau dibuang Mas bilang mubazir." "Ya kalau memang kamu nggak suka banget, nggak usah dipaksa, Dek. Nggak apa-apa. Tapi menurut saya sih ini enak." Ustad Yunus mengunyah sambil meneliti rasanya, sebelum akhirnya dia telan. "Enggak ah, kejunya a
"Ya udah, biar nanti aku pikirkan dulu sekalian meminta izin sama bos. Kalau begitu aku pamit, assalamualaikum." "Walaikum salam," jawab Bunda Noni dan Naya berbarengan. Menatap Sandi yang keluar dari kamar. "Bunda tinggal dulu sebentar ya, Sayang. Bunda mau—" "Tunggu dulu sebentar, Bun!" Naya langsung menyentuh tangan Bunda Noni yang baru saja mengelus pucuk rambutnya, hendak pergi. "Kenapa?" "Setauku ... Bang Yunus itu kerja jadi marbot masjid deh, Bun." "Memang iya, terus kenapa?" Bunda Noni menatap bingung. Tak mengerti maksud Naya. "Tadi Bang Yunus ngomong mau minta izin. Memangnya orang kerja di masjid itu ada bos yang mengawasi ya, Bun? Setauku enggak deh." Naya menggeleng dengan raut bingung. Agak membingungkan menurutnya, dengan apa yang Sandi ucapkan tadi. "Oohh ... mungkin maksud Yunus bos itu pemilik masjidnya." Bunda Noni seakan memiliki banyak ide, untuk bisa menjawab pertanyaan dari sang anak. "Iya ... jadi 'kan sama saja, dia perlu meminta izin, Nay." "Iya kali
Keesokan harinya.Di meja makan, Yumna, Ustad Yunus dan Umi Mae tengah menyantap nasi uduk.Wajah Yumna dan Ustad Yunus tampak segar sekali, Yumna juga begitu ceria hari ini seperti sedang bahagia."Mas mau nambah telor nggak? Biar aku ambilin," tawar Yumna dengan lembut menunjuk telor balado."Boleh, Dek." Ustad Yunus mengangguk, segera Yumna mengambilkan untuknya. "Terima kasih, ya, Dek.""Sama-sama Mas sayang," jawab Yumna. Perlahan, tangan Ustad Yunus terulur, lalu menyentuh pipinya dengan lembut dan mesra."Umi seneng deh, lihat kalian harmonis. Semoga seterusnya seperti ini, ya?" Melihat mereka berbahagia, tentulah Umi Mae ikut bahagia juga.Bahkan disetiap do'anya sehabis sholat, dia tak pernah absen untuk mendo'akan keutuhan rumah tangga Ustad Yunus dan Yumna, yang selalu diterpa banyak cobaan.Umi Mae yakin, cobaan itu pasti akan segera berlalu."Amin, Umi," sahut keduanya sembari tersenyum dengan saling memandang."Oh ya, Umi. Hari ini rencananya Mas Boy mau ngajakin aku cek