Kenapa nggak mau, Bang? Jangan bilang kasihan sama Naya š¤£š¤£
"Lho, kenapa nggak mau??" Soni menatap heran, lalu menyentuh dahi sang anak. "Kamu ini masih normal nggak sih, San? Jangan bilang kamu udah nggak naksir cewek." "Aku masih normal lah, Pa!" Sandi dengan cepat menarik tangan Soni. Dia tampak tersinggung. "Papa ini aneh, aku 'kan pria tulen." "Tapi tongkatmu masih bisa berdiri, kan?" "Astaghfirullahallazim Papa ...." Sandi geleng-geleng kepala. Merasa tak habis pikir dengan pertanyaan vulgar dari Papanya. "Namanya pria normal ya pasti bisa berdiri lah, Pa." "Kalau masih bisa berdiri terus kenapa kamu nggak mau nikah? Umurmu udah kepala tiga lho, San. Apa kamu lupa, ya?? Kamu pikir kamu masih remaja gitu?" "Aku ingat kok sama umur sendiri, dan aku juga mau nikah, Pa," jawab Sandi. "Tapi 'kan Papa tau sendiri kalau aku belum punya calonnya." "Ya udah tau nggak punya calon, terus kenapa kamu nggak mau sama Najwa? Kamu ini cari perempuan yang kayak gimana sih sebenarnya, San?" "Aku nggak cari yang gimana-gimana, Pa. Yang terpenting buk
"Lho, apa itu, Dok?" tanya Yumna heran. Dahinya berkerut."Apa Yumna hamil, Dok?" tanya Papi Yohan dengan wajah yang penuh kebahagiaan. Pipinya bahkan terlihat merona."Dengan senang hati saya mengabarkan bahwa benar, Pak," jawab dokter tersebut. "Nona Yumna sedang hamil dan usia kandungannya sudah memasuki 12 minggu.""12 minggu?!" Yumna terkejut dan membelalakkan matanya. Entah mengapa dia merasa terkejut mendengar itu, sedangkan Papi Yohan dan Ustad Yunus sendiri terlihat begitu bahagia. Sampai-sampai saat Ustad Yunus tengah sujud syukur, Papi Yohan pun mengikutinya."Alhamdulillah... terima kasih ya Allah. Terima kasih telah menitipkan buah cinta kami dalam rahim Dek Yumna. Aku sangat bahagia. Aku berjanji... akan selalu menjaga dan melindunginya," gumam Ustad Yunus dengan suara pelan, tapi cukup terdengar oleh Papi Yohan.Papi Yohan langsung memeluk Ustad Yunus dengan sukacita yang meluap-luap. Dia sangat bangga pada menantunya."Alhamdulillah, Boy. Papi sangat senang. Selamat jug
"Astaghfirullahallazim, Dek!!" Secepatnya, Ustad Yunus mendorong tubuh Yumna hingga ciuman yang cukup intens itu berhenti. "Istighfar, Dek. Kita berada di rumah sakit. Ada dokter dan Papi juga diluar yang menunggu kita.""Mas lebay ih. Orang istri cuma nyium kok disuruh istighfar? Memangnya aku kesambet?" Yumna tertawa. Melihat reaksi panik Ustad Yunus malah membuatnya merasa lucu. Segera, dia pun membuka pintu kamar mandi.Ceklek~"Bagaimana hasilnya? Jelas nggak garis duanya?" tanya Papi Yohan dengan penuh antusias."Jelas kok, Pi." Yumna mengangguk, lalu melangkah maju dan mengulurkan tangannya menunjuk benda yang dia pegang. Ustad Yunus yang berada di sampingnya langsung merangkul pinggang Yumna."Sekarang Nona sudah yakin 'kan, kalau memang Nona itu hamil? Dan ada kemungkinan bayi Nona itu kembar," kata Dokter memberitahu."Waahh ... serius, Dok? Cucuku ternyata kembar??" Papi Yohan menyeru dengan perasaan senang. Kedua matanya berbinar-binar."Baru kemungkinan, Pak. Soalnya masih
"Ih Papi ... apa hubungannya coba sama ngupil. Nggak nyambung," omel Yumna."Ya jelas ada hubungannya lah, Yum," balas Papi Yohan. "Bisa jadi si Sandi pas ngupil terlalu dalam sampai lubang hidungnya lecet. Kan itu bisa terjadi sampai akhirnya mimisan.""Benar itu, San. Kamu ngupil terlalu dalam?" tanya Ustad Yunus yang percaya dengan apa yang mertuanya katakan."Enggak, Om," bantah Sandi. "Ini sama sekali nggak ada hubungannya dengan ngupil.""Terus kok bisa sampai mimisan?" tanya Umi Mae."Aku sendiri nggak tau, Nek. Mangkanya aku periksa darah tadi. Tapi untungnya semuanya baik-baik saja. Dokter mengatakan semuanya normal dan aku sehat.""Syukurlah kalau baik-baik saja." Umi Mae menghela napas dengan lega. "Lain kali hati-hati kalau beraktivitas. Sering pakai masker juga kalau keluar rumah, takutnya itu karena efek debu, San.""Iya, Nek." Sandi mengangguk cepat. "Oh ya, terus Nenek, Om, Tante Yumna dan yang lain kenapa ada di rumah sakit? Siapa yang sakit?" tanya Sandi sembari menat
Meskipun Tora sudah berusaha keras untuk menolak, namun pada akhirnya dia tidak bisa menghindar. Dia dipaksa oleh Bunda Noni untuk pergi ke Banten."Kamu harus tunjukkan jalan yang benar, Tora. Jangan asal-asalan! Apalagi buat kita nyasar!" tegur Bunda Noni yang duduk di samping Tora, sementara Tora terlihat tertekan saat mengemudi.Dia yang merasa panik, berpikir bagaimana caranya agar Bunda Noni percaya. 'Ya ampun, apa yang harus aku lakukan? Aku perlu mencari cara agar Bu Noni yakin. Tapi caranya apa kira-kira?'***Sehabis pulang dari rumah sakit dan mampir ke supermarket untuk membeli susu ibu hamil, Ustad Yunus pun meminta Papi Yohan untuk menurunkannya di masjid. Karena seperti biasa, dia harus bekerja."Padahal aku 'kan sekarang lagi hamil, Mas," kata Yumna dengan sedih, saat melihat suaminya turun dari mobil."Memangnya kenapa, Dek?" Ustad Yunus mengerutkan keningnya bingung."Ya harusnya Mas temani aku di rumah lah. Libur dulu jangan kerja.""Saya kerja juga nggak akan sehari
Beberapa menit kemudian, Ustad Yunus dengan perlahan membuka matanya. Dia mencoba menyesuaikan pandangannya dengan menatap sekeliling, namun apa yang dia lihat membuatnya terkejut."Kenapa aku berada di sini, di dalam toilet? Dan bagaimana bisa aku berbaring di lantai seperti ini?" Ustad Yunus tampak bingung, mendapati dirinya tengah berbaring di lantai toilet yang basah dan dingin, membuat pakaian yang dikenakannya ikut basah dan dingin juga.Dengan perlahan, dia berusaha bangkit dan berdiri, merasakan kepalanya yang berat seolah-olah dipenuhi dengan beban.Langkah-langkahnya yang goyah mencoba membawanya keluar dari toilet tersebut, sementara pikirannya mencoba memutar balik kenangan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi."Apa aku kepeleset? Tapi rasanya nggak mungkin. Dan seingatku, aku belum masuk ke toilet hari ini. Lalu, kenapa..." Ucapan Ustad Yunus tiba-tiba terhenti, ketika dia teringat akan suatu peristiwa.Dia ingat sedang membersihkan kain lap di tempat pengambila
Lantaran panik yang menyelimuti hatinya, Yumna merasa tak ada pilihan lain selain membawa Ustad Yunus ke rumah sakit, dengan harapan mendapatkan pertolongan secepatnya. Dalam perjalanan yang penuh kekhawatiran itu, Yumna ditemani oleh sosok yang selalu menjadi penopang dalam setiap suka maupun duka, yakni Papi Yohan.Pria tersebut, dengan kecepatan dan ketangkasan yang luar biasa, layaknya kilat yang membelah langit gelap. Begitu menerima kabar dari Yumna bahwa menantunya tengah dilanda demam, dengan sigap dia langsung beraksi. Tanpa membuang sedikit pun waktu, Papi Yohan segera datang untuk memberikan pertolongan.Dengan raut wajah yang dipenuhi kecemasan, Yumna menatap suaminya yang terbaring lemah di atas ranjang pemeriksaan. Cahaya lampu ruangan itu seolah menambah kesan dramatis pada situasi yang mereka hadapi."Sakit apa suamiku, Dok?" Suara Yumna bergetar, mencerminkan kekhawatiran yang mendalam, sambil memerhatikan seorang dokter pria yang dengan teliti memeriksa kondisi suam
Mbah Ratu segera menenangkan Ayah Cakra. "Tenanglah, Cakra. Aku ini dukun santet, bukan dukun cabul. Jadi kamu nggak perlu khawatir. Aku hanya berusaha menyembuhkanmu. Karena sejak kemarin-kemarin kamu hampir mati!""Mati?!" Ayah Cakra terperanjat dan tubuhnya seketika membeku. Dia menatap Mbah Ratu dengan raut tidak percaya. "Serius, Mbah?""Iya." Mbah Ratu mengangguk cepat. "Kataku juga kamu minum air dariku dengan cepat. Tapi kamu malah banyak tanya, alhasil racun ular itu mulai menyebar keseluruhan tubuhmu."Mendengar kata 'ular' Ayah Cakra seketika mengingat momen sebelumnya terjadi. Tapi, ada kebingungan di dalam hatinya."Tapi, Mbah. Kok bisa aku terkena racun ular? Kan aku nggak digigit ular.""Racun ular itu berasal dari ular yang aku kirimkan untuk Yunus. Karena ular itu mati, sebelum mematuk Yunus dan memberikan racun pelet ... jadi racun itu akan berbalik ke orang yang mengirimkan," jelas Mbah Ratu."Kok bisa ular itu mati?""Istrinya yang membunuh.""Ah kurang ajar sekali
Yumna menahan rasa sakit dan mencoba menjelaskan, "Bukan, Umi. Ini bukan karena habis jatuh. Aku merasakan sakit perut yang luar biasa dan ada darah. Aku takut ada yang nggak beres dengan bayiku." Umi Mae merasa jantungnya berdebar kencang mendengar penjelasan Yumna. Dia segera memegang tangan Yumna dengan penuh kasih sayang. "Tenang, Nak. Kita akan segera sampai ke rumah sakit dan mereka akan merawatmu dengan baik. Semuanya akan baik-baik saja," Umi Mae mencoba memberikan dukungan dan ketenangan pada Yumna. Dalam perjalanan yang penuh kekhawatiran, Ustad Yunus mengemudikan mobil dengan hati-hati dan cepat. Dia berusaha tetap tenang dan fokus pada tujuan mereka, yaitu membawa Yumna ke rumah sakit dengan segera. Dalam hati, Ustad Yunus berdoa dengan penuh harap agar Yumna dan bayi mereka dalam keadaan yang aman. Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan selalu berada di samping Yumna, memberikan dukungan dan cinta yang tak terbatas. * * Sampai di rumah sakit, mereka
"Iya, Nay. Bunda malah punya buktinya kalau memang kamu nggak percaya," kata Bunda Noni dengan nada sedih. "Bukti aku memperk*sa Sandi, Bun?" "Iya." Bunda Noni merogoh tasnya dan mengeluarkan ponselnya. Dengan hati yang berat, dia membuka rekaman CCTV yang masih dia simpan. "Ini adalah rekaman CCTV digudang rumah sakit, Nay." "Gudang rumah sakit?" Naya menatap layar ponsel itu dengan campuran kecemasan dan penasaran. Rekaman dimulai dengan suasana yang biasa di dalam gudang rumah sakit. Namun, ketika adegan yang menggambarkan tindakan tidak senonoh yang dilakukan oleh Naya kepada Sandi muncul di layar, Naya merasa dunianya hancur. Tidak! Dia tidak bisa percaya apa yang dia lihat. Tidak mungkin dia melakukan hal semengerikan itu. Dia merasa mual dan ingin menolak kenyataan yang ada di hadapannya. Namun, bukti yang jelas dan tak terbantahkan memperkuat semua yang Bunda Noni katakan. Naya merasa terjebak dalam kebenaran yang tidak bisa dia pungkiri. "Menjijikkan, Bun! Itu menjijikk
Setelah mendengar penjelasan dari Soni, Yumna Akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah. Dalam lubuk hatinya yang terdalam, dia benar-benar merasa tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Soni. Namun, Yumna sendiri tak memiliki bukti yang kuat jika benar pria itu berbohong. Apalagi Ustad Yunus pun ikut meyakinkannya kalau semua ucapan sang kakak ipar adalah benar. Jadi mau tidak mau, mungkin Yumna akan mencoba untuk menerima meskipun hanya sepenuh hati. *** Di tempat berbeda. Setelah menghubungi pihak rumah sakit, Bunda Noni diminta untuk membawa Naya ke sana, supaya bisa diperiksa secara jelas tentang kondisinya. Sandi sendiri memilih tidak ikut bersama mereka, karena memang itu atas permintaan Bunda Noni. Dia tidak mau Naya histeris lagi dan berefek pada kondisi mentalnya. Bunda Noni ingin yang terbaik untuk anaknya, ingin melihatnya sembuh. Setelah setengah jam diperiksa dan berkonsultasi kepada Dokternya Naya, akhirnya dokter itu memiliki jawaban yang akan dijelaskanny
"Bunda ... Bunda kenapa bawa dia ke sini??" Naya terkejut melihat kedatangan Sandi bersama Bunda Noni. Dia merasa ketakutan dan dengan refleks, dia membanting pintu. Braakkk!! "Astaghfirullahallazim, Nay! Apa yang terjadi?" Bunda Noni bingung dengan kejadian tersebut. Dia mencoba membuka pintu, namun pintu itu sudah dikunci dari dalam. "Pria asing itu... kenapa Bunda membawanya ke sini? Seharusnya Bunda membawanya langsung ke kantor polisi!" Naya mengungkapkan kekhawatirannya. Mendengar perkataan Naya, Bunda Noni menoleh ke arah Sandi, dan keduanya saling memandang. "Apa jangan-jangan yang dimaksud pria asing itu kamu, San? Tapi kenapa?" Bunda Noni bertanya bingung. "Aku nggak tau, Bun." Sandi menggelengkan kepala, juga bingung. "Tapi masa Naya nggak mengenalku?" "Itu dia masalahnya, San." Bunda Noni menghela napas, lalu mengetuk pintu kamarnya. "Naya sayang... Pria asing yang kamu maksud bukanlah orang jahat, tapi dia adalah suamimu, Yunus." "Bunda, ini aneh. Bunda pikir aku n
Meski diawal Sandi tak menginginkan hal ini terjadi, dan sempat berusaha untuk menolak. Tapi pada akhirnya, sebagai pria normal, dia berhasil luluh.Hasrat itu muncul saat terus menerus digoda, Sandi tak kuasa untuk menahan.**Keesokan harinya.Setelah melalui malam panjang penuh gairah, dengan perlahan-lahan Naya membuka matanya lalu menatap sekeliling ruangan.Sorot matanya pun berhenti pada Sandi yang tertidur pulas dengan bertelanjang dada di sampingnya, dan sontak membuat Naya membulatkan matanya, merasa terkejut."Kamu siapa? Kenapa kamu ada dikamarku?!" teriaknya yang langsung beranjak dari tempat tidur. Namun, kembali dia merasa terkejut mana kala melihat tubuhnya sendiri polos tanpa busana. "Astaghfirullahallazim!!""Ada apa, Nay? Kenapa kamu berisik sekali?" Sandi membuka matanya yang terasa berat, lalu menguceknya beberapa kali sembari menatap Naya. Perempuan itu terlihat panik, dia langsung berlari keluar kamar sambil menarik selimut yang menutupi tubuh Sandi.Braakkkk!
"Eemmm ... mereka ada kok, Nak," jawab Umi Mae, tapi tampak ragu-ragu."Di mana, Umi?""Di rumah Mbaknya Yunus.""Maksud Umi di rumahnya Mbak Sari?""Iya, ada di sana.""Lho kok bisa mereka ada di sana? Memangnya mereka sempat kabur dari rumah, ya?""Bukan kabur dari rumah, tapi mereka sengaja Umi titipin. Karena 'kan waktu itu Yunus sakit, kamu nggak fokus sama mereka. Umi juga 'kan ikut nemenin kamu di rumah sakit," jelas Umi sedikit gugup."Oohh begitu. Syukurlah ...." Yumna merasa lega. "Aku sampai berpikir mereka digoreng sama Umi, buat dijadikan lauk.""Mana mungkin Umi tega seperti itu. Lagi pula mereka 'kan ayam-ayam kesayanganmu.""Umi benar. Terima kasih ya, Umi ...." Yumna langsung memeluk wanita tua itu dengan penuh kasih sayang. "Udah bantu ngurusin Cia dan Cio. Maaf juga, kalau aku sempat su'uzon bahwa Umi menggoreng mereka.""Enggak masalah, Nak. Umi mengerti kok, kekhawatiranmu." Umi Mae mengusap pipi Yumna dengan lembut dan tersenyum."Ya udah, sekarang aku mau pergi
"Nggak boleh su'uzon, Dek. Nanti kita pulang langsung tanya aja ke Umi. Biar kamu nggak kepikiran yang enggak-enggak." Ustad Yunus menasehati. "Iya, iya." Yumna mengangguk. Setelah selesai makan siang, mereka langsung mencari kue bakpia yang Yumna inginkan. Menyelusuri setiap toko dan akhirnya membeli satu kotak yang berisi 12 buah rasa keju. "Bagaimana rasanya? Enak?" tanya Ustad Yunus, saat melihat istrinya baru saja mengunyah satu bakpia di tangannya. Mereka berdua kini sudah masuk lagi di dalam mobil. "Enggak, Mas." Yumna menggeleng, lalu memberikan kotak bakpia kepada Ustad Yunus. "Masa sih nggak enak? Terus kenapa itu kamu telan?" Merasa penasaran, Ustad Yunus pun mencobanya satu. "Ya jelas aku telan, orang udah ada dimulut. Nanti kalau dibuang Mas bilang mubazir." "Ya kalau memang kamu nggak suka banget, nggak usah dipaksa, Dek. Nggak apa-apa. Tapi menurut saya sih ini enak." Ustad Yunus mengunyah sambil meneliti rasanya, sebelum akhirnya dia telan. "Enggak ah, kejunya a
"Ya udah, biar nanti aku pikirkan dulu sekalian meminta izin sama bos. Kalau begitu aku pamit, assalamualaikum." "Walaikum salam," jawab Bunda Noni dan Naya berbarengan. Menatap Sandi yang keluar dari kamar. "Bunda tinggal dulu sebentar ya, Sayang. Bunda mauā" "Tunggu dulu sebentar, Bun!" Naya langsung menyentuh tangan Bunda Noni yang baru saja mengelus pucuk rambutnya, hendak pergi. "Kenapa?" "Setauku ... Bang Yunus itu kerja jadi marbot masjid deh, Bun." "Memang iya, terus kenapa?" Bunda Noni menatap bingung. Tak mengerti maksud Naya. "Tadi Bang Yunus ngomong mau minta izin. Memangnya orang kerja di masjid itu ada bos yang mengawasi ya, Bun? Setauku enggak deh." Naya menggeleng dengan raut bingung. Agak membingungkan menurutnya, dengan apa yang Sandi ucapkan tadi. "Oohh ... mungkin maksud Yunus bos itu pemilik masjidnya." Bunda Noni seakan memiliki banyak ide, untuk bisa menjawab pertanyaan dari sang anak. "Iya ... jadi 'kan sama saja, dia perlu meminta izin, Nay." "Iya kali
Keesokan harinya.Di meja makan, Yumna, Ustad Yunus dan Umi Mae tengah menyantap nasi uduk.Wajah Yumna dan Ustad Yunus tampak segar sekali, Yumna juga begitu ceria hari ini seperti sedang bahagia."Mas mau nambah telor nggak? Biar aku ambilin," tawar Yumna dengan lembut menunjuk telor balado."Boleh, Dek." Ustad Yunus mengangguk, segera Yumna mengambilkan untuknya. "Terima kasih, ya, Dek.""Sama-sama Mas sayang," jawab Yumna. Perlahan, tangan Ustad Yunus terulur, lalu menyentuh pipinya dengan lembut dan mesra."Umi seneng deh, lihat kalian harmonis. Semoga seterusnya seperti ini, ya?" Melihat mereka berbahagia, tentulah Umi Mae ikut bahagia juga.Bahkan disetiap do'anya sehabis sholat, dia tak pernah absen untuk mendo'akan keutuhan rumah tangga Ustad Yunus dan Yumna, yang selalu diterpa banyak cobaan.Umi Mae yakin, cobaan itu pasti akan segera berlalu."Amin, Umi," sahut keduanya sembari tersenyum dengan saling memandang."Oh ya, Umi. Hari ini rencananya Mas Boy mau ngajakin aku cek