Lantaran panik yang menyelimuti hatinya, Yumna merasa tak ada pilihan lain selain membawa Ustad Yunus ke rumah sakit, dengan harapan mendapatkan pertolongan secepatnya. Dalam perjalanan yang penuh kekhawatiran itu, Yumna ditemani oleh sosok yang selalu menjadi penopang dalam setiap suka maupun duka, yakni Papi Yohan.Pria tersebut, dengan kecepatan dan ketangkasan yang luar biasa, layaknya kilat yang membelah langit gelap. Begitu menerima kabar dari Yumna bahwa menantunya tengah dilanda demam, dengan sigap dia langsung beraksi. Tanpa membuang sedikit pun waktu, Papi Yohan segera datang untuk memberikan pertolongan.Dengan raut wajah yang dipenuhi kecemasan, Yumna menatap suaminya yang terbaring lemah di atas ranjang pemeriksaan. Cahaya lampu ruangan itu seolah menambah kesan dramatis pada situasi yang mereka hadapi."Sakit apa suamiku, Dok?" Suara Yumna bergetar, mencerminkan kekhawatiran yang mendalam, sambil memerhatikan seorang dokter pria yang dengan teliti memeriksa kondisi suam
Mbah Ratu segera menenangkan Ayah Cakra. "Tenanglah, Cakra. Aku ini dukun santet, bukan dukun cabul. Jadi kamu nggak perlu khawatir. Aku hanya berusaha menyembuhkanmu. Karena sejak kemarin-kemarin kamu hampir mati!""Mati?!" Ayah Cakra terperanjat dan tubuhnya seketika membeku. Dia menatap Mbah Ratu dengan raut tidak percaya. "Serius, Mbah?""Iya." Mbah Ratu mengangguk cepat. "Kataku juga kamu minum air dariku dengan cepat. Tapi kamu malah banyak tanya, alhasil racun ular itu mulai menyebar keseluruhan tubuhmu."Mendengar kata 'ular' Ayah Cakra seketika mengingat momen sebelumnya terjadi. Tapi, ada kebingungan di dalam hatinya."Tapi, Mbah. Kok bisa aku terkena racun ular? Kan aku nggak digigit ular.""Racun ular itu berasal dari ular yang aku kirimkan untuk Yunus. Karena ular itu mati, sebelum mematuk Yunus dan memberikan racun pelet ... jadi racun itu akan berbalik ke orang yang mengirimkan," jelas Mbah Ratu."Kok bisa ular itu mati?""Istrinya yang membunuh.""Ah kurang ajar sekali
Setelah menyelesaikan doanya, Yumna merasakan sedikit kelegaan hati yang mendalam.Beban yang sejak tadi membebani hatinya, perlahan mulai terangkat, seolah-olah ada tangan tak kasat mata yang mengangkatnya. Dengan langkah yang lebih ringan, namun tetap diliputi kekhawatiran yang berkecamuk dalam dada, dia kembali ke kamar rawat Ustad Yunus, siap menghadapi apapun yang akan terjadi dengan kekuatan cinta dan do'a yang tak pernah padam, berharap mukjizat akan terjadi.Setibanya dia di sana, Yumna dikejutkan oleh Umi Mae yang tengah menangis di dekat ranjang dimana Ustad Yunus berada, suara tangisannya mengiris hati.'Apa yang terjadi?' Itulah yang ada dalam benaknya, pertanyaan itu bergema, mencari jawaban.Bergegas, Yumna yang bersama Papi Yohan menghampiri wanita itu, langkah mereka penuh kehati-hatian. Kemudian menatap ke arah Ustad Yunus yang masih memejamkan mata, tubuhnya tampak begitu renta dan rapuh."Umi ... Umi kenapa nangis? Ada apa?" tanya Yumna dengan lembut, suaranya berget
"Naya ...," lirih Ustad Yunus."Setelah ini, kamu akan terbangun, Mas. Dan akan kupastikan nama itu enyah dalam pikiranmu," gumam Yumna dengan tekad yang kuat. Secara cepat, dia pun langsung menyambar bibir suaminya. Memberinya ciuman yang mesra dan begitu dalam.Suhu tubuh Ustad Yunus masih terasa begitu tinggi. Tapi Yumna akan mencoba untuk mendinginkannya. Dia yakin, dia bisa.Meskipun tak ada respon, tapi Yumna tetap berusaha. Bahkan kini tangannya sudah merogoh ke dalam celana suaminya dan menyentuh suatu benda yang panjang namun terasa lembek.Ajaibnya, saat baru saja dielus, benda itu justru langsung tegak berdiri. Membuat Yumna terkejut.'Kok bisa, tongkatnya Mas Boy langsung bangun pas aku pegang? Sedangkan orangnya masih mimpi?' batin Yumna yang masih terus melancarkan aksinya. Berharap dia akan berhasil membangunkan Ustad Yunus dan tentunya itu akan membuatnya berhenti memanggil nama Naya.Setelah puas menciumi suaminya dari bibir hingga leher, Yumna akhirnya mulai membuka
"Saya bertemu Naya di masjid, Dek. Dia datang menemui saya, tapi bawa-bawa pisau sambil nangis," jawab Ustad Yunus sembari mengingat-ingat."Kenapa dia bawa pisau sambil nangis? Apa perempuan gatal itu habis motong bawang?" tebak Yumna."Dia nangis karena minta saya menikahinya, terus saya tolak. Tapi dia malah mengancam ingin bunuh diri, Dek, dengan pisau itu. Saya jadi khawatir... apakah Naya baik-baik saja? Soalnya dia sempat pergi pas saya coba untuk mencegahnya.""Ngapain Mas cegah? Kalau dia memang ingin bunuh diri ... ya biarkan saja. Lebih baik dia mati, daripada terus menerus menganggu hidup Mas!" Yumna merasa kesal dengan penjelasan suaminya, karena jelas bahwa pria itu masih peduli kepada Naya.Yang Yumna inginkan, pria itu tidak peduli. Apakah Naya hidup atau mati, sakit atau sehat, Ustad Yunus tidak peduli."Ya Allah, Dek. Kamu nggak boleh ngomong kayak gitu. Masa iya ... saya harus diam saja saat melihat ada orang yang mau bunuh diri? Nanti saya berdosa.""Tapi Mas sudah
"Assalamualaikum, Umi. Bagaimana kabar Yunus?"Suara itu menggema, mendadak menghentikan keheningan yang tadinya membungkus ruangan.Umi Mae dan Yumna, yang sedang serius berbicara, langsung menoleh, menatap dua sosok yang baru saja memasuki ruangan. Mereka adalah Soni dan Ustad Hamdan, yang tiba-tiba hadir seperti angin segar di tengah kepenatan.Soni, dengan tangan kanannya yang menenteng sebuah kantong berwarna merah, berisi dua rantang plastik segera menyerahkan apa yang dia bawa ke tangan Umi Mae."Walaikum salam, Son. Alhamdulillah... kamu dan Ustad Hamdan sudah sampai," jawab Umi Mae sambil tersenyum, saat melihat menantunya mencium punggung tangannya dengan penuh hormat."Si Yunus, apakah kondisinya semakin parah, Umi?" tanya Soni, suaranya bergetar, penuh kekhawatiran.Matanya menatap intens ke arah pintu kaca, memerhatikan sosok adik iparnya yang tengah terbengong, memandangi dokter yang sedang berbicara dengan kedua mertuanya, seperti mencari jawaban dari pertanyaan yang ta
"Ih, kok pakai undang dukun segala? Jangan ah, Pi! Serem!!" sahut Mami Soora tak setuju."Serem kenapa, Mi? Dia 'kan manusia juga seperti kita, bukan setan." Papi Yohan menjelaskan."Meskipun manusia juga tetap saja serem.""Maaf Pak Yohan," sela Ustad Hamdan berbicara dengan hati-hati. "Dukun itu aliran sesat, Pak. Percaya pada dukun sama saja seperti kita musyrik, menyekutukan Allah. Itu dosa besar, Pi.""Oohh benarkah Ustad?!" Papi Yohan sontak terkejut mendengar. "Maaf, kupikir nggak dosa. Karena aku mengira dukun itu seperti paranormal.""Beda, Pak. Dan sebaiknya dalam hal ini kita nggak perlu membawa-bawa dukun. Kita cukup meminta pertolongan kepada Allah saja karena hanya dialah yang dapat membantu kita.""Iya, Ustad." Papi Yohan mengangguk."Nanti sebelum tidur, minta Ustad Yunus untuk membaca surat Yasin dan do'a terhindar dari gangguan sihir, ya, Pak. Minta juga padanya untuk jangan lupa membaca dzikir, karena itu juga nggak kalah penting.""Memang ada, do'a terhindar dari s
Yumna terbelalak saat melihat apa yang dilakukan oleh suaminya. Namun, di balik kejutannya, dia merasakan kebahagiaan yang tak terbantahkan. Tanpa berpikir panjang, ciuman itu pun dia balas dengan penuh kehangatan.Ceklek~Tiba-tiba, pintu perlahan terbuka oleh Papi Yohan yang hendak masuk bersama Soni. Namun, mereka berdua sontak terkejut melihat pemandangan di dalam. Dengan terburu-buru, Papi Yohan segera menutup pintu kembali dan akhirnya mereka membatalkan niat mereka untuk masuk."Bisa-bisanya kita masuk disaat nggak tepat, Son?" ucap Papi Yohan dengan rasa malu yang menyelimuti dirinya. Padahal, seharusnya rasa malu itu dirasakan oleh pasangan yang ada di dalam."Iya, Pak. Tapi sepertinya mereka tadi nggak sadar kita masuk. Jadi aman lah, Pak." Soni memperhatikan mereka berdua melalui kaca pintu, terlihat jelas bahwa ciuman itu makin panas."Jangan dilihatin ah, Son! Nggak sopan!" Papi Yohan segera menarik tangan Soni dan membawanya duduk di kursi depan kamar itu. "Walau bagaiman
Yumna menahan rasa sakit dan mencoba menjelaskan, "Bukan, Umi. Ini bukan karena habis jatuh. Aku merasakan sakit perut yang luar biasa dan ada darah. Aku takut ada yang nggak beres dengan bayiku." Umi Mae merasa jantungnya berdebar kencang mendengar penjelasan Yumna. Dia segera memegang tangan Yumna dengan penuh kasih sayang. "Tenang, Nak. Kita akan segera sampai ke rumah sakit dan mereka akan merawatmu dengan baik. Semuanya akan baik-baik saja," Umi Mae mencoba memberikan dukungan dan ketenangan pada Yumna. Dalam perjalanan yang penuh kekhawatiran, Ustad Yunus mengemudikan mobil dengan hati-hati dan cepat. Dia berusaha tetap tenang dan fokus pada tujuan mereka, yaitu membawa Yumna ke rumah sakit dengan segera. Dalam hati, Ustad Yunus berdoa dengan penuh harap agar Yumna dan bayi mereka dalam keadaan yang aman. Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan selalu berada di samping Yumna, memberikan dukungan dan cinta yang tak terbatas. * * Sampai di rumah sakit, mereka
"Iya, Nay. Bunda malah punya buktinya kalau memang kamu nggak percaya," kata Bunda Noni dengan nada sedih. "Bukti aku memperk*sa Sandi, Bun?" "Iya." Bunda Noni merogoh tasnya dan mengeluarkan ponselnya. Dengan hati yang berat, dia membuka rekaman CCTV yang masih dia simpan. "Ini adalah rekaman CCTV digudang rumah sakit, Nay." "Gudang rumah sakit?" Naya menatap layar ponsel itu dengan campuran kecemasan dan penasaran. Rekaman dimulai dengan suasana yang biasa di dalam gudang rumah sakit. Namun, ketika adegan yang menggambarkan tindakan tidak senonoh yang dilakukan oleh Naya kepada Sandi muncul di layar, Naya merasa dunianya hancur. Tidak! Dia tidak bisa percaya apa yang dia lihat. Tidak mungkin dia melakukan hal semengerikan itu. Dia merasa mual dan ingin menolak kenyataan yang ada di hadapannya. Namun, bukti yang jelas dan tak terbantahkan memperkuat semua yang Bunda Noni katakan. Naya merasa terjebak dalam kebenaran yang tidak bisa dia pungkiri. "Menjijikkan, Bun! Itu menjijikk
Setelah mendengar penjelasan dari Soni, Yumna Akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah. Dalam lubuk hatinya yang terdalam, dia benar-benar merasa tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Soni. Namun, Yumna sendiri tak memiliki bukti yang kuat jika benar pria itu berbohong. Apalagi Ustad Yunus pun ikut meyakinkannya kalau semua ucapan sang kakak ipar adalah benar. Jadi mau tidak mau, mungkin Yumna akan mencoba untuk menerima meskipun hanya sepenuh hati. *** Di tempat berbeda. Setelah menghubungi pihak rumah sakit, Bunda Noni diminta untuk membawa Naya ke sana, supaya bisa diperiksa secara jelas tentang kondisinya. Sandi sendiri memilih tidak ikut bersama mereka, karena memang itu atas permintaan Bunda Noni. Dia tidak mau Naya histeris lagi dan berefek pada kondisi mentalnya. Bunda Noni ingin yang terbaik untuk anaknya, ingin melihatnya sembuh. Setelah setengah jam diperiksa dan berkonsultasi kepada Dokternya Naya, akhirnya dokter itu memiliki jawaban yang akan dijelaskanny
"Bunda ... Bunda kenapa bawa dia ke sini??" Naya terkejut melihat kedatangan Sandi bersama Bunda Noni. Dia merasa ketakutan dan dengan refleks, dia membanting pintu. Braakkk!! "Astaghfirullahallazim, Nay! Apa yang terjadi?" Bunda Noni bingung dengan kejadian tersebut. Dia mencoba membuka pintu, namun pintu itu sudah dikunci dari dalam. "Pria asing itu... kenapa Bunda membawanya ke sini? Seharusnya Bunda membawanya langsung ke kantor polisi!" Naya mengungkapkan kekhawatirannya. Mendengar perkataan Naya, Bunda Noni menoleh ke arah Sandi, dan keduanya saling memandang. "Apa jangan-jangan yang dimaksud pria asing itu kamu, San? Tapi kenapa?" Bunda Noni bertanya bingung. "Aku nggak tau, Bun." Sandi menggelengkan kepala, juga bingung. "Tapi masa Naya nggak mengenalku?" "Itu dia masalahnya, San." Bunda Noni menghela napas, lalu mengetuk pintu kamarnya. "Naya sayang... Pria asing yang kamu maksud bukanlah orang jahat, tapi dia adalah suamimu, Yunus." "Bunda, ini aneh. Bunda pikir aku n
Meski diawal Sandi tak menginginkan hal ini terjadi, dan sempat berusaha untuk menolak. Tapi pada akhirnya, sebagai pria normal, dia berhasil luluh.Hasrat itu muncul saat terus menerus digoda, Sandi tak kuasa untuk menahan.**Keesokan harinya.Setelah melalui malam panjang penuh gairah, dengan perlahan-lahan Naya membuka matanya lalu menatap sekeliling ruangan.Sorot matanya pun berhenti pada Sandi yang tertidur pulas dengan bertelanjang dada di sampingnya, dan sontak membuat Naya membulatkan matanya, merasa terkejut."Kamu siapa? Kenapa kamu ada dikamarku?!" teriaknya yang langsung beranjak dari tempat tidur. Namun, kembali dia merasa terkejut mana kala melihat tubuhnya sendiri polos tanpa busana. "Astaghfirullahallazim!!""Ada apa, Nay? Kenapa kamu berisik sekali?" Sandi membuka matanya yang terasa berat, lalu menguceknya beberapa kali sembari menatap Naya. Perempuan itu terlihat panik, dia langsung berlari keluar kamar sambil menarik selimut yang menutupi tubuh Sandi.Braakkkk!
"Eemmm ... mereka ada kok, Nak," jawab Umi Mae, tapi tampak ragu-ragu."Di mana, Umi?""Di rumah Mbaknya Yunus.""Maksud Umi di rumahnya Mbak Sari?""Iya, ada di sana.""Lho kok bisa mereka ada di sana? Memangnya mereka sempat kabur dari rumah, ya?""Bukan kabur dari rumah, tapi mereka sengaja Umi titipin. Karena 'kan waktu itu Yunus sakit, kamu nggak fokus sama mereka. Umi juga 'kan ikut nemenin kamu di rumah sakit," jelas Umi sedikit gugup."Oohh begitu. Syukurlah ...." Yumna merasa lega. "Aku sampai berpikir mereka digoreng sama Umi, buat dijadikan lauk.""Mana mungkin Umi tega seperti itu. Lagi pula mereka 'kan ayam-ayam kesayanganmu.""Umi benar. Terima kasih ya, Umi ...." Yumna langsung memeluk wanita tua itu dengan penuh kasih sayang. "Udah bantu ngurusin Cia dan Cio. Maaf juga, kalau aku sempat su'uzon bahwa Umi menggoreng mereka.""Enggak masalah, Nak. Umi mengerti kok, kekhawatiranmu." Umi Mae mengusap pipi Yumna dengan lembut dan tersenyum."Ya udah, sekarang aku mau pergi
"Nggak boleh su'uzon, Dek. Nanti kita pulang langsung tanya aja ke Umi. Biar kamu nggak kepikiran yang enggak-enggak." Ustad Yunus menasehati. "Iya, iya." Yumna mengangguk. Setelah selesai makan siang, mereka langsung mencari kue bakpia yang Yumna inginkan. Menyelusuri setiap toko dan akhirnya membeli satu kotak yang berisi 12 buah rasa keju. "Bagaimana rasanya? Enak?" tanya Ustad Yunus, saat melihat istrinya baru saja mengunyah satu bakpia di tangannya. Mereka berdua kini sudah masuk lagi di dalam mobil. "Enggak, Mas." Yumna menggeleng, lalu memberikan kotak bakpia kepada Ustad Yunus. "Masa sih nggak enak? Terus kenapa itu kamu telan?" Merasa penasaran, Ustad Yunus pun mencobanya satu. "Ya jelas aku telan, orang udah ada dimulut. Nanti kalau dibuang Mas bilang mubazir." "Ya kalau memang kamu nggak suka banget, nggak usah dipaksa, Dek. Nggak apa-apa. Tapi menurut saya sih ini enak." Ustad Yunus mengunyah sambil meneliti rasanya, sebelum akhirnya dia telan. "Enggak ah, kejunya a
"Ya udah, biar nanti aku pikirkan dulu sekalian meminta izin sama bos. Kalau begitu aku pamit, assalamualaikum." "Walaikum salam," jawab Bunda Noni dan Naya berbarengan. Menatap Sandi yang keluar dari kamar. "Bunda tinggal dulu sebentar ya, Sayang. Bunda mau—" "Tunggu dulu sebentar, Bun!" Naya langsung menyentuh tangan Bunda Noni yang baru saja mengelus pucuk rambutnya, hendak pergi. "Kenapa?" "Setauku ... Bang Yunus itu kerja jadi marbot masjid deh, Bun." "Memang iya, terus kenapa?" Bunda Noni menatap bingung. Tak mengerti maksud Naya. "Tadi Bang Yunus ngomong mau minta izin. Memangnya orang kerja di masjid itu ada bos yang mengawasi ya, Bun? Setauku enggak deh." Naya menggeleng dengan raut bingung. Agak membingungkan menurutnya, dengan apa yang Sandi ucapkan tadi. "Oohh ... mungkin maksud Yunus bos itu pemilik masjidnya." Bunda Noni seakan memiliki banyak ide, untuk bisa menjawab pertanyaan dari sang anak. "Iya ... jadi 'kan sama saja, dia perlu meminta izin, Nay." "Iya kali
Keesokan harinya.Di meja makan, Yumna, Ustad Yunus dan Umi Mae tengah menyantap nasi uduk.Wajah Yumna dan Ustad Yunus tampak segar sekali, Yumna juga begitu ceria hari ini seperti sedang bahagia."Mas mau nambah telor nggak? Biar aku ambilin," tawar Yumna dengan lembut menunjuk telor balado."Boleh, Dek." Ustad Yunus mengangguk, segera Yumna mengambilkan untuknya. "Terima kasih, ya, Dek.""Sama-sama Mas sayang," jawab Yumna. Perlahan, tangan Ustad Yunus terulur, lalu menyentuh pipinya dengan lembut dan mesra."Umi seneng deh, lihat kalian harmonis. Semoga seterusnya seperti ini, ya?" Melihat mereka berbahagia, tentulah Umi Mae ikut bahagia juga.Bahkan disetiap do'anya sehabis sholat, dia tak pernah absen untuk mendo'akan keutuhan rumah tangga Ustad Yunus dan Yumna, yang selalu diterpa banyak cobaan.Umi Mae yakin, cobaan itu pasti akan segera berlalu."Amin, Umi," sahut keduanya sembari tersenyum dengan saling memandang."Oh ya, Umi. Hari ini rencananya Mas Boy mau ngajakin aku cek