Waahhh ... hebat bener si Yumna, nebak segala mana bener lagi đź¤đź¤
"Assalamualaikum, Umi. Bagaimana kabar Yunus?"Suara itu menggema, mendadak menghentikan keheningan yang tadinya membungkus ruangan.Umi Mae dan Yumna, yang sedang serius berbicara, langsung menoleh, menatap dua sosok yang baru saja memasuki ruangan. Mereka adalah Soni dan Ustad Hamdan, yang tiba-tiba hadir seperti angin segar di tengah kepenatan.Soni, dengan tangan kanannya yang menenteng sebuah kantong berwarna merah, berisi dua rantang plastik segera menyerahkan apa yang dia bawa ke tangan Umi Mae."Walaikum salam, Son. Alhamdulillah... kamu dan Ustad Hamdan sudah sampai," jawab Umi Mae sambil tersenyum, saat melihat menantunya mencium punggung tangannya dengan penuh hormat."Si Yunus, apakah kondisinya semakin parah, Umi?" tanya Soni, suaranya bergetar, penuh kekhawatiran.Matanya menatap intens ke arah pintu kaca, memerhatikan sosok adik iparnya yang tengah terbengong, memandangi dokter yang sedang berbicara dengan kedua mertuanya, seperti mencari jawaban dari pertanyaan yang ta
"Ih, kok pakai undang dukun segala? Jangan ah, Pi! Serem!!" sahut Mami Soora tak setuju."Serem kenapa, Mi? Dia 'kan manusia juga seperti kita, bukan setan." Papi Yohan menjelaskan."Meskipun manusia juga tetap saja serem.""Maaf Pak Yohan," sela Ustad Hamdan berbicara dengan hati-hati. "Dukun itu aliran sesat, Pak. Percaya pada dukun sama saja seperti kita musyrik, menyekutukan Allah. Itu dosa besar, Pi.""Oohh benarkah Ustad?!" Papi Yohan sontak terkejut mendengar. "Maaf, kupikir nggak dosa. Karena aku mengira dukun itu seperti paranormal.""Beda, Pak. Dan sebaiknya dalam hal ini kita nggak perlu membawa-bawa dukun. Kita cukup meminta pertolongan kepada Allah saja karena hanya dialah yang dapat membantu kita.""Iya, Ustad." Papi Yohan mengangguk."Nanti sebelum tidur, minta Ustad Yunus untuk membaca surat Yasin dan do'a terhindar dari gangguan sihir, ya, Pak. Minta juga padanya untuk jangan lupa membaca dzikir, karena itu juga nggak kalah penting.""Memang ada, do'a terhindar dari s
Yumna terbelalak saat melihat apa yang dilakukan oleh suaminya. Namun, di balik kejutannya, dia merasakan kebahagiaan yang tak terbantahkan. Tanpa berpikir panjang, ciuman itu pun dia balas dengan penuh kehangatan.Ceklek~Tiba-tiba, pintu perlahan terbuka oleh Papi Yohan yang hendak masuk bersama Soni. Namun, mereka berdua sontak terkejut melihat pemandangan di dalam. Dengan terburu-buru, Papi Yohan segera menutup pintu kembali dan akhirnya mereka membatalkan niat mereka untuk masuk."Bisa-bisanya kita masuk disaat nggak tepat, Son?" ucap Papi Yohan dengan rasa malu yang menyelimuti dirinya. Padahal, seharusnya rasa malu itu dirasakan oleh pasangan yang ada di dalam."Iya, Pak. Tapi sepertinya mereka tadi nggak sadar kita masuk. Jadi aman lah, Pak." Soni memperhatikan mereka berdua melalui kaca pintu, terlihat jelas bahwa ciuman itu makin panas."Jangan dilihatin ah, Son! Nggak sopan!" Papi Yohan segera menarik tangan Soni dan membawanya duduk di kursi depan kamar itu. "Walau bagaiman
Tut!Setelah panggilan itu terputus, Bunda Noni dengan cepat meraih tangan suaminya dan membawanya keluar rumah. Kecemasan dan kebingungan terpancar jelas dari wajahnya. Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin Naya, anak mereka, melakukan hal yang begitu mengerikan?"Apa yang terjadi, Bun? Siapa yang menelepon tadi dan mau ke mana kita sekarang?" Ayah Cakra ikut bingung melihat istrinya yang tampak tergesa-gesa."Pihak rumah sakit jiwa yang menelepon, Yah. Mereka bilang kita harus segera ke sana.""Tapi kenapa Bunda terlihat cemas? Apa ada sesuatu yang terjadi terhadap Naya?" Ayah Cakra buru-buru menyalakan mesin mobilnya, kemudian melaju pergi."Pihak rumah sakit mengabarkan kalau Naya memperk*sa Yunus, Yah. Eh, maksudnya Sandi.""Memperk*sa?!" Ayah Cakra tampak lebih bingung dari sebelumnya. "Yang benar saja, Bun? Dan sebenarnya ... Sandi ini siapa? Kenapa dia ada bersama Naya?""Sandi itu keponakannya si Yunus, Yah. Selama ini ... dia sudah cukup banyak membantu Bunda," jawab Bunda Non
"Astaghfirullahallazim... Naya melakukannya sekaligus merekamnya juga, Dok? Tapi pakai apa dia merekamnya?" Suara Ayah Cakra terdengar gemetar, tampaknya dia masih dalam keadaan terkejut yang mendalam.Seandainya saja Naya tidak tengah berada dalam cengkeraman gangguan mental, Ayah Cakra pasti akan menumpahkan amarahnya tanpa ampun."Apakah Naya meminjam hape milik salah satu perawat di sini, Dok?" Bunda Noni menimpali, penasaran. Dia tahu, selama masa perawatan, Naya tidak diperkenankan memegang ponsel."Bukan merekam lewat hape, Bu. Tapi ada rekaman CCTV yang berhasil mengabadikan aksi Nona Naya," jawab Dokter dengan tenang.Mereka, Ayah Cakra dan Bunda Noni, seperti terpaku mendengar penjelasan itu."Boleh kami melihat rekaman itu, Dok?" Ayah Cakra bertanya dengan suara yang hampir tak terdengar."Tentu saja, Pak," Dokter itu mengangguk. Dengan gerakan lambat, dia menggeserkan sebuah laptop yang sejak tadi berada di atas meja, lalu memutar rekaman itu dan memperlihatkan kepada merek
"Ada tamu, Bu," ucap Mami Soora yang menyibak sedikit gorden rumah, memerhatikan seorang pria turun dari mobil yang terparkir di depan."Tamu??" Umi Mae mengerutkan keningnya, kemudian melihat dari arah jendela. "Evan?!"Ternyata tamu yang dimaksud Mami Soora itu adalah Evan—adik dari Ustad Yunus. Segera, Umi Mae membuka pintu rumahnya dengan gemetar dan pria itu melangkah menghampiri."Assalamualaikum, Umi," ucap Evan dengan sopan, seraya mencium punggung tangan Uminya, sementara Umi Mae langsung mengusap puncak rambutnya dengan penuh kasih sayang."Walaikum salam," jawab Umi Mae dengan suara yang penuh kehangatan, lalu bertanya, "kamu libur kerja hari ini, Van?""Iya, Umi." Evan mengangguk perlahan, mengulurkan tangannya yang menentang plastik hitam seraya menatap ke arah pintu dengan ekspresi cemas. "Aku diberitahu Bang Soni kalau Bang Yunus kena guna-guna. Jadi aku ke sini."Segera, Evan masuk ke dalam rumah dengan hati yang berdebar, sebelum Umi Mae merespons ucapannya. Umi Mae j
Ada sesuatu yang begitu unik dan menarik tentang Evan, sebuah keahlian yang tidak dimiliki oleh banyak orang.Dia memiliki sejumput kemampuan mistis, sebuah warisan pengetahuan yang diajarkan oleh bosnya, seorang dukun yang dihormati. Karena itu, tidak heran jika dia bisa melakukan hal-hal yang tampaknya tidak mungkin."Lho, Van ... apa yang kamu lakukan? Kenapa dia pingsan?" Soni, yang tampak terkejut dengan situasi yang berlangsung, memanggil Evan. Dengan cepat, dia melompat keluar dari mobil dan berlari mendekati Evan."Aku nggak apa-apain dia kok, Bang," Evan membantah dengan tenang, menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Aku hanya menyentuh wajahnya sebentar, dan tiba-tiba dia pingsan.""Bau terasi kali tangan si Evan, mangkanya sampai pingsan begitu tu satpam," Papi Yohan, yang baru saja turun dari mobil, mencoba menebak."Sepertinya, aku memang habis makan sambel terasi tadi, Pak." Evan tersenyum lebar, seolah menyetujui perkataan Papi Yohan."Nah 'kan. Pantes aja. Ya sudah... s
"Salah orang?" Dokter itu mengerutkan dahi. Tampak bingung dengan perkataan Ayah Cakra. "Maksudnya gimana, Pak?""Yang diperkosa Naya itu—""Bukannya dulu sudah pernah aku kasih tau ya, Dok?" Bunda Noni dengan cepat menyela ucapan suaminya, lalu menatap ke arah dokter. "Kalau seorang pria yang dianggap Yunus itu adalah Sandi. Mereka dua orang yang berbeda, jadi itu 'kan sama saja seperti salah orang.""Oh iya juga ya, Bu." Dokter baru teringat. Dia mengangguk. "Maaf, saya sepertinya lupa. Tapi terlepas dari itu ... semuanya sudah terjadi. Jadi saya nggak bisa apa-apa, semuanya terserah Ibu dan Bapak. Selaku orang tua dari Nona Naya.""Berarti Naya sama Sandi harus menikah, Bun," ucap Ayah Cakra, mengusulkan kepada sang istri."Kok sama Sandi? Jangan ah, Yah! Bunda nggak setuju!" sahut Bunda Noni cepat dengan gelengan kepala."Tapi semuanya sudah terjadi, Bun. Dan Naya sekarang sudah nggak perawan karena Sandi. Kita udah nggak bisa apa-apa kecuali mengawinkan mereka.""Kalau suatu hari