Ada sesuatu yang begitu unik dan menarik tentang Evan, sebuah keahlian yang tidak dimiliki oleh banyak orang.Dia memiliki sejumput kemampuan mistis, sebuah warisan pengetahuan yang diajarkan oleh bosnya, seorang dukun yang dihormati. Karena itu, tidak heran jika dia bisa melakukan hal-hal yang tampaknya tidak mungkin."Lho, Van ... apa yang kamu lakukan? Kenapa dia pingsan?" Soni, yang tampak terkejut dengan situasi yang berlangsung, memanggil Evan. Dengan cepat, dia melompat keluar dari mobil dan berlari mendekati Evan."Aku nggak apa-apain dia kok, Bang," Evan membantah dengan tenang, menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Aku hanya menyentuh wajahnya sebentar, dan tiba-tiba dia pingsan.""Bau terasi kali tangan si Evan, mangkanya sampai pingsan begitu tu satpam," Papi Yohan, yang baru saja turun dari mobil, mencoba menebak."Sepertinya, aku memang habis makan sambel terasi tadi, Pak." Evan tersenyum lebar, seolah menyetujui perkataan Papi Yohan."Nah 'kan. Pantes aja. Ya sudah... s
"Salah orang?" Dokter itu mengerutkan dahi. Tampak bingung dengan perkataan Ayah Cakra. "Maksudnya gimana, Pak?""Yang diperkosa Naya itu—""Bukannya dulu sudah pernah aku kasih tau ya, Dok?" Bunda Noni dengan cepat menyela ucapan suaminya, lalu menatap ke arah dokter. "Kalau seorang pria yang dianggap Yunus itu adalah Sandi. Mereka dua orang yang berbeda, jadi itu 'kan sama saja seperti salah orang.""Oh iya juga ya, Bu." Dokter baru teringat. Dia mengangguk. "Maaf, saya sepertinya lupa. Tapi terlepas dari itu ... semuanya sudah terjadi. Jadi saya nggak bisa apa-apa, semuanya terserah Ibu dan Bapak. Selaku orang tua dari Nona Naya.""Berarti Naya sama Sandi harus menikah, Bun," ucap Ayah Cakra, mengusulkan kepada sang istri."Kok sama Sandi? Jangan ah, Yah! Bunda nggak setuju!" sahut Bunda Noni cepat dengan gelengan kepala."Tapi semuanya sudah terjadi, Bun. Dan Naya sekarang sudah nggak perawan karena Sandi. Kita udah nggak bisa apa-apa kecuali mengawinkan mereka.""Kalau suatu hari
"Oh maaf, aku sampai lupa membuatkan kalian minuman." Sari langsung berdiri, lalu kembali bertanya. "Bapak dan Ibu mau minum apa? Kopi apa teh?""Cuaca panas begini enaknya sih es jeruk, Bu," sahut Ayah Cakra cepat seraya mengusap lehernya. Dapat dia rasakan tenggorokannya begitu kering kerontang."Maaf, kalau es jeruk nggak ada, Pak. Paling bisa es teh manis.""Kok bisa, es jeruk nggak ada? Kan tinggal bikin.""Jeruknya kebetulan nggak ada, Pak. Serbuk jeruk pun aku nggak punya.""Dasar mis—" Sedikit lagi, Ayah Cakra akan mengucapkan kata 'Miskin' tapi untungnya, dengan cepat Bunda Noni menyela."Udah sih, Yah, nggak apa-apa es teh manis juga. Lagian tujuan kita ke sini bukan mau numpang minum, tapi mau ngobrolin masalah penting.""Masalahnya ... Ayah haus, Bun." Ayah Cakra menatap istrinya, dengan masih menyentuh leher. "Kalau kering begini tenggorokan, bagaimana bisa Ayah bercerita?""Ya udah, aku buatkan es teh manis saja ya, Pak. Di mana-mana tamu itu nggak boleh protes, masih unt
Sebelumnya, mereka bertiga memutuskan untuk pulang karena merasa sangat lelah menunggu Ayah Cakra yang tak kunjung datang.Selain itu, Sari juga sempat menelepon dan memberitahu mereka tentang seorang tamu yang mencurigakan. Kabar itu membuat Soni semakin khawatir dan ingin segera pulang. Tanpa ragu, mereka bertiga segera beranjak dari tempat duduk dan bergegas menuju rumah.Saat mereka tiba di rumah Soni, pemandangan yang mereka lihat membuat mereka terkejut. Ayah Cakra dan Bunda Noni sedang berlari mengejar Sari yang tampak panik. Tanpa berpikir panjang, Soni, Evan, dan Papi Yohan segera bergabung dalam kejar-kejaran itu.Sementara itu, di dalam kamar, Ustad Yunus sedang beristirahat. Namun, suara kegaduhan dari luar membuatnya terbangun. Dia perlahan membuka mata, dan ketika melihat ke samping, dia melihat istrinya, Yumna, yang sedang tertidur dengan wajah yang lelah."Diluar ada apa, ya? Kok terdengar begitu gaduh?" gumam Ustad Yunus pelan.Dia berusaha bangkit dan dengan lembut me
"Bukan begitu maksud saya, Dek, tapi—"Dentang!!Pintu kamar tiba-tiba terbanting dengan kasar saat Yumna berlari masuk. Perempuan itu semakin sensitif, terutama dalam keadaan hamil seperti ini."Astaghfirullahallazim, ampuni aku ya Allah ...." Ustad Yunus perlahan mengusap wajahnya, lalu menghela napas dengan berat.Dia beristighfar bukan karena melihat Yumna marah, tetapi karena merasa bahwa cobaan dalam rumah tangganya sangat berat.Dan sekali lagi, dia melihat istrinya marah padanya. Padahal, Ustad Yunus sama sekali tidak menginginkan hal itu terjadi. Dia ingin hubungannya selalu harmonis."Maafkan sikap Yumna ya, Boy." Mami Soora tiba-tiba mengelus pundak menantunya, memberikannya sedikit ketenangan. Dia tahu betapa beratnya yang dirasakan Ustad Yunus saat ini."Yumna marah itu wajar, Nak. Umi kalau berada dalam posisinya juga akan marah. Apalagi Yumna juga sedang hamil. Bawaan bayi bisa membuatnya semakin sensitif.""Aku enggak menyalahkan sikap Dek Yumna, Umi, Mami," jawab Ustad
"Bang, Abang diminta Pak RT datang ke rumah Bang Soni. Dia membutuhkan keterangan dari Abang," ucap Evan yang baru saja menghampiri Ustad Yunus di dapur.Pria berkemeja biru navy itu sedang sibuk membuatkan susu ibu hamil untuk Yumna, dengan harapan bisa merayu istrinya yang sejak tadi enggan diajak berbicara."Keterangan apa, Van?" Ustad Yunus mengerutkan keningnya, terlihat bingung."Abang sebaiknya datang saja, nanti Pak RT akan menjelaskan semuanya. Ayo, bareng sama aku," ajak Evan dengan penuh harap."Baiklah, tunggu sebentar. Aku ingin memberikan susu ini dulu ke Dek Yumna, ya?""Iya, aku akan menunggumu di luar, Bang." Evan langsung meninggalkan Ustad Yunus dan keluar dari rumah. Sementara itu, Ustad Yunus kembali masuk ke dalam kamar.Yumna terbaring miring, membelakangi Ustad Yunus. Ustad Yunus mendekat perlahan sambil meletakkan secangkir susu di atas meja."Dek... saya diminta Pak RT untuk pergi ke rumah Bang Soni. Apa kamu mau ikut?" tanyanya dengan lembut, sambil mengelus
"Yunus!!"Melihat Sandi terjatuh pingsan, Ayah Cakra tiba-tiba berlutut di depan Ustad Yunus dan memeluknya dengan erat.Tanpa memedulikan harga dirinya yang terlihat rendah, Ayah Cakra hanya berharap bisa mendapatkan pengampunan dari Ustad Yunus atas perbuatannya.Karena jika Ustad Yunus tidak memaafkan, maka sulit baginya untuk meminta Sandi untuk bertanggung jawab. Dan bisa jadi, Ustad Yunus lah yang akan membantunya nanti. Dia yakin pria itu memiliki hati yang tulus."Demi apapun, Nus, aku khilaf. Aku dengan tulus mengakui kesalahanku. Tolong maafkan aku," ucapnya memohon ampun.Orang-orang di sekitar mereka semua fokus pada Sandi, membantu Soni membawanya ke dalam kamar. Sementara itu, Bunda Noni terlihat terkejut dengan tindakan yang dilakukan oleh suaminya."Apa yang Ayah lakukan? Dan kenapa Ayah meminta maaf?"Bukankah ini berarti, secara tidak langsung Ayah Cakra mengakui, bahwa benar dia mengirimkan ilmu hitam? Itulah yang terbesit dalam benak Bunda Noni."Jadi benar ya, Yah
"Apa benar itu, Bu?" tanya Sari, yang sejak tadi baru berbicara. Dia mendekat ke arah Bunda Noni, lalu memegang kedua pundaknya. "Jadi, ternyata Ibu, yang menjebak Sandi? Supaya Sandi diperkosa oleh Naya, begitu??" tuduhnya."Bukan, Ma! Bukan seperti itu!" bantah Sandi."Lalu bagaimana?" Sari menatap heran kepada anaknya yang masih tertutup selimut."Ayok cepat katakan, Bu. Jelaskan kepada kami semua apa yang terjadi, biar nggak ada salah paham," pinta Pak RT, yang mencoba menjadi penengah.Dia juga merasa tak habis pikir, jika konflik yang terjadi ternyata masih panjang. Baru tadi tentang Ustad Yunus yang selesai, sekarang ada lagi."Iya, semuanya mungkin nggak akan terjadi kalau bukan karena aku," sahut Bunda Noni, mengakui letak kesalahannya di mana. "Semua ini berawal saat Naya kabur dari rumah sakit jiwa, lalu pulang ke rumah dengan membawa Sandi. Tapi anehnya ... dia mengira bahwa Sandi adalah Yunus.""Kok bisa, si Naya gila itu mengira Sandi sebagai Yunus? Jelas muka mereka berb