Siram aja tuh Pak Cakra biar dia bangun beneran 😂🤣
"Bang, Abang diminta Pak RT datang ke rumah Bang Soni. Dia membutuhkan keterangan dari Abang," ucap Evan yang baru saja menghampiri Ustad Yunus di dapur.Pria berkemeja biru navy itu sedang sibuk membuatkan susu ibu hamil untuk Yumna, dengan harapan bisa merayu istrinya yang sejak tadi enggan diajak berbicara."Keterangan apa, Van?" Ustad Yunus mengerutkan keningnya, terlihat bingung."Abang sebaiknya datang saja, nanti Pak RT akan menjelaskan semuanya. Ayo, bareng sama aku," ajak Evan dengan penuh harap."Baiklah, tunggu sebentar. Aku ingin memberikan susu ini dulu ke Dek Yumna, ya?""Iya, aku akan menunggumu di luar, Bang." Evan langsung meninggalkan Ustad Yunus dan keluar dari rumah. Sementara itu, Ustad Yunus kembali masuk ke dalam kamar.Yumna terbaring miring, membelakangi Ustad Yunus. Ustad Yunus mendekat perlahan sambil meletakkan secangkir susu di atas meja."Dek... saya diminta Pak RT untuk pergi ke rumah Bang Soni. Apa kamu mau ikut?" tanyanya dengan lembut, sambil mengelus
"Yunus!!"Melihat Sandi terjatuh pingsan, Ayah Cakra tiba-tiba berlutut di depan Ustad Yunus dan memeluknya dengan erat.Tanpa memedulikan harga dirinya yang terlihat rendah, Ayah Cakra hanya berharap bisa mendapatkan pengampunan dari Ustad Yunus atas perbuatannya.Karena jika Ustad Yunus tidak memaafkan, maka sulit baginya untuk meminta Sandi untuk bertanggung jawab. Dan bisa jadi, Ustad Yunus lah yang akan membantunya nanti. Dia yakin pria itu memiliki hati yang tulus."Demi apapun, Nus, aku khilaf. Aku dengan tulus mengakui kesalahanku. Tolong maafkan aku," ucapnya memohon ampun.Orang-orang di sekitar mereka semua fokus pada Sandi, membantu Soni membawanya ke dalam kamar. Sementara itu, Bunda Noni terlihat terkejut dengan tindakan yang dilakukan oleh suaminya."Apa yang Ayah lakukan? Dan kenapa Ayah meminta maaf?"Bukankah ini berarti, secara tidak langsung Ayah Cakra mengakui, bahwa benar dia mengirimkan ilmu hitam? Itulah yang terbesit dalam benak Bunda Noni."Jadi benar ya, Yah
"Apa benar itu, Bu?" tanya Sari, yang sejak tadi baru berbicara. Dia mendekat ke arah Bunda Noni, lalu memegang kedua pundaknya. "Jadi, ternyata Ibu, yang menjebak Sandi? Supaya Sandi diperkosa oleh Naya, begitu??" tuduhnya."Bukan, Ma! Bukan seperti itu!" bantah Sandi."Lalu bagaimana?" Sari menatap heran kepada anaknya yang masih tertutup selimut."Ayok cepat katakan, Bu. Jelaskan kepada kami semua apa yang terjadi, biar nggak ada salah paham," pinta Pak RT, yang mencoba menjadi penengah.Dia juga merasa tak habis pikir, jika konflik yang terjadi ternyata masih panjang. Baru tadi tentang Ustad Yunus yang selesai, sekarang ada lagi."Iya, semuanya mungkin nggak akan terjadi kalau bukan karena aku," sahut Bunda Noni, mengakui letak kesalahannya di mana. "Semua ini berawal saat Naya kabur dari rumah sakit jiwa, lalu pulang ke rumah dengan membawa Sandi. Tapi anehnya ... dia mengira bahwa Sandi adalah Yunus.""Kok bisa, si Naya gila itu mengira Sandi sebagai Yunus? Jelas muka mereka berb
"Saya terima nikah dan kawinnya Naya Aini Narendra binti Cakra Narenda dengan mahar uang seratus ribu rupiah dibayar tunaiiiii ...!!""Bagaimana para saksi?!""Sah!!""Saaahhhhh!!"Meskipun berat dan penuh keterpaksaan, akhirnya Sandi melaksanakan prosesi ijab kabul. Kini, mereka resmi menjadi sepasang suami istri yang diikat oleh ikatan pernikahan.Naya, yang duduk di samping Sandi, terlihat tersenyum bahagia. Dia merasa sangat bersyukur karena dia berpikir telah berhasil menikah dengan Ustad Yunus, pria yang sangat dicintainya.Meski pernikahan itu hanya siri dan dadakan, tapi Bunda Noni sempat menyewa sepasang baju pengantin untuk mereka berdua. Naya juga didandani seperti pengantin pada umumnya, terlihat cantik dan anggun.Acara ijab ini hanya disaksikan oleh beberapa orang, termasuk kedua orang tua Sandi, kedua orang tua Naya, Pak RT, Ustad Hamdan, Papi Yohan, dan Evan.Ustad Yunus sendiri tidak ikut serta, karena Papi Yohan melarangnya dengan tegas. Dia khawatir Naya akan berpind
Keesokan harinya.Di meja makan, Yumna, Ustad Yunus dan Umi Mae tengah menyantap nasi uduk.Wajah Yumna dan Ustad Yunus tampak segar sekali, Yumna juga begitu ceria hari ini seperti sedang bahagia."Mas mau nambah telor nggak? Biar aku ambilin," tawar Yumna dengan lembut menunjuk telor balado."Boleh, Dek." Ustad Yunus mengangguk, segera Yumna mengambilkan untuknya. "Terima kasih, ya, Dek.""Sama-sama Mas sayang," jawab Yumna. Perlahan, tangan Ustad Yunus terulur, lalu menyentuh pipinya dengan lembut dan mesra."Umi seneng deh, lihat kalian harmonis. Semoga seterusnya seperti ini, ya?" Melihat mereka berbahagia, tentulah Umi Mae ikut bahagia juga.Bahkan disetiap do'anya sehabis sholat, dia tak pernah absen untuk mendo'akan keutuhan rumah tangga Ustad Yunus dan Yumna, yang selalu diterpa banyak cobaan.Umi Mae yakin, cobaan itu pasti akan segera berlalu."Amin, Umi," sahut keduanya sembari tersenyum dengan saling memandang."Oh ya, Umi. Hari ini rencananya Mas Boy mau ngajakin aku cek
"Ya udah, biar nanti aku pikirkan dulu sekalian meminta izin sama bos. Kalau begitu aku pamit, assalamualaikum." "Walaikum salam," jawab Bunda Noni dan Naya berbarengan. Menatap Sandi yang keluar dari kamar. "Bunda tinggal dulu sebentar ya, Sayang. Bunda mau—" "Tunggu dulu sebentar, Bun!" Naya langsung menyentuh tangan Bunda Noni yang baru saja mengelus pucuk rambutnya, hendak pergi. "Kenapa?" "Setauku ... Bang Yunus itu kerja jadi marbot masjid deh, Bun." "Memang iya, terus kenapa?" Bunda Noni menatap bingung. Tak mengerti maksud Naya. "Tadi Bang Yunus ngomong mau minta izin. Memangnya orang kerja di masjid itu ada bos yang mengawasi ya, Bun? Setauku enggak deh." Naya menggeleng dengan raut bingung. Agak membingungkan menurutnya, dengan apa yang Sandi ucapkan tadi. "Oohh ... mungkin maksud Yunus bos itu pemilik masjidnya." Bunda Noni seakan memiliki banyak ide, untuk bisa menjawab pertanyaan dari sang anak. "Iya ... jadi 'kan sama saja, dia perlu meminta izin, Nay." "Iya kali
"Nggak boleh su'uzon, Dek. Nanti kita pulang langsung tanya aja ke Umi. Biar kamu nggak kepikiran yang enggak-enggak." Ustad Yunus menasehati. "Iya, iya." Yumna mengangguk. Setelah selesai makan siang, mereka langsung mencari kue bakpia yang Yumna inginkan. Menyelusuri setiap toko dan akhirnya membeli satu kotak yang berisi 12 buah rasa keju. "Bagaimana rasanya? Enak?" tanya Ustad Yunus, saat melihat istrinya baru saja mengunyah satu bakpia di tangannya. Mereka berdua kini sudah masuk lagi di dalam mobil. "Enggak, Mas." Yumna menggeleng, lalu memberikan kotak bakpia kepada Ustad Yunus. "Masa sih nggak enak? Terus kenapa itu kamu telan?" Merasa penasaran, Ustad Yunus pun mencobanya satu. "Ya jelas aku telan, orang udah ada dimulut. Nanti kalau dibuang Mas bilang mubazir." "Ya kalau memang kamu nggak suka banget, nggak usah dipaksa, Dek. Nggak apa-apa. Tapi menurut saya sih ini enak." Ustad Yunus mengunyah sambil meneliti rasanya, sebelum akhirnya dia telan. "Enggak ah, kejunya a
"Eemmm ... mereka ada kok, Nak," jawab Umi Mae, tapi tampak ragu-ragu."Di mana, Umi?""Di rumah Mbaknya Yunus.""Maksud Umi di rumahnya Mbak Sari?""Iya, ada di sana.""Lho kok bisa mereka ada di sana? Memangnya mereka sempat kabur dari rumah, ya?""Bukan kabur dari rumah, tapi mereka sengaja Umi titipin. Karena 'kan waktu itu Yunus sakit, kamu nggak fokus sama mereka. Umi juga 'kan ikut nemenin kamu di rumah sakit," jelas Umi sedikit gugup."Oohh begitu. Syukurlah ...." Yumna merasa lega. "Aku sampai berpikir mereka digoreng sama Umi, buat dijadikan lauk.""Mana mungkin Umi tega seperti itu. Lagi pula mereka 'kan ayam-ayam kesayanganmu.""Umi benar. Terima kasih ya, Umi ...." Yumna langsung memeluk wanita tua itu dengan penuh kasih sayang. "Udah bantu ngurusin Cia dan Cio. Maaf juga, kalau aku sempat su'uzon bahwa Umi menggoreng mereka.""Enggak masalah, Nak. Umi mengerti kok, kekhawatiranmu." Umi Mae mengusap pipi Yumna dengan lembut dan tersenyum."Ya udah, sekarang aku mau pergi