Direkam nggak tuh 🤣🤣
"Astaghfirullahallazim... Naya melakukannya sekaligus merekamnya juga, Dok? Tapi pakai apa dia merekamnya?" Suara Ayah Cakra terdengar gemetar, tampaknya dia masih dalam keadaan terkejut yang mendalam.Seandainya saja Naya tidak tengah berada dalam cengkeraman gangguan mental, Ayah Cakra pasti akan menumpahkan amarahnya tanpa ampun."Apakah Naya meminjam hape milik salah satu perawat di sini, Dok?" Bunda Noni menimpali, penasaran. Dia tahu, selama masa perawatan, Naya tidak diperkenankan memegang ponsel."Bukan merekam lewat hape, Bu. Tapi ada rekaman CCTV yang berhasil mengabadikan aksi Nona Naya," jawab Dokter dengan tenang.Mereka, Ayah Cakra dan Bunda Noni, seperti terpaku mendengar penjelasan itu."Boleh kami melihat rekaman itu, Dok?" Ayah Cakra bertanya dengan suara yang hampir tak terdengar."Tentu saja, Pak," Dokter itu mengangguk. Dengan gerakan lambat, dia menggeserkan sebuah laptop yang sejak tadi berada di atas meja, lalu memutar rekaman itu dan memperlihatkan kepada merek
"Ada tamu, Bu," ucap Mami Soora yang menyibak sedikit gorden rumah, memerhatikan seorang pria turun dari mobil yang terparkir di depan."Tamu??" Umi Mae mengerutkan keningnya, kemudian melihat dari arah jendela. "Evan?!"Ternyata tamu yang dimaksud Mami Soora itu adalah Evan—adik dari Ustad Yunus. Segera, Umi Mae membuka pintu rumahnya dengan gemetar dan pria itu melangkah menghampiri."Assalamualaikum, Umi," ucap Evan dengan sopan, seraya mencium punggung tangan Uminya, sementara Umi Mae langsung mengusap puncak rambutnya dengan penuh kasih sayang."Walaikum salam," jawab Umi Mae dengan suara yang penuh kehangatan, lalu bertanya, "kamu libur kerja hari ini, Van?""Iya, Umi." Evan mengangguk perlahan, mengulurkan tangannya yang menentang plastik hitam seraya menatap ke arah pintu dengan ekspresi cemas. "Aku diberitahu Bang Soni kalau Bang Yunus kena guna-guna. Jadi aku ke sini."Segera, Evan masuk ke dalam rumah dengan hati yang berdebar, sebelum Umi Mae merespons ucapannya. Umi Mae j
Ada sesuatu yang begitu unik dan menarik tentang Evan, sebuah keahlian yang tidak dimiliki oleh banyak orang.Dia memiliki sejumput kemampuan mistis, sebuah warisan pengetahuan yang diajarkan oleh bosnya, seorang dukun yang dihormati. Karena itu, tidak heran jika dia bisa melakukan hal-hal yang tampaknya tidak mungkin."Lho, Van ... apa yang kamu lakukan? Kenapa dia pingsan?" Soni, yang tampak terkejut dengan situasi yang berlangsung, memanggil Evan. Dengan cepat, dia melompat keluar dari mobil dan berlari mendekati Evan."Aku nggak apa-apain dia kok, Bang," Evan membantah dengan tenang, menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Aku hanya menyentuh wajahnya sebentar, dan tiba-tiba dia pingsan.""Bau terasi kali tangan si Evan, mangkanya sampai pingsan begitu tu satpam," Papi Yohan, yang baru saja turun dari mobil, mencoba menebak."Sepertinya, aku memang habis makan sambel terasi tadi, Pak." Evan tersenyum lebar, seolah menyetujui perkataan Papi Yohan."Nah 'kan. Pantes aja. Ya sudah... s
"Salah orang?" Dokter itu mengerutkan dahi. Tampak bingung dengan perkataan Ayah Cakra. "Maksudnya gimana, Pak?""Yang diperkosa Naya itu—""Bukannya dulu sudah pernah aku kasih tau ya, Dok?" Bunda Noni dengan cepat menyela ucapan suaminya, lalu menatap ke arah dokter. "Kalau seorang pria yang dianggap Yunus itu adalah Sandi. Mereka dua orang yang berbeda, jadi itu 'kan sama saja seperti salah orang.""Oh iya juga ya, Bu." Dokter baru teringat. Dia mengangguk. "Maaf, saya sepertinya lupa. Tapi terlepas dari itu ... semuanya sudah terjadi. Jadi saya nggak bisa apa-apa, semuanya terserah Ibu dan Bapak. Selaku orang tua dari Nona Naya.""Berarti Naya sama Sandi harus menikah, Bun," ucap Ayah Cakra, mengusulkan kepada sang istri."Kok sama Sandi? Jangan ah, Yah! Bunda nggak setuju!" sahut Bunda Noni cepat dengan gelengan kepala."Tapi semuanya sudah terjadi, Bun. Dan Naya sekarang sudah nggak perawan karena Sandi. Kita udah nggak bisa apa-apa kecuali mengawinkan mereka.""Kalau suatu hari
"Oh maaf, aku sampai lupa membuatkan kalian minuman." Sari langsung berdiri, lalu kembali bertanya. "Bapak dan Ibu mau minum apa? Kopi apa teh?""Cuaca panas begini enaknya sih es jeruk, Bu," sahut Ayah Cakra cepat seraya mengusap lehernya. Dapat dia rasakan tenggorokannya begitu kering kerontang."Maaf, kalau es jeruk nggak ada, Pak. Paling bisa es teh manis.""Kok bisa, es jeruk nggak ada? Kan tinggal bikin.""Jeruknya kebetulan nggak ada, Pak. Serbuk jeruk pun aku nggak punya.""Dasar mis—" Sedikit lagi, Ayah Cakra akan mengucapkan kata 'Miskin' tapi untungnya, dengan cepat Bunda Noni menyela."Udah sih, Yah, nggak apa-apa es teh manis juga. Lagian tujuan kita ke sini bukan mau numpang minum, tapi mau ngobrolin masalah penting.""Masalahnya ... Ayah haus, Bun." Ayah Cakra menatap istrinya, dengan masih menyentuh leher. "Kalau kering begini tenggorokan, bagaimana bisa Ayah bercerita?""Ya udah, aku buatkan es teh manis saja ya, Pak. Di mana-mana tamu itu nggak boleh protes, masih unt
Sebelumnya, mereka bertiga memutuskan untuk pulang karena merasa sangat lelah menunggu Ayah Cakra yang tak kunjung datang.Selain itu, Sari juga sempat menelepon dan memberitahu mereka tentang seorang tamu yang mencurigakan. Kabar itu membuat Soni semakin khawatir dan ingin segera pulang. Tanpa ragu, mereka bertiga segera beranjak dari tempat duduk dan bergegas menuju rumah.Saat mereka tiba di rumah Soni, pemandangan yang mereka lihat membuat mereka terkejut. Ayah Cakra dan Bunda Noni sedang berlari mengejar Sari yang tampak panik. Tanpa berpikir panjang, Soni, Evan, dan Papi Yohan segera bergabung dalam kejar-kejaran itu.Sementara itu, di dalam kamar, Ustad Yunus sedang beristirahat. Namun, suara kegaduhan dari luar membuatnya terbangun. Dia perlahan membuka mata, dan ketika melihat ke samping, dia melihat istrinya, Yumna, yang sedang tertidur dengan wajah yang lelah."Diluar ada apa, ya? Kok terdengar begitu gaduh?" gumam Ustad Yunus pelan.Dia berusaha bangkit dan dengan lembut me
"Bukan begitu maksud saya, Dek, tapi—"Dentang!!Pintu kamar tiba-tiba terbanting dengan kasar saat Yumna berlari masuk. Perempuan itu semakin sensitif, terutama dalam keadaan hamil seperti ini."Astaghfirullahallazim, ampuni aku ya Allah ...." Ustad Yunus perlahan mengusap wajahnya, lalu menghela napas dengan berat.Dia beristighfar bukan karena melihat Yumna marah, tetapi karena merasa bahwa cobaan dalam rumah tangganya sangat berat.Dan sekali lagi, dia melihat istrinya marah padanya. Padahal, Ustad Yunus sama sekali tidak menginginkan hal itu terjadi. Dia ingin hubungannya selalu harmonis."Maafkan sikap Yumna ya, Boy." Mami Soora tiba-tiba mengelus pundak menantunya, memberikannya sedikit ketenangan. Dia tahu betapa beratnya yang dirasakan Ustad Yunus saat ini."Yumna marah itu wajar, Nak. Umi kalau berada dalam posisinya juga akan marah. Apalagi Yumna juga sedang hamil. Bawaan bayi bisa membuatnya semakin sensitif.""Aku enggak menyalahkan sikap Dek Yumna, Umi, Mami," jawab Ustad
"Bang, Abang diminta Pak RT datang ke rumah Bang Soni. Dia membutuhkan keterangan dari Abang," ucap Evan yang baru saja menghampiri Ustad Yunus di dapur.Pria berkemeja biru navy itu sedang sibuk membuatkan susu ibu hamil untuk Yumna, dengan harapan bisa merayu istrinya yang sejak tadi enggan diajak berbicara."Keterangan apa, Van?" Ustad Yunus mengerutkan keningnya, terlihat bingung."Abang sebaiknya datang saja, nanti Pak RT akan menjelaskan semuanya. Ayo, bareng sama aku," ajak Evan dengan penuh harap."Baiklah, tunggu sebentar. Aku ingin memberikan susu ini dulu ke Dek Yumna, ya?""Iya, aku akan menunggumu di luar, Bang." Evan langsung meninggalkan Ustad Yunus dan keluar dari rumah. Sementara itu, Ustad Yunus kembali masuk ke dalam kamar.Yumna terbaring miring, membelakangi Ustad Yunus. Ustad Yunus mendekat perlahan sambil meletakkan secangkir susu di atas meja."Dek... saya diminta Pak RT untuk pergi ke rumah Bang Soni. Apa kamu mau ikut?" tanyanya dengan lembut, sambil mengelus
Yumna menahan rasa sakit dan mencoba menjelaskan, "Bukan, Umi. Ini bukan karena habis jatuh. Aku merasakan sakit perut yang luar biasa dan ada darah. Aku takut ada yang nggak beres dengan bayiku." Umi Mae merasa jantungnya berdebar kencang mendengar penjelasan Yumna. Dia segera memegang tangan Yumna dengan penuh kasih sayang. "Tenang, Nak. Kita akan segera sampai ke rumah sakit dan mereka akan merawatmu dengan baik. Semuanya akan baik-baik saja," Umi Mae mencoba memberikan dukungan dan ketenangan pada Yumna. Dalam perjalanan yang penuh kekhawatiran, Ustad Yunus mengemudikan mobil dengan hati-hati dan cepat. Dia berusaha tetap tenang dan fokus pada tujuan mereka, yaitu membawa Yumna ke rumah sakit dengan segera. Dalam hati, Ustad Yunus berdoa dengan penuh harap agar Yumna dan bayi mereka dalam keadaan yang aman. Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan selalu berada di samping Yumna, memberikan dukungan dan cinta yang tak terbatas. * * Sampai di rumah sakit, mereka
"Iya, Nay. Bunda malah punya buktinya kalau memang kamu nggak percaya," kata Bunda Noni dengan nada sedih. "Bukti aku memperk*sa Sandi, Bun?" "Iya." Bunda Noni merogoh tasnya dan mengeluarkan ponselnya. Dengan hati yang berat, dia membuka rekaman CCTV yang masih dia simpan. "Ini adalah rekaman CCTV digudang rumah sakit, Nay." "Gudang rumah sakit?" Naya menatap layar ponsel itu dengan campuran kecemasan dan penasaran. Rekaman dimulai dengan suasana yang biasa di dalam gudang rumah sakit. Namun, ketika adegan yang menggambarkan tindakan tidak senonoh yang dilakukan oleh Naya kepada Sandi muncul di layar, Naya merasa dunianya hancur. Tidak! Dia tidak bisa percaya apa yang dia lihat. Tidak mungkin dia melakukan hal semengerikan itu. Dia merasa mual dan ingin menolak kenyataan yang ada di hadapannya. Namun, bukti yang jelas dan tak terbantahkan memperkuat semua yang Bunda Noni katakan. Naya merasa terjebak dalam kebenaran yang tidak bisa dia pungkiri. "Menjijikkan, Bun! Itu menjijikk
Setelah mendengar penjelasan dari Soni, Yumna Akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah. Dalam lubuk hatinya yang terdalam, dia benar-benar merasa tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Soni. Namun, Yumna sendiri tak memiliki bukti yang kuat jika benar pria itu berbohong. Apalagi Ustad Yunus pun ikut meyakinkannya kalau semua ucapan sang kakak ipar adalah benar. Jadi mau tidak mau, mungkin Yumna akan mencoba untuk menerima meskipun hanya sepenuh hati. *** Di tempat berbeda. Setelah menghubungi pihak rumah sakit, Bunda Noni diminta untuk membawa Naya ke sana, supaya bisa diperiksa secara jelas tentang kondisinya. Sandi sendiri memilih tidak ikut bersama mereka, karena memang itu atas permintaan Bunda Noni. Dia tidak mau Naya histeris lagi dan berefek pada kondisi mentalnya. Bunda Noni ingin yang terbaik untuk anaknya, ingin melihatnya sembuh. Setelah setengah jam diperiksa dan berkonsultasi kepada Dokternya Naya, akhirnya dokter itu memiliki jawaban yang akan dijelaskanny
"Bunda ... Bunda kenapa bawa dia ke sini??" Naya terkejut melihat kedatangan Sandi bersama Bunda Noni. Dia merasa ketakutan dan dengan refleks, dia membanting pintu. Braakkk!! "Astaghfirullahallazim, Nay! Apa yang terjadi?" Bunda Noni bingung dengan kejadian tersebut. Dia mencoba membuka pintu, namun pintu itu sudah dikunci dari dalam. "Pria asing itu... kenapa Bunda membawanya ke sini? Seharusnya Bunda membawanya langsung ke kantor polisi!" Naya mengungkapkan kekhawatirannya. Mendengar perkataan Naya, Bunda Noni menoleh ke arah Sandi, dan keduanya saling memandang. "Apa jangan-jangan yang dimaksud pria asing itu kamu, San? Tapi kenapa?" Bunda Noni bertanya bingung. "Aku nggak tau, Bun." Sandi menggelengkan kepala, juga bingung. "Tapi masa Naya nggak mengenalku?" "Itu dia masalahnya, San." Bunda Noni menghela napas, lalu mengetuk pintu kamarnya. "Naya sayang... Pria asing yang kamu maksud bukanlah orang jahat, tapi dia adalah suamimu, Yunus." "Bunda, ini aneh. Bunda pikir aku n
Meski diawal Sandi tak menginginkan hal ini terjadi, dan sempat berusaha untuk menolak. Tapi pada akhirnya, sebagai pria normal, dia berhasil luluh.Hasrat itu muncul saat terus menerus digoda, Sandi tak kuasa untuk menahan.**Keesokan harinya.Setelah melalui malam panjang penuh gairah, dengan perlahan-lahan Naya membuka matanya lalu menatap sekeliling ruangan.Sorot matanya pun berhenti pada Sandi yang tertidur pulas dengan bertelanjang dada di sampingnya, dan sontak membuat Naya membulatkan matanya, merasa terkejut."Kamu siapa? Kenapa kamu ada dikamarku?!" teriaknya yang langsung beranjak dari tempat tidur. Namun, kembali dia merasa terkejut mana kala melihat tubuhnya sendiri polos tanpa busana. "Astaghfirullahallazim!!""Ada apa, Nay? Kenapa kamu berisik sekali?" Sandi membuka matanya yang terasa berat, lalu menguceknya beberapa kali sembari menatap Naya. Perempuan itu terlihat panik, dia langsung berlari keluar kamar sambil menarik selimut yang menutupi tubuh Sandi.Braakkkk!
"Eemmm ... mereka ada kok, Nak," jawab Umi Mae, tapi tampak ragu-ragu."Di mana, Umi?""Di rumah Mbaknya Yunus.""Maksud Umi di rumahnya Mbak Sari?""Iya, ada di sana.""Lho kok bisa mereka ada di sana? Memangnya mereka sempat kabur dari rumah, ya?""Bukan kabur dari rumah, tapi mereka sengaja Umi titipin. Karena 'kan waktu itu Yunus sakit, kamu nggak fokus sama mereka. Umi juga 'kan ikut nemenin kamu di rumah sakit," jelas Umi sedikit gugup."Oohh begitu. Syukurlah ...." Yumna merasa lega. "Aku sampai berpikir mereka digoreng sama Umi, buat dijadikan lauk.""Mana mungkin Umi tega seperti itu. Lagi pula mereka 'kan ayam-ayam kesayanganmu.""Umi benar. Terima kasih ya, Umi ...." Yumna langsung memeluk wanita tua itu dengan penuh kasih sayang. "Udah bantu ngurusin Cia dan Cio. Maaf juga, kalau aku sempat su'uzon bahwa Umi menggoreng mereka.""Enggak masalah, Nak. Umi mengerti kok, kekhawatiranmu." Umi Mae mengusap pipi Yumna dengan lembut dan tersenyum."Ya udah, sekarang aku mau pergi
"Nggak boleh su'uzon, Dek. Nanti kita pulang langsung tanya aja ke Umi. Biar kamu nggak kepikiran yang enggak-enggak." Ustad Yunus menasehati. "Iya, iya." Yumna mengangguk. Setelah selesai makan siang, mereka langsung mencari kue bakpia yang Yumna inginkan. Menyelusuri setiap toko dan akhirnya membeli satu kotak yang berisi 12 buah rasa keju. "Bagaimana rasanya? Enak?" tanya Ustad Yunus, saat melihat istrinya baru saja mengunyah satu bakpia di tangannya. Mereka berdua kini sudah masuk lagi di dalam mobil. "Enggak, Mas." Yumna menggeleng, lalu memberikan kotak bakpia kepada Ustad Yunus. "Masa sih nggak enak? Terus kenapa itu kamu telan?" Merasa penasaran, Ustad Yunus pun mencobanya satu. "Ya jelas aku telan, orang udah ada dimulut. Nanti kalau dibuang Mas bilang mubazir." "Ya kalau memang kamu nggak suka banget, nggak usah dipaksa, Dek. Nggak apa-apa. Tapi menurut saya sih ini enak." Ustad Yunus mengunyah sambil meneliti rasanya, sebelum akhirnya dia telan. "Enggak ah, kejunya a
"Ya udah, biar nanti aku pikirkan dulu sekalian meminta izin sama bos. Kalau begitu aku pamit, assalamualaikum." "Walaikum salam," jawab Bunda Noni dan Naya berbarengan. Menatap Sandi yang keluar dari kamar. "Bunda tinggal dulu sebentar ya, Sayang. Bunda mau—" "Tunggu dulu sebentar, Bun!" Naya langsung menyentuh tangan Bunda Noni yang baru saja mengelus pucuk rambutnya, hendak pergi. "Kenapa?" "Setauku ... Bang Yunus itu kerja jadi marbot masjid deh, Bun." "Memang iya, terus kenapa?" Bunda Noni menatap bingung. Tak mengerti maksud Naya. "Tadi Bang Yunus ngomong mau minta izin. Memangnya orang kerja di masjid itu ada bos yang mengawasi ya, Bun? Setauku enggak deh." Naya menggeleng dengan raut bingung. Agak membingungkan menurutnya, dengan apa yang Sandi ucapkan tadi. "Oohh ... mungkin maksud Yunus bos itu pemilik masjidnya." Bunda Noni seakan memiliki banyak ide, untuk bisa menjawab pertanyaan dari sang anak. "Iya ... jadi 'kan sama saja, dia perlu meminta izin, Nay." "Iya kali
Keesokan harinya.Di meja makan, Yumna, Ustad Yunus dan Umi Mae tengah menyantap nasi uduk.Wajah Yumna dan Ustad Yunus tampak segar sekali, Yumna juga begitu ceria hari ini seperti sedang bahagia."Mas mau nambah telor nggak? Biar aku ambilin," tawar Yumna dengan lembut menunjuk telor balado."Boleh, Dek." Ustad Yunus mengangguk, segera Yumna mengambilkan untuknya. "Terima kasih, ya, Dek.""Sama-sama Mas sayang," jawab Yumna. Perlahan, tangan Ustad Yunus terulur, lalu menyentuh pipinya dengan lembut dan mesra."Umi seneng deh, lihat kalian harmonis. Semoga seterusnya seperti ini, ya?" Melihat mereka berbahagia, tentulah Umi Mae ikut bahagia juga.Bahkan disetiap do'anya sehabis sholat, dia tak pernah absen untuk mendo'akan keutuhan rumah tangga Ustad Yunus dan Yumna, yang selalu diterpa banyak cobaan.Umi Mae yakin, cobaan itu pasti akan segera berlalu."Amin, Umi," sahut keduanya sembari tersenyum dengan saling memandang."Oh ya, Umi. Hari ini rencananya Mas Boy mau ngajakin aku cek