Mbah Ratu segera menenangkan Ayah Cakra. "Tenanglah, Cakra. Aku ini dukun santet, bukan dukun cabul. Jadi kamu nggak perlu khawatir. Aku hanya berusaha menyembuhkanmu. Karena sejak kemarin-kemarin kamu hampir mati!""Mati?!" Ayah Cakra terperanjat dan tubuhnya seketika membeku. Dia menatap Mbah Ratu dengan raut tidak percaya. "Serius, Mbah?""Iya." Mbah Ratu mengangguk cepat. "Kataku juga kamu minum air dariku dengan cepat. Tapi kamu malah banyak tanya, alhasil racun ular itu mulai menyebar keseluruhan tubuhmu."Mendengar kata 'ular' Ayah Cakra seketika mengingat momen sebelumnya terjadi. Tapi, ada kebingungan di dalam hatinya."Tapi, Mbah. Kok bisa aku terkena racun ular? Kan aku nggak digigit ular.""Racun ular itu berasal dari ular yang aku kirimkan untuk Yunus. Karena ular itu mati, sebelum mematuk Yunus dan memberikan racun pelet ... jadi racun itu akan berbalik ke orang yang mengirimkan," jelas Mbah Ratu."Kok bisa ular itu mati?""Istrinya yang membunuh.""Ah kurang ajar sekali
Setelah menyelesaikan doanya, Yumna merasakan sedikit kelegaan hati yang mendalam.Beban yang sejak tadi membebani hatinya, perlahan mulai terangkat, seolah-olah ada tangan tak kasat mata yang mengangkatnya. Dengan langkah yang lebih ringan, namun tetap diliputi kekhawatiran yang berkecamuk dalam dada, dia kembali ke kamar rawat Ustad Yunus, siap menghadapi apapun yang akan terjadi dengan kekuatan cinta dan do'a yang tak pernah padam, berharap mukjizat akan terjadi.Setibanya dia di sana, Yumna dikejutkan oleh Umi Mae yang tengah menangis di dekat ranjang dimana Ustad Yunus berada, suara tangisannya mengiris hati.'Apa yang terjadi?' Itulah yang ada dalam benaknya, pertanyaan itu bergema, mencari jawaban.Bergegas, Yumna yang bersama Papi Yohan menghampiri wanita itu, langkah mereka penuh kehati-hatian. Kemudian menatap ke arah Ustad Yunus yang masih memejamkan mata, tubuhnya tampak begitu renta dan rapuh."Umi ... Umi kenapa nangis? Ada apa?" tanya Yumna dengan lembut, suaranya berget
"Naya ...," lirih Ustad Yunus."Setelah ini, kamu akan terbangun, Mas. Dan akan kupastikan nama itu enyah dalam pikiranmu," gumam Yumna dengan tekad yang kuat. Secara cepat, dia pun langsung menyambar bibir suaminya. Memberinya ciuman yang mesra dan begitu dalam.Suhu tubuh Ustad Yunus masih terasa begitu tinggi. Tapi Yumna akan mencoba untuk mendinginkannya. Dia yakin, dia bisa.Meskipun tak ada respon, tapi Yumna tetap berusaha. Bahkan kini tangannya sudah merogoh ke dalam celana suaminya dan menyentuh suatu benda yang panjang namun terasa lembek.Ajaibnya, saat baru saja dielus, benda itu justru langsung tegak berdiri. Membuat Yumna terkejut.'Kok bisa, tongkatnya Mas Boy langsung bangun pas aku pegang? Sedangkan orangnya masih mimpi?' batin Yumna yang masih terus melancarkan aksinya. Berharap dia akan berhasil membangunkan Ustad Yunus dan tentunya itu akan membuatnya berhenti memanggil nama Naya.Setelah puas menciumi suaminya dari bibir hingga leher, Yumna akhirnya mulai membuka
"Saya bertemu Naya di masjid, Dek. Dia datang menemui saya, tapi bawa-bawa pisau sambil nangis," jawab Ustad Yunus sembari mengingat-ingat."Kenapa dia bawa pisau sambil nangis? Apa perempuan gatal itu habis motong bawang?" tebak Yumna."Dia nangis karena minta saya menikahinya, terus saya tolak. Tapi dia malah mengancam ingin bunuh diri, Dek, dengan pisau itu. Saya jadi khawatir... apakah Naya baik-baik saja? Soalnya dia sempat pergi pas saya coba untuk mencegahnya.""Ngapain Mas cegah? Kalau dia memang ingin bunuh diri ... ya biarkan saja. Lebih baik dia mati, daripada terus menerus menganggu hidup Mas!" Yumna merasa kesal dengan penjelasan suaminya, karena jelas bahwa pria itu masih peduli kepada Naya.Yang Yumna inginkan, pria itu tidak peduli. Apakah Naya hidup atau mati, sakit atau sehat, Ustad Yunus tidak peduli."Ya Allah, Dek. Kamu nggak boleh ngomong kayak gitu. Masa iya ... saya harus diam saja saat melihat ada orang yang mau bunuh diri? Nanti saya berdosa.""Tapi Mas sudah
"Assalamualaikum, Umi. Bagaimana kabar Yunus?"Suara itu menggema, mendadak menghentikan keheningan yang tadinya membungkus ruangan.Umi Mae dan Yumna, yang sedang serius berbicara, langsung menoleh, menatap dua sosok yang baru saja memasuki ruangan. Mereka adalah Soni dan Ustad Hamdan, yang tiba-tiba hadir seperti angin segar di tengah kepenatan.Soni, dengan tangan kanannya yang menenteng sebuah kantong berwarna merah, berisi dua rantang plastik segera menyerahkan apa yang dia bawa ke tangan Umi Mae."Walaikum salam, Son. Alhamdulillah... kamu dan Ustad Hamdan sudah sampai," jawab Umi Mae sambil tersenyum, saat melihat menantunya mencium punggung tangannya dengan penuh hormat."Si Yunus, apakah kondisinya semakin parah, Umi?" tanya Soni, suaranya bergetar, penuh kekhawatiran.Matanya menatap intens ke arah pintu kaca, memerhatikan sosok adik iparnya yang tengah terbengong, memandangi dokter yang sedang berbicara dengan kedua mertuanya, seperti mencari jawaban dari pertanyaan yang ta
"Ih, kok pakai undang dukun segala? Jangan ah, Pi! Serem!!" sahut Mami Soora tak setuju."Serem kenapa, Mi? Dia 'kan manusia juga seperti kita, bukan setan." Papi Yohan menjelaskan."Meskipun manusia juga tetap saja serem.""Maaf Pak Yohan," sela Ustad Hamdan berbicara dengan hati-hati. "Dukun itu aliran sesat, Pak. Percaya pada dukun sama saja seperti kita musyrik, menyekutukan Allah. Itu dosa besar, Pi.""Oohh benarkah Ustad?!" Papi Yohan sontak terkejut mendengar. "Maaf, kupikir nggak dosa. Karena aku mengira dukun itu seperti paranormal.""Beda, Pak. Dan sebaiknya dalam hal ini kita nggak perlu membawa-bawa dukun. Kita cukup meminta pertolongan kepada Allah saja karena hanya dialah yang dapat membantu kita.""Iya, Ustad." Papi Yohan mengangguk."Nanti sebelum tidur, minta Ustad Yunus untuk membaca surat Yasin dan do'a terhindar dari gangguan sihir, ya, Pak. Minta juga padanya untuk jangan lupa membaca dzikir, karena itu juga nggak kalah penting.""Memang ada, do'a terhindar dari s
Yumna terbelalak saat melihat apa yang dilakukan oleh suaminya. Namun, di balik kejutannya, dia merasakan kebahagiaan yang tak terbantahkan. Tanpa berpikir panjang, ciuman itu pun dia balas dengan penuh kehangatan.Ceklek~Tiba-tiba, pintu perlahan terbuka oleh Papi Yohan yang hendak masuk bersama Soni. Namun, mereka berdua sontak terkejut melihat pemandangan di dalam. Dengan terburu-buru, Papi Yohan segera menutup pintu kembali dan akhirnya mereka membatalkan niat mereka untuk masuk."Bisa-bisanya kita masuk disaat nggak tepat, Son?" ucap Papi Yohan dengan rasa malu yang menyelimuti dirinya. Padahal, seharusnya rasa malu itu dirasakan oleh pasangan yang ada di dalam."Iya, Pak. Tapi sepertinya mereka tadi nggak sadar kita masuk. Jadi aman lah, Pak." Soni memperhatikan mereka berdua melalui kaca pintu, terlihat jelas bahwa ciuman itu makin panas."Jangan dilihatin ah, Son! Nggak sopan!" Papi Yohan segera menarik tangan Soni dan membawanya duduk di kursi depan kamar itu. "Walau bagaiman
Tut!Setelah panggilan itu terputus, Bunda Noni dengan cepat meraih tangan suaminya dan membawanya keluar rumah. Kecemasan dan kebingungan terpancar jelas dari wajahnya. Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin Naya, anak mereka, melakukan hal yang begitu mengerikan?"Apa yang terjadi, Bun? Siapa yang menelepon tadi dan mau ke mana kita sekarang?" Ayah Cakra ikut bingung melihat istrinya yang tampak tergesa-gesa."Pihak rumah sakit jiwa yang menelepon, Yah. Mereka bilang kita harus segera ke sana.""Tapi kenapa Bunda terlihat cemas? Apa ada sesuatu yang terjadi terhadap Naya?" Ayah Cakra buru-buru menyalakan mesin mobilnya, kemudian melaju pergi."Pihak rumah sakit mengabarkan kalau Naya memperk*sa Yunus, Yah. Eh, maksudnya Sandi.""Memperk*sa?!" Ayah Cakra tampak lebih bingung dari sebelumnya. "Yang benar saja, Bun? Dan sebenarnya ... Sandi ini siapa? Kenapa dia ada bersama Naya?""Sandi itu keponakannya si Yunus, Yah. Selama ini ... dia sudah cukup banyak membantu Bunda," jawab Bunda Non