Ribet amat ya, Yum, padahal cuma ngurusin dua anak ayam doang đŸ¤£ apalagi selusin kali đŸ˜‚
"Ada apa ini? Kok suara Dek Yumna sampai terdengar dari dalam kamar?" tanya Ustad Yunus yang datang memasuki dapur.Dia terlihat rapih dan tampan dengan menggenakan sarung, baju koko dan peci di atas kepalanya.Dua perempuan berbeda generasi itu langsung menoleh, lalu Umi Mae menjawab."Enggak ada apa-apa kok, Nus. Itu Umi tadinya ngasih saran buat Yumna yang mau pindahin ayam-ayamnya.""Saran apa, Umi?" tanya Ustad Yunus.Yumna segera menjawab. "Masa Umi bilang ... Cia dan Cio dimasukkan ke dalam sangkar, Mas. Terus digantungin di atas depan teras rumah. Udah kayak burung aja mereka. Kan mereka ayam."Yumna mengatakannya sambil memasang wajah cemberut dan itu sukses membuat Umi Mae terkekeh."Oohh gitu." Ustad Yunus mengangguk, lalu merangkul bahu Yumna."Umi 'kan tadinya cuma ngasih saran, Nus. Ya kalau nggak diambil juga nggak apa-apa," sahut Umi Mae menjelaskan. "Kalau mau taruh di dapur ya udah, tapi kayaknya mereka perlu kandang yang cukup luas, Nus. Karena 'kan namanya hewan...
"Lho, kenapa nggak mau??" Soni menatap heran, lalu menyentuh dahi sang anak. "Kamu ini masih normal nggak sih, San? Jangan bilang kamu udah nggak naksir cewek." "Aku masih normal lah, Pa!" Sandi dengan cepat menarik tangan Soni. Dia tampak tersinggung. "Papa ini aneh, aku 'kan pria tulen." "Tapi tongkatmu masih bisa berdiri, kan?" "Astaghfirullahallazim Papa ...." Sandi geleng-geleng kepala. Merasa tak habis pikir dengan pertanyaan vulgar dari Papanya. "Namanya pria normal ya pasti bisa berdiri lah, Pa." "Kalau masih bisa berdiri terus kenapa kamu nggak mau nikah? Umurmu udah kepala tiga lho, San. Apa kamu lupa, ya?? Kamu pikir kamu masih remaja gitu?" "Aku ingat kok sama umur sendiri, dan aku juga mau nikah, Pa," jawab Sandi. "Tapi 'kan Papa tau sendiri kalau aku belum punya calonnya." "Ya udah tau nggak punya calon, terus kenapa kamu nggak mau sama Najwa? Kamu ini cari perempuan yang kayak gimana sih sebenarnya, San?" "Aku nggak cari yang gimana-gimana, Pa. Yang terpenting buk
"Lho, apa itu, Dok?" tanya Yumna heran. Dahinya berkerut."Apa Yumna hamil, Dok?" tanya Papi Yohan dengan wajah yang penuh kebahagiaan. Pipinya bahkan terlihat merona."Dengan senang hati saya mengabarkan bahwa benar, Pak," jawab dokter tersebut. "Nona Yumna sedang hamil dan usia kandungannya sudah memasuki 12 minggu.""12 minggu?!" Yumna terkejut dan membelalakkan matanya. Entah mengapa dia merasa terkejut mendengar itu, sedangkan Papi Yohan dan Ustad Yunus sendiri terlihat begitu bahagia. Sampai-sampai saat Ustad Yunus tengah sujud syukur, Papi Yohan pun mengikutinya."Alhamdulillah... terima kasih ya Allah. Terima kasih telah menitipkan buah cinta kami dalam rahim Dek Yumna. Aku sangat bahagia. Aku berjanji... akan selalu menjaga dan melindunginya," gumam Ustad Yunus dengan suara pelan, tapi cukup terdengar oleh Papi Yohan.Papi Yohan langsung memeluk Ustad Yunus dengan sukacita yang meluap-luap. Dia sangat bangga pada menantunya."Alhamdulillah, Boy. Papi sangat senang. Selamat jug
"Astaghfirullahallazim, Dek!!" Secepatnya, Ustad Yunus mendorong tubuh Yumna hingga ciuman yang cukup intens itu berhenti. "Istighfar, Dek. Kita berada di rumah sakit. Ada dokter dan Papi juga diluar yang menunggu kita.""Mas lebay ih. Orang istri cuma nyium kok disuruh istighfar? Memangnya aku kesambet?" Yumna tertawa. Melihat reaksi panik Ustad Yunus malah membuatnya merasa lucu. Segera, dia pun membuka pintu kamar mandi.Ceklek~"Bagaimana hasilnya? Jelas nggak garis duanya?" tanya Papi Yohan dengan penuh antusias."Jelas kok, Pi." Yumna mengangguk, lalu melangkah maju dan mengulurkan tangannya menunjuk benda yang dia pegang. Ustad Yunus yang berada di sampingnya langsung merangkul pinggang Yumna."Sekarang Nona sudah yakin 'kan, kalau memang Nona itu hamil? Dan ada kemungkinan bayi Nona itu kembar," kata Dokter memberitahu."Waahh ... serius, Dok? Cucuku ternyata kembar??" Papi Yohan menyeru dengan perasaan senang. Kedua matanya berbinar-binar."Baru kemungkinan, Pak. Soalnya masih
"Ih Papi ... apa hubungannya coba sama ngupil. Nggak nyambung," omel Yumna."Ya jelas ada hubungannya lah, Yum," balas Papi Yohan. "Bisa jadi si Sandi pas ngupil terlalu dalam sampai lubang hidungnya lecet. Kan itu bisa terjadi sampai akhirnya mimisan.""Benar itu, San. Kamu ngupil terlalu dalam?" tanya Ustad Yunus yang percaya dengan apa yang mertuanya katakan."Enggak, Om," bantah Sandi. "Ini sama sekali nggak ada hubungannya dengan ngupil.""Terus kok bisa sampai mimisan?" tanya Umi Mae."Aku sendiri nggak tau, Nek. Mangkanya aku periksa darah tadi. Tapi untungnya semuanya baik-baik saja. Dokter mengatakan semuanya normal dan aku sehat.""Syukurlah kalau baik-baik saja." Umi Mae menghela napas dengan lega. "Lain kali hati-hati kalau beraktivitas. Sering pakai masker juga kalau keluar rumah, takutnya itu karena efek debu, San.""Iya, Nek." Sandi mengangguk cepat. "Oh ya, terus Nenek, Om, Tante Yumna dan yang lain kenapa ada di rumah sakit? Siapa yang sakit?" tanya Sandi sembari menat
Meskipun Tora sudah berusaha keras untuk menolak, namun pada akhirnya dia tidak bisa menghindar. Dia dipaksa oleh Bunda Noni untuk pergi ke Banten."Kamu harus tunjukkan jalan yang benar, Tora. Jangan asal-asalan! Apalagi buat kita nyasar!" tegur Bunda Noni yang duduk di samping Tora, sementara Tora terlihat tertekan saat mengemudi.Dia yang merasa panik, berpikir bagaimana caranya agar Bunda Noni percaya. 'Ya ampun, apa yang harus aku lakukan? Aku perlu mencari cara agar Bu Noni yakin. Tapi caranya apa kira-kira?'***Sehabis pulang dari rumah sakit dan mampir ke supermarket untuk membeli susu ibu hamil, Ustad Yunus pun meminta Papi Yohan untuk menurunkannya di masjid. Karena seperti biasa, dia harus bekerja."Padahal aku 'kan sekarang lagi hamil, Mas," kata Yumna dengan sedih, saat melihat suaminya turun dari mobil."Memangnya kenapa, Dek?" Ustad Yunus mengerutkan keningnya bingung."Ya harusnya Mas temani aku di rumah lah. Libur dulu jangan kerja.""Saya kerja juga nggak akan sehari
Beberapa menit kemudian, Ustad Yunus dengan perlahan membuka matanya. Dia mencoba menyesuaikan pandangannya dengan menatap sekeliling, namun apa yang dia lihat membuatnya terkejut."Kenapa aku berada di sini, di dalam toilet? Dan bagaimana bisa aku berbaring di lantai seperti ini?" Ustad Yunus tampak bingung, mendapati dirinya tengah berbaring di lantai toilet yang basah dan dingin, membuat pakaian yang dikenakannya ikut basah dan dingin juga.Dengan perlahan, dia berusaha bangkit dan berdiri, merasakan kepalanya yang berat seolah-olah dipenuhi dengan beban.Langkah-langkahnya yang goyah mencoba membawanya keluar dari toilet tersebut, sementara pikirannya mencoba memutar balik kenangan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi."Apa aku kepeleset? Tapi rasanya nggak mungkin. Dan seingatku, aku belum masuk ke toilet hari ini. Lalu, kenapa..." Ucapan Ustad Yunus tiba-tiba terhenti, ketika dia teringat akan suatu peristiwa.Dia ingat sedang membersihkan kain lap di tempat pengambila
Lantaran panik yang menyelimuti hatinya, Yumna merasa tak ada pilihan lain selain membawa Ustad Yunus ke rumah sakit, dengan harapan mendapatkan pertolongan secepatnya. Dalam perjalanan yang penuh kekhawatiran itu, Yumna ditemani oleh sosok yang selalu menjadi penopang dalam setiap suka maupun duka, yakni Papi Yohan.Pria tersebut, dengan kecepatan dan ketangkasan yang luar biasa, layaknya kilat yang membelah langit gelap. Begitu menerima kabar dari Yumna bahwa menantunya tengah dilanda demam, dengan sigap dia langsung beraksi. Tanpa membuang sedikit pun waktu, Papi Yohan segera datang untuk memberikan pertolongan.Dengan raut wajah yang dipenuhi kecemasan, Yumna menatap suaminya yang terbaring lemah di atas ranjang pemeriksaan. Cahaya lampu ruangan itu seolah menambah kesan dramatis pada situasi yang mereka hadapi."Sakit apa suamiku, Dok?" Suara Yumna bergetar, mencerminkan kekhawatiran yang mendalam, sambil memerhatikan seorang dokter pria yang dengan teliti memeriksa kondisi suam