"Eemmm itu ...." Sandi terdiam sebentar, mencoba berpikir untuk bisa mendapatkan alasan yang masuk akal dan mudah diterima oleh sang Mama. "Kebetulan, Pak Joe berencana mengajak keluarganya makan bareng di restoran, Ma. Jadi aku diminta untuk menyopirinya," tambah Sandi menjawab."Oohh ...." Sari mengangguk dan mencoba mempercayai meski tidak sepenuhnya. "Hampir setiap hari memangnya, ya, Pak Joe memintamu untuk menyopirinya makan di restoran?""Ya begitulah, Ma." Sandi mengangguk. "Namanya juga jadi sopir plus asisten ... jadi kapan pun dibutuhkan sama bos, aku harus selalu stand by.""Ya udah. Kamu hati-hati dijalan, ya?? Jangan pulang terlalu larut.""Iya, Ma. Mama tenang saja. Ya sudah ... assalamualaikum.""Walaikum salam."Sandi melangkah keluar dari rumah, diikuti oleh Sari sampai pria itu benar-benar pergi menggunakan mobilnya.Selang beberapa menit kepergian Sandi, Soni—Papanya Sandi datang dengan motornya. Kemudian mengucapkan salam."Assalamualaikum.""Walaikum salam, Pa," j
"Eemm ... kalau soal itu gimana ya, Dok ...?" Bunda Noni menggaruk puncak hijab di atas kepalanya. Bukan karena gatal, melainkan bingung dengan situasi ini."Kenapa, Bu?" tanya Dokter heran, seraya memerhatikan kegelisahan yang terpancar diwajah wanita di depannya. "Bukankah cara itu jauh lebih baik? Soalnya kata Naya ... Bang Yunus sendiri nggak mau menikahinya, kalau dia belum sembuh. Dan Naya sendiri selalu menyebut dirinya nggak sakit. Tapi memang kebanyakan orang yang terkena gangguan mental nggak akan mengakui jika dirinya gila, Bu."Perlahan, Bunda Noni membuang napasnya dengan kasar. "Cara itu memang baik, Dok. Tapi masalahnya ... Yunus yang dimaksud Naya itu bukan Yunus sebenarnya.""Maksudnya??" Dokter itu mengerutkan dahinya, bingung."Yang bersama Naya tadi namanya Sandi, bukan Yunus.""Apakah Sandi ini saudara kembar Bang Yunus, Bu?""Bukan." Bunda Noni menggeleng. "Dia keponakannya, Dok. Dan jujur ... dari segi wajah, mereka berdua nggak mirip sama sekali. Hanya saja aneh
Sandi sontak membelalakkan matanya saat bibir Naya menyentuh lembut bibirnya. Dia merasa terkesima sejenak, karena ini adalah pengalaman pertama baginya. Rasanya begitu intens dan membangkitkan perasaan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.Naya dengan sengaja memperlambat gerakannya, membuat momen ini semakin lama.Jantung Sandi berdegup kencang, wajahnya memerah karena kebingungan dan keterkejutan. Begitu menyadari apa yang terjadi, dia segera mendorong tubuh Naya untuk menjauh darinya dengan cepat."Astaghfirullahallazim!" serunya, beristighfar dalam kebingungan. Tanpa pamit, Sandi langsung berlari meninggalkan Naya.Sandi sebenarnya ingin marah pada Naya, tapi dia tidak bisa mengekspresikan emosinya. Satu-satunya pilihan yang dia miliki adalah pergi dari sana."Baaangg!" panggil Naya berusaha menyusul Sandi yang pergi begitu saja. Namun, dia kalah cepat karena pria itu sudah menghilang dari pandangannya."Cari siapa kamu, Nay?" tanya Bunda Noni yang baru saja datang, lalu menca
"Ada apa ini? Kok suara Dek Yumna sampai terdengar dari dalam kamar?" tanya Ustad Yunus yang datang memasuki dapur.Dia terlihat rapih dan tampan dengan menggenakan sarung, baju koko dan peci di atas kepalanya.Dua perempuan berbeda generasi itu langsung menoleh, lalu Umi Mae menjawab."Enggak ada apa-apa kok, Nus. Itu Umi tadinya ngasih saran buat Yumna yang mau pindahin ayam-ayamnya.""Saran apa, Umi?" tanya Ustad Yunus.Yumna segera menjawab. "Masa Umi bilang ... Cia dan Cio dimasukkan ke dalam sangkar, Mas. Terus digantungin di atas depan teras rumah. Udah kayak burung aja mereka. Kan mereka ayam."Yumna mengatakannya sambil memasang wajah cemberut dan itu sukses membuat Umi Mae terkekeh."Oohh gitu." Ustad Yunus mengangguk, lalu merangkul bahu Yumna."Umi 'kan tadinya cuma ngasih saran, Nus. Ya kalau nggak diambil juga nggak apa-apa," sahut Umi Mae menjelaskan. "Kalau mau taruh di dapur ya udah, tapi kayaknya mereka perlu kandang yang cukup luas, Nus. Karena 'kan namanya hewan...
"Lho, kenapa nggak mau??" Soni menatap heran, lalu menyentuh dahi sang anak. "Kamu ini masih normal nggak sih, San? Jangan bilang kamu udah nggak naksir cewek." "Aku masih normal lah, Pa!" Sandi dengan cepat menarik tangan Soni. Dia tampak tersinggung. "Papa ini aneh, aku 'kan pria tulen." "Tapi tongkatmu masih bisa berdiri, kan?" "Astaghfirullahallazim Papa ...." Sandi geleng-geleng kepala. Merasa tak habis pikir dengan pertanyaan vulgar dari Papanya. "Namanya pria normal ya pasti bisa berdiri lah, Pa." "Kalau masih bisa berdiri terus kenapa kamu nggak mau nikah? Umurmu udah kepala tiga lho, San. Apa kamu lupa, ya?? Kamu pikir kamu masih remaja gitu?" "Aku ingat kok sama umur sendiri, dan aku juga mau nikah, Pa," jawab Sandi. "Tapi 'kan Papa tau sendiri kalau aku belum punya calonnya." "Ya udah tau nggak punya calon, terus kenapa kamu nggak mau sama Najwa? Kamu ini cari perempuan yang kayak gimana sih sebenarnya, San?" "Aku nggak cari yang gimana-gimana, Pa. Yang terpenting buk
"Lho, apa itu, Dok?" tanya Yumna heran. Dahinya berkerut."Apa Yumna hamil, Dok?" tanya Papi Yohan dengan wajah yang penuh kebahagiaan. Pipinya bahkan terlihat merona."Dengan senang hati saya mengabarkan bahwa benar, Pak," jawab dokter tersebut. "Nona Yumna sedang hamil dan usia kandungannya sudah memasuki 12 minggu.""12 minggu?!" Yumna terkejut dan membelalakkan matanya. Entah mengapa dia merasa terkejut mendengar itu, sedangkan Papi Yohan dan Ustad Yunus sendiri terlihat begitu bahagia. Sampai-sampai saat Ustad Yunus tengah sujud syukur, Papi Yohan pun mengikutinya."Alhamdulillah... terima kasih ya Allah. Terima kasih telah menitipkan buah cinta kami dalam rahim Dek Yumna. Aku sangat bahagia. Aku berjanji... akan selalu menjaga dan melindunginya," gumam Ustad Yunus dengan suara pelan, tapi cukup terdengar oleh Papi Yohan.Papi Yohan langsung memeluk Ustad Yunus dengan sukacita yang meluap-luap. Dia sangat bangga pada menantunya."Alhamdulillah, Boy. Papi sangat senang. Selamat jug
"Astaghfirullahallazim, Dek!!" Secepatnya, Ustad Yunus mendorong tubuh Yumna hingga ciuman yang cukup intens itu berhenti. "Istighfar, Dek. Kita berada di rumah sakit. Ada dokter dan Papi juga diluar yang menunggu kita.""Mas lebay ih. Orang istri cuma nyium kok disuruh istighfar? Memangnya aku kesambet?" Yumna tertawa. Melihat reaksi panik Ustad Yunus malah membuatnya merasa lucu. Segera, dia pun membuka pintu kamar mandi.Ceklek~"Bagaimana hasilnya? Jelas nggak garis duanya?" tanya Papi Yohan dengan penuh antusias."Jelas kok, Pi." Yumna mengangguk, lalu melangkah maju dan mengulurkan tangannya menunjuk benda yang dia pegang. Ustad Yunus yang berada di sampingnya langsung merangkul pinggang Yumna."Sekarang Nona sudah yakin 'kan, kalau memang Nona itu hamil? Dan ada kemungkinan bayi Nona itu kembar," kata Dokter memberitahu."Waahh ... serius, Dok? Cucuku ternyata kembar??" Papi Yohan menyeru dengan perasaan senang. Kedua matanya berbinar-binar."Baru kemungkinan, Pak. Soalnya masih
"Ih Papi ... apa hubungannya coba sama ngupil. Nggak nyambung," omel Yumna."Ya jelas ada hubungannya lah, Yum," balas Papi Yohan. "Bisa jadi si Sandi pas ngupil terlalu dalam sampai lubang hidungnya lecet. Kan itu bisa terjadi sampai akhirnya mimisan.""Benar itu, San. Kamu ngupil terlalu dalam?" tanya Ustad Yunus yang percaya dengan apa yang mertuanya katakan."Enggak, Om," bantah Sandi. "Ini sama sekali nggak ada hubungannya dengan ngupil.""Terus kok bisa sampai mimisan?" tanya Umi Mae."Aku sendiri nggak tau, Nek. Mangkanya aku periksa darah tadi. Tapi untungnya semuanya baik-baik saja. Dokter mengatakan semuanya normal dan aku sehat.""Syukurlah kalau baik-baik saja." Umi Mae menghela napas dengan lega. "Lain kali hati-hati kalau beraktivitas. Sering pakai masker juga kalau keluar rumah, takutnya itu karena efek debu, San.""Iya, Nek." Sandi mengangguk cepat. "Oh ya, terus Nenek, Om, Tante Yumna dan yang lain kenapa ada di rumah sakit? Siapa yang sakit?" tanya Sandi sembari menat