"Kita menikahnya nanti, Nay, setelah kamu sembuh." Seperti apa yang kemarin Bunda Noni katakan, sekarang Sandi pun menjawabnya sesuai permintaannya. "Sembuh??" Jawaban itu terdengar ambigu menurut Naya. Pasalnya dia merasa tidak sakit. "Memangnya siapa yang sakit? Aku nggak sakit kok." "Kamu sakit." "Sakit apa? Kepalaku nggak pusing, aku nggak pilek, batuk, sakit perut dan ...." Naya langsung menarik tangan Sandi, lalu menempelkannya ke area dahi, supaya dia merasakan jika tubuhnya tak panas. "Rasakan ini, Bang. Badanku bahkan nggak panas, kan?" "Kamu bukan sakit itu, Nay." Sandi menggelengkan kepalanya. "Lalu?" Naya menatap penasaran, dahinya berkerut. "Kamu itu sakit pada kejiwa ...." Ucapan Sandi seketika menggantung, karena merasa ragu. Takut jika nantinya apa yang dia sampaikan membuat Naya sakit hati. Dan setahu Sandi, orang gila pasti tidak akan mengakui dirinya gila. Malah bisa saja nantinya Naya marah. "Kejiwa apa, Bang?" tanya Naya sema
"Oohh ... jadi karena itu." Ustad Yunus tertawa kecil mendengarnya. Segera, mengajak Yumna untuk duduk bersama di salah satu kursi yang kosong dekat kolam. Dia akan memberikan Yumna pemahaman, supaya tak salah paham dengan niat hati Ustad Yunus melakukan hal itu. "Maafin saya, Dek. Bukan saya nggak mau membelikanmu baju renang ... tapi baju renang 'kan ketat. Sedangkan ini kolam renang umum. Nggak mau lah saya, Dek.""Nggak maunya kenapa?" tanya Yumna yang tampak bingung."Nanti tubuhmu dilihat oleh pria lain. Itu dosa hukumnya, Dek.""Tapi Mas coba lihat deh ...." Yumna menatap sekitar, pada beberapa perempuan yang bahkan ada yang memakai bikinii. Tapi Ustad Yunus sama sekali tak menatap ke sana, sedari masuk sampai sekarang dia hanya fokus menatap kolam dan istrinya saja. "Semua perempuan di sini rata-rata pakai baju renang, Mas. Dan memang baju renang udah begitu dari modelnya, ketat. Kan namanya mau nyebur ke air.""Biarkan saja perempuan lain pakai baju ranang. Tapi kamu jangan,
"Warna bulunya itu nggak asli sebenarnya, Dek. Itu disepuh," sahut Ustad Yunus."Disepuh gimana?" Yumna mengerutkan keningnya tak mengerti."Disepuh, ya kayak diwarnai gitu, Dek.""Masa sih, Mas? Memangnya bisa??" Yumna tampak tak percaya."Ya bisa, itu 'kan buktinya jadi warna warni.""Nanti sebelum beli aku mau tanya dulu deh sama yang jual. Barangkali memang bulunya asli, Mas.""Oohh ya sudah, terserah kamu aja." Ustad Yunus mengangguk, apa pun yang Yumna inginkan asalkan itu hal baik dan dia mampu, dia akan memberikannya. "Ya udah, sekarang kamu habiskan dulu mienya. Nanti keburu dingin nggak enak.""Iya." Yumna mengangguk cepat.***"Pak ... Aku mau beli ayam-ayamnya," ucap Yumna yang melangkah menghampiri penjual ayam warna-warni.Pria setengah baya itu menjual ayam-ayam tersebut di depan pintu keluar wisata air. Ayam-ayam warna-warni itu diletakkan ke dalam beberapa keranjang putih yang terpisah berdasarkan warna. Ada warna pink, biru, kuning, merah, ungu, hijau, dan oren."O
"Bulu apa saja, Bu, bebas." "Maksudnya??" Umi Mae menatap bingung. "Pokoknya semua jenis bulu deh, Bu. Bulu ayam, bulu burung, bulu kucing dan bulu manusia." "Ngeri amat, pakai bulu manusia segala. Memangnya nanti mau diapain itu bulunya?" "Mau diproduksi, Bu. Dijadikan bulu mata palsu," jawab Tora asal. Segera, dia pun mengambil kartu namanya di dalam dompet, lalu memberikannya kepada Umi Mae. "Ini kartu nama saya. Mohon Ibu nanti hubungi saya kalau Yunus sudah pulang, ya? Kalau begitu saya permisi, assalamualaikum." "Tapi, Pak. Aku sepertinya ...." Ucapan Umi Mae belum selesai, tapi pria itu sudah keburu masuk ke dalam mobil. Jadilah dia meneruskan dengan menjawab salam, sembari memerhatikan kartu nama Tora. "Walaikum salam. Tapi kok ada yang aneh, ya??" *** "Habis ini kita mau ke mana, Dek? Apa kamu kepengen pergi ke suatu tempat?" tanya Ustad Yunus yang mulai mengemudikan mobilnya. "Langsung pulang aja, Mas. Aku kepengen main sama mereka," jawab
"Assalamualaikum, Umiiii!!" Yumna turun dari mobil, setibanya di rumah Ustad Yunus. Kemudian langsung berlari masuk ke dalam rumah sederhana itu karena kebetulan pintunya terbuka. Dia merasa sudah tak sabar ingin bertemu Umi Mae, karena sudah cukup lama tidak bertemu dan itu membuatnya rindu. "E-eh!" Umi Mae yang tengah menyapu lantai sontak terkejut, melihat kedatangan menantunya. Apalagi saat dia langsung memeluk tubuhnya. "Aku kangen Umi." "Umi juga kangen kamu, Nak." Umi Mae tersenyum lebar, lalu mencium kening menantunya. "Kamu baru sampai, ya?" "Iya." Yumna mengangguk. "Aku sama Mas Boy bawakan Umi oleh-oleh lho," katanya, saat melihat baru saja Ustad Yunus masuk ke dalam rumah dengan membawa tiga buah kardus berukuran sedang. "Waaahhh ... Apa itu, Nak? Kok banyak banget." Umi Mae tampak antusias dan senang melihatnya. Ustad Yunus meletakkan ketiga benda itu di atas meja, lalu mendekat ke arah Umi Mae dan mencium punggung tangannya. "Jajanan khas Karawang, Umi," jawabnya.
"Iiihh enggak deh, Pak, terima kasih," tolak Ustad Yunus dengan gelengan cepat, dia juga meringis geli.Kalau pun Ustad Yunus kekurangan uang, tapi dia tak akan mau menjual bulu kemaluannya. Karena menurutnya, itu sesuatu yang pribadi dan tidak perlu dipakai orang lain. Apalagi untuk aksesoris dimata."Kenapa enggak, Nus? Kan lumayan duitnya." Tora terlihat kecewa dengan tanggapan pria itu. Tapi sebisa mungkin dia mencoba merayunya kembali."Bukan masalah duitnya, Pak. Tapi bulu itu 'kan bisa dikatakan dengan aset. Bapak kira-kira aja ... masa iya, bulu bawah dipakai dimata? Mana mata perempuan lagi."Setahu Ustad Yunus, yang kerap kali memakai bulu mata palsu adalah kaum hawa. Jadi dia bisa menebak seperti itu."Ya memangnya kenapa kalau dipakai dimata, Nus? Lagian kalau pun nggak dijual ... bulu itu kalau sudah panjang pasti dicukur. Kan sama saja seperti dibuang, tapi ini bedanya jadi duit. Jadi lebih bermanfaat.""Ya mending dibuang aja sekalian, Pak," jawab Ustad Yunus yang tampa
"Eemmm itu ...." Sandi terdiam sebentar, mencoba berpikir untuk bisa mendapatkan alasan yang masuk akal dan mudah diterima oleh sang Mama. "Kebetulan, Pak Joe berencana mengajak keluarganya makan bareng di restoran, Ma. Jadi aku diminta untuk menyopirinya," tambah Sandi menjawab."Oohh ...." Sari mengangguk dan mencoba mempercayai meski tidak sepenuhnya. "Hampir setiap hari memangnya, ya, Pak Joe memintamu untuk menyopirinya makan di restoran?""Ya begitulah, Ma." Sandi mengangguk. "Namanya juga jadi sopir plus asisten ... jadi kapan pun dibutuhkan sama bos, aku harus selalu stand by.""Ya udah. Kamu hati-hati dijalan, ya?? Jangan pulang terlalu larut.""Iya, Ma. Mama tenang saja. Ya sudah ... assalamualaikum.""Walaikum salam."Sandi melangkah keluar dari rumah, diikuti oleh Sari sampai pria itu benar-benar pergi menggunakan mobilnya.Selang beberapa menit kepergian Sandi, Soni—Papanya Sandi datang dengan motornya. Kemudian mengucapkan salam."Assalamualaikum.""Walaikum salam, Pa," j
"Eemm ... kalau soal itu gimana ya, Dok ...?" Bunda Noni menggaruk puncak hijab di atas kepalanya. Bukan karena gatal, melainkan bingung dengan situasi ini."Kenapa, Bu?" tanya Dokter heran, seraya memerhatikan kegelisahan yang terpancar diwajah wanita di depannya. "Bukankah cara itu jauh lebih baik? Soalnya kata Naya ... Bang Yunus sendiri nggak mau menikahinya, kalau dia belum sembuh. Dan Naya sendiri selalu menyebut dirinya nggak sakit. Tapi memang kebanyakan orang yang terkena gangguan mental nggak akan mengakui jika dirinya gila, Bu."Perlahan, Bunda Noni membuang napasnya dengan kasar. "Cara itu memang baik, Dok. Tapi masalahnya ... Yunus yang dimaksud Naya itu bukan Yunus sebenarnya.""Maksudnya??" Dokter itu mengerutkan dahinya, bingung."Yang bersama Naya tadi namanya Sandi, bukan Yunus.""Apakah Sandi ini saudara kembar Bang Yunus, Bu?""Bukan." Bunda Noni menggeleng. "Dia keponakannya, Dok. Dan jujur ... dari segi wajah, mereka berdua nggak mirip sama sekali. Hanya saja aneh