Pagi ini karena masih kesal dengan Dio aku meninggalkannya dan memilih sarapan terlebih dahulu. Lalu saat Dio datang menyusul aku pun memilih untuk meninggalkannya. Rasanya masih malas untuk dekat-dekat dengannya. Walau sebenarnya ada rasa sedih di hati karena sikapku ini tentu menghancurkan momen honey moonku sendiri. Tapi aku tak bisa membohongi hatiku sendiri akan rasa kecewa dan sedih yang aku rasakan sendiri.Saat baru saja sampai di kamar, ponselku berdering. Aku yakin pasti dari Dio, dia mungkin mau membujukku untuk kembali ke restoran hotel dan menemaninya makan.Tapi saat kulihat, bukannya nama Dio yang tertera di layar ponsel, melainkan nama Bapak. Segera saja kutelan tombol hijau agar dapat segera tersambung dengan lelaki yang merupakan ayah kandungku itu."Aruni ..., kapan kau akan pulang dari Bali?" tanya Bapak melalui telepon dari seberang sana. "Ada apa memang, Pak? Rencananya aku dan Dio akan pulang 3 hari lagi," terangku. Seingatku aku sudah mengatakan pada orang-or
Jam sudah menunjukkan pukul 18 saat kami akhirnya sampai di rumah. Dio menepati perkataannya untuk pulang hari ini juga demi memastikan Arsy aman.Sepanjang perjalanan aku dan Dio tak banyak bicara. Aku sungguh malas untuk melakukan percakapan dengannya. Di pikiranku berkecamuk banyak hal. Tentang maksud dan tujuan ibunya Mas Juna yang sampai datang setiap hari ke rumah dan mengajak Arsy ke lembaga pemasyarakatan, juga tentu saja tentang percakapan Dio dan Galuh yang masih menjadi misteri.Bicara tentang Galuh, aku jadi teringat, sebelum kami pulang tadi wanita itu sempat menemui kami di bandara. Mungkin Dio mengabari tentang kepulangan kami yang mendadak padanya."Jadi kamu pulang hanya karena khawatir pada anaknya wanita itu?" tanya Galuh dengan raut tak sukanya seperri biasa. Dia kali ini mengenakan dress berwarna merah muda sepaha, warna rambutnya membuatnya cukup kontras dengan warna pakaiannya. Tapi Galuh tetap terlihat penuh percaya diri.Lalu kemudian Galuh dan Dio menjauh dar
Aku menunggu Om Satyo di sebuah lobi hotel tempatnya menginap. Om Satyo hanya beberapa hari saja berada di sini katanya. Dua hari lagi ia akan kembali ke Kalimantan untuk mengurusi bisnisnya yang banyak yang berada di banyak bidang itu. Dan keberadaan beliau di sini memang sedang ada urusan bisnis lainnya yang memerlukan kehadirannya.Ya ... Om Satyo memang sesibuk itu. Setiap minggunya pasti tidak akan ada di satu tempat yang sama. Maka dari itu waktunya begitu berharga.Lelaki berusia akhir 40-an berjalan dengan gagah sambil tersenyum menatapku. Om Satyo tampak gagah dengan memakai kemeja berwarna cream yang menempel sempurna di tubuhnya. Meski sudah cukup berumur, ia masih sangat terlihat gagah, segar dan tampan. Rambutnya yang mulai memutih malah membuat penampilannya semakin menarik."Kamu sudah lama menunggu, Aruni?" tanya Om Satyo sambil menyambutku dan memberi pelukan erat."Enggak kok, Om! Aku juga baru sampai!""Syukurlah kalau begitu! Lalu ... kenapa kamu sudah kembali? Buk
"Jadi ... sebenarnya ada apa, Aruni?" selidik Om Satyo menatapku dengan tatapan penasaran. "Mmmh... katakan saja padaku Om, apa Om mengenal keluarga Dio? Karena kemarin kan saat menikah yang datang hanya keluatga intinya saja. Dan aku pun sama sekali belum pernah dikenalkan dengan keluarga besarnya," jawabku mencari alasan.Om Satyo menatap mataku dalam. Tampak menyelami, sampai aku salah tingkah dibuatnya. Apa Om Satyo tahu bahwa ada yang aku sembunyikan?"Sepertinya Om kenal salah satunya, atau beberapa. Yang tengah ini namanya Hendro Airlangga dan ini istrinya, Juni," terangnya sambil menunjuk sosok yang kutebal adalah kakek dan neneknya."Om kenal? Siapa mereka?" Om Satyo menghembuskan nafas berat. Tak langsung menjawabnya."Dia sahabat karib kakekmu. Mereka bersahabat sejak kecil. Aku tidak tahu kalau ternyata Dio adalah cucunya Om Hendro." Om Satyo kembali memerhatikan foto keluarga di ponselku. Tampak sedang mengamati lagi.Jadi ternyata keluarga Dio ada hubungannya dengan ke
"Kenapa sih ibu ngotot sekali ingin membawa Arsy ke lapas? Aku dengar beberapa hari yang lalu pun ibu sudah datang kemari hanya untuk mengajak Arsy ke lapas!" Aku masih mencoba tetap tenang. Mencari tahu apa alasan di balik kegigihannya membawa Arsy."Memangnya apa yang salah? Aku mau membawa cucuku bertemu dengan ayahnya apa tidak boleh? Arjuna merindukan anaknya. Tidakkah kamu tahu bagaimana menderitanya dia berada di lapas seorang diri! Coba saja kamu tidak melaporkannya malam itu, semuanya tidak akan begini jadinya!" jawab Ibu dengan nada menahan kesal.Hah ... rasanya aku sudah bosan dengan pola pikirnya yang selalu menyalahkanku atas semua yang terjadi pada anak kesayangannya itu. "Ya ... itu salah, Bu! Karena selama ini Arsy dan Arjuna tidak pernah benar-benar menjadi ayah dan anak kecuali hanya karena darah Arjuna mengalir di tubuh Arsy.""Apa maksudmu, Aruni? Sudah jelas-jelas darah Arjuna yang mengalir di tubuh Arsy itu lebih kuat dari apa pun!" Mata Ibu melotot sempurna, t
"Bagaimana harimu hari ini, Aruni?" tanya Dio sambil memeluk pinggangku saat aku sedang asyik menyiapkan makan malam di dapur."Dio... malu! Bagaimana kalau ada yang lihat?" Aku berusaha melepas pelukan lelaki yang baru saja pulang kerja itu. Bahkan tasnya saja masih ia jinjing. Aku tidak mengetahui kedatangannya yang lebih cepat dari jam yang ia beritahukan sebelumnya melalui pesan. Maka aku memilih untuk bersiap saja di dapur.Sekuat tenaga aku berusaha melepas pelukan Dio. Sungguh rasanya benar-benar malu, takut kalau sampai ada yang melihat apa yang dilakukan suamiku itu. Apalagi jika itu adalah Arsy atau Bapak. Meski yang kami lakukan sudah halal, tapi tetap saja rasanya risi jika sampai terlihat orang.Dio tampak cemberut saat aku berhasil lepas sempurna dari pelukannya. Ia memasang wajah kecewa."Aku kan kangen sama kamu, Aruni! Masa peluk sedikit saja tidak boleh?!" Dio merajuk seperti anak kecil yang menginginkan sesuatu tapi dilarang oleh orang tuanya."Bukannya tidak boleh,
Usulan Dio yang ingin berbulan madu lagi tentu saja kutolak mentah-mentah. Selain karena kesal dan marah pada lelaki itu, aku juga tak mungkin meninggalkan bisnisku lebih lama lagi. Selain itu masih ada banyak hal yang harus aku lakukan di dunia nyata. Ayolah... hidup bukan melulu harus di habiskan berdua saja.Aku harus memastikan Juara Food Company tetap berjalan baik dan malah lebih baik lagi. Bisnis frozen food kami sekarang merambah semakin besar. Bahkan aku sedang berencana membuka kemitraan terkait restoran siap saji yang sedang aku rintis ini.Dio tentu saja tidak terima begitu saja keputusanku. Sepanjang malam dia terus membujukku untuk berbulan madu lagi. Tapi setelah kuingatkan soal pekerjaannya yang sama menumpuknya denganku, dia pun akhirnya berhenti membicarakannya.Setelah menitipkan beberapa pesan pada Bi Susi dan Bapak untuk memastikan bahwa Arsy akan aman tanpa diganggu lagi oleh kehadiran neneknya, aku pun mulai berangkat kerja ke kantor Juara Food Company. Banyak s
"Lihat itu, bos kalian datang! Kalian semua pasti akan dipecat dari restoran ini karena bertindak sewenang-wenang padaku!"Saat aku datang, Galuh langsung menyambutku dengan sikap penuh angkuhnya itu lagi. Kembali mengancam karyawanku.Saat ini Galuh sudah diamankan di ruang karyawan agar kondisi restoran lebih kondusif tidak terganggu oleh keributan yang dibuat oleh sepupu iparku itu."Ada apa ini?" Aku kembali mengkonfirmasi tentang apa yang terjadi pada karyawanku. Fani, manajer operasional langsung menjelaskan duduk permasalahannya. Menurut Fani, saat Galuh selesai makan ia langsung melenggang pulang tanpa membayar yang telah dimakan olehnya dan teman-temannya. Saat Dewi yang bertugas sebagai kasir menegurnya, Galuh seketika marah-marah hebat dan mengatakan bahwa ia adalah saudaraku dan tetap kekeh tidak mau membayar apa yang telah masuk ke dalam perutnya.Aku menarik nafas panjang setelah mendengar penuturan Fani. Mengumpulkan segenap kesabaran di dada."Sebaiknya kamu pecat saj